Minggu, 27 Desember 2015

Cerita di Balik Tujuh Setan Desa


Propaganda PKI tentang siapa saja musuh rakyat. Memadukan kerja politik dengan penelitian ilmiah.


PADA sebuah tempat di antara Gunung Gede dan Gunung Salak, Aidit menghunjamkan jemarinya ke tombol-tombol mesin ketik, mengungkai kalimat demi kalimat. Di tempat yang menurutnya tenang dan sejuk itu, dia menulis pengantar laporan penelitian PKI mengenai keadaan petani di pedesaan di Jawa Barat di bawah judul Kaum Tani Menganjang Setan Setan Desa: Laporan singkat tentang hasil riset mengenai keadaan kaum tani dan gerakan tani Djawa Barat.

“Kemungkinan tempat itu di Cipanas, karena dia juga sering kesana,” ujar Asahan Alham, adik DN Aidit yang kini bermukim di Hoofddorp, Belanda, tentang lokasi yang disebut Aidit dalam tulisannya.

Ketua CC PKI itu memimpin sendiri penelitian yang dilakukan sejak 2 Februari sampai dengan 23 Maret 1964. Ada 40 orang kader partai yang dikerahkan sebagai peneliti dan tiap orang didampingi pemimpin kaum tani dari tingkat kecamatan dan desa. Desa-desa yang menjadi obyek riset PKI meliputi daerah timur Jawa Barat, seperti di Rancah dan Padaherang di Ciamis, sampai dengan di ujung barat Jawa seperti di Warunggunung, Lebak dan Labuan di Pandeglang, Banten.

Desa-desa tersebut dipilih karena pada wilayah tersebut masih terdapat tuan tanah bumiputera, juragan perahu pencari ikan, perkebunan, kehutanan, bekas tanah partikelir, bekas daerah basis gerakan Darul Islam –Tentara Islam Indonesia (DI-TII). Tak semua desa di Jawa Barat jadi obyek penelitian. “Untuk mengetahui keadaan burung gereja atau kelinci, tidak perlu semua burung gereja dan kelinci dibunuh dan diperiksa, cukup membunuh dan memeriksa beberapa ekor saja,” kata Aidit membuat kiasan.


Problem Reforma Agraria

Menurut Aidit penelitian tersebut dilakukan untuk memperkuat gerakan petani dan agaknya kebutuhan untuk meneliti keadaan tani di perdesaan itu erat kaitannya dengan pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mandek. Setahun setelah pemberlakuan undang-undang tersebut, PKI menjadi partai yang paling gencar untuk melaksanakan reforma agraria, selain tentu karena partai ini dikenal menjadi pengusung utama gagasan pembagian lahan bagi petani miskin.

Kebuntuan realisasi pembagian tanah untuk petani yang telah diatur dalam UUPA 1960 dan lambannya pemerintah mengatur sistem bagi hasil berdasarkan Undang Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH) 1960, mendorong PKI menempuh cara sendiri melaksanakannya. Dalam pidatonya pada 3 Februari 1964, Aidit mengutarakan kekecewaannya pada pelaksanaan reforma agraria yang tak kunjung berjalan sesuai ketentuan undang-undang.

Dalam kesempatan itu Aidit mendesak para petani tetap membayar utang mereka kepada tuan tanah sembari mendorong para petani penggarap yang tak memiliki lahan mengambil jatah bagi hasil panen 60 persen secara sepihak. Inilah yang kemudian disebut sebagai aksi sepihak. Sebelum Aidit, Asmu pun telah mengutarakan hal yang sama bahwa “....pelaksanaan bagi hasil secara UUPBH di desa, sepenuhnya tergantung pada aksi-aksi kaum tani yang mampu memaksa tuan-tuan tanah untuk memperbarui perjanjian sewa tanah sesuai dengan UUPBH.”


Menentukan Musuh Rakyat

Pelbagai persoalan yang membelit pelaksanaan reforma agraria tak memberikan pilihan lain bagi partai kecuali menenentukan langkahnya sendiri. Sesuai dengan Kongres Nasional ke-VI PKI pada 1959 agar partai menyelaraskan kerja politik yang berlandaskan hasil riset, maka Aidit memelopori penelitian kondisi agraria dan petani di Jawa Barat.

Ini bukan penelitian pertama yang dilakukan PKI bagi keperluan gerakan politiknya. Pada 1951, partai telah menyelenggarakan penelitian untuk menelaah persoalan agraria dan gerakan tani dengan metode angket tanya-jawab. Namun metode itu dikritik Aidit karena selain banyak angket yang tak dikembalikan, juga karena banyak kolom pertanyaan yang tak diisi petugas riset. Sehingga hasil riset tak mencerminkan kondisi obyektif dari kaum tani yang sedang diteliti.

Perbaikan metode penelitian dilakukan secara terus menerus untuk mencapai hasil maksimal, sehingga mencerminkan keadaan masyarakat bawah secara tepat. Semenjak kongres ke-VI 1959, partai menyusun metode penelitian dengan prinsip “3 sama”, yakni “sama bekerja”, “sama makan” dan “sama tidur” dengan buruh tani atau petani miskin.

Dengan riset itu partai mampu menganalisa dan menyimpulkan secara tepat pekerjaannya di kalangan kaum tani dan membantu memperbaiki pekerjaan partai di kalangan tani. Aidit memerintahkan agar petugas riset harus bertempat tinggal di satu desa paling kurang satu minggu. “Petugas juga harus melakukan kerja produksi dan kerja rumahtangga, mulai menyapu rumah, halaman, kalau perlu harus mau menceboki anak petani,” tulis Aidit.

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran mengenai pembagian kelas-kelas di desa yang memperlihatkan bagaimana rakyat pekerja di desa mengalami pengisapan dan penindasan tujuh kategori kelas penindas, yakni tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat (pegawai negeri yang korup), tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat yang membela kepentingan kaum pengisap desa. Inilah “tujuh setan desa” yang dinilai partai sebagai penghambat jalannya perubahan di pedesaan untuk mengangkat derajat kehidupan petani lebih baik.

http://historia.id/modern/cerita-di-balik-tujuh-setan-desa

0 komentar:

Posting Komentar