Minggu, 06 Desember 2015

Merah Berpendar di Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Tegangan Pasca 65 dan Orba [Bagian III]

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan




D. Mengatur Strategi, Meraih Simpati: Melanjutkan Kreativitas Pasca 65
Tragedi G 30 S 1965, secara menyedihkan, telah mengakibatkan tegangan-tegangan yang tidak saja berimplikasi pada ceceran darah dari mereka yang benar-benar terlibat dalam PKI maupun mereka yang difitnah secara keji karena kepentingan-kepentingan individual, tetapi juga pada pengaruh diskursif berupa ketakutan-ketakutan akibat stigmatisasi yang dialami oleh mereka yang masih hidup. Bahkan, larangan membicarakan komunisme maupun Marxisme menjadi alat dan mekanisme rezim militer untuk membelenggu kreativitas kritis para pemikir, akademisi, seniman, sastrawan, dan budayawan di tanah air, tidak terkecuali di Banyuwangi. Bangsa ini seperti hidup dalam kemakmuran semu yang dihasilkan dari pembungkaman-pembungkaman secara ajeg terhadap potensi kritis yang dianggap akan mengganggu stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
Kesadaran terhadap semangat dan energi untuk melanjutkan dinamika kultural telah menumbuhkan keberanian dari beberapa individu yang melakukan proyek politik ‘rehabilitasi seniman’ yang dituduh terlibat Lekra. Bagaimanapun juga, ingatan dan keinginan untuk menghidupkan kembali kejayaan kesenian Banyuwangen, seperti Angklung, Keroncong, Gandrung, Janger, dan lain-lain, telah mendorong Hasnan, Hasan, maupun Supranoto melakukan strategi dan gerakan kultural secara aktif. Dalam perkembangannya, mereka mampu melakukan pendekatan aktif kepada penguasa, utamanya Bupati, untuk membebaskan para seniman yang terlibat Lekra dari tuntutan hukum. Hasnan dan Hasan Ali melakukan lobby yang cukup intens untuk bisa meyakinkan Bupati Supaat yang notabene berasal dari militer. Akhirnya, izin diberikan kepada para seniman Lekra untuk berkarya, tetapi bukan tanpa imbal-balik. Karya-karya yang mendukung keberadaan Golkar sebagai partai pemerintah menjadi trend yang tidak lagi perlu dilawan karena mereka memang membutuhkan strategi untuk mencari celah agar tetap bisa berkesenian.[1] Ketika berada dalam kondisi diawasi setiap saat, melawan jelas hanya membawa kehancuran. Pilihan berkompromi dengan kepentingan rezim, meskipun sangat membatasi kebebasan kreatif para seniman, adalah siasat yang paling realistis.
Strategi serupa, meskipun tak sama, juga dilakukan oleh Supranoto demi memeriahkan kembali kehidupan kesenian Banyuwangen yang sedang ‘mati suri’ akibat tragedi 65. Supranoto tidak hanya melakukan lobby dengan pihak pemerintah, tetapi juga melakukan gerakan kesenian dari bawah.
“…saya mengatur strategi untuk bisa membangkitkan kembali kemeriahaan keseniaan Banyuwangen. Sebagai langkah awal, saya memilih bertempat tinggal di kampung Tumenggungan karena terkenal sebagai daerah seniman, termasuk Andang CY, Nasihin, dll. Wilayah ini juga terkenal sebagai basis PKI. Saya harus masuk langsung ke kantong-nya, biar bisa mengenal dan memahami karakter mereka. Di kampung ini berkembang wayang wong, keroncong, angklung. Angklung dipimpin oleh Pak Zen dan yang membina Pak Arif (pencipta Genjer-genjer). Di samping itu, ada juga Patrol yang dicampur gitar. Keroncong yang terkenal adalah Mawar Merah, yang irama dan lagunya terkesan menggelitik…Saya kemudian mengajak teman-teman lain, seperti Mahfud, Armaya, dan Fathurrohman. Di samping itu, saya juga menemui Sekretaris Pribadi Pak Supaat, lurah Tumenggungan dan Babinsa. Saya bilang ke mereka: “Gimana, Pak, masak lagu Banyuwangen dianggap punya PKI (maksudnya Genjer-genjer, pen). Kok enak itu PKI? Lha wong lagu-lagu Banyuwangen itu monumental. Kalau diangkat (dimunculkan lagi, pen), pasti enak.” Lalu, malah ditantang sama Pak Sekpri, “Berani, kamu?” Ya saya jawab, “Sek-sek, Pak (tunggu sebentar, pen), kita lihat-lihat dulu kondisinya”. Setelah mendapat sinyal-sinyal yang agak positif itu, saya mulai bergerak lagi menemui para seniman senior, termasuk Pak Mus, pembina karawitan di Kodim.” (Wawancara, 22 Juli 2009)
Keputusan untuk bertempat tinggal di Tumenggungan sebagai kampung basis seniman Lekra merupakan pilihan tepat. Dengan keputusan itulah Supranoto berhasil menyelami, mendalami, dan memulai ‘aksi-aksi lanjutan’ untuk mengembangkan kembali kesenian Banyuwangen, sepertihalnya yang dilakukan Hasan Ali dan Hasnan Singodimayan.
Tentu saja, bukan pekerjaan mudah untuk masuk ke “wilayah merah” dan bergaul dengan mereka yang sudah mendapatkan stigma komunis. Tapi, sekali lagi, pilihan inilah yang memudahkannya untuk merintis langkah-langkah strategis guna menghidupkan kembali kesenian rakyat, sekaligus menghindari sensor pemerintah.
“…waktu itu saya berpikir bahwa saya harus merubah warna lagu-lagu dan kesenian yang sudah berkembang di Banyuwangi. Nah, angklung waktu itu saya pilih untuk media ekspresi. Tahun 70-an, saya mulai menciptakan beberapa lagu, seperti Grigis. Untuk semakin menghilangkan kecurigaan pemerintah dan tentara, waktu itu saya juga membuat lagu untuk Golkar, yakni Ret-Eretan. Lagu-lagu itu semua bertema semangat membangun daerah yang sesuai dengan program pemerintah.”                 (Wawancara, 22 Juli 2009)
Dipilihnya angklung Banyuwangen merupakan strategi awal untuk menarik kembali simpati publik karena pada masa-masa sebelumnya, kesenian ini sangat populer. Dalam ingatan rakyat, angklung tidak bisa saja dihapuskan, meskipun perasaan takut akan efek politis PKI dan Lekra masih kuat.
Namun demikian, Supranoto mempunyai siasat untuk tidak meniru sepenuhnya angklung yang dikembangkan Lekra. Modifikasi-modifikasi kreatif dari aspek pertunjukan menjadi pilihan yang pada akhirnya bisa ‘menyelamatkan’ kesenian angklung dari ‘pembunuhan’ oleh rezim stigmatik.
“Saya mendirikan kelompok angklung, Sayu Wiwit, sebagian besar musisinya adalah mantan Lekra. Namun, saya mulai membuat perubahan tampilan, utamanya untuk penyanyi dan penarinya. Para penari dan penyanyi mengenakan kuluk dari kertas karton, juga membawa payung, jadi tidak sama seperti yang dikembangkan Lekra. Setiap kami latihan, yang menonton banyak sekali, sampai rasanya dinding rumah mau rubuh. Yang melihat latihan itu banyak yang berucap, “Gendjer-gendjer hidup lagi. Setelah saya rasa matang, kelompok ini pentas di kampung. Banyak sekali yang menonton…Setelah sukses pertunjukan di kampung, kelompok ini pentas di luar, yakni di sebelah timur Pendopo. Kenapa saya pilih lokasi ini? Karena tempat ini menjadi sentral keramaian. Sambutannya luar biasa. Aparat polisi dan tentara tidak ada yang marah, karena kita sudah meminta restu ke pihak Pendopo. Sehabis pementasan itu, kami diundang pentas di mana-mana, termasuk ke Wongsorejo, di-back up langsung oleh Angkatan Laut.” (Wawancara, 22 Juli 2009)
Respons masyarakat sekitar tempat latihan Sayu Wiwit menunjukan betapa angklung masih menjadi kesenian idola, karena mereka bisa mendengarkan kembali lagu-lagu Banyuwangen yang selama beberapa saat dibungkam paksa. Pilihan strategi untuk memilih kampung basis Lekra sebagai awal keberangkatan kelompok angklung pimpinannya, menunjukkan kejelihan intuitif Supranoto. Kemampuan konsolidasi, modifikasi dan lobinya, menjadi resep mujarab bagi popularitas angklung yang akhirnya diterima di ruang-ruang politis—Pendopo—yang dulunya sangat ketat terhadap urusan kesenian rakyat.
Kuasa rezim Orde Baru pasca 65 menjadi tonggak baru perkembangan kesenian Banyuwangen. Sebagai masa baru, Golkar muncul sebagai kekuatan politik yang ditopang rezim birokrat-militeristik. Strategi ‘mendekat’ ke Golkar memang bisa dibaca dalam dua konteks yang berbeda. Pertama, para seniman tidak punya keberanian untuk bersikap kritis terhadap rezim politik baru yang ingin mengendalikan proses kultural sampai di tingkat lokal. Kreativitas para seniman diarahkan untuk mendukung kuasa Golkar dan rezim Orde Baru melalui aspek-aspek kultural yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan rakyat terhadap keindahan seni. Kedua, siasat mendekat ke Golkar dan Pendopo merupakan cara seniman untuk menyelamatkan diri dari pasungan rezim sehingga mereka tetap bisa menciptakan karya-karya yang digemari rakyat kebanyakan. Artinya, ada azas “saling memanfaatkan” yang di satu sisi menguntungkan Golkar dan Pendodo, dan, di sisi lain, menguntungkan para seniman Banyuwangen. Inilah salah satu bentuk siasat kultural para seniman dalam menghadapi kuasa rezim militer Orde Baru; (seolah-olah) menyerah pada kuasa, sembari mempermainkan peran untuk mendapatkan kepercayaan agar bisa terus berkarya.
Kelonggaran kontrol yang diberikan pihak Pendopo terhadap kreativitas para seniman berlanjut dengan merekam lagu-lagu Banyuwangen karya mantan seniman Lekra seperti Andang, Mahfud, Basir Noerdian, dan juga para seniman lain yang tidak terlibat komunisme. Pada masa akhir 60-an, Bupati Supaat dengan bantuan seniman seperti Hasan Ali memulai usaha rekaman di Banyuwangi, sebagai langkah awal untuk meramaikan kembali budaya Banyuwangen dengan penekanan kepada identitas kultural Using. Lagu-lagu ciptaan para seniman Lekra direkam dengan peralatan sederhana di Pendopo sekaligus menandai lahirnya industri budaya di bawah kontrol rezim.[2] Dipakainya lagu-lagu ciptaan para seniman Lekra—yang tentunya sudah disensor sedemikian rupa—menandakan bahwa persoalan stigma politis untuk sementara bisa diatasi, meskipun kontrol memang masih ketat. Dimulainya usaha rekaman yang dikendalikan Pendopo juga menunjukkan bahwa kebijakan rezim Orba ternyata juga sedikit memberikan ruang untuk berkembang bagi para seniman, meskipun mereka tetap dibatasi oleh garis-garis ideologis pembangunanisme yang mengedepankan pendekatan keamanan.
Usaha untuk menghidupkan kembali kesenian tradisi di masa Orde Baru menandakan kuatnya usaha rezim untuk menguasai kehidupan masyarakat melalui jalur kesenian/kultural. Kesenian dan media eskpresinya menjadi aparatus hegemonik[3] yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah memberikan kesempatan bagi kelompok seniman, sastrawan, dan budayawan untuk berkreasi sehingga kebutuhan ekspresif mereka bisa terpenuhi secara wajar. Akibatnya, kesepakatan akan muncul karena rezim mau mengartikulasikan keinginan seniman, potensi kesenian, dan budaya Banyuwangen, meskipun mereka tetap menegosiasikan kepentingan politiko-kultural. Dengan demikian, rakyat kebanyakan akan melihat bahwa rezim telah bertindak benar, meskipun sebenarnya ada kepentingan kuasa yang disebarkan secara terus-menerus.[4]
Terlepas dari realitas ketatnya kontrol rezim terhadap perkembangan kesenian, nyatanya para seniman punya mekanisme untuk terus mengembangkan kesenian Banyuwangen. Mereka tetap berkarya, meskipun harus bersiasat terus-menerus. Usaha rekaman yang dibina Pendopo mempunyai peran strategis untuk menyemarakkan kembali kesenian rakyat. Lebih jauh lagi, kehadiran usaha rekaman yang merekam lagu-lagu dari para seniman Lekra, secara tidak langsung telah ikut merehabilitasi nama mereka. Masyarakat Banyuwangi tidak lagi mempermasalahkan apakah lagu ini dan itu ciptaan mantan anggota Lekra atau tidak, tetapi mereka mempunyai mekanisme penilaian estetik yang jauh dari persoalan ideologis tersebut. Tema dan lirik yang dekat dengan persoalan hidup sehari-hari dan metafor-metafor alam, menjadikan masyarakat tetap menggemari lagu-lagu ciptaan seniman Lekra. Meskipun demikian, khusus untuk lagu Genjer-genjer, karena dianggap karya yang cukup sensitif—utamanya untuk kepentingan militer dan mayoritas pemeluk Islam yang memendam dendam pada kaum komunis—masih belum boleh dinyanyikan atau direkam-ulang hingga saat ini. Sekali lagi, dipelesetkannya lagu tersebut dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI, memunculkan ‘dosa turunan’ yang tidak seharusnya terjadi dalam ranah kultural.
Paparan di atas menunjukkan bahwa strategi mendekati rezim yang dilakukan oleh para seniman Banyuwangi, ternyata bertemu dengan kepentingan rezim untuk membuat kanal-kanal perkembangan dan pengembangan kesenian yang tetap bisa diawasi, dikontrol, dan diarahkan untuk mendukung kepentingan stabilitas ekonomi-politik demi mensukseskan ideologi pembangunan Orde Baru. Kontrol memang bisa dijalankan dan para seniman, di sisi lain, mampu terus mengembangkan kreativitas untuk menyemarakkan budaya Banyuwangen. Proses perekaman lagu-lagu Banyuwangen dengan sponsor Pemkab menjadi cikal-bakal lahirnya industri kesenian dalam bentuk media rekaman di bumi Blambangan. Pilihan jenis musik angklung yang dikombinasikan dengan musik gandrung, nyatanya semakin menggairahkan kehidupan kultural Banyuwangi. Peran media rekaman cukup strategis dalam memperkuat kembali budaya Banyuwangen pasca 65, sekaligus memperkuat negosiasi kuasa Orde Baru pada level lokal. Pada masa itu, lagu-lagu Banyuwangen mampu menjadi ‘tuan rumah di wilayah sendiri’, meskipun tetap menyisipkan kepentingan politis rezim yang ingin meniadakan muatan-muatan ideologis kiri dalam ekspresi kultural seniman dan masyarakat.
[1] Hasnan memaparkan: “Begitu mereka ditangkap, namanya PKI golongan A, golongan B, golongan C…kita masih berusaha menyelamatkan mereka. Seperti B.S Noerdian, Andang, Mahfud, Hendro Wilis, Slamet, seingat saya ada tujuh orang yang kita selamatkan. Waktu itu kita dekati Bupatinya, Pak Joko Supaat Slamet karena dia dari Dandim sendiri. Akhirnya Bupati menyetujui, dia bilang, “Ya sudah lah, pakai saja orang-orang itu, dengan syarat jangan diperankan.” Makanya, gending-gending kemenangan Golkar seperti Makarya, aslinya mereka yang membuat. Lagunya ya BS Noerdian, Mahfud…Waktu itu Bupatinya kan caretaker, Pak Supaat itu. Dia yang merekrut kembali seniman dan budayawan. Ketika kami dikumpulkan kembali, dia bilang, “Hai Lekra, LKN, apa sih dasarnya kalian memusuhi HSBI? Hai HSBI apa dasarnya kalian memusuhi Lekra dan LKN? Begitu juga dengan Lesbumi.” Akhirnya ketahuan bahwa semua itu karena latar belakang politik. “Kami disuruh NU, kami disuruh PKI, kami disuruh PNI, kami disuruh Masyumi.” Itu, itu jawaban lugu seniman. Bupatinya bilang, “Sekarang ini ada potensi kesenian daerah, angkat itu, menurut kemampuan Saudara, jangan pecah belah perkara Partai, ndak usah mikir partai sudah”. Itulah hebatnya Joko Supaat.” (Wawancara, 22 Juli 2009)

[2] Hasan Basri, salah satu budayawan muda Banyuwangi, menjelaskan: “Industri rekaman di Banyuwangi berawal dari upaya pemerintah daerah menemukan kembali kekhasan daerah sebagai identitas. Adalah Hasan Ali pegawai kesra Pemda Banyuwangi kala itu dengan didukung oleh bupati Joko Supaat Slamet berinisiatif merekam lagu-lagu berbahasa Using dalam rangka menggairahkan kesenian dan budaya lokal. Lagu-lagu Using sendiri sebelumnya telah tertempa dan mengalami kegairahannya sendiri seiring dengan digunakannya lagu Using dalam ranah politik, terutama oleh Lekra (PKI) dan LKN (PNI). Dengan peralatan yang sederhana bertempat di belakang pendopo kabupaten, rekaman dilaksanakan pada malam hari untuk menghindari suara bising di bawah rindang pohon mangga. Tidak jarang rekaman harus dilakukan berulang-ulang dalam beberapa malam karena belum ada teknik dubbing. Bahkan rekaman harus dilakukan ulang, karena salah satu alat musik kejatuhan buah mangga dan mengganggu konsep bunyi yang diharapkan. Pilihan jenis musiknya pada waktu itu adalah gabungan angklung dan gandrung. Dipilihnya jenis musik ini menurut Hasan Ali untuk mengeliminir protes masyarakat yang masih phobia terhadap musik-musik Lekra. Karena angklung sangat identik dengan Lekra, maka angklung dicampur dengan warna musik gandrung yang lebih diterima umum. Sedangkan lagu dan syairnya kebanyakan karya Andang CY, Basir Noerdian, Mahfud, Hendro Wilis dan lain-lain yang kesemuanya adalah seniman kiri. Pilihan ini wajar karena pencipta dan pengarang pada waktu itu umumnya adalah para seniman kiri.” Lihat Basri, Hasan. “Politik Identitas Lagu Banyuwangen”, diakses dari http://desantara.org/v3/index.php?option=com_content&task=view&id=508&Itemid=155, 28 juli 2009.
[3] Dalam konteks hegemoni Gramscian, kekuasaan tidaklah dibangun dengan dominasi senjata atau modal semata, tetapi juga didukung dengan kekuatan moralitas, intelektualitas, agama, budaya, dan media. Dengan adanya artikulasi dan negosiasi antara pemerintah dan anggota rakyat kebanyakan, hegemoni bisa dijalankan tanpa paksaan. Adapun aparatus-aparatus yang mendukungnya antara lain institusi agama, pendidikan, budaya, dan media. Lihat Gramsci, 1981: 191-192; Laclau and Mouffe, 1981: 226; Boggs, 1984: 16; Bennet, 1986: xv; Slack, 1997: 115.
[4] Waluyo dan Basri menjelaskan: “Inilah kali pertama produksi rekaman kesenian Banyuwangi di awal panggung Orde Baru. Sebuah usaha pelestarian yang digaungkan Presiden Soeharto saat berkunjung ke Banyuwangi, akhir tahun 60-an lalu. Hampir seluruh kesenian seperti tayub, reyog, ludruk, topeng, jaipong, mocopatan, dan lain-lainnya mengalami dampak intervensi pemerintah ini lewat bungkus pelestarian, revitalisasi, dan pembinaan untuk memperkokoh apa yang mereka pandang sebagai kebudayaan nasional. Kebijakan Orde Baru ini diwujudkan dalam berbagai bentuk mulai dari pemberdayaan, penataran, pengawasan, pengubahan, pengetatan izin, bahkan pengutukan kesenian tertentu sebagai amoral dan subversi. Adapun media salurannya meliputi pementasan, festival, maupun rekaman. Di Banyuwangi, misalnya, berbagai kesenian dipantau dan dibina melalui Surat Keputusan (SK) Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970. Berbagai rekaman pun diproduksi dan disiarkan secara intensif di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Suara Blambangan. Lihat, Paring Waluyo & Hasan Basri. “Politik dan Bisnis dalam Industri Kesenian”, diakses dari http://www1.surya.co.id/v2/?p=2791, 23 Juli 2009.
Sumber: MataTimoer.Or.Id 

0 komentar:

Posting Komentar