Selasa, 14 September 2010

Kisah Kematian Seorang Jenderal Yang Loyal Hingga Titik Darah Penghabisan

14-09-2006

MALAM SEMAKIN LARUT di kawasan Jalan Prof.Dr.Soepomo, Jakarta. Jarum jam hampir menujukan angka sebelas, saat Atit melangkah menuju ruang kerja sang paman: Mayor Jenderal KKO AL(Korps Komando Angkatan Laut) Hartono. Maksud hati ingin berpamitan untuk pulang ke rumahnya di Tanjung Priuk, namun apa daya belum sempat meraih gagang pintu, gadis kecil belasan tahun yang masih duduk di bangku SMP itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara tangan menggebrak meja, disusul oleh bentakan keras sang paman: “Saya hanya takut kepada Saptamarga!”

Saptamarga adalah tujuh pasal yang harus dipatuhi oleh para prajurit TNI (Tentara Nasional Indonesia). Dalam setiap upacara militer, pasal-pasal itu kerap dibacakan dan menjadi pengingat bahwa mereka terikat pada sumpah tersebut.

Alih-alih melanjutkan niatnya, Atit malah memutuskan untuk balik badan saja. Ia mafhum, sebagai seorang pejabat, pamannya itu pasti sedang sibuk membicarakan hal-hal penting terkait pekerjaaannya sehari-hari. Terlebih saat itu, ia tahu ada beberapa orang yang nampaknya tamu penting tengah dihadapi oleh pamannya. Singkat kata, malam itu Atit pun pulang ke Tanjung Priuk tanpa sempat bertegur sapa dengan Hartono.

Tengah malam telah berlalu. Hari memasuki Rabu, 6 Januari 1971. Sekitar jam satu, Hartono keluar dari ruang kerja dan memanggil pembantunya untuk membuatkan dua cangkir kopi. Selanjutnya, tak jelas apakah pesanan kopi itu lantas disuguhkan langsung ke ruang kerja atau diterima di luar ruang kerja oleh Hartono.

“Pembantu rumah yang semula mengaku dipesani untuk membuat dua cangkir kopi oleh suami saya, pada perkembangan selanjutnya justru menyangkal pengakuannya tersebut,” ujar Grace Barbara Walandaow (76) yang tak lain adalah istri dari Hartono.

Menjelang adzan subuh, seperti biasa, Nyonya Prawirosoetarto ibunda Hartono bergegas menuju dapur untuk ikut menyiapkan sarapan. Saat menuju dapur inilah, sekilas perempuan sepuh ini melihat Hartono tengah berbincang-bincang dengan dua tamunya di ruang depan. Baru saja akan bersiap-siap membuat sarapan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara kaca pecah yang datang dari tempat Hartono tengah berbicara dengan dua tamunya tersebut. Tanpa ba bi bu, Nyonya Prawirosoetarto bergegas lari ke depan dan begitu menyaksikan pemandangan di ruang tamu, lemaslah sekujur tubuhnya…

“Saya temukan Hartono terduduk di kursi dengan darah membasahi bagian belakang kepala. Di sampingnya kaca jendela pecah berantakan kena tembakan…”demikian pengakuan Nyonya Prawirosoetarto seperti dicatat oleh Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa.

DI DUNIA TENTARA, khususnya di Angkatan Laut Republik Indonesia, Hartono bukanlah nama yang asing. Selain dikenal sebagai Panglima KKo AL yang kharismatik dan tegas, loyalitasnya terhadap Presiden Sukarno tak perlu diragukan lagi.”Hitam komando Bung Karno, Hitam tindakan KKo, putih komando Bung Karno, putih tindakan KKo…”katanya dalam sebuah pidato di depan anak buahnya.

Kata-kata Hartono itu sesungguhnya bukan sekadar gertak sambal atau isapan jempol belaka. Buktinya, saat Jakarta “dikuasai” kelompok Letnan Jenderal Soeharto cs pasca Gerakan 30 September yang gagal tersebut, dari basisnya di Surabaya, Hartono konon sudah menyiapkan 30.000 prajurit KKo untuk menggempur ibu kota. “Akan tetapi, Presiden Sukarno tidak pernah mengeluarkan komando yang sedang mereka tunggu-tunggu tersebut…” tulis sebuah laporan penelitian dari tim Insititut Studi Arus Informasi (ISAI) yang berjudul Bayang-Bayang PKI.

Bahkan seolah ingin meyakinkan Presiden Sukarno akan kekuatan para loyalisnya, tepat pada peringatan ulang tahun Bung Karno yang ke-65 (6 Juni 1966), KKo AL secara besar-besaran melakukan “unjuk gigi” di Surabaya. Selain mengerahkan hampir seluruh pasukan, semua senjata berat seperti tank dan amphibi juga dikeluarkan untuk melakukan pawai keliling Surabaya.

“Barisan pasukan tersebut diikuti ribuan massa, panjangnya sampai 30 km…”tulis Jenderal Soemitro dalam Perjalanan Seorang Prajurit Pejuang dan Profesional : Memoar Jenderal TNI (Purn.) Soemitro (Saleh A. Djamhari ; editor Soegiarto, Ramadhan Kartahadimadja)

Barisan prajurit KKo dan massa rakyat itu berpawai dalam “semangat yang menggila”. Aksi-aksi provokatif pun dilontarkan mereka terhadap instansi-instansi yang dinilai pro Soeharto. Sebagai contoh, saat dengan sengaja barisan tersebut melewati rumah dinas Panglima Kodam Brawijaya di Jalan Raya Darmo, massa secara bergelombang menyerukan kata-kata: “Bung Karno Jaya! Bung Karno Jaya!”

Sebelumnya Hartono juga sempat memerintahkan 2 batalyon KKo untuk membuka pos taktis di Yogya, menyusul maraknya aksi menentang Bung Karno di kota gudeg tersebut. Menurut Julius Pour, inilah bentuk “tantangan” Hartono untuk Soeharto yang saat itu juga tengah mengerahkan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) ke Yogya untuk memburu orang-orang PKI dan para Sukarnois.

Banyak kalangan yang menyebut loyalnya Hartono kepada Bung Karno terkait soal ideologi. Kendati seorang militer, Hartono disebut diam-diam adalah seorang penganut marhaenisme garis keras. Soal ini dibantah oleh Nenny Hartono. Menurut putri ketiga dari Hartono tersebut, kesetiaan sang ayah terhadap Presiden Sukarno semata-mata hanya karena disiplin tentara.

“Papa itu seorang tentara tulen. Ia enggak peduli politik. Karena yang ia tahu Bung Karno adalah pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata yang segala perintahnya harus dituruti sesuai saptamarga, maka siapapun yang melawan Bung Karno maka ia akan menjadi musuhnya pula,” ujar Nenny.

Hal ini juga diakui oleh Grace Walandaow. Menurut perempuan Manado kelahiran Surabaya itu, suaminya memang tak pernah menampik tugas apapun yang dibebankan kepada dirinya. Ketika di akhir tahun 60-an, Hartono “didubeskan” oleh Soeharto ke Korea Utara, ia tak mengeluh atau berniat menolak perintah tersebut. “Saya tak berhak menolak perintah atasan. Saya ini seorang tentara,”ujar Grace menirukan ungkapan sang suami kepadanya.

KETIKA DIKABARI tentang meninggalnya sang suami, Grace dan keempat putrinya yang berada di Pyongyang sama sekali kurang percaya. Sebelumnya, Hartono berpamitan akan berangkat ke Tokyo untuk mengikuti pertemuan para duta besar Indonesia se-Asia Pasifik di sana. “Sebelum ulang tahun Mama, saya pasti pulang,”ujarnya.

Tapi manusia hanya bisa berencana. Begitu sampai Tokyo dan bertemu dengan beberapa rekan KKo-nya yang juga “didubeskan” (diantaranya Laksamana Mulyadi), Hartono mendengar “kabar miring” sekitar KKo AL. Selain mendengar kabar “penciutan” kekuatan KKo, ia juga diberi informasi tentang adanya Operasi Lumba-Lumba. Itu adalah upaya pemerintah Soeharto membersihkan Angkatan Laut dari anasir PKI. Hartono lantas menjadi berang. Ia lantas memutuskan usai pertemuan, tidak pulang ke Pyongyang namun langsung ke Jakarta untuk memastikan soal ini dan jika perlu memprotes keputusan tersebut.

Selama di Jakarta, Hartono banyak bertemu dengan beberapa kalangan penting. Mulai bertemu Laksamana Sudomo (KASAL) hingga menemui Soeharto yang saat itu sudah menjadi presiden. Ia juga ditenggarai bertemu dengan beberapa tokoh intelijen seperti Yoga Sugama dan Ali Moertopo. “Bahkan sebelum ke Jakarta, ia sempat ke Bangkok untuk bertemu dengan H.R. Dharsono yang dikenal sebagai tukang kritik kebijakan Bung Karno. Untuk apa dua perwira tinggi yang memiliki pandangan berbeda saling bertemu?”ujar Julius Pour.

Tak jelas apa hasil dari pertemuan-pertemuan tersebut, kecuali pada 6 Januari 1971, Hartono memutuskan untuk balik ke Pyongyang. Namun beberapa jam sebelum ia menaiki pesawat, sebutir peluru keburu menghabisi hidupnya. Sang loyalis yang sedang marah dan kecewa itu akhirnya terbungkam.

Grace sendiri dan keempat putrinya baru bisa pulang ke Jakarta, dua minggu setelah sang suami dikebumikan di Taman Malam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Maklum saja, pesawat rute Pyongyang-Moskaw-Singapura-Jakarta hanya ada sekali penerbangan dalam dua minggu.

Ketika melukisakn kedatangannya ke Jakarta 42 tahun lalu, Grace mengenangnya sebagai persitiwa yang tidak menyenangkan. Dalam situasi berduka, dari Bandara Udara Kemayoran, ia langsung dilarikan petugas dari Corps Polisi Militer (CPM) ke Mess Perwira Tinggi AL di Kwini guna menghindari kejaran para wartawan.

“Beberapa media saat itu menyebut saya tak mau memberikan keterangan apapun. Yang benar saya tidak diberi kesempatan untuk berbicara dengan wartawan,”kenang Grace.

Saat di Kwini, dua perwira tinggi AL yakni Laksamana Sudomo dan Laksamana Madya TNI. H. L. Manambai Abdulkadir datang menemui Grace. Dalam pertemuan itu, tercetuslah “versi Sudomo” tentang penyebab kematian Hartono.

“Grace, ini sudah jelas ia…”ujar Sudomo seraya memperagakan dengan tangannya adegan seseorang menembak kepala dengan sepucuk pistol. Sudomo berkilah Hartono nekat bunuh diri karena kekecewaannya terhadap keputusan pemerintah yang menciutkan KKo

“Tapi walau demikian, biar keluarga dan anak-anak senang, kami memakamkan Pak Hartono di Kalibata, “ ujar Abdulkadir.

Grace naik pitam. Dengan menahan marah, ia kemudian berkata kepada dua lelaki yang tak lain rekan suaminya di AL tersebut: “ Saya tidak peduli ia dimakamkan di mana. Sekalipun ia dimakamkan di depan rumah, saya tidak masalah. Apapun yang terjadi dengan Hartono, ia adalah tetap suami saya dan ayah dari keempat putri saya.”

Hingga kini, Grace dan seluruh keluarga besar Hartono tak pernah mempercayai kata-kata Sudomo dan Abdulkadir tersebut. Bagi mereka, sangat naïf jika karena urusan “penciutan” tersebut, Hartono lalu nekat mengakhiri hidupnya. “Saya kenal Hartono, dan saya yakin dia tak akan melakukan itu, walau separah apapun situasinya,”ujar Grace.

Grace memang wajar menyangsikan Hartono mau menembakan Makarov berperedam suara itu ke kepalanya sendiri. Ia malah menyebut pistol yang terletak di meja tamu rumahnya saat Hartono terbunuh, bukan sebagai milik suaminya. “Saya tahu pistol yang selalu dibawa suami saya adalah jenis FN,”ungkapnya. Selain itu, pihak keluarga besar Hartono juga mempertanyakan pihak CPM yang tak membawa jasad Hartono ke Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) namun ke Rumah Sakit Pusat Angkatran Darat (RSPAD).

“Padahal jarak rumah kami dengan RSAL lebih dekat dibandingkan ke RSPAD,”kata Grace.

Hasil otopsi pun tak pernah mereka dapatkan. Bahkan alih-alih surat hasil otopsi, barang-barang milik almarhum pun tak juga dikembalikan sampai sekarang. “Termasuk kaset lagu anak-anak Chicha Koeswojo yang akan Papa hadiahkan buat kami, ikut raib juga,”kenang Nenny Hartono.

Dipulangkannya jasad Hartono dalam kondisi sudah berpeti dan dilarang dibuka kembali, menjadikan keluarga besar Hartono semakin curiga bahwa kematian sang jenderal tidak wajar. Bahkan kepada program Lacak di Trans TV pada 2004, Letnan Jenderal (KKo) Ali Sadikin mengatakan lebih gamblang: “Saya mendapat informasi bahwa Hartono dibunuh akibat terjadinya konspirasi tingkat tinggi,”kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Bukan hanya keluarga besar Hartono, Korps Marinir AL pun terkesan kurang percaya terhadap versi Sudomo dan pemerintah (disampaikan oleh Menlu Adam Malik saat itu) bahwa kematian Hartono karena pendarahan otak. “…bukti yang ditemukan tidak mendukung motif untuk melakukan bunuh diri,”ujar Letnan Jenderal (Marinir) Kahpi Suriadireja, Komandan Jenderal Marinir 1977-1988.

Empat tahun setelah pernyataan para sesepuh Marinir di Trans TV itu, Mayjen (Marinir) Nono Sampono seolah memuncaki “ketidakpercayaan” korps elite AL itu terhadap isu sumir kematian sang senior 37 tahun sebelumnya. Dengan bangga, mereka mengabadikan nama “Hartono” untuk nama kesatriaan Markas Korps Marnir di Cilandak. ” Saya yang didaulat untuk ikut membuka secara resmi penyematan nama tersebut,”kenang Grace.

Kembalinya nama “Hartono” di lingkungan AL memang seolah sudah seperti suratan takdir. Seperti kata sebuah pepatah: pada akhirnya kehormatan memang selalu datang untuk yang berhak.
http://www.kaskus.co.id/thread/528c5eedc3cb17e416000007/kisah-kematian-seorang-jenderal-yang-loyal-hingga-titik-darah-penghabisan

0 komentar:

Posting Komentar