Selasa, 07 September 2010

Tapol Lampung


7.13 - Ngatmin
Lampung, 27 Februari 2001

Lahir di Jogjakarta sekitar tahun 1931. Pada era revolusi Ngatmin kerap membantu pengadaan logistik (makanan) para laskar dan tentara. Pada Bulan Februari 1956 Ngatmin hijrah ke Lampung. Ia bekerja sebagai penderes (penyadap) getah karet. Ia masuk menjadi anggota Sarbupri dan BTI. Alasannya semata-mata karena tidak ada pilihan lain. Walaupun sebagai anggota Sarbupri dan BTI, namun ia tidak pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan Sarbupri atau BTI.

Setelah peristiwa G 30 S ia dikenakan wajib lapor. Ia tidak tahu bahwa di Jakarta telah terjadi Peristiwa G 30 S. Ia baru tahu tentang peristiwa itu setelah ia dikenakan wajib lapor oleh pihak Kodim. Ketika Ngatmin masih menjalani wajib lapor, tahun 1967 pecah peristiwa penangkapan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Gerakan PKI Malam. Ngatmin pun termasuk dalam kelompok orang yang harus ditangkap dan ditahan.

Agar selamat dari siksa yang terlalu berat, Ngatmin mengiyakan seluruh tuduhan yang diajukan oleh petugas pemeriksa. Ketika diinterogasi Ngatmin dan tapol lainnya ditelanjangi. Kemaluannya sempat disetrum oleh petugas pemeriksa.

Jika hari besuk, ia tidak dapat menemui istrinya yang datang membesuknya. Ia hanya melihat istrinya dari lubang yang terdapat pada pintu gerbang. Selama masa penahanan Ngatmin dikenakan kerja paksa. Antara lain untuk mencari pasir di kali. Selama masa kerja paksa mereka (para tapol) tidak mendapatkan upah sepeserpun. Mereka harus mencari makan sendiri. Ia juga dipekerjakan secara paksa di kebun karet milik peusahaan swasta. Kompensasi dari perusahaan atas kerja para tapol dinikmati oleh pihak militer (komandan Kodim)

Pada 1973 Ngatmin dibebaskan. Surat keputusan bebas sebenarnya sudah keluar tujuh bulan sebelum ia dan tapol lainnya dibebaskan. Setelah bebas, Ngatmin dikenakan wajib lapor. Ketika wajib lapor ia diminta membawa surat keterangan bebas. Dan Ngatmin menyerahkannya. Namun sayang, Ngatmin tidak diperkenankan untuk mengambilnya kembali. Hingga kini ia tidak memegang surat pembebasan dirinya.

Saat bebas ia langsung diterima oleh para tetangga. Tidak ada tetangga yang mengejeknya, sebab seluruh penghuni desa adalah keluarga tapol.

7.10 - Supariah
Lampung, 26 Februari 2001

Supariah lahir pada 1944 di Kebumen Jawa Tengah, pendidikan SGB. Tahun 53 pindah ke Lampung mengikuti orang tua yang bekerja pada perkebunan di Lampung. Ketika masih di SGB ia diperbantukan untuk mengajar SD Melati yang pada waktu itu dikelola oleh Gerwani. Organisasi massa yang pertama kali ia masuki adalah Pemuda Rakyat. Ia merasakan bahwa spirit yang terkandung dalam Pemuda Rakyat selaras dengan cita-citanya membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan.

Setelah tamat SGB, Supariah juga mengajar pada TK Melati yang juga dikelola oleh Gerwani. Dan banyak anak-anak tentara yang bersekolah di sekolah tersebut. Organisasi lain yang ia geluti selain Pemuda Rakyat adalah Lembaga Pendidikan Nasional yang mengurus tentang sistem pendidikan nasional. Dalam organisasi ia kerap melakukan Turba atau turun langsung ke masyarakat untuk memberikan pendidikan-pendidikan kepada masyarakat. Aktif dalam kegiatan yang bernafaskan faham komunisme sebenarnya mendapat larangan dari orang tua, namun karena ia dapat meyakinkan akhirnya orang tua pun dapat memahami.

Pascaperistiwa G 30 S, ia mulai merasa akan ditangkap seperti teman-temannya yang lain yang sudah ditangkap terlebih dahulu. Oleh ayahnya Ia diminta mengajar di SD Muhammadiyah, demi alasan keamanan. Ia pun diterima mengajar di SD Muhammadiyah.

Pada 28 September 1967 pukul 5 pagi, Supariah dijemput oleh anggota Puterpra. Supariah kemudian ditahan selama dua minggu. Lepas dari penahan, Ibu Supariah masih diperbolehkan mengajar, kali ini ia mengajar untuk SD Transmigrasi. Karena menyandang sebagai bekas tahanan, banyak pimpinan perkebunan atau pejabat desa yang ingin memanfaatkannya, terutama untuk kepentingan seks mereka. Namun semuanya dapat dielakan oleh Ibu Supariah.

Supariah menikah dengan seorang lelaki yang dengan jenjang usia dan pendidikannya jauh di bawah Ibu Supariah. Namun Supariah tidak pernah mempermasalahkan. Sebab komitmen menikahnya hanyalah semata-mata ingin menolong keluarga sang suami yang amat miskin karena sang kepala keluarga (bapak mertua Supariah) yang juga ketua Sarbupri pergi menghindari penangkapan dan pembunuhan.

7.7 - Rosinem
Lampung, 27 Februari 2001

Lahir di Natar, orangtua telah meninggal sejak jaman pendudukan Jepang. Ia tidak tahu kapan ia dilahirkan, sebab orang tua tidak memiliki catatan kelahirannya. Semasa kecil ia ikut paman dan neneknya. Keluarganya adalah keluarga miskin. Pamannya bekerja pada sebuah pabrik tali rami.

Setelah menginjak dewasa, Rosinem bekerja pada perusahaan perkebunan karet. Pekerjaan yang ia lakukan adalah membersihkan mangkok yang digunakan untuk menyadap getah karet. Pada 1955 menikah dengan seorang laki-laki dari Jawa. Walaupun telah menikah kehidupan Rosinem masih tetap miskin. Suaminya hanya bekerja sebagai penyadap karet.
Ketika telah memperoleh anak tiga, tiba-tiba suaminya dikenakan wajib lapor karena dituduh terlibat dalam BTI dan Sarbupri. Setelah dikenakan wajib lapor, tahun 1967 suaminya ditangkap karena dituduh terlibat dalam Gerakan PKI Malam di Lampung.

Selama suaminya ditangkap, praktis Rosinem harus membiayai hidupnya, anak-anaknya dan suaminya di penjara. Ia harus masuk ke hutan untuk mencari kayu yang kemudian hasilnya dia jual. Jam tiga pagi ia harus bangun dan menggendong kayu bakar yang akan dijual. Ia pun harus berkeliling desa lain untuk menjajakan kayu bakarnya. Setelah tidak lagi menjual kayu bakar, Rosinem bekerja sebagai penyadap getah karet.

Ketika operasi penangkapan dengan alasan adanya PKI Malam, orang-orang kampung dikumpulkan. Mereka ditanyai apakah melihat orang-orang yang tidak dikenal yang diduga PKI Malam bersembunyi di kampungnya. Malam berikutnya, warga kampung yang umumnya laki-laki kembali dikumpulkan. Kali ini mereka dikumpulkan untuk ditangkap dan ditahan dengan alasan terlibat dalam Gerakan PKI Malam. Kecuali lelaki jompo, seluruh laki-laki penghuni kampung dibawa ke kantor Kodim.

Pada waktu itu ada kebijakan, jika warga desa melihat orang tak dikenal bersembunyi di kampungnya, mereka wajib memberitahukan kepada ketua kelurahan. Pada waktu itu Rosinem sempat melihat orang yang tidak ia kenal sedang bersembunyi dekat rumahnya, namun karena ia diancam oleh orang tak dikenal tersebut, maka ia tidak melaporkannya pada ketua kelurahan.

Untuk membesuk suaminya ia harus menempuh perjalanan selama 3 jam jalan kaki. Ia tidak mungkin naik angkutan umum, sebab tidak ada uang untuk itu. Untuk biaya hidup saja ia harus banting tulang. Selama besuk suaminya ia kerap melihat tapol-tapol lain, termasuk adiknya, dalam keadaan luka-luka akibat pukulan para petugas pemeriksa.

Rosinem tidak pernah tahu aktivitas suaminya selain sebagai petani dan penyadap getah karet. Pada 1973 suaminya dibebaskan. Setelah bebas, suaminya dikenakan wajib lapor satu bulan sekali dan kerja paksa di kebun komandan kodim.

Jika suaminya kerja paksa untuk mencangkul sawah sang komandan, Rosinem juga harus ikut kerja paksa dengan menanami lahan yang sudah dicangkuli oleh suaminya. Jika tidak mau melakukan kerja paksa, maka mereka diancam akan dimasukkan lagi ke penjara. Jika wajib lapor, suaminya selalu dimintai uang Rp 1000 oleh petugas Kodim.

0 komentar:

Posting Komentar