Selasa, 08 Desember 2015

NKRI = Nasionalisme-Militeris

Coen Husain Pontoh | Harian Indoprogress


SEBAGAI sebuah bangsa merdeka, adakah ironi yang lebih ironis ketika kita menyaksikan perlakuan para elit oligarki (militer, birokrasi, borjuasi, dan elit-elit parpol) Jakarta terhadap rakyat Papua?
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para elit oligarki Jakarta kepada rakyat Papua adalah sebuah bentuk kolonialisme. Dan cerita tentang kolonialisme, dimanapun terjadinya, selalu beriringan dengan tindakan eksploitasi, represi, diskriminasi, dan rasisme. Dan persis itulah yang dilakukan oleh pemerintah kerajaan Belanda ketika mengkolonisasi Indonesia. Kekayaan alam kita dieksploitasi dan dijarah habis-habisan untuk kemakmuran kerajaan Belanda; para pejuang yang melawan pemerintah kolonial yang berpusat di Batavia direpresi dengan kejam: dibunuh, dipenjara, dan dibuang kepengasingan; rakyat Indonesia kemudian didiskriminasi, menjadi penduduk kelas ketiga, yang kedudukannya setara Anjing. Ketika Bung Karno bermukim di Mojokerto, ia melihat bahwa di setiap pintu lapangan sepakbola tertempel pengumuman: “Verboden voor Inlanders en Houden” atau “Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing”.
Perhatikan dan renungkan baik-baik kondisi Indonesia di masa kolonial itu. Dan mungkin dengannya kita bisa merasakan, lalu sadar, dan kemudian mengakui bahwa pemerintah NKRI yang berpusat di Jakarta ini mengkolonisasi bangsa Papua. Dan bukan kebetulan jika Papua adalah sebuah wilayah yang sangat kaya akan sumberdaya alam. Di sana bercokol salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia, yang kekayaannya didapat dari mengeksploitasi kekayaan SDA Papua. Dan apa yang tersisa bagi rakyat Papua? Persis seperti Indonesia ketika masih dijajah, negaranya kaya-raya tapi penduduknya hidup papa- sengsara. Hasil penelitian Bappenas pada 2012 menunjukkan bahwa Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia, dengan angka kemiskinan mencapai 31,11 persen. Jauh lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional yang hanya sebesar 11,96 persen. Dan kalau kita bicara kemiskinan, maka kita tidak hanya bicara soal kemampuan daya beli yang rendah, tapi lebih penting lagi, kita mesti bicara tentang rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, kelaparan, serta buruknya fasilitas infrastruktur lainnya.
Dan bagaimana dengan perlakuan pemerintahan Jakarta terhadap rakyat Papua? Oh, jangan ditanya lagi, Anda cukup sedikit saja membaca dan menyaksikan berita-berita yang ada. Persis seperti perlakuan pemerintah kolonial Belanda, para pejuang bangsa Papua ini dibunuh, dipenjara, disiksa, dan diasingkan. Rakyat Papua tidak boleh mengekspresikan aspirasi politiknya. Demonstrasi damai bisa berujung pemukulan, pemenjaraan, bahkan pembunuhan. Bandingkan dengan perlakuan polisi atau TNI yang membiarkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas tertentu di daerah selain Papua. Bahkan ada organisasi yang dalam setiap demonstrasinya selalu mengusung gagasan anti NKRI lengkap dengan atribut dan benderanya. Apakah demonstrasi ini dibubarkan dengan kekerasan oleh polisi? Pesertanya dipukul, ditendang, lalu ditangkap? Oh tidak. Polisi malah mengawal aksi-aksi ini supaya aman.
Diskriminasi yang sangat telanjang ini bukan hanya di bidang politik, tapi juga di bidang sosial dan budaya. Rakyat Papua itu benar-benar dianggap sebagai rakyat kelas dua oleh pemerintah Jakarta. Mereka diperlakukan seperti binatang. Salah sedikit ditampar, ditendang dan dibunuh. Bukan berita aneh lagi jika ada tentara mabuk yang kemudian menembak mati orang Papua. Mereka juga didiskriminasi dan diperlakukan rasis karena perbedaan warna kulit dan rambutnya, serta bau badannya. Dan orang luar, wartawan dan peneliti, tidak bebas meliput dan melaporkan kejadian sesungguhnya yang menimpa rakyat Papua.
Para pejuang anti-kolonial Belanda mengerti betul betapa menderita dan terhinanya hidup di bawah tindasan kolonial. Mereka memimpikan sebuah negara sendiri yang merdeka, yang bebas dari kendali dan represi negara lain, yang dengannya bisa mewujudkan cita-citanya untuk menyejahterakan dirinya dan mengangkat harkat dan martabatnya. Mereka juga sadar bahwa untuk merdeka, mereka butuh bersatu, butuh sebuah ideologi untuk menyamakan macam-macam aspirasi kemerdekaan itu. Nasionalisme adalah salah satu abstraksi dari kehendak untuk bersama tersebut. Dan para pejuang kemerdekaan, terutama Bung Karno, sadar bahwa nasionalisme bisa jadi pedang bermata dua: ia bisa menjadi ideologi pemersatu tapi sekaligus ideologi untuk mengenyahkan yang lain, nasionalisme yang membabi-buta. Itu sebabnya, Bung Karno dengan tegas sekali mengatakan bahwa “Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan sejarah dunia —bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan chauvinis— tak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu.” Di sini kemudian, Bung Karno mengutip kata-kata Gandhi, “”Buat saya, cinta pada tanah air adalah cinta pada kemanusiaan. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara hidup manusia. Saya tidak mengecualikan siapapun juga.”
Tetapi oleh rezim Orde baru dan penerusnya kini, khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan anak biologis Bung Karno, cita-cita para pejuang kemerdekaan itu dibabat hingga ke akar-akarnya. Konsepsi nasionalisme yang anti penindasan, anti kolonial, nasionalisme yang luas, seluas udara, nasionalisme yang mengutamakan hajat hidup rakyat yang berada di atas tanah dan air ketimbang tanah dan air itu sendiri, dijungkir-balikkan sedemikian rupa. Nasionalisme mereka adalah NKRI harga mati, nasionalisme yang sempit, yang ugal-ugalan, yang militeris. Nasionalisme yang lebih suka membiarkan rakyatnya mati demi tanah dan airnya. Dan bagi rakyat Papua, NKRI ini tidak lain adalah kolonialisme.
Bagaimana masa depan nasionalisme ugal-ugalan ini? Bung Karno dengan tegas menjawab, “…suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi, —nasionalisme yang semacam ini akhirnja pastilah kalah, pastilah binasa.***

http://indoprogress.com/2015/12/nkri-nasionalisme-militeris/

0 komentar:

Posting Komentar