Selasa, 16 Januari 2018

Sepatu Lars dan Almamater Kita

 Amalia Lazuardie




ADA hantu berkeliaran di kampus-kampus—hantu militerisme. Terhitung sejak dua tahun terakhir, muncul tren membuat kuliah umum atau public lecture di kampus-kampus dengan mengundang tokoh militer sebagai keynote speaker-nya. UIN Jakarta[1], UI[2], IPB[3], UNAIR[4], dan UNPAD[5] adalah sederet kampus beken yang telah mengadakan kegiatan ini. Judul atau materi kuliahnya bisa macam-macam, tapi semua itu dibingkai dalam satu tema: kemajemukan dan persatuan bangsa. Jumlah peserta yang hadir tak main-main, biasanya mencapai ratusan, bahkan ribuan. Mereka semua mahasiswa.
Tren ini, tentu saja, memunculkan kembali ingatan panjang tentang hubungan antara mahasiswa dengan militer yang punya ketegangan historis, khususnya beberapa dekade lalu, sekaligus memantik pertanyaan: Jika dulu mahasiswa-militer punya hubungan yang antagonistik, mengapa kini mahasiswa menaruh antusiasme tinggi dalam mengikuti kuliah tersebut? Selain itu, konten materi yang dihadirkan juga memunculkan pertanyaan lainnya: Bagaimana konsepsi kemajemukan dan persatuan yang produksi militer jika melihat hubungan sejarah panjang militer dengan beberapa peristiwa kekerasan komunal antar etnik/agama di masa lalu?
Hal-hal di atas, yakni fluktuasi hubungan mahasiswa-militer dan diskursus kemajemukan bangsa yang direproduksi militer, saling berkait erat satu sama lain dan tak bisa dipisahkan. Namun begitu, mari kita jawab satu-satu.
***
Di pertengahan tahun 1960-an, saat konstelasi politik nasional memanas dan memuncak pada transformasi politik secara besar-besaran, hubungan mahasiswa-militer muncul ke permukaan dalam bentuk aliansi politik. Polarisasi berbagai kekuatan ke dalam kubu komunis dan anti-komunis mendorong militer (Angkatan Darat) dan mahasiswa (terutama mahasiswa muslim dan anti-Soekarno)—bersama kelompok-kelompok keagamaan—membentuk aliansi politik untuk memukul habis kekuatan komunis (Aspinall, 2005: 21-22). Mereka bersama-sama menggulingkan Orde Lama dan menggantinya dengan format politik yang nyaris sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
Namun demikian, hubungan keduanya menjadi kompleks. Konsolidasi formasi kekuasaan baru memberikan militer tempat yang sangat luas untuk mendominasi proses berjalannya politik. Harold Crouch (2007: 222-223) menjelaskan dominasi ini dimulai dengan pemberian mandat kepada militer untuk “memulihkan” keadaan nasional yang sedang kacau-balau. Melalui Kopkamtib dan BAKIN, militer memiliki akses tak terbatas untuk mengendalikan situasi, termasuk mengendalikan urusan-urusan politik dalam negeri. Hilmar Farid (2005) lebih jauh mengatakan bahwa dominasi militer dalam menopang Orde Baru dimulai dengan penyingkiran kelas (komunis) di berbagai tempat secara sistematis. Tanah-tanah di desa-desa yang dimiliki basis petani komunis (BTI) direbut dan diduduki oleh militer, begitupun yang terjadi pada aktivis buruh di perusahaan perkebunan di Sumatera (SOBSI). Perebutan dan pendudukan ini, kata Farid, bukan cuma perkara luas tanah atau perkebunan, tapi menunjukkan perubahan secara radikal relasi kekuasaan yang sebelumnya menempatkan aktor sipil (petani & buruh) sebagai aktor penting politik menjadi tunduk tanpa perlawanan di bawah militer. Setelahnya, kekuasaan militer dalam mengontrol urusan politik dalam negeri benar-benar mutlak.
Tak terkecuali mahasiswa. Rust en orde yang ditegakkan Orde Baru mensyaratkan tertibnya segala elemen-elemen sosial dari kericuhan politik. Dalam arti ini, “tertib” punya makna politis yang khusus, yakni mesti sesuai dengan asas-asas ketertiban militer. Maka hubungan kekuasaan beserta elemen-elemen sosial di dalamnya dirakit ulang menurut norma dan nilai yang terkandung dalam militer—atau dengan kata lain, milterisme.
Mahasiswa ditertibkan melalui serangkaian kebijakan, mulai dari SK No. 28, Sistem Kredit Semester (SKS) sampai NKK/BKK. Namun begitu, sebetulnya penertiban mahasiswa sudah dimulai sejak mereka mendeklarasikan diri sebagai “kekuatan moral” (moral force) (Boudreau, 2004: 109). Hal ini punya implikasi yang dalam sebab dengan begitu rejim akan mengakui protes dan gerakan mahasiswa sebagai problem moral ketimbang problem politik yang struktural. Mahasiswa tidak diperbolehkan mengorganisir diri dalam bentuk gerakan massa sebab bentuk gerakan ini dianggap sebagai gerakan politik yang punya tujuan menggoyang sistem. Tak jarang label komunis dipakai dalam konteks ini. Sumber daya politik dan organisasi mahasiswa yang dibantukembangkan militer di tahun 1960-an tidak dapat digunakan dalam rangka membentuk gerakan. Protes dan kritik hanya boleh dilayangkan sejauh ia tidak mengganggu ukuran stabilitas yang sudah ditentukan negara. Dengan kata lain, aktivisme mahasiswa tidak pernah keluar dari, meminjam istilah Suryadi Rajab (1991), “panggung mitologi” yang sengaja diciptakan Orde Baru untuk menundukkan gerakan mahasiswa itu sendiri.
Di sisi lain, tersirat wacana pengintegrasian mahasiswa—dan seisi kampus—ke dalam formasi elit kekuasaan negara. Selain label kekuatan moral, mahasiswa dipandang sebagai teknokrat masa depan yang akan mengisi struktur pemerintahan. Ada konstruksi ideal bahwa mahasiswa adalah subjek berfikir yang “menghabiskan waktunya dengan membaca, menulis, melakukan riset; bukan turun ke jalan-jalan” (Aspinall, 2005: 120). Bahkan, kredo moral acap kali digunakan aparat negara untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa sebagai kumpulan “anak-anak nakal” yang kurang bermoral dan terdidik—melalui simbol rambut gondrong, celana robek, dll. Oleh sebab itu, mahasiswa mesti mendefinisikan dirinya sebagai lapisan elit intelegensia yang akan bahu membahu menjalankan agenda pembangunan Orde Baru dan hal ini mensyaratkan dijauhkannya politik massa dari idealitas mahasiswa dan juga idealitas kampus.
Peminggiran dari proses politik di satu sisi dan pengintegrasian ke dalam struktur kekuasaan di sisi lain membuat mahasiswa mengalami depolitisasi, yakni tersingkir dari posisi dan perannya yang bebas dan radikal di hadapan negara.
Meskipun demikian, depolitisasi ini pada kelanjutannya disadari juga oleh mahasiswa dan mendorong mereka mengorganisir diri sebagai gerakan politik. “Buku Putih” yang terbit tahun 1978 merupakan hasil analisis struktural dan sikap politik atas hal ini yang meruncing pada tuntutan untuk menggeser Soeharto dari kursi presiden.[6] Isu-isu yang disoroti cukup banyak termasuk korupsi, transparansi pemilu, hubungan eksekutif-legislatif, masalah kepartaian, pembatasan pers, dll. Isu-isu ini berangkat dari dua masalah utama, yakni kepemimpinan nasional dan sistem pemerintahan yang bobrok. Di samping itu, masalah independensi gerakan mahasiswa dan hubungannya dengan militerisme dibahas secara khusus dalam pledoi salah satu aktivis yang ditangkap dalam gerakan tersebut berjudul “Indonesia di Bawah Sepatu Lars.”
Gerakan ini memiliki skala dan intensitas yang cukup tinggi. Meski pada akhirnya kalah akibat respon militer yang secara brutal mengepung kampus dan menangkapi mahasiswa, gerakan ini menjadi memori kolektif—bersama gerakan Malari 1974—di tahun-tahun berikutnya.
Pada penghujung tahun 1980-an, bahkan, muncul platform gerakan baru mahasiswa yang lebih radikal dari sebelumnya (Aspinall, 2005: 122). Mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam komite aksi ini, yang berasal dari kelompok-kelompok studi, pers mahasiswa, dan LSM, merupakan basis massa yang berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Mereka berasal dari keluarga menengah ke bawah dan membawa isu-isu lokal seperti korupsi di kampus dan sengketa lahan. Represinya pun lebih galak dari sebelumnya. Penerapan NKK/BKK lebih keras. Banyak dari aktivis ditangkapi dan disidang. Namun begitu, gerakan mahasiswa di tahun-tahun ini lebih konfrontatif dan tanpa kompromi hingga di akhir 1990-an mereka berhasil mendepak Soeharto dari kursi kekuasaan.
***
Paska tumbangnya Soeharto, yang banyak disebut akademisi sebagai dimulainya era demokratisasi, ternyata tidak begitu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Demokratisasi hanya berjalan di aras prosedural tanpa ikut mengubah substansinya. Mengapa demikian? Sebab relasi dan pola-pola militerisme yang telah terlembagaselama tiga dekade lebih membuat relasi dan pola-pola tersebut sulit dipangkas. Vedi Hadiz (2005) menyebutnya sebagai “demokrasi yang telah dibajak”, yakni bahwa konsolidasi kekuatan oligarkis yang selama rezim Orde Baru memiliki akses kapital yang besar masih terlalu kuat dan tetap mendominasi kekuatan sipil yang lemah (termasuk kekuatan mahasiswa), yang sebelumnya diberangus.
Oleh sebab itu, kita dapat menjawab mengapa hari ini terdapat antusiasme tinggi mahasiswa menghadiri kuliah umum yang diisi tokoh-tokoh militer. Yakni karena relasi dan pola militerisme dalam institusi kampus tidak betul-betul hilang. Sebagai contoh, lihat saja, misalnya, pembubaran lapak buku serta skorsing terhadap salah satu mahasiswa perguruan tinggi karena kedapatan menyediakan buku-buku kiri. Hal ini merupakan keberhasilan militerisme Orde Baru, yakni membuat warganya tidak hanya membenci komunisme namun merasa terancam secara langsung olehnya (Farid, 2005). Padahal, salah satu prinsip institusi pendidikan adalah bebas dan ilmiah, bukan stigma masa lalu yang tanpa dasar. Statolatri ala Gramsci sebagai “bentuk pemberhalaan terhadap negara dan aparaturnya tanpa syarat” masih bercokol kuat dalam institusi pendidikan hingga kini. Tak heran ketertarikan mahasiswa terhadap kuliah umum tokoh militer sangat tinggi, sebab kampus sebagai institusi ikut mereproduksi paham militerisme yang menempatkan aparatur militer dan aparatur negara lainnya sebagai “pahlawan” yang akan menjaga bangsa dari serangan luar. Dan reproduksi pengetahuan ini dilakukan terus menerus dalam skala yang massif.
Begitu kuatnya relasi dan pola militerisme ini juga berhubungan dengan diskursus tentang kemajemukan dan integrasi yang diproduksi dan direproduksi oleh militer. Dalam kuliah umum di kampus-kampus, tema kemajemukan yang dibawakan oleh militer mengandaikan asumsi bahwa militer sebagai orang yang lebih superior dibanding rakyat sipil. Semua ini diamini oleh banyak orang. Vedi Hadiz (2011) melihatnya dalam menjamurnya pandangan “security-oriented” di kalangan para akdemisi dalam melihat akar radikalisme dan intoleransi. Pandangan ini melihat absennya negara kuat, mengacu pada rejim Orde Baru, sebagai penyebab muncul dan berkembangnya kelompok-kelompok terorisme maupun konflik-konflik horizontal berbasis agama dan etnis. Di balik pandangan ini, ada semacam simptom kerinduan tentang hadirnya kembali Orde Baru. Betapa menyedihkan.
Padahal, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa radikalisme dan terorisme muncul dan berkembang biak akibat represi rezim otoritarianisme dan perkembangan kapitalisme global paska Perang Dingin (Hadiz, 2011; Kumar, 2012). Sidney Jones (2010), misalnya, secara khusus menguraikan kebangkitan Jamaah Islamiyah yang secara sengaja diaktifkan dan dibesarkan oleh Orde Baru sebagai mesin politik untuk meraup dukungan massa. Atau Vedi Hadiz & Robison (2012) yang melihat cikal bakal Islam politik—dalam bentuknya yang moderat dan ekstrim—sebagai ekspresi kelas menengah di pertengahan tahun 1980-an yang bertepatan dengan masa-masa Orde Baru memperjuangkan aspirasi populis umat Islam.
Bahkan, lebih jauh, Hermawan Sulistyo (2001) menguraikan isu-isu kekerasan etnis dan agama di lingkaran angkatan bersenjata secara internal dan eksternal di masa-masa Orde Baru dan setelahnya. Terbelahnya militer ke dalam faksi “merah putih” dan faksi “hijau” diakibatkan oleh manuver politik Soeharto yang ingin mendulang suara kelompok-kelompok Islam di awal tahun 1990-an. Faksi “hijau”, yang mewakili faksi Islam di tubuh tentara, seringkali juga memanfaatkan hal ini untuk meraih pengaruh di lingkungan militer maupun di lingkungan masyarakat.
Tak hanya itu, bahkan dalam perkembangan politik paska jatuhnya Soeharto, isu kekerasan komunal berbasis etnis dan agama digunakan oleh militer untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan mereka dan memecah belah gerakan massa. Sederet peristiwa seperti operasi “dukun santet” di Banyuwangi, konflik Ambon muslim-kristen di Jakarta dan Ketapang, serta Dayak-Madura di Kalimantan diduga kuat diprovokasi oleh militer. Amuk massa tahun 1998 juga menunjukkan bagaimana pembantaian etnis Tionghoa di Jakarta merupakan strategi militer untuk mengubah watak konflik yang tadinya vertikal menjadi horizontal. Selain itu, isu sensitif ini juga dimainkan tentara dalam memecah gerakan massa sebagaimana terjadi setelah pendirian Pam Swakarsa yang membelah kubu demonstran menjadi kubu yang mendukung dan menolak Habibie sebagai presiden.
Dari sini, secara umum, diskursus kemajukan maupun isu perpecahan etnis dan agama memiliki wajah ganda bagi militer. Di satu sisi hal ini dapat mengancam keutuhan bangsa dan tubuh militer itu sendiri. Namun di sisi lain, isu etnis dan agama dapat dijadikan faktor untuk merestorasi ketertiban akibat ricuhnya kondisi politik, sebagaimana pada demonstrasi 98, tentunya ketertiban yang sesuai dengan asas-asas militeristik.
***
Maka, ketertarikan mahasiswa terhadap kuliah umum tokoh militer mengenai kemajemukan bangsa menunjukkan secara jelas bahwa logika militerisme yang bercokol kuat selama 32 tahun Orde Baru tidaklah mati seturut pembangunan demokrasi. Perkembangan politik belakangan justru memperlihatkan sebaliknya, yakni kecenderungan kuat penokohan militer sebagai pahlawan dalam institusi pendidikan sekelas kampus yang dianggap otoritatif dalam menjaga kemajemukan dan menanamkan pengetahuan tentangnya.
Maka jangan heran, jika Perppu Ormas begitu disambut hangat oleh kalangan-kalangan kampus dalam bentuk “penangkalan” terhadap radikalisme dan terorisme. Bahwa Perppu menggambarkan imaji negara yang kuat, sebagaimana Orde Baru, diamini oleh kampus dan mahasiswanya. Juga jangan heran jika sejarah militer yang kelam terhadap mahasiswa kini dielu-elukan bak pahlawan super, sebab kampus tidak menyediakan iklim yang kondusif bagi pembongkaran sejarah-sejarah kelam Orde Baru, misalnya, sejarah tentang 1965.***
Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta
____
Kepustakaan:
Aspinall, Edward, 2005. Opposing Soeharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford: Stanford University Press.
Boudreau, Vince, 2004. Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia. New York: Cambridge University Press.
Crouch, Harold, 2007. The Army and Politics in Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.
Farid, Hilmar, 2005. “Indonesia’s original sin: mass killings and capitalist expansion, 1965-66”, dalam Inter-Asia Cultural Studies, Vol. 6, No. 1, hlm. 3-16.
Hadiz, Vedi, 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Hadiz, Vedi, 2011. “Indonesia Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 30, No. 1, hlm. 3-38.
Hadiz, Vedi R. & Richard Robison, 2012. “Political Economy and Islamic Politics: Insights from the Indonesian Case”, dalam New Political Economy, Vol. 17, No. 2, hlm. 137-155.
Jones, Sidney, 2010. “New Order Repression and the Birth of Jemaah Islamiyah”, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (ed.), Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in honour of Harold Crouch. Canberra: Australian National University Press.
Rajab, Suryadi, 1991. “Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru”, dalam Prisma, No. 10. Diakses dari http://ui.progresif.org/wacana/panggung-mitologi-dalam-hegemoni-negara-gerakan-mahasiswa-di-bawah-orde-baru/
Sulistyo, Hermawan, 2010. “Greens in the Rainbow: Ethnoreligious Issues and the Indonesian Armed Forces”, dalam Robert W. Hefner (ed.), The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.

—————-
[6] “Buku Putih” versi bahasa Inggris lihat di sini: “White Book of the 1978 Students’ Struggle”, dalam Indonesia, Vol. 25 (April 1978), hlm. 151-182.

Sumber: Indoprogress

0 komentar:

Posting Komentar