Senin, 06 September 2010

Tapol Jawa Tengah


3.70 - Suyoso
Solo, 10 Januari 2001 - 06/09/2010

Suyoso adalah anggota DPR dari fraksi ABRI. Setelah Peristiwa G 30 S Suyoso ditahan. Ia dituduh terkait dengan peristiwa itu. Ia ditahan di Salemba dan Nusakambangan. Ia ditahan bersama dengan Ketua PWI Malang yang dibon dan hilang entah ke mana. Ketika sedang menjalani masa penahanan, keluarganya menganggap ia sudah meninggal. Ibunya sempat membuat upacara selamatan.

Untuk membendung rasa rindu kadang ia bersenandung sebuah lagu atau menyanyikan lagu Internasionale. Rasa rindu tidak hanya menyelimuti hati dan fikiran Suyoso, anak-anaknyapun merasakan hal yang sama. Untuk mengobati rindu dengan sang ayah yang sedang ditahan, keluarganya membuatkan “makam” Suyoso. Seolah-olah Suyoso sudah meninggal. Anak-anaknya selalu berziarah ke makam itu menjelang hari raya Idul Fitri.

Di Nusakambangan ada seorang tapol yang akan dieksekusi menitipkan pesan untuk keluarganya. Ia berpesan agar anak-anaknya rajin belajar dan jangan berharap ayahnya akan pulang. Tapol itu juga mengucapkan salam perpisahan untuk selama-lamanya kepda tapol lain.

Dari petugas penjara yang pernah menyaksikan proses eksekusi, Suyoso pernah memperoleh cerita bahwa ada tiga orang tapol yang dieksekusi, satu diantaranya adalah seorang perempuan. Sebelum dieksekusi perempuan itu bertanya, “Apa dosa saya. Kok saya sampai mau dihukum mati?” Tapol itu tetap dieksekusi. Oleh tapol lain, tempat pemakamannya ditandai dengan pohon pisang dan nanas.

Suyoso banyak memperoleh cerita tentang kehidupan para tapol. Antara lain cerita seorang perwira ABRI yang lebih memilih pacaranya yang seorang anggota PKI ketimbang mempertahankan pangkatnya. Ada juga cerita tentang latihan militer yang dilakukan di Pandan Simping, Klaten. Peserta latihan diminta melakukan latihan menusuk orang. Sedangkan yang dijadikan obyek tusukan adalah manusia sungguhan, mereka adalah para tapol.

Suyoso juga menceritakan rumahnya yang dirampas oleh militer. Padahal sebelum terjadi Peristiwa G 30 S anggota militer tersebut menyewa sebagian dari rumah Suyoso, namun setelah Peristiwa G 30 S justru keluarga Suyoso diusir oleh si penyewa tersebut.


3.69 - Triantoro
Solo, 27 Juni 2001

Triantoro lahir pada 3 Januari 1939 di desa kecil Sudimanik, Grobogan, Jawa Tengah. Ayah dan kakeknya adalah seorang dalang. Selain mendalang, ayahnya juga piawai memainkan tari topeng. Ayahnya sempat menikah dengan seorang puteri Belanda. Triantoro mengenyam pendidikan hingga SMA. Ia juga sempat mengajar salah satu SMA di Solo. Minimnya penghasilan sebagai guru mendorongnya beralih profesi menjadi dalang.
Bakat mendalang yang mengalir dari kakek dan ayahnya membuat Triantoro tidak menemui halangan berarti dalam menekuni profesi barunya ini. Baginya, yang terpenting dalam wayang adalah misi dan pesan moral yang inigin disampaikan lewat cerita atau lakon, bukan musik atau tarian.

Kepiawaiannya dalam mendalang membuatnya kerap diundang pentas. Baik untuk acara pesta kawin, khitanan atau acara-acara lainnya. Undangan tidak hanya datang dari dalam atau luar kota, namun juga dari Istana Negara. Beberapa kali Triantoro pentas di Istana Negara dan disaksikan langsung oleh Presiden Soekarno. Oleh Soekarno ia dinilai belum cukup bagus, dan dianjurkan untuk belajar lebih banyak lagi.

Triantoro bergabung dengan organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Keterkaitanyya dengan organisasi inilah yang membuatnya ditangkap dan ditahan di kantor polisi Purwodadi pada tanggal 5 November 1965 Dari kantor polisi Purwodadi Triantoro dibawa ke kamp penahanan Semarang, kemudian dibawa ke Ambarawa dan Nusakambangan. Tahun 1970, dari Nusakambangan, ia dan ratusan tapol lainnya dibuang ke Pulau Buru hingga 1979.

Di Pulau Buru, kemampuannya mendalang ia gunakan untuk menghibur diri dan tapol-tapol lainnya. Awal masa pembebasan ia kaget dengan dunia luar, ia pun merasa kesulitan untuk meleburkan diri ke dalam masyarakat. Lebih-lebih banyak orang yang melakukan penolakan terhadap dirinya. Istri pun sudah menikah dengan laki-laki lain.

Setelah melewati masa krisis kepercayaan diri, ia pun dapat bergaul dengan masyarakat dan dalang-dalang yang cukup kondang. Seperti Anom Suroto dan Manteb. Ia pun kembali menemui dunianya, dunia pedalangan.


3.67 - Haryono
Solo, 20 Juli 2000

Haryono lahir di Solo, 13 Agustus 1935. Ayah bekerja sebagai kondektur, ibunya pembatik. Pendidikan terakhir SMA bagian ekonomi. Perubahan politik dan pemerintahan membuat sekolahnya tersendat-sendat.

Sejak kecil ia sudah ikut berjuang membantu tentara bergerilya. Menginjak dewasa, ia mulai bersimpati dengan organisasi Pemuda Rakyat, Kepanduan Pemuda Indonesia. Menurutnya, pada masa itu kegiatan PKI sangat merakyat: membantu petani atau keluarga miskin untuk memperoleh tanah, memperjuangkan kenaikan upah kaum buruh, memperbaiki rumah warga yang roboh.

Pada 1963, ia menikah dengan seorang wanita yang juga aktif dalam organisasi. Mereka bertemu dalam kegiatan koor yang selalu pentas untuk perayaan-perayaan organisasi.

Pasaca peristiwa G 30 S istri Haryono ditangkap dan ditahan. Namun tidak beberapa lama dibebaskan kembali. Karena khawatir dikejar-kejar dan ditangkap oleh seorang anggota Pemuda Marhaen yang ingin menikahinya, istri Haryono kemudian pergi keluar kota dan bekerja sebagai pengasuh bayi.

Setelah beberapa kali lolos dalam upaya penangkapan, Haryono akhirnya tertangkap juga. Pada masa itu penangkapan banyak dilakukan oleh anggota PNI marhaenis dan HMI. Haryono ditahan di Polres Baron, Solo.

Pada 1966 Haryono dibebaskan. Oleh tetangga ia dilaporkan sering membawa senjata api jika keluar rumah pada malam hari. Padahal, Haryono hanya membawa alat pancing, sebab ia memang suka memancing ikan di sungai. Haryono pun ditangkap dan ditahan lagi. Ia ditahan di Sasono Mulyo.

Kemudian ia dipindahkan ke kamp Balai Kota dan Penjara Solo. Pada tahun 1969 ia dipindahkan ke Nusakambangan dan selanjutnya dibuang ke Pulau Buru. Pada masa awal menjalani penahanan di Pulau Buru, para tapol mendapat makanan bulgur dengan porsi yang sangat terbatas. Setelah jagung, padi yang ditanami dan ternak yang dipelihara para tapol membuahkan hasil, barulah para tapol dapat menyantap makanan yang lebih layak. Namun demikian, tapol tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya secara bebas. Semua dalam kendali tentara penjaga unit. Selain bercocok tanam, karya tapol yang lainnya adalah menebang pohon dan menjadikannya papan. Papan-papan inipun sepenuhnya dikuasai oleh tentara.

Pada 1979, Suharyo dibebaskan. Saat berkumpul kembali dengan keluarga ia baru tahu, kalau kakak pertamanya juga ditahan pada tahun 1965 dan hilang hingga saat ini.


3.66 - Legiman
Solo, 2000

Legiman lahir pada Oktober 1928 di Kampung Baturono, Solo, Jawa Tengah. Pendidikan Sekolah Rakyat, lulus pada 1940. Sejak tamat SR ia sudah aktif dalam seni karawitan. Perannya adalah penabuh gendang. Pada masa pendudukan Jepang aktivitas karawitannya sempat terganggu.

Pada masa revolusi ia bergabung dengan Laskar Djawatan Kereta Api (DKA), kemudian Laskar Rakyat, Batalyon XVII. Ia terlibat langsung dalam pertempuran dengan tentara Belanda yang ingin menduduki Indonesia kembali. Ia sempat ditahan oleh tentara Belanda. Selama menjalani masa penahanan ia juga mengalami penyiksaan. Dari Penjara Kampung Baru Solo ia dipindahkan ke Semarang. Selama ditahan di Semarang ia diperlakukan dengan baik. Makanan yang disediakan oleh pihak Belanda juga sangat memenuhi nilai gizi yang baik, seperti roti, susu, kacang hijau dan lain-lain.

Ketika Indonesia memiliki kedaulatan sebagai negara merdeka, Legiman dibebaskan. Pada 1950 ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan. Keluar dari dinas ketentaraan ia kembali menekuni seni karawitan. Ia bergabung dengan Lekra Solo. Ia sering tampil pada acara-acara yang diadakan Pemuda Rakyat dan Pemuda Demokrat.

Saat G 30 S terjadi, ia sedang di Surabaya. Beberapa minggu ia tinggal di Surabaya. Ia sempat menyaksikan mayat-mayat mengapung di sungai Brantas. Mereka adalah orang-orang yang dituduh PKI. Tidak lama setelah kembali dari Surabaya, Legiman mendapat panggilan ke Balai Kota. Setiba di Balai Kota ia tidak diperkenankan pulang. Lagiman ditahan. Ia kemudian dipindahkan ke Penjara Kampung Baru Solo.

Ia menyaksikan banyak tapol yang mengalami penyiksaan. Termasuk terhadap tapol perempuan. Tapol perempuan tidak hanya mengalami siksaan fisik, mereka juga kerap mengalami pelecehan seksual. Pada 1967 ia dipindahkan ke Nusakambangan. Di Nusakambangan ia menyaksikan banyak tapol kurus kering karena kelaparan. Di antara mereka juga banyak yang meninggal dunia.

Baginya berbeda sekali perlakuan yang ia terima ketika menjadi tahanan tentara Belanda dan menjadi tahanan tentara Indonesia. Menjadi tahanan tentara Indonesia sangat tidak manusiawi. Jatah makan minim dan tidak layak makan. Beruntung ia mendapat tugas sebagai penggembala ternak, sehingga dapat mencari ikan, kadal, kelapa dan kura-kura untuk dijadikan menu makan.

Di sela-sela waktu senggang, Legiman belajar pijat dan terapi dari tapol lain. Di Nusakambangan para tapol saling belajar. Mulai belajar bahasa Inggris sampai service TV dan Radio. Sekitar tahun 1976 ada kunjungan dari perwakilan PBB. Secara sembunyi-sembunyi para tapol menceritakan perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami kepada perwakilan PBB. Efeknya, setelah kunjungan tersebut para tapol mwndapat kiriman kasur, susu, obat-obatan.

Pada 1978 Legiman dibebaskan dan kembali ke Solo. Pada 1981 ia menikah dan dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Untuk nafkah keluarga, ia manfaatkan pengetahuan pijat yang ia peroleh di Nusakambangan. Di kampungnya ia dikenal sebagai ahli terapi pijat.


3.63 - Marnoto
Solo

Marnoto lahir di Kampung Samaan, Solo, 10 Juni 1947. Ayahnya sudah meninggal dunia sejak ia kecil. Marnoto hidup bersama ibu dan kakak-kakaknya. Biaya pendidikan ditanggung oleh kakak-kakaknya. Keterbatasan ekonomi membuatnya berhenti bersekolah di SPG Damai pada tahun pertama. Pada April 1964, Marnoto melamar untuk menjadi anggota TNI Angkatan Laut. Ia diterima dalam kesatuan KKO. Ia kemudian menjalani pendidikan di Malang, dan ditugaskan ke berbagai tempat di Indonesia, termasuk Jakarta. Di Jakarta ia berkenalan dengan Ali Brata, seorang anggota Lekra yang juga berasal dari Solo. Jika pulang ke Solo, Marnoto sering mendapat titipan surat dari Ali Brata yang ditujukan untuk Lekra Solo.

Pada tahun 1970 Marnoto ditangkap dan ditahan. Dengan seringnya mendapat titipan surat Ali Brata, ia dituduh terliabt G 30 S. Padahal, ia hanya sebatas kenal degnan Ali Brata dan suka dengan seni yang dikuasai oleh Ali Brata.

Marnoto tidak lama menjalani masa penahanan. Ia dibebaskan lagi dan hanya menjalani wajib lapor. Namun, pada tahun 1973 Manroto ditangkap dan ditahan lagi di Cipulir, Jakarta. Dari tahanan Cipulir ia dipindahkan ke Rutan Salemba. Selama ditahan Marnoto tidak pernah mendapat kunjungan keluarga. Sebab ia tidak diperkenankan berkomunikasi dengan keluarganya.

Beruntung ia kerap memperoleh makanan dari tapol lain yang mendapat kunjungan dan kiriman makan dari keluarga mereka. Selain itu, kondisi Rutan Salemba juga sudah tidak seganas tahun-tahun awal penahanan orang-orang yang dituduh PKI.

Pada 26 Juli 1978, Marnoto dibebaskan. Setelah beberapa lama tinggal di daerah Tebet, Jakarta, ia memutuskan untuk kembali ke Solo. Di Solo ia mendapati istrinya telah menikah kembali dengan laki-laki lain. Marnoto kemudian menikah kembali dengan wanita lain. Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Marnoto dan istrinya berdagang.


3.61 - Sunarti
Solo, 19 Juli 2000

Sunarti lahir di Solo, pada 17 Maret 1934. Anak tunggal dari keluarga Islam Kejawen. Bersekolah di Sekolah Dasar milik Muhammadiyah (pada zaman Belanda) dan Sekolah Rakyat (zaman Jepang). Pendidikan SMP dan SMA ia tempuh di Yogyakarta. Pada masa clashkedua dengan Belanda, Sunarti bergabung dengan Palang Merah Indonesia. Pada saat itu terjadi penyerangan oleh tentara Belanda. Soekarno adalah tokoh yang menjadi idolanya.

Pada masa SMA ia aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Indonesia dan Kepanduan Rakyat. Tamat SMA ia mengajar Bahasa Indonesia di SKP. Dari situ ia mengenal Soeyatno, Inspektur Sekolah Dasar dan juga seorang aktivis. Mereka kemudian menikah pada tahun 1957. Mereka dikaruniai tiga orang anak.
Setelah menikah, Soeyatno menjadi anggota DPRD kotamadya dari Fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara, Sunarti aktif dalam organisasi Gerwani. Tidak ada kegiatan yang berunsur tidak baik.

Pada 1965 saat meletus G 30 S, Sunarti masih mengajar di SKP. Sekitar bulan Oktober, Sunarti mendapat kabar bahwa Suaminya ditangkap dan dibawa ke markas CPM. Setelah itu ia tidak mengetahui lagi keberadaan suaminya. Sebelum Sunarti dan suaminya ditahan, dua orang pembantu Sunarti sempat ditahan, mereka dijadikan sandera untuk menggantikan Sunarti dan suaminya. Mengetahui hal itu Sunartipun menyerahkan diri ke kantor polisi Banjarsari, dan dua pembantunyapun dibebaskan.

Beberapa kali Sunarti mengalami pemindahan tempat penahanan. Salah satunya adalah Kamp Pelantungan. Selama menjalani penahanan Sunarti kerap mengalami penganiayaan. Ia pernah dipaksa membuat tulisan tentang keterlibatannya dalam Peristiwa G 30 S. Ia kerap menyaksikan tapol lainnya mengalami pelecehan seksual. Mereka adalah tapol peprempuan yang dibon oleh petugas. Beberapa dari mereka ada yang kemudian melahirkan di kamp penahanan. Kegiatan ditahanan adalah menyulam. Kegiatan ini ia peroleh dari ibu-ibu gereja yang kerap melakukan aksi sosial untuk para tahanan.

Pada 1979, Ibu Sunarti dinyatakan bebas. Ia kembali berkumpul dengan keluarganya. Berkat ibu dan saudara-saudaranya, anak-anaknya bisa menikmati bangku kuliah. Walaupun sebelumnya anak-anaknya pernah dikeluarkan dari sekolah karena orangtuanya dinyatakan terlibat G 30 S.

Ketika bebas, Sunarti sempat canggung bertemu dengan anak-anaknya, sebab mereka memandang negatif terhadap apa yang dialami Sunarti. Sunarti paham, bahwa itu adalah satu bentuk keberhasilan propaganda Orba dalam Peristiwa G 30 S.


3.59 - Sulistiyowati
Rembang, 9 September 2000

Lahir pada 1935. Pendidikan hanya kelas tiga Sekolah Rakyat (SR). Tamat SR ia mengikuti kursus keterampilan. Termasuk kursus Materialisme Dialektika Dan Historis. Disamping itu, Sulistiyowati juga aktif dalam kegiatan Gerwani. Di organisasi ia aktif dalam program pemberantasan buta huruf. Tahun 1948 ia menikah. Suaminya seorang guru sekolah dasar. Karena di desanya kekurangan gedung sekolah, maka rumahnya dijadikan sekolah.

Pada Oktober 1965, pascaperistiwa G 30 S suami Sulistiyowati ditangkap. Ia dibawa ke kantor lurah. Sampai di sana ia dianiaya. Salah seorang penganiayanya adalah bekas muridnya. Kemudian suaminya dibawa ke kantor polisi untuk ditahan. Sulistiyowatipun sempat ditahan, namun karena orangtuanya memberikan sejumlah uang kepada petugas, Sulistiyopun dibebaskan. Ketika masih ditahan, rumah Sulistiyowati disatroni dan diacak-acak oleh anggota Ansor. Seisi rumah dihancurkan. Sebagian lagi dicuri.

Ia sempat menjenguk suaminya di kantor polisi dan Penjara Rembang. Namun bulan Januari 1966 suaminya sudah tidak ada lagi, suaminya hilang dari penjara. Ia mencari ke beberapa tempat penahan yang ada di Rembang, termasuk markas (Corp Polisi Militer) CPM, namun suaminya tidak pernah ia temukan. Pencarianpun ia lanjutkan ke kota lain, hingga ke Jawa Timur. Jika malam tiba tak segan ia tidur di emper toko pasar. Ia pun harus naik turun truk. Ia pernah dipaksa turun dari truk, sebab pemilik truk tahu bahwa ia bekas anggota Gerwani.

Dalam usaha mencari suaminya media dukunpun ia gunakan, sekalipun dukun tersebut berada di luar kota. Satu kali, ketika ia mencari suaminya di Pekalongan, rumahnya dibobol oleh pencuri. Mesin jahit dan barang berharga lainnya hilang dibawa pencuri. Ia menemukan dompet yang berisikan kartu identitas milik seseorang. Ia menduga dompet tersebut milik orang yang mencuri di rumahnya. Ia pun lapor pada polisi setempat. Sampai di kantor polisi ia justru dipukuli hingga babak belur oleh dua orang polisi. Ia dituduh akan mencemarkan nama baik organisasi pemiliki dompet yang kebetulan berasal dari organisasi Ansor.

Sejak 1999 Sulistiyowati sudah tidak lagi mencari suaminya. Pekerjaan Sulistiyowati saat ini adalah memecahkan batu kali yang besar hingga menjadi batu kerikil. Jika dijual tentu harganya tidak sebanding dengan waktu dan tenaga yang ia keluarkan.


3.22 - Tuminah
Pati, 5 September 2000

Tuminah lahir 6 Mei 1942, di Juwana, Pati. Anak ketiga dari enam bersaudara. Tahun 1959 tamat Sekolah Guru B. Tahun 1960 menikah dengan laki-laki yang juga berprofesi sebagai guru. Tuminah dan suaminya tergabung dengan PGRI non Vaksentral. Dalam organisasi tersebut Tuminah hanya sebagai anggota pasif, ia sendiri tidak tahu kalau namanya ada dalam daftar organisasi tersebut.

Tanggal 8 Agustus tahun 1961 anak pertama lahir. Anak kedua lahir pada tahun 1965. Masa-masa awal pernikahan dan memiliki anak merupakan masa-masa terberat, secara ekonomi mereka miskin dan anak mereka sakit-sakitan.

Pascaperistiwa G 30 S, rumah Tuminah didatangi oleh RPKAD. Mereka mencari suami Tuminah yang kebetulan pada saat itu sedang tidak ada di rumah. Seluruh isi rumah dan lemari diacak-acak. Beberapa hari kemudian polisi menjemput suaminya dari rumah, kemudian dinaikkan truk dan dibawa ke kamp penahanan dengan tuduhan terlibat dalam organisasi PKI dan menyimpan senjata api.

Ketika suaminya ditahan, banyak aparat keamanan, baik polisi maupun tentara yang coba menggoda Tuminah. Mulai dari cara yang sopan hingga teror. Mulai dari yang ingin menjadikannya sebagai isteri kedua, sampai yang hanya ingin menjadikannya sebagai pemenuhan nafsu belaka.

Pada masa awal penahanan, ketika menjenguk, Tuminah masih menjumpai suaminya. Namun pada tanggal 29 Maret 1966 ia sudah tidak dapat bertemu lagi dengan suaminya. Menurut petugas, suaminya dikirim ke kamp penahanan Semarang. Namun menurut beberapa saksi mata, suaminya dieksekusi dengan cara di tembak di salah satu kawasan hutan karet di Pati.
Akibat peristiwa G 30 S, Tuminah juga menerima enam bulan masa skorsing yang diberikan oleh pihak sekolah, dan menerima gaji separuh dari jumlah yang seharusnya ia terima.

Banyak hal-hal menyakitkan yang ia temui ketika akan menjenguk suaminya.di kamp penahanan. Ia diakatakan sebagai isteri PKI yang jahat dan asusila. Ada juga yang mengatakan bahwa orang PKI tidak layak dan tidak perlu dijenguk, apalagi dikirimi makanan.

Tuminah harus membiayai kebutuhan keluarga yang terdiri dari dua orang anaknya yang masih kecil, adik-adiknya, kedua orang tuanya dan kakeknya yang sudah jompo. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Tuminah harus banting tulang. Berdagang tempe, jagung dan menjahit.

Lepas masa skorsing Tuminah kembali mengajar. Sejak itu hanya satu kali ia mengalami kenaikan golongan. Awal tahun 80-an ia dipensiunkan lebih cepat dari waktu yang semestinya.


3.21 - Narohmi
Pati, 7 September 2000

Lahir di Pati, tanggal 20 Sepetmber 1936. Pekerjaan guru. Awalnya ia adalah seorang guru taman kanak-kanak. Karirnya meningkat dan dipercaya mengajar Sekolah Dasar. 25 Juni 1959 menikah dengan seorang yang juga berprofesi sebagai guru dan dikaruniai dua orang anak. Narohmi dan suaminya sama-sama menjadi anggota PGRI Non Vaksentral.

Pada tanggal 8 Nopember 1965, ketika sedang mengajar, suami Narohmi ditangkap oleh polisi. Sebelum ditangkap, rumah Narohmi sempat digeledah oleh polisi. Pada saat suaminya ditangkap, anaknya yang pertama baru berumur lima tahun dan yang kedua berumur 15 bulan. Alasan penangkapan suami Ibu Narohmi adalah membuat bambu runcing sebanyak satu truk dan ingin menjadi kepala polisi.

Sementara suaminya ditangkap, Narohmi sendiri diskors sebagai guru selama enam bulan. Setelah masa skorsing habis, Narohmi diperbolehkan mengajar kembali dengan catatan tidak akan menerima kenaikan pangkat/golongan secara berkala untuk waktu yang tidak tertentu.

Setelah suaminya ditahan dan ia diskorsing, Naomi berjualan makanan kecil yang ia titipkan ke warung-warung sekitar rumahnya. Perabot rumah satu per satu pun ia jual. Uangnya untuk modal dagang atau biaya hidup sehari-hari.

Selama suaminya ditahan, Narohmi kerap menjenguk suaminya di tahanan. Namun sejak tanggal 29 Maret 1966 ia tidak lagi bertemu dengan suaminya di penjara. Menurut para petugas, tempat penahanan suaminya di pindah ke Semarang. Selama ia tidak lagi menemukan suaminya di penjara, ia banyak mendengar kabar bahwa jika tapol sudah tidak ada di kamp, berarti sudah dibunuh.

Anak kedua Narohmi meninggal ketika suaminya masih ditahan di kamp penahanan Pati. Dalam keluarga Narohmi, hanya satu anggota keluarganya yang ditahan akibat Peristiwa G 30 S. Sedangkan dari pihak keluarga suaminya, semua anggota keluarga (kakak-beradik) ditahan dan hilang hingga sekarang.

Teman-teman sekerja dan tetangga tidak pernah ada yang menteror. Pertengahan tahun ‘80-an Narohmi sudah memperoleh hak untuk mendapatkan kenaikan golongan/pangkat secara berkala.

Kini Narohmi sudah tidak lagi mengajar. Ia bekerja pada sebuah perusahaan asuransi. Ia yakin, kalaupun suaminya sudah meningal, suaminya telah diterima di sisi Tuhan. Anak Ibu Narohmi kini sudah berkeluarga dan mengikuti jejak orang tuanya sebagai pendidik (guru).


3.18 - Sarwoto

Sarwoto lahir 23 Agustus tahun 1920 di Desa Bendo, Gondalan, Klaten Tengah. Pendidikan sekolah guru. Setelah tamat ia mengajar pada sebuah sekolah dasar. Kemudian ia direkrut menjadi prajurit Angkatan Darat. Ia sempat menjadi Kepala Regu Datasemen 2132. Pangkat terakhirnya adalah letnan dua. Ia terakhir bertugas di Corp Polisi Militer. Kemudian ia lebih memilih menjadi anggota PKI ketimbang melanjutkan karirnya dalam dunia ketentaraan. Ia juga aktif dalam organisasi kepemudaan, Pemuda Rakyat Indonesia.

Setelah pecah Peristiwa G 30 S 1965, Sarwoto masih aktif mengajar. Tanggal 28 Oktober 1966, tanpa surat perintah, ia ditangkap ketika sedang mengajar di sebuah sekolah dasar. Setelah beberapa bulan ditahan di kamp penahanan Klaten dan Solo, Sarwoto dikirim ke penjara Nusakambangan. Di Nusakambangan ditahan selama 9 tahun untuk selanjutnya dikirim ke pulau pembuangan, Pulau Buru.

Pada suatu malam Sarwoto dan 30 tapol lainnya pernah diambil dari kamp penahanan dan dibawa ke daerah sepi di Kecamatan Pandan Simping. Semua tapol, kecuali Sarwoto, diperintahkan turun dari truk dengan tangan terikat dan mata tertutup. Ketika turun semuanya dieksekusi. Sarwoto lolos dari eksekusi, lantaran salah seorang polisi militer yang menjadi eksekutor mengenalnya. Eksekutor itu pernah menjadi anak buah Sarwoto ketika ia masih di Corp Polisi Militer. Setelah eksekusi selesai, Sarwoto dikembalikan ke kamp penahanan dengan menggunakan nama “NS” dibelakang namanya. Kemudian Sarwoto dikirim ke Nusakambangan.

Dalam proses eksekusi, tentara memerintahkan warga sekitar untuk menggali lubang dan menimbun jenasah tapol yang sudah dieksekusi.
Selama ditahan ia belajar pengobatan akupuntur. Ketika dipindah ke Pulau Buru, tugas Sarwoto adalah memberi pengobatan kepada teman-temannya melalui ilmu akupuntur yang dimiliki. Di Pulau Buru Sarwoto juga dipercaya untuk menjadi wakil pendeta kristen.

Sarwoto penah terlibat dalam peristiwa ‘penculikan’ Bung Karno di Rengasdengklok dan pertempuran melawan Belanda di daerah Semarang.


3.16 - Winata
Klaten, 21 Juli 2000, 5 Agustus 2001

Winata lahir 10 Agustus 1926 di Tegalgondo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten. Pendidikan SR Lima Tahun (dahulu belum ada SR enam tahun). Tamat SR ia melanjutkan ke pendidikan menengah tingkat pertama, namun karena pecah Perang Dunia Kedua, ia tidak dapat menyelesaikan sekolahnya. Ayah Winata seorang pamong desa, dan juga anggota Syarekat Islam.

Saat terjadi perang untuk merebut kemerdekaan, ia terlibat dalam Laskar Rakyat. Front pertempuran yang ia ikuti antara lain pertempuran Ambarawa. Ia juga pernah menjadi anak buah Katamso (Perwira tinggi yang juga tewas dibunuh dalam peristiwa G 30 S di Jogjakarta) saat ia menjadi anggota Kompi 447.

Setelah tidak lagi tergabung Laskar Rakyat, ia bekerja sebagai pembantu mandor pengairan. Pada pertengahan era 40-an, Winata menjadi anggota Pesindo. Setelah itu ia kemudian menjadi anggota Pemuda Rakyat. Winata sempat menjadi Ketua Ranting Pemuda Rakyat. Disamping aktif dalam ormas, winata juga seorang pegawai pemerintahan di Pekerjaan Umum. Ia tergabung dalam Serikat Buruh Pekerjaan Umum (SBPU). Dalam SBPU ia menjabat sebagai Ketua SBPU Cabang Klaten. Tahun 1955 ia direkrut oleh SOBSI untuk menjadi Wakil Ketua SOBSI Cabang Klaten. Ia meninggalkan jabatannya dalam organisasi Pemuda Rakyat.

Di SOBSI ia mengkoordinir serikat buruh-serikat buruh yang ada dalam naungan SOBSI. Bersamaan dengan itu, di dinas Pekerjaan Umum, Winata menjabat sebagai mantri pengairan. Oleh tokoh-tokoh PKI ia dididik teori Marxisme dan Leninisme.

Dalam tahun 1965, aktivitas Winata tidak hanya meliputi Klaten, namun juga Jawa Tengah. Ketika ia baru bertugas setengah bulan di Purwokerto untuk konsolidasi buruh di sana, terjadi Peristiwa G 30 S. Winata pulang ke Klaten. Sebelum ke Klaten ia ke Semarang dahulu untuk melaporkan hasil pekerjaannya dan situasi politik pada organisasi.

Di Semarang ia melihat pasukan RPKAD pawai keliling kota Semarang. Karena banyaknya aksi penangkapan sewenang-wenang terhadap masyarakat oleh RPKAD, ia dan beberapa temannya mengorganisir buruh-buruh pabrik untuk melakukan pemogokan sebagai bentuk protes. Aksi tebang pohon pun terjadi sepanjang jalan Tegalgondo hingga Delanggu untuk merintangi mobilitas RPKAD.

Namun segala bentuk aksi protes terhadap tindakan RPKAD tidak ada artinya. Penangkapan terus berlanjut. Hingga pada akhirnya Winata dan kakaknya pun ditangkap oleh RPKAD. Pada penangkapan pertama ia hanya menginap satu malam di markas RPKAD, kemudian ia dilepaskan kembali. Untuk menghindari penangkapan berikutnya, ia dan kakaknya memilih bersembunyi. Hanya satu bulan ia dan kakaknya berhasil menghindari penangkapan oleh massa dan RPKAD. Tanggal 30 November 1965, ia dan kakaknya tertangkap.

Tahun 1970-akhir Winata dibebaskan. Namun tidak demikian halnya dengan sang kakak. Tanggal 26 Maret 1966 kakaknya diambil dari ruang tahanan. Itulah kali terakhir Winata berjumpa dengan kakaknya.


3.13 - Ibu Murni
Klaten, 24 Juli 2000

Lahir tahun 1946. Pendidikan tamat Sekolah Menengah Pertama Kanisius. Ingin melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi tidak bisa karena orang tua miskin. Tamat sekolah kemudian ia mengikuti ujian masuk calon guru. Lulus ujian masuk ia menjadi guru di sebuah taman kanak-kanak yang didirikan oleh seorang lurah di desanya. Selain mengajar, Murni juga bergabung dengan organisasi Gerwani di kampungnya.

Pasca peristiwa G 30 S banyak sekali anggota Gerwani dan anggota organisasi yang dituduh onderbouw PKI ditangkapi, Murni menjadi takut. Ia pun memilih untuk bersembunyi. Semakin lama bersembunyi ia merasa semakin tertekan. Kemudian atas dorongan orangtuanya ia memutuskan untuk menyerahkan diri ke kantor polisi. Ia berharap akan diadili jika memang ia bersama Gerwani dituduh ingin memberontak.

Ia ditahan selama beberapa hari. Setelah mengalami pemeriksaan Ibu Murni kemudian dibebaskan. Walaupun ia telah memperoleh surat bebas namun ia tidak berani untuk segera pulang. Ia khawatir jiwanya justru terancam jika ia pulang. Sebab banyak massa yang memburu orang-orang yang dituduh menjadi anggota atau simpatisan PKI. Ia memilih tetap tinggal di tempat penahanan untuk menjadi pembantu rumah tangga komandan kamp. Ia juga diperbolehkan mengajar selama di kamp penahanan.

Setelah situasi benar-benar aman ia kembali ke kampung halamannya. Di kampung halamannya ia aktif menjadi anggota PKK.


3.11 - Raharjo
Klaten, 23 Juli 2000

Raharjo lahir tahun 1935. Salah seorang adiknya ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru karena dituduh terlibat dalam Peristiwa G 30 S. Padahal adiknya tidak terlibat dalam organisasi apapun, ia hanyalah tukang kayu biasa.

Akibat dari peristiwa G 30 S itu pula rumah keluarga Raharjo dirobohkan oleh beberapa orang tapol yang diperintahkan oleh Koramil. Banyak tapol yang keberatan untuk merobohkan rumah orang tua Raharjo, namun karena dipaksa oleh Koramil akhirnya mereka mau juga.

Raharjo tidak tahu secara persis mengapa rumahnya dirobohkan. Yang ia tahu orangtuanya dituduh pembangkang. Sebelum dibongkar paksa, orangtuanya pernah diperingatkan oleh Koramil untuk membongkar sendiri rumahnya atau pergi dari rumah tersebut. Namun ayah Raharjo tetap ngotot untuk tinggal di rumah itu. Jika dipanggil Koramil dan dibentak-bentak oleh anggota koramil, orangtua Raharjo pun balas membentak.

Tanah di mana rumah itu berdiripun adalah tanah peninggalan Belanda yang jauh sebelum pembongkaran telah dibagi-bagi oleh pemerintahan desa setempat. Setelah berhasil menguasai tanah keluarga Raharjo, tanah tersebut kemudian diagi-bagikan kepada penguasa setempat. Setelah penguasa setempat memperoleh tanah, tanah itu kemudian dijual lagi kepada orang lain.

Raharjo mengatakan, bahwa beberapa hari setelah pecahnya G 30 S ada salah seorang anggota PNI menginap di rumahnya karena takut dengan orang-orang PKI. Ia (orang PNI) beranggapan bahwa jika PKI yang melakukan pembunuhan terhadap para jenderal, berarti PKI akan berkuasa dan anggota PNI akan terancam keberadaannya.

0 komentar:

Posting Komentar