Senin, 29 Januari 2018

Gerwani Bukan Tukang Potong Alat Kelamin Jenderal, Itu Hanya Rekayasa!

Jan 29, 2018
Oleh: Lidya Apriliani, mahasiswi S-1 Kriminologi Universitas Indonesia.


Sumbergambar: Genosida1965 

Peristiwa G30S-PKI (Gerakan 30 September 1965) adalah salah satu peristiwa luar biasa dalam sejarah modern Indonesia. Beberapa istilah digunakan untuk menyebut peristiwa tersebut, contohnya Gestok (Gerakan Satu Oktober) oleh Sukarno, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) agar mirip dengan polisi rahasia Gestapo di Nazi Jerman, lalu menjadi G30S/PKI sejak 1966. Istilah G30S dipakai karena lebih objektif, pelakunya memakai nama ini untuk dirinya sendiri. Akibat dari peristiwa tersebut berdirilah rezim pemerintahan otoriter yang berkuasa selama 30 tahun lebih, yaitu rezim Orde Baru.
Mengutip dari John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal:
“Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, tujuh perwira Angkatan Darat termasuk Menteri Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani dibunuh lalu jasad mereka dilempar ke sebuah sumur mati. Pasukan ini menduduki pusat Radio Republik Indonesia (RRI) dan mengumumkan bahwa tujuan aksi mereka ialah untuk melindungi Presiden dari kudeta. Pemimpin mereka adalah Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden). Ratusan tentara pendukung G30S menduduki Lapangan Merdeka (yang sekarang menjadi Lapangan Monas) di pusat kota.”
Suharto memanfaatkan G30S untuk mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Suharto menjadikan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kambing hitam yang mendalangi peristiwa G30S. Lalu, menangkapi satu setengah juta (menurut versi Roosa) orang lebih serta ratusan ribu orang lainnya yang dibantai oleh Angkatan Darat beserta kelompok-kelompok yang bekerja sama dengannya. Dalam suasana darurat nasional, Suharto menjadi pemimpin pengganti walaupun belum dilantik sebagai presiden sampai pada akhirnya berhasil menjadi presiden setelah Supersemar, Maret 1966.
Dalam versinya tentang G30S, pihak militer Angkatan Darat (AD) menuduh Gerwani — yang dianggap termasuk anggota ‘keluarga komunis’ — sebagai penyiksa dan pembunuh para perwira. Istilah ‘keluarga komunis’ ini diambil dari Saskia Wieringa karena kader-kader PKI ada di organisasi-organisasi lain. Contohnya adalah Njoto di Lekra, Nyono dan Tjugito di SOBSI, Asmu di BTI, Sukatno di Pemuda Rakjat, serta Ny. Mugdido, Salawati Daud, dan Suharti Suwarto di Gerwani. Kader-kader PKI ini menjadi anggota di organisasi lain karena konsep Jalan Baru-nya Musso yang mengatakan bahwa PKI harus merangkul organisasi-organisasi massa yang kuat agar meningkatkan pengaruh partai.
Angkatan Darat segera menuduh mereka terlibat peristiwa G30S karena memang sejak dulu berselisih paham. Di satu sisi, Angkatan Darat juga mempunyai kepentingan politik. Bermula pada bulan Mei 1957, saat itu dibuatlah hukum darurat perang, lalu pemimpin Angkatan Darat mendapat kekuasaan yang besar dan sejumlah Komandan Daerah mendapat kesempatan untuk menerapkan ide politik mereka. Dengan munculnya Angkatan Darat sebagai kekuatan politik, pada tahun 1959 Sukarno melihat PKI sebagai partai sekutu yang dapat menjadi kekuatan sebagai penyeimbang dalam sistem politik.
Sedangkan bagi Angkatan Darat, sejak peristiwa Madiun 1948, PKI adalah partai pengkhianat, anti-nasionalis yang dikendalikan oleh negara asing. PKI juga dianggap sebagai ancaman karena memiliki kualitas organisasi dan disiplin yang baik sehingga dengan komitmen demikian malah dapat merangkul anggota tentara dan melemahkan potensi Angkatan Darat sebagai kekuatan politik yang bersatu. Sebaliknya, PKI juga menyebut pimpinan-pimpinan Angkatan Darat sebagai ‘kapitalis birokrat’. Hal ini dikarenakan sejak 13 Desember 1957, Jenderal Nasution dengan hukum darurat perang mengambil alih semua perusahaan Belanda lalu diberikan kepada perwira-perwira militer sebagai pimpinan perusahaan. Tapi, PKI tidak menghadapi Angkatan Darat secara langsung namun mengandalkan kaum ‘progresif’ (teman-temannya) di dalam badan tentara dan pengaruh presiden Sukarno. Upaya mencari sekutu di dalam tentara ini terlihat dari Biro Khusus bentukan D. N. Aidit, badan khusus PKI untuk menarik tentara karena ia memandang anggota tentara sebagai kelas tertindas sama seperti buruh dan tani.
Kemudian, mengenai keterlibatan Gerwani dalam G30S, inilah hal yang dituturkan oleh Saskia Wieringa:
“Pada hari peristiwa itu terjadi, sekitar 70 perempuan, sebagian besar adalah perempuan muda dari organisasi pemuda komunis, lainnya dari serikat buruh dan tani dan beberapa anggota Gerwani, termasuk istri-istri para tentara dikumpulkan di Lubang Buaya untuk kampanye anti-Malaysia. Ada yang ditugaskan untuk menjahit strip pada seragam-seragam, mungkin untuk anggota para peserta G30S, namun mereka tidak tahu mengapa mereka harus menjahit strip baru pada seragam. Para perencana G30S dapat menggunakan Lubang Buaya karena daerah ini ada di bawah kendali Angkatan Udara (kiri), lawan dari tentara Angkatan Darat (kanan). Gerwani sebagai sebuah organisasi tidak terlibat dalam rencana ini. Menjelang subuh 1 Oktober, para perempuan dibangunkan oleh teriakan-teriakan, lalu saat mereka berlari keluar dan melihat sekelompok tentara menyeret para perwira yang diculik, beberapa sudah dibunuh, mereka ketakutan dan lari kembali ke Jakarta, sebagian besar ke rumah masing-masing, lainnya ke markas Gerwani, di mana Sudjinah dan Sulami, sekretaris organisasi biasanya tidur. Itulah pertama kali ketua Gerwani mendengar adanya penculikan jenderal dan kudeta karena tidak ada dari mereka yang hadir di Lubang Buaya pada malam itu.”
Tuduhan Angkatan Darat mengenai keterlibatan Gerwani dalam G30S disebarkan melalui media massa miliknya yaitu Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Isi tuduhan ini terlihat dari kisah-kisah penangkapan anggota Gerwani yang biasanya diawali dengan tuduhan-tuduhan seperti ‘pelacur’, ‘pemotong alat kelamin jenderal’, atau ‘telah membunuh jenderal’.
Bertentangan dengan tuduhan tersebut, ternyata hasil visum jenazah para perwira menunjukkan fakta yang berbeda. Hasil visum dari para perwira yang terbunuh dicantumkan Benedict Anderson di dalam karyanya, How Did The Generals Die. Ia menemukan hasil visum ini saat mencari di antara fotokopi stenografi pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dari Letnan Kolonel Angkatan Udara Heru Atmodjo. Visum ini dilakukan oleh lima ahli forensik. Tim ini dikumpulkan pada Senin, 4 Oktober, hasil dari perintah Jenderal Suharto sebagai Pangkostrad ke kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RPSAD). Tim terdiri dari dua dokter militer (termasuk Brig. Jen. Dr. Roebiono Kertopati yang terkenal), dan tiga spesialis forensik sipil yang berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tersenior di antara dokter-dokter sipil ini adalah Dr. Sutomo Tjokronegoro yang pada saat itu adalah dokter forensik paling ahli di Indonesia. Selain Roebiono Kertopati dan Sutomo Tjokronegoro, dokter-dokter lainnya adalah Frans Pattiasina, Liauw Yan Siang dan Lim Joe Thay (Anderson, 1987:114).
Mereka bekerja selama 8 jam, dari 4 Oktober pukul 16.30 hingga 5 Oktober pukul 00.30, di ruang operasi RSPAD. Masing-masing dari ketujuh laporan mengikuti format yang sama:1) pernyataan dari instruksi Mayjen. Suharto kepada kelima ahli tersebut; 2) identifikasi jenazah; 3) deskripsi tubuh, termasuk pakaian dan ornamen; 4) rincian dari luka-luka yang terdeteksi; 5) kesimpulan dengan mempertimbangkan waktu dan penyebab kematian; 6) pernyataan oleh kelima ahli, dalam sumpah, bahwa pembedahan telah dilakukan secara menyeluruh dan benar (Anderson, 1987:109).
Koran Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha memuat berita mengenai keadaan jenazah pada 5 Oktober 1965, padahal para dokter masih melakukan visum. Angkatan Bersendjata memuat foto-foto yang diburamkan dari jenazah-jenazah yang sudah membusuk tersebut, mendeskripsikan kematian mereka sebagai ‘perbuatan biadab berupa penganiayaan yang dilakukan di luar batas perikemanusiaan’. Berita Yudha menuliskan, ‘bekas-bekas luka di sekujur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalut tubuh-tubuh pahlawan kita’. Mayjen Suharto sendiri menyatakan bahwa “jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala betapa kejamnya pengaaniayaan yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September”.
Sangat bertolak belakang dengan fakta yang disebutkan oleh Anderson, hasil temuan ahli forensik menyatakan bahwa tidak ada satupun mata korban yang dicungkil, semua penis mereka masih utuh: bahkan dikatakan bahwa empat korban disunat dan tiga tidak disunat. Jenderal Yani, Panjaitan dan Harjono meninggal akibat tembakan di rumah mereka sementara Jenderal Parman, Suprapto, Sutoyo dan Letnan Tendean dibunuh setelah dibawa ke Lubang Buaya. Walaupun meninggal di Lubang Buaya, mereka semua tewas karena luka-luka tembakan, termasuk luka tembakan yang berakibat fatal di kepala. Prof. Dr. Arif Budianto (sebelumnya bernama Liem Joe Thay), juga mengatakan bahwa semua jenazah masih berpakaian lengkap seperti yang dipakai terakhir. Jenazah Ahmad Yani memiliki kelainan gigi berupa munculnya gigi di antara gigi seri dan taring atau mesio dentist dan bola matanya copot dan mencelat keluar dikarenakan saat ia dilemparkan kepalanya jatuh terlebih dahulu ke dalam sumur. Dengan adanya desas-desus tentang penis korban, para dokter melakukan penelitian yang lebih teliti lagi tentang hal tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa penis ketujuh perwira tersebut jangankan terpotong, bekas luka iris saja tidak ada.
Walaupun hasil visum berkata tidak ada pengebirian dan penyiksaan, koran Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha tetap memberitakannya. Rekayasa penyiletan kelamin tersebut kira-kira adalah ide Guy Jean Pauker, pekerja RAND Corporation dan agen CIA yang terinspirasi dari novel Emile Zola berjudul Germinal. Keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam G30S dikarenakan pada masa Perang Dingin, AS memandang bahwa Indonesia di bawah Sukarno sudah bertindak seperti negara komunis dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negara-negara komunis. Lepasnya Indonesia dari pengaruh AS akan menjadi kehilangan besar, karena Indonesia dianggap sebagai domino terbesar di Asia Tenggara, bukan hanya karena jumlah penduduk dan luas wilayah yang besar, tetapi juga karena sumber alamnya yang melimpah ruah.
‘Germinal’ karya Emile Zola yang menjadi basis cerita penyiksaan tujuh perwira TNI-AD
Tuduhan terhadap PKI dan Gerwani ini menjadi justifikasi militer dalam merebut kekuasaan, dengan alasan mengamankan keadaan. Pihak militer Angkatan Darat kemudian akan berkembang menjadi pemerintah Orde Baru disertai kebohongan mengenai G30S dan diikuti oleh kejahatan lainnya, yaitu pembantaian 78.000 (menurut komisi pencari fakta pimpinan Menteri Negara Oei Tjoe Tat), 1 juta (menurut Kopkamtib) atau 3 juta (menurut Sarwo Edhie Wibowo, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat) manusia yang terlibat atau dituduh terlibat PKI.
Gerwani menempati posisi khusus dalam narasi Angkatan Darat mengenai G30S. Gerwani dituduh sebagai pelaku langsung yang menyiksa dan membunuh para perwira. Selain itu, anggapan lain juga berkembang bahwa perempuan Gerwani adalah penyimpang seksual, tercermin dari pidato Ine Sukarno, Ketua Kowani pada April 1999 yang mengatakan bahwa Gerwani mendukung lesbianisme dan bertujuan membentuk sebuah pelacuran.
Hasil pemberitaan oleh Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha adalah karangan. Cap yang dibangun mengenai Gerwani tergambar dari tanggapan masyarakat yang menganggap Gerwani sebagai pelacur, pemotong alat kelamin jenderal, atau telah membunuh jenderal, juga sebagai lesbian dan pendiri pelacuran. Dampak dari cap tersebut adalah Gerwani mengalami penangkapan, penyiksaan dan kekerasan seksual serta kecaman dari masyarakat. Hingga saat ini cap terhadap Gerwani masih bertahan di dalam masyarakat bahkan setelah setengah abad peristiwa G30S-PKI.
Dalam membahas masalah ini, saya menggunakan teori Politik Seksual dan Amplifikasi Penyimpangan sebagai pisau bedah analisa. Sebagai perempuan, anggota Gerwani diserang seksualitasnya yang pada akhirnya memiliki dampak yang berbeda dari korban laki-laki. Oleh karena itu, untuk memperkuat dan memperdalam analisis, digunakan pemikiran feminis.
Teori Politik Seksual pertama kali dicetuskan oleh Kate Millett dalam bukunya Sexual Politics yang diterbitkan pertama kali pada 1970. Rosemarie Tong mengkategorikan pemikiran ini ke dalam pemikiran feminis radikal-libertarian. Dalam istilah ‘politik seksual’, istilah ‘politik’ yang digunakan di sini artinya bukan sekedar rapat, anggota dewan, dan partai. Istilah ‘politik’ maksudnya adalah hubungan yang disusun sesuai struktur kekuasaan di mana satu kelompok manusia dikendalikan oleh kelompok lainnya. Kata ‘politik’ digunakan saat membicarakan seks karena kata ini berguna dalam menunjukkan bentuk asli dari status seks (jenis kelamin) yang berubah-ubah. Secara ideologis, politik seksual memperoleh persetujuan melalui ‘sosialisasi’ pada kedua jenis kelamin mengenai aturan patriarkis berkenaan dengan temperamen, peran, dan status. Temperamen maksudnya adalah pembentukan kepribadian manusia sesuai dengan kategori seksual maskulin dan feminim, didasarkan pada kebutuhan dan nilai-nilai kelompok penguasa, diatur oleh apa yang mereka hargai dalam kelompoknya juga apa yang mereka anggap pantas bagi bawahan: agresi, kecerdasan, motivasi, dan keampuhan pada laki-laki; pasivitas, tidak acuh, ketaatan, bermoral, dan ketidakampuhan pada perempuan. Ini dilengkapi oleh faktor kedua, peran seks, yang mengatur tata perilaku, gestur dan sikap bagi tiap seks. Dalam bentuk kegiatan, peran seks memberikan pelayanan domestik dan perawatan bayi kepada perempuan, sedangkan semua pencapaian, kepentingan, dan ambisi manusia kepada laki-laki. Peran yang perempuan terbatas pada tahap pengalaman biologis. Oleh karena itu, hampir semua kegiatan yang dapat dideskripsikan sebagai tindakan manusia dan bukan tindakan hewan (karena hewan juga melahirkan dan merawat anak-anaknya) diberikan kepada laki-laki. Lalu, tentu saja status juga mengikuti susunan yang sama. Jika kita analisa ketiga kategori di atas, dapat dibagi status sebagai komponen politik, peran sebagai komponen sosiologis, dan temperamen sebagai komponen psikologis. Mereka yang mendapat status tinggi cenderung mengadopsi peran tuan, karena mereka yang pertama mengembangkan temperamen dominan.
Mengenai revolusi seksual, Kate Millet menuliskan;
“Sebuah revolusi seksual membutuhkan berakhirnya larangan serta pandangan tabu seksual tradisional, khususnya mereka yang paling mengancam pernikahan monogami patriarkal: homoseksualitas, seks di luar nikah dan seksualitas remaja. Aura negatif yang mengelilingi aktivitas seksual harus dihapuskan, bersamaan dengan standar ganda dan pelacuran. Tujuan dari revolusi adalah kebebasan seksual yang tidak ternodai oleh dasar-dasar kasar dan eksploitatif secara ekonomi dari ikatan seksual tradisional.”
Usaha yang dilakukan tidak berakhir pada revolusi, namun reformasi seksual. Revolusi seksual yang terpenuhi mengharuskan berakhirnya tatanan patriarkal melalui penghapusan ideologi serta fungsinya melalui sosialisasi diferensial pada jenis-jenis kelamin pada bidang status, temperamen, dan peran. Selagi ideologi patriarkal hanya direformasi, tatanan sosial esensial patriarkal akan tetap ada. Karena sebagian besar orang tidak punya ide lain, alternatif dari ideologi patriarkal yang kelihatannya hanya berupa kekacauan. Tatanan sosial memerlukan subordinasi perempuan; tetapi bagi kaum konservatif yang diperlukan adalah susunan keluarga dengan penghambaan perempuan di dalamnya. Patriarki adalah suatu keharusan dalam sistem keluarga. Kepala keluarga adalah bawahan dari pemerintah, sementara anggota keluarga adalah pengikut dari kepala keluarga. Pemerintahan otoriter menyukai sistem patriarkal ini karena atmosfir dari negara fasis dan kediktatoran sangat bergantung pada karakter patriarkis masyarakat.
Teori kedua berasal dari Stanley Cohen. Dalam bukunya, The Creation of the Mods and Rockers, ia menggunakan amplifikasi penyimpangan Leslie Wilkins untuk menjelaskan hubungan antara media massa dan kepanikan moral. Dalam amplifikasi penyimpangan media massa adalah sumber utama untuk pengetahuan masyarakat mengenai penyimpangan dan masalah sosial. Amplifikasi penyimpangan terjadi diawali dari masyarakat yang menciptakan simbol-simbol yang dapat diidentifikasi dari para ‘penyimpan’. Lalu media massa beroperasi untuk mempublikasikan peristiwa yang dianggap penyimpangan, menyebabkan tersebarnya keyakinan bahwa yang dibilang menyimpang ini jahat. Peran media dalam membuat kepanikan moral adalah: (1) Menyusun agenda — memilih penyimpang atau peristiwa masalah sosial yang bernilai berita; (2) Mentransmisikan citra — menyebarkan klaim dari pembuat klaim dengan mempertajam atau mendangkalkan retorika kepanikan moral; atau (3) Memecah kesunyian, membuat klaim.
Dalam amplifikasi kekerasan, gambaran media atau yang disebut Cohen sebagai inventori mengenai penyimpangan mengalami pemburaman. Situasi yang diartikan dan diberikan oleh media massa menjadi gambaran yang diterima masyarakat mengenai penyimpangan dan bencana. Dari penggambaran ini akan muncul reaksi, orang-orang menjadi marah, membentuk teori dan rencana, membuat pernyataan, dan menulis surat ke redaksi koran. Gambaran media atau inventori dikaburkan dalam tiga cara; melebih-lebihkan dan distorsi, prediksi, dan simbolisasi.
Pelebih-lebihan terhadap inventory terwujud dalam pelebihan keseriusan peristiwa, jumlah yang terlibat, juga jumlah dari kerusakan dan kekerasan, ditunjukkan melalui headline sensasional, kosakata hiperbola dan pelebihan elemen-elemen tersebut dalam berita. Selanjutnya adalah prediksi. Prediksi adalah asumsi tersirat di dalam setiap berita bahwa apa yang terjadi dapat terjadi lagi dan adanya prediksi dalam fenomena sosial semacam ini akan menyebabkan kekacauan karena, kalau prediksinya tidak terjadi maka akan dibuat laporan palsu agar terjadi. Terakhir adalah simbolisasi. Komunikasi massa sangat bergantung kepada kekuatan simbolik dari kata-kata dan citra. Dalam simbolisasi terdapat tiga proses, sebuah kata menjadi simbol dari status tertentu (penyimpang); objek-objek (gaya rambut dan pakaian) menyimbolkan kata; akhirnya objek-objek itu menyimbolkan status. Cara simbolisasi efektif lainnya adalah penggunaan wawancara dramatis dan ritualistik dengan perwakilan kelompok yang dianggap menyimpang. Melalui simbolisasi dan metode distorsi lainnya, citra menjadi lebih dianggap sebagai hal yang benar dan mengabaikan kenyataan.
Dalam amplifikasi penyimpangan, dibutuhkan jumlah komunikasi yang cukup untuk menyebarkan isu. Media massa menyebarkan berita dengan menggunakan stereotipe (cap yang tidak benar) tentang bagaimana penyimpang bertindak menggunakan simbol-simbol yang diciptakan masyarakat. Sensasionalisasi salah satu mekanisme dalam amplifikasi penyimpangan. Agen kontrol (seperti polisi) menentukan tindakan apa yang dapat disebut sebagai penyimpangan. Taktik kontrol yang digunakan agen kontrol terkena dampak sensionalisasi dan simbolisasi media massa tadi, sehingga pihak-pihak yang tidak menyebabkan gangguan tetapi memenuhi simbolisasi penyimpang (misalnya gaya rambut dan pakaian seperti anak punk) akan ditindak. Cohen lalu merujuk Becker yang menyatakan bahwa seseorang diberi label sebagai penyimpang bukan karena ia telah melanggar peraturan tetapi karena telah menunjukkan rasa tidak hormat ke penegak hukum.
Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan penulis adalah artikel dari koran Berita Yudha dan kutipan artikel koran Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha dari buku serta artikel jurnal. Penulis menggunakan buku Saskia Wieringa Penghancuran Gerakan Perempuan: Politik Seksual di Indonesia Pasca kejatuhan PKI dan artikel jurnal Benedict Anderson, ‘How Did the Generals Die?’. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis teks feminis. Sara Mills dalam Feminist Stylistics (1995) menuliskan bahwa analisis teks dapat dilakukan pada tiga tingkatan: analisis pada tingkat kata, analisis pada tingkat kalimat, dan analisis pada tingkat wacana.
Dengan teknik di atas, saya menganalisis kasus ini seperti berikut: patriarki adalah sistem struktur sosial dan praktik-praktik di mana laki-laki mendominasi, mengopresi dan mengeksploitasi perempuan. Sistem ini terwujud dalam bentuk di antaranya negara dan institusi kebudayaan seperti media. Negara adalah struktur patriarkal, di mana patriarki tertanam dalam prosedur dan cara menjalankannya. Oleh karena itu, patriarki selalu dilibatkan dalam setiap langkah atau kebijakan yang diambil oleh suatu negara.
Amerika Serikat melakukan usaha-usaha untuk menjauhkan Indonesia dari komunisme. Sementara menurut tulisan David Easter (2005), bukan hanya negara Amerika Serikat saja yang terlibat dalam kampanye anti-komunis di Indonesia, tetapi juga Inggris, Australia dan Malaysia. Mereka memandang Sukarno sebagai ancaman. Information Research Department of Foreign Office, badan Inggris yang mengkhususkan diri pada propaganda terselubung mendirikan South East Monitoring Unit di Singapura dengan tujuan mempropagandakan bahwa PKI dan komunis Tiongkok adalah ancaman. Amerika Serikat menggunakan CIA untuk menggambarkan PKI sebagai musuh Sukarno dan instrumen dari Tiongkok yang digambarkan ingin menjajah Indonesia.
Koran Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha menuliskan bahwa para perwira mengalami penyiksaan dan pengebirian. Ini dikarenakan Angkatan Darat menguasai media dengan melarang media massa yang dicap sebagai ‘Pendukung Gerakan 30 September’. Angkatan Darat juga mengambil alih kendali atas kantor berta nasional Antara. Gerwani digambarkan sebagai pembunuh dan pengebiri para perwira, femme fatale (perempuan berpenampilan cantik tetapi berbahaya), penyihir dan penyimpang seksual. Penggambaran-penggambaran ini adalah wujud dari media yang sarat misogini dengan tujuan mengamplifikasi penyimpangan Gerwani dan mencap mereka sebagai perempuan jalang.
Ketakutan terhadap perempuan kuat adalah wujud dari politik seksual. Kekuatan sebagai temperamen dominan semestinya adalah milik laki-laki, karena temperamen ini dibutuhkan untuk mencapai status tinggi. Status tinggi ini disediakan oleh patriarki sebagai milik laki-laki saja. Oleh karena itu menurut teori Politik Seksual, perempuan diberikan tuntutan temperamen pasif dan taat, lalu membatasi peran hanya menjadi melahirkan dan mengasuh anak. Ini juga sesuai dengan pemikiran feminis radikal kriminologi yang menyatakan bahwa kejahatan adalah tindakan laki-laki untuk mendominasi perempuan, memaksa perempuan menjadi ibu dan budak seksual .
Wieringa (2003) menuliskan wujud dari ketakutan ini adalah juga dipicu dari pengebirian yang digambarkan dilakukan oleh Gerwani terhadap para perwira. Pengebirian metaforis ini membuat bagian masyarakat konservatif, terutama tentara dan laki-laki konservatif, ketakutan. Ketakutan ini seakan terwujud saat pengebirian metaforis menjadi ‘nyata’ dalam pemberitaan Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha. Ni Wayan Ariati P. (2010) juga mengatakan bahwa ini sama dengan Dewi Durga. Perempuan kuat digambarkan secara negatif sebagai Durga-Uma dalam cerita Sudamala atau Rangda dalam cerita Calon Arang yang harus ditaklukan laki-laki sakti. Ketakutan masyarakat ini seakan-akan terwujud dalam cap perempuan jalang terhadap Gerwani. Akibatnya, masyarakat mengalami kepanikan moral. Pemberitaan berisi ungkapan kebencian itu menyebabkan terjadinya kejahatan kebencian, yaitu penyiksaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan anggota Gerwani. Kejahatan kebencian terhadap Gerwani ini tidak dianggap kejahatan oleh sebagian besar masyarakat karena didasarkan pada militerisme dan patriarki.
Konstruksi cap perempuan jalang terhadap Gerwani dibangun menggunakan bahasa bergender, yaitu bahasa-bahasa yang menggunakan konstruksi sosial gender. Gerwani adalah ‘sukmawati’, ‘pelacur’, ‘berparas cantik’, ‘wanita setan’, ‘memberikan layanan seks’. Seluruh istilah ini lahir dari konstruksi sosial gender. Laki-laki tidak akan ditulis sebagai sukmawati atau berparas cantik atau sedang memberikan layanan seks, karena dalam masyarakat patriarkis, laki-laki dan perempuan diperlakukan berbeda dalam semua bidang, termasuk memiliki sebutan yang berbeda dalam bahasa. Laki-laki adalah ‘sukmawan’, tidak cantik melainkan ‘tampan’, juga bukan merupakan pemberi layanan seksual, di mana berdasarkan konstruksi sosial gender laki-laki diharapkan untuk menginginkan dan mengejar seks, sehingga posisinya adalah ‘penikmat layanan seksual’.
Bahasa yang sedemikian rupa digunakan untuk membangun konstruksi bahwa Gerwani gagal melakukan feminimitas sesuai tuntutan konstruksi sosial gender. Penilaian berhasil atau gagalnya perempuan memenuhi tuntutan konstruksi sosial gender feminim juga dibentuk oleh laki-laki. Jika perempuan gagal memenuhi tuntutan femiminimitas, dalam kasus ini Gerwani, maka ia harus dihukum dengan label jalang. Label ‘jalang’ bertujuan untuk mempertahankan dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Jelas bahwa penggunaan bahasa dan pembangunan konstruksi ini disengaja.
Cap perempuan jalang terhadap Gerwani adalah kejahatan tersembunyi menurut prisma kejahatan Lanier dan Henry. Walaupun ia tersembunyi, namun ia tetaplah kejahatan karena secara tidak langsung menyebabkan dampak kerugian yang besar. Selain itu, konstruksi ini merupakan kejahatan karena menurut perspektif kriminologi feminis, konstruksi perempuan jalang adalah konstruksi yang didasarkan pada dominasi laki-laki, di mana kekerasan berbasis gender adalah usaha untuk melanggengkan dominasi tersebut. Dominasi laki-laki diwujudkan dalam dominasi politik dan perempuan dihilangkan agensi politiknya. Maka dapat disimpulkan, bahwa konstruksi perempuan jalang terhadap Gerwani dalam koran Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha adalah kekerasan berbasis gender.
Kesimpulannya, Gerakan 30 September 1965 membuat Gerwani atau Gerakan Wanita Indonesia, salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia dengan program-program pendidikan dan advokasi demi kemajuan rakyat, dianggap sebagai organisasi terlarang terdiri dari perempuan-perempuan pelacur. Mereka diserang secara seksual, dipenjara, dan dibunuh oleh aparat negara maupun rakyat yang mereka perjuangkan selama ini. Terbaliknya posisi Gerwani disebabkan oleh koran Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang dengan mengabaikan tanggung jawab media massa memberitakan berita bohong mengenai G30S dan Gerwani. Pemberitaan-pemberitaan ini adalah hasil dari amplifikasi penyimpangan untuk membentuk konstruksi perempuan jalang terhadap Gerwani. Amplifikasi ini menyebabkan kepanikan moral serta kebencian luar biasa dari masyarakat terhadap Gerwani. Masyarakat patriarkis menyerang Gerwani yang digambarkan bertentangan dengan ‘kodrat kewanitaan’ mereka.
Konstruksi perempuan jalang ini tidak lain adalah usaha untuk mengembalikan perempuan ke posisi subordinat, karena Gerwani sebagai gerakan perempuan telah mengancam dominasi laki-laki dan kepentingan institusi patriarkis seperti militer serta negara. Tindakan ini setelah dianalisis adalah sebuah bentuk kekerasan berbasis gender terhadap Gerwani, karena dari motivasi serta cara-caranya semua didasarkan pada konstruksi sosial gender patriarkis untuk menghukum perempuan yang dinilai gagal memenuhi tuntutan feminimitas.
Pesan saya bagi masyarakat adalah agar selalu kritis dalam mengawasi dan menegur media massa yang membuat berita tanpa verifikasi dan mengandung ungkapan kebencian. Media massa juga bertanggung jawab untuk mengawasi mutu wartawannya dan melarang penggunaan kata-kata, stereotip-stereotip seksis yang merendahkan dan melukai perempuan. Pers juga memiliki kewajiban untuk berpihak pada kebenaran dan kebaikan masyarakat umum tanpa dipengaruhi kepentingan politik apapun. Negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan pers tanpa menunggangi media dengan kepentingan politik. Negara juga harus memiliki sanksi bagi media penebar ungkapan kebencian dan propaganda. Negara harus secara resmi mengakui adanya Peristiwa 1965, memberikan keadilan serta memulihkan nama baik korban, terutama Gerwani. Negara juga harus mengakui penggelapan sejarah yang dilakukan rezim Orde Baru dan menggunakan versi sejarah yang sebenar-benarnya agar kejahatan ini tidak terulang.
“Gerwani Bukan Tukang Potong Alat Kelamin Jenderal, Itu Hanya Rekayasa Koran-Koran Angkatan Darat!” merupakan versi ‘jurnal burjo’ dari Tugas Karya Akhir yang ditulis oleh Lidya Apriliani yang berjudul “Konstruksi Perempuan Jalang terhadap Gerwani dalam Koran ‘Berita Yudha’ dan’ Angkatan Bersendjata’ paska G-30-S sebagai Kekerasan Berbasis Gender”. Kritik, pertanyaan, dan saran bisa kalian kirimkan ke lyxaprl@gmail.com.

Sumber: Medium

0 komentar:

Posting Komentar