Senin, 14 Desember 2015

[Liputan] Rekoleksi Memori: Menggali Suara dari Masa Lalu

14 December 2015

Oleh: Siti Rubaidah

Sebuah acara bertajuk Persembahan untuk Ibu-Ibu Penyintas ‘65 dan Bedah Buku Foto “Pemenang Kehidupan” karya Adrian Mulya telah digelar di Taman Ismail Marzuki Jumat, 11 Desember 2015. Hadir juga para narasumber antara lain Erik Prasetyo, Dinda Kanya Dewi, Adrian Mulya, Lilik HS, dan ibu-ibu penyintas. Buku foto “Pemenang Kehidupan” merupakan kumpulan foto dan potret perempuan penyintas ’65 karya fotografer Adrian Mulya berkolaborsi dengan penulis Lilik HS.
Acara di mulai dengan pembacaan kisah hidup Sri Suprapti oleh seniman dan artis Dinda Kanya Dewi. Sri Suprapti adalah salah satu dari 21 perempuan penyintas dan saksi tentang seorang ibu rumah tangga yang ditangkap hanya karena bersuamikan seorang aktivis buruh. Sri dipenjara pada Oktober 1965 hingga Agustus 1975.
Adrian Mulya sang fotografer menuturkan, “Bagi saya, mereka dengan pengalaman hidupnya layak mendapat penghormatan.” Adrian sendiri sudah memulai mendokumentasikan foto-foto karyanya sejak tahun 2007 hingga sekarang.
Menurut pandangan Erik Prasetya salah seorang narasumber, pada karya foto Adrian bisa dilihat konsep yang kuat. Yakni memotret ibu-ibu korban peristiwa ’65 dengan menampakkan martabat mereka yang bertahun-tahun di rampas.
Sebagian karya foto Adrian Mulya dipamerkan dalam Musem Temporer Rekoleksi Memori 7-12 Desember 2015. Diantaranya adalah foto Utati yang salah satu ungkapannya ditampilkan di bawah fotonya, “Lagu-lagu itu adalah sejarah perasaan kami. Saya ingin, sejarah kami dibaca orang…”
Yulia Evina Bhara, Direktur Museum Temporer memberi sebuah prolog ketika para pengunjung masuk ke museum, “50 tahun sejak tragedi kemanusiaan 65 dan sejarah terus saja diburamkan. Tak ada pilihan lain, kita harus menengok ke belakang, mencoba menggali suara dari masa lalu. Me-rekoleksi memori kita, untuk dapat memahaminya dengan nalar dan mata hati yang jernih hari ini. Untuk kemudian belajar menerima kenyataan –sepahit apapun. Untuk mengakui bahwa telah terjadi sebuah tragedi kemanusiaan pada kurun waktu 1965-1967, dan budaya kekerasan yang diwariskan itu terus berlanjut hingga hari ini.”

Hanya dengan mengakui dan meminta maaf atas kesalahan masa lalu kita bisa mulai berjuang sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya hingga keadilan ditegakkan bagi para korban dan kesalahan yang sama tidak akan dilakukan bangsa kita.

Sumber: SuaraKita.Org 

0 komentar:

Posting Komentar