Senin, 29 Januari 2018

Survei Wahid Foundation: Komunis dan LGBT Paling Tak Disukai

Reporter: 

Arkhelaus Wisnu Triyogo |  

Editor: 

Kodrat Setiawan

Senin, 29 Januari 2018 20:44 WIB


Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid. Dok. TEMPO/Rizki Putra

Jakarta - Survei Wahid Foundation tentang tren toleransi sosial keagamaan di kalangan perempuan muslim Indonesia menyebut kelompok komunis serta lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sebagai kelompok yang paling tidak disukai. Survei tersebut dilakukan di 34 provinsi dengan sekitar 1.500 responden pada Oktober 2017.
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengatakan fenomena ini menunjukkan adanya peningkatan retorika tentang anti-komunisme. “Ini hubungannya isu yang dipakai untuk menyerang Presiden Jokowi (Joko Widodo). Intinya, ini politik sekali,” ujarnya saat mempresentasikan hasil survei di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 29 Januari 2018.
Menurut Yenny, hasil survei ini menarik lantaran kelompok komunisme menjadi kelompok yang terimajinasikan. Sebab, kata dia, kelompok yang disebut komunis ini tidak termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. “Ini yang terimajinasikan dan tidak kelihatan, tetapi langsung diterima,” ucapnya.
Berdasarkan survei pada Oktober 2017, kelompok komunis menjadi kelompok paling tidak disukai dengan persentase 21,9 persen. Kelompok LGBT mengikuti di posisi kedua dengan 17,8 persen dan kelompok Yahudi 7,1 persen. Ketiganya diikuti kelompok Kristen (3 persen), Ateis (2,5 persen), Syiah (1,2 persen), Cina (0,7 persen), Wahabi (0,6 persen), Katolik (0,5 persen), dan Budha (0,5 persen).
Ketidaksukaan responden terhadap kelompok komunisme ini meningkat sejak 2016. Pada 2016, kelompok komunis tidak disukai dengan persentase 16,7 persen, di bawah kelompok LGBT dengan persentase 26,1 persen.
Menurut Yenny, hasil survei ini penting karena menjadi standar mengukur intoleransi di sebuah kelompok masyarakat. Ukurannya, kata dia, makin banyak kelompok yang tidak disukai, makin tinggi intoleransi. “Standar intoleransi itu diukur apakah ketika kita punya kelompok yang tidak kita suka kita akan memberikan haknya,” tuturnya.
Yenny pun menilai perlunya mengatur ruang dialog dan komunikasi antarkelompok tersebut. Alasannya, kata dia, untuk mengukur potensi apakah kelompok-kelompok tersebut menjadi ancaman atau tidak. “Itu berdasarkan variabel nyata, bukan konsep abstrak,” katanya.

Sumber: Tempo.Co

0 komentar:

Posting Komentar