Senin, 06 September 2010

Tapol Ambarawa


3.10 - Hasto
Ambarawa, 28 Juli 2000 - 06/09/2010

Hasto lahir tahun 1936. Karena jarak rumah dengan sekolahnya terlalu jauh, ia memutuskan berhenti sekolah saat duduk di kelas dua SMP. Hasto bekerja sebagai petani. ia adalah penganut aliran Sapto Dharmo. Ketika remaja Hasto kagum pada Soekarno dan Semaun. Mulai tahun 1963 ia tertarik pada hal-hal yang berbau politik. Rumahnya sering digunakan untuk menari “Genjer-genjer”. Hasto simpatik terhadap perjuangan Pemuda Rakyat dan PKI. Namun ia tidak mendaftarkan diri untuk menjadi anggota dua organisasi tersebut.

Ia baru tahu bahwa ada penculikan para Jenderal sekitar tanggal 21 Oktober 1965. Ia mendengar kabar ini dari mulut ke mulut yang mengatakan bahwa PKI berontak. Tapi Hasto tidak percaya berita bahwa PKI berontak. Bulan November Hasto ditangkap. Aliran Sapto Dharmo oleh penguasa setempat dihancurkan, karena dianggap sebagai agama PKI.

Hasto dibawa ke kantor lurah oleh dua orang polisi. Hasto tidak tahu untuk kepentingan apa dia dibawa ke kelurahan. Sampai di kantor lurah sudah banyak orang yang dikumpulkan. Kemudian Hasto dan beberapa orang lainnya dikirim ke Penjara Ambarawa. Lima hari kemudian Hasto diperiksa. Hasto dituduh akan melakukan pembunuhan terhadap para Jenderal dan memiliki senjata api.

Setelah tiga setengah bulan menghuni Penjara Ambarawa Hasto dikirim ke Nusakambangan. Setiap minggu isterinya selalu menjenguknya di Penjara Ambarawa, namun mereka tidak dapat bertemu, karena petugas melarang tapol bertemu dengan keluarga yang menjenguknya. Biasanya mereka hanya saling pandang dari jarak yang cukup jauh. Untuk komunikasi, mereka hanya membuat semacam tulisan di udara untuk menjelaskan maksud atau kata-kata mereka.

keluarganya tidak mengetahui ketika Hasto dikirim ke Nusakambangan. Di Nusakambangan Hasto menempati Kamp Permisan. Tiap hari ia hanya diberi makan segenggam biji jagung rebus. Pernah selama satu bulan ia dan tapol lainnya tidak boleh keluar dari kamp penjara. Banyak tapol yang meninggal setiap hari. Petugas pemakaman untuk tapol yang meninggal dunia adalah para tapol yang kondisinya juga sangat kurus dan lemah. Jika menggotong jenasah banyak yang tidak kuat dan terjatuh. Bahkan ada yang tidak lama kemudian juga ikut meninggal.

Napi kriminal adalah ‘tangan kanan’ pegawai penjara dalam menangani tapol. Napi kriminal sangat berkuasa atas diri tapol. Makanan yang dimakan napi kriminal jauh lebih baik daripada dimakanan tapol.

Pada satu perayaan 17 Agustus penjara mengadakan pertunjukkan wayang. Selesai pertunjukkan, gedebok pisang menjadi bahan rebutan para tapol. Mereka berebut mengambil untuk kemudian memakannya. Tapol kerap makan lumut got dan kulit pisang. Jika tapol jongkok maka posisi lutut lebih tinggi dari kepala.

Tanggal 19 Desember 1970 Hasto dibebaskan. Hasto masuk dalam pembebasan pertama bersama 18 orang tapol lainnya. Dari Cilacap ia harus menanggung ongkos sendiri.

Setibanya di rumah, isterinya kaget dan takut. Karena kondisi fisik Hasto jelas berbeda dengan saat terakhir ia berjumpa dengan isterinya. Ketika Hasto ditahan isterinya sering digoda untuk dijadikan istri oleh laki-laki lain. Setelah bebas Hasto dikenakan wajib lapor selama satu tahun di kantor lurah. Menjelang pemilu biasanya ia diminta mendukung atau memilih Golkar.

3.9 – Gatot
Ambarawa, 25 Juli 2000

Lahir tanggal 17 Agustu 1948. Memiliki enam orang adik kandung. Orangtua bekerja sebagai tukang mebel. Latar belakang Islam cukup kental dalam keluarga Gatot. Namun begitu, ayahnya tidak terlalu fanatik untuk hal pendidikan, hal ini dapat dilihat dari bagaimana ia menyekolahkan Gatot pada sekolah yang dikelola oleh Yayasan Katholik, Pangudi Luhur.

Gatot tidak tahu secara persis latar belakang kegiatan politik yang digeluti oleh ayahnya. Yang ia tahu bahwa sejak bulan November 65, setelah persitiwa G 30 S, ayahnya dikenakan wajib lapor di kantor polisi Ambarawa. Saat itu Gatot baru berusia 16 tahun dan baru saja tamat dari SLTP Pangudi Luhur. Ia juga menyaksikan beberapa tetangganya yang bernasib sama dengan ayahnya, wajib lapor ke kantor polisi.

Beberapa kali Gatot sempat diajak oleh ayahnya untuk menjenguk pamannya yang ditahan di Penjara Beteng Ambarawa. Mereka hanya melihat pamannya dan tahanan lain dari jarak sekitar 300 meter. Setelah menjalani sekian lama wajib lapor, sekitar bulan Maret tahun 1966 akhirnya ayah Gatot ditahan sewaktu memenuhi kewajibannya melapor di kantor polisi Ambarawa. Ia pun kemudian menjenguk dengan membawakan ayahnya makanan yang terbuat dari jagung, sebab makanan jatah dari sel tidak memadai. Bukan hanya dalam hal jumlah, melainkan juga dalam hal mutu.

Setelah beberapa lama ditahan di kantor polisi Ambarawa, ayah Gatot kemudian dipindah ke kamp penahanan lain. Menurut informasi, ayahnya dipindah ke kamp penahanan Salatiga. Gatot kemudian mencari ayahnya ke beberapa tempat yang ditunjukkan oleh petugas, namun Gatot tidak pernah menemukan ayahnya.

Sepeninggal ayahnya, peran kepala keluarga pun ia ambil alih. Sewaktu menjenguk, ayahnya pernah berpesan agar ia dapat menjaga dan menyekolahkan adik-adiknya yang masih kecil.

Dalam keluarga ayahnya, bukan saja ayahnya yang hilang dan tidak jelas rimbanya. Pamannya yang ia dan ayahnya pernah jenguk di penjara pun hilang. Padahal ketika pamannya ditahan, pamannya baru menikah dan isteri sang paman sedang mengandung anak pertamanya.

Salah seorang anak Gatot pernah berniat mendaftar menjadi polwan. Namun keinginannya terhalang persyaratan bersih lingkungan, karena sang kakek adalah seorang tapol.

3.8 – Yahya
Ambarawa, 28 Juli 2000

Yahya lahir di Bawen, Kabupaten Semarang. Pendidikan hanya sampai kelas empat Sekolah Rakyat. Ia tidak dapat melanjutkan sekolah karena pecah Perang Dunia Kedua. Pekerjaannya adalah tukang cukur, profesi turun temurun dari ayahnya. Yahya aktif dalam Partai Nasionalis Indonesia. Ia sempat menjadi anggota Panitia Landreform Poros Nasakom sebagai wakil dari PNI.

Setelah peristiwa G 30 S Yahya didatangi oleh polisi. Is diberi surat panggilan untuk menghadap komandan polisi Ambarawa. Yahya memenuhi panggilan tersebut. Sampai di kantor polisi ia tidak diperiksa, hanya diminta naik ke atas truk dan dibawa ke Penjara Ambarawa bersama tahanan yang lain.

Ketika Yahya ditangkap istrinya sedang hamil anak yang ketiga. Ketika Yahya dipenjara isterinya melahirkan. Beberapa bulan setelah melahirkan isteri Yahya meninggal di kali. Yahya tidak tahu apakah istrinya mati karena terperosok di kali atau karena bunuh diri. Tidak lama kemudian anak Yahya yang baru dilahirkan pun menyusul ibunya.

Setelah satu tahun mendekam di tahanan Yahya baru diperiksa. Setelah menjalani pemeriksaan Yahya dikirim ke kamp penahanan Salatiga. Di Salatiga hanya beberapa hari, menjelang tahun 1967 Yahya dibebaskan. Dalam surat pembebasan disebutkan bahwa ia adalah anggota PNI Marhaenis. Tapi tetap saja praktek diskriminasi terhadapnya sama seperti yang dialami tapol-tapol yang lain.

Dalam masa penahanan ia sering melihat tapol lain dipanggil. Dan umumnya mereka yang dipanggil pada malam hari hingga hari ini tidak pernah kembali. Porsi makanan yang disediakan oleh penjara tidaklah manusiawi. Untuk dapat bertahan hidup biasanya membangun solidaritas sesama tapol. Yang sering mendapat kunjungan atau kiriman makanan dari keluarga memberikan sebagian makanannya kepada tapol lain yang tidak dikirimi atau dikunjungi keluarganya.

3.7 – Kasdi
Ambarawa, 29 Juli 2000

Kasdi lahir tahun 1931. Ia tidak tahu secara persis kapan ia lahir, yang ia ingat hanya akhir tahun 1931. Pendidikan sempat terputus karena perang dunia kedua. Pendidikan Kasdi tidak tamat Sekolah Teknik (setingkat SMP). Tidak dapat melanjutkan karena orang tua tidak mampu.

Sebelum pecah peristiwa G 30 S ia sempat menjadi pamong desa. Ia tergabung dalam Persatuan Pamong Desa Indonesia. Setelah pecah peristiwa G 30 S Kasrin dan isterinya serta beberapa orang lainnya dikenakan wajib apel di kantor polisi kecamatan. Baru melakukan 12 kali apel Kasrin sudah dibawa ke kantor polisi dan ditahan di Penjara Ambarawa. Sedangkan istri Kasdi ditahan 21 hari dan menjalani wajib lapor selama 19 bulan.

Selama ditahan di penjara Beteng Ambarawa istri Kasdi selalu menjenguknya. Jika menjenguk isterinya hanya bisa melihat dari kejauhan sambil melambai-lambaikan tangan. Jarak antara tempat para pembesuk dan tapol lebih dari seratus meter. Hal ini dilakukan karena petugas penjara tidak mengijinkan tapol untuk bertemu keluarga yang menjenguknya.

Suatu ketika, saat sang isteri melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak-teriak memanggil Kasdi, tiba-tiba seorang petugas menendang isteri Kasdi. Padahal pada saat itu isteri Kasdi sedang hamil. Akibat peristiwa ini anak Kasdi lahir prematur dan akhirnya meninggal dunia.

Setiap pukul tujuh malam sering diadakan pemanggilan. Tapol yang dipanggil dinaikkan ke atas truk yang tertutup rapat dan dikawal tentara serta polisi. Menurut kabar yang beredar pada waktu itu, mereka yang dinaikkan ke dalam truk tersebut akan dibebaskan, tapi sampai hari ini mereka tidak pernah kembali.

Setelah ditahan di Penjara Ambarawa, Kasdi dipindah ke Nusakambangan dan menempati Blok Permisan. Makanan yang diberikan hanya gerontol (jagung pipilan) yang tidak dicuci sebelum dimasak, jumlahnyapun kurang lebih hanya 50 butir. Jika tidak gerontol maka gaplek yang sudah membusuk yang diberikan kepada para tapol. Banyak tapol yang terserang busung lapar dan akhirnya meninggal dunia.

Kasdi pernah mengurus pemakaman teman-temannya yang meninggal dunia. Karena terlalu banyak yang meninggal, sementara fasilitas pemakaman tidak dan kondisi fisik sangat lemah, sekitar 18 jenazah temannya tidak sempat terkubur. Sering kali terjadi: hari ini seorang tapol mengubur temannya yang meninggal, besok giliran tapol tersebut yang dikubur.

Oleh pihak penjara napi kriminal diberikan kekuasaan yang luar biasa terhadap para tapol. Maka sering kali para tapol mendapat perlakuan yang kasar dan kejam dari para napi kriminal.

Jika peringatan hari besar agama biasanya tapol hanya diberi sepotong ubi rebus. Suatu ketika diadakan pertunjukkan wayang untuk peringatan 17 Agustus. Setelah pertunjukan wayang selesai, penonton yang umumnya tapol menyerbu perlengkapan wayang dan memakannya, seperti gedebok (batang pohon) pisang, wayang kulit dan barang lain yang sekiranya dapat dimakan.

Setelah empat setengah tahun mendekam di Nusakambangan, Kasdi dikirim ke Pulau Buru. Di Pulau Buru ia dan tapol lainnya membangun sistem pertanian untuk memperoleh makan. Sebab jatah makan yang diberikan pemerintah sangat minim. Penduduk asli Pulau Buru pun diajari sistem pertanian. Rumah ibadah didirikan, penduduk asli mulai dikenalkan agama oleh tapol.

Kasdi dan juga tapol lainnya merasakan bahwa setiap anggota ABRI dinas di Pulau Buru mereka selalu menganggap bahwa tapol adalah musuh Republik. Sehingga sering terjadi kesewenang-wenangan petugas terhadap tapol. Jika tapol lupa memberi hormat kepada petugas, sudah pasti akan menerima pukulan. Bahkan ada petugas yang mengatakan, “Kamu saya bunuh ndak ada yang bela!”

Ketegangan sering juga terjadi antar penduduk asli dengan tapol. Sebab penduduk asli menganggap tapol telah mengambil hak mereka. Sedangkan tapol mengambil hasil alam Pulau Buru demi mempertahankan hidup mereka.

Kasdi masuk dalam rombongan terakhir tapol-tapol yang dibebaskan dari Pulau Buru. Ketika pulang istrinya sudah menikah dengan orang lain.
Tahun 1974, ketika masih di Pulau Buru Kasdi pernah menerima surat dari kakaknya yang memberitakan: “Anakmu sudah lahir dan meninggal. Bapak tahun ‘72 meninggal. Kemuidan kakakmu, Tejo, juga meninggal. Lalu, Ibu juga sudah meninggal. Isterimu sudah menikah lagi.”

3.6 – Minto
Ambarawa, 27 Juli 2000

Minto dilahirkan di Ambarawa tanggal 20 Mei 1929. Ia sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar selama tiga tahun. Setelah itu ia menjadi buruh tani. Selain sebagai buruh tani, Minto aktif dalam badan perjuangan BPRI (Badan Pemberontak Republik Indonesia) dan Laskar Merah. Pada awal kemerdekaan, ia sempat malang-melintang di kota Yokyakarta, Wonogiri, dan Cepu.

Pada tahun 1950, ia resmi menjadi tentara dengan pangkat prajurit satu. Setelah menjalani tugas di luar Jawa, pangkatnya naik menjadi Kopral. Ia sempat juga menjalani pendidikan kemiliteran di Magelang. Tamat pendidikan, ia menyandang pangkat sersan dan ditugaskan di Kodim Blora.
Di masa tahun 1965, saat terjadi aksi-aksi turunkan harga (menjelang terjadianya G30 S), Bapak Minto aktif memantau situasi di Blora. Ia mengadakan pelatihan bagi Hansip. Ia juga cukup dekat dengan kelompok Pemuda Rakyat.

Pada tanggal 18 Oktober, tanpa alasan yang jelas, ia ikut ditahan dalam operasi pembersihan anggota PKI dan unsur-unsurnya. Ia ditahan di Blora, kemudian dipindahkan di Salatiga. Dalam pemeriksaan, ia sempat ditanyakan tentang keterlibatannya dalam pelatihan dari Hansip Unsur KOM (Komunis).

Ia merasa bahwa unsur yang memberatkan dalam proses penahanan dirinya adalah pernyataannya sebagai orang yang berdiri di belakang. Soekarno, Presiden Republik Indonesia.

Walaupun sebagai tapol, ia tidak pernah mengalami kekerasan/penyiksaan. Ia dipecat dari dinas ketentaraan. Segala haknya sebagai seorang tentara tidak pernah ia terima lagi.

Pada tanggal 12 Januari 72, ia dinyatakan bebas. Dalam surat pembebasan dinyatakan bahwa pada dirinya tidak ditemukan bukti untuk dihukum.


---

3.3 - Menik
Ambarawa, 29 Juli 2000

Menik lahir di Ambarawa. Ia tidak tahu kapan persisnya ia dilahirkan. Ia hanya tahu bahwa ia lahir sekitar tahun 1940. Sempat mengungsi dalam masa Perang Dunia Kedua. Pendidikan: Sekolah, Kepanduan Putri (setara dengan SLTP).

Menik tidak pernah terlibat dalam organisasi apapun. Pada tahun 1965 suaminya ditahan karena menjadi anggota Serikat Buruh Penjara. Pada waktu suaminya ditahan Menik sedang mengandung anaknya yang keempat. Kandungannya berusia delapan bulan.

Ketika melahirkan anaknya yang keempat, Ibu Menik tidak dibantu oleh dokter atau bidan. Jangankan bidan atau dokter, tetangga sebelah rumah pun tidak tahu kalau dia melahirkan. Ia lebih memilih melahirkan sendiri di rumahnya, sebab tetangga sebelah rumahnyapun bernasib seperti dia: suaminya ditahan. Memang tidak semua tetangga mengalami nasib seperti dia, namun ia merasa bahwa kalaupun ia meminta tolong kepada para tetangga, belum tentu mereka mau atau berani menolongnya.

Dalam keluarga besar, bukan hanya suami Menik yang ditahan, kakak iparnya pun ditahan. Ia dan kakaknya sempat mencari sang kakak ipar, baik ke Kodim maupun kantor polisi, namun hingga kini tidak pernah ditemukan.

Selama suaminya dalam penjara, Menik kerap menerima ejekan yang menyakitkan dari beberapa orang tetangga. Bahkan oleh salah seorang tetangganya ia pernah dikatakan lebih rendah dari anjing kurap. Dituduh akan melacur ketika akan pergi bekerja. Anak-anaknya pun kerap mendapat ejekan dari teman-temannya.

Ibu Menik kerap menjenguk suaminya di penjara. Jika menjenguk, ia bersama-sama dengan isteri-isteri tapol lainya berjalan kaki beriringan. Bahkan diantara mereka juga ada yang sedang hamil. Ketika suaminya dipindah ke Nusakambangan, Menik hanya satu kali berkesempatan menengok suaminya. Sebab untuk besuk ke Nusakambangan membutuhkan uang yang cukup banyak.

Dalam perjalanan menjenguk suaminya ia sering mendapatkan teror dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Mereka mengatakan bahwa para tapol akan digantung di lapangan.

Untuk makan ia dan anak-anaknya, Menik menjadi buruh penumbuk padi. Pekerjaan ini membuat telapak tangannya sama tebal dengan telapak kaki.
Karena upah sebagai penumbuk padi tidak mencukupi kebutuhan hidup, Menik lebih memilih untuk bekerja di Jakarta, sekalipun ia tidak pernah menjejakkan kakinya di kota ini. Di Jakarta ia bekerja di pabrik beton. Kemudian ia bekerja pada salah satu kantin di kompleks Mahkamah Agung. Terakhir ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Tahun 1971 ia mendapat kabar suaminya bebas dari Nusakambangan. Ia pun kembali ke kampung halaman untuk berkumpul bersama suami dan anak-anaknya. Salah seorang anaknya mendaftarkan diri untuk menjadi anggota Polri. Setelah lulus tes masuk dan mendapati ranking ke dua, ia diterima menjadi anggota Polri. Namun karena ketahuan kalau ayahnya seorang bekas tapol, maka ia tidak jadi diterima.

Jika melihat seorang pensiunan pegawai negeri mengambil uang pensiun, Menik kadang berkhayal. Ia membayangkan betapa bahagianya setiap bulan bisa menerima uang pensiun, sekalipun jumlahnya kecil. Kalau tidak menjadi tapol, tentu ia akan menikmati uang pensiun suaminya.

3.2 - Marni
Ambarawa, 28 Juli 2000

Marni tidak tahu tanggal dan tahun kelahirannya. Ketika wawancara ia mengaku berumur 66 tahun. Pendidikan terakhir SR.

Selain ia sendiri, suaminya dan dua orang kakaknya juga ditahan setelah Persitiwa G 30 S. Suaminya adalah guru yang tergabung dalam PGRI Non Vaksentral. Satu orang kakaknya, Usman, ditahan dan dibuang ke Pulau Buru selama 13 tahun. Seorang kakak yang lainnya, Mohamad Abu Tholib, ditahan di LP Cipinang selama 11 tahun.

Pada masa revolusi Marni dan kakak-kakaknya terlibat dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI. Proses pertemuan ia dan suaminya pun terjadi pada masa mereka masih aktif dalam perang gerilya.

Sejak kecil oleh orangtuanya ia selalu diajari untuk berbagi kepada mereka yang tidak berpunya. Jika sawahnya panen, maka penggarap sawah diberi separuh dari hasil panen, sisanya dibawa pulang. Sampai di rumah tidak langsung disimpan untuk konsumsi keluarga, tapi dibagikan lagi kepada tetangga yang miskin. Jika tetangga yang miskin sudah menerima semua, baru ia menikmati hasil panen tersebut. Orangtuanya pun kerap berpesan agar saling menghargai terhadap semua orang, sekalipun orang tersebut adalah bawahan kita.

Suami Marni seorang guru Sekolah Teknik. ia kerap membiayai SPP muridnya yang tidak mampu membayar sekolah. Jika ada murid yang lemah dalam hal berfikir dan memperoleh nilai yang kurang baik, maka suami Marni mengajak muridnya tersebut tinggal bersamanya untuk diberikan bimbingan belajar yang intensif tanpa dipungut bayaran.

Setelah pecah peristiwa G 30 S, aksi penangkapan dan penahanan terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI atau G 30 S dimulai. Suami Marni tidak lagi tidur di rumah. Ia mulai merasa terancam. Namun, sekitar tanggal 5 November 1965, pada saat sedang mengajar ia didatangi oleh beberapa orang petugas yang akan menangkapnya. Suami Marni ditangkap. Satu minggu kemudian Marni pun ditahan setelah memenuhi panggilan ke kantor polisi.

Anak-anaknya yang masih kecil mengejar Marni ketika ia dibawa mobil petugas. Sambil menangis dan berlari, anak-anaknya mengatakan mereka harus ikut dengan siapa?

Dalam pemeriksaan Marni mengalami penyiksaan yang cukup berat. Ia dipaksa mengaku bahwa ia pernah melatih para sukwati dengan senjata yang ia peroleh dari komandan Korem. Tuduhan ini tidak hanya memberatkan Marni, namun juga komandan Korem yang saat itu juga ditahan dengan tuduhan terlibat G 30 S.

Semakin Marni menyangkal tuduhan Timperca (Tim Pemeriksa Tingkat Kecamatan), semakin kuat dera aniaya yang ia terima. Bahkan ia hampir saja mengalami pelecehan seksual ketika diperiksa di Timperca. Ia tahu bahwa banyak temannya sesama tahanan perempuan yang mengalami pemerkosaan ketika diperiksa di Timperca Ambarawa.

Selama di penjara kamp penampungan Bulu, Semarang, banyak tapol dimintai uang untuk kepentingan kamp. Selama membesuk Marni di Kamp Bulu, keluarganya harus menjual satu rumah untuk kepentingan Marni dalam penjara.

Tanggal 30 Desember 1974 Marni dibebaskan dari Penjara Bulu. Ketika pulang banyak tetangga dan keluarganya tidak percaya bahwa Marni masih hidup dan sehat. Sebab Marni sempat dikabarkan sudah mati atau gila.

Marni tidak tahu di mana suaminya kini. Sepotong surat dari suaminya – ketika masih di penjara – yang selalu ia bawa-bawa, kini telah dibakar oleh anaknya. Anaknya tidak ingin Marni selalu mengenang suaminya yang sudah tidak jelas rimbanya.

3.1 - Hadi
Ambarawa, 27 Juli 2000

Hadi lahir tahun 1933 di Salatiga, Jawa Tengah. Pendidikan Sekolah Rakyat. Pekerjaan pegawai Penjara Ambarawa. Selain menjadi pegawai penjara, ia pun tercatat sebagai anggota Serikat Buruh Penjara (SBP).

Beberapa minggu setelah peristiwa G 30 S jumlah penghuni penjara tempatnya bekerja bertambah, mereka adalah para tahanan politik yang ditangkap dengan tuduhan terlibat G 30 S.

Sekitar bulan Oktober – November 1965, di tempatnya bekerja beredar formulir isian. Antara lain berisi nama; pangkat; mendukung atau tidak G 30 S; mendukung Bung Karno atau tidak. Dalam formulir isian tersebut Hadi menyatakan sebagai pendukung Bung Karno.

Tanggal 11 November 1965, sepulang dinas malam, tiba-tiba ia didatangi oleh anggota polisi dan anggota Banser. Ia dituduh memiliki senjata api ilegal. Hadi dibawa ke kantor camat. Dari kantor Camat Ambarawa ia dibawa ke Penjara Ambarawa. Setelah 11 hari menghuni penjara, ia dikirim ke kamp penahanan Salatiga.

Di tempat penahanan Hadi kerap menyaksikan tapol yang “dibon”. Mereka “dibon” pada malam hari dengan posisi tangan terikat. Hadi mengenali sebagian dari mereka, namun hingga kini Hadi tidak pernah bertemu mereka kembali.

Karena ada kesepakatan antara Hadi dengan sang interogator, maka Hadi tidak mengalami penyiksaan saat diperiksa. Namun demikian ia kerap menyaksikan sejumlah peristiwa kekerasan yang dialam oleh tapol-tapol lain. Untuk menghindari aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap dirinya, Hadi dikirim ke Nusakambangan. Untuk itu ia harus membayar Rp. 30.000,- kepada tim pemeriksa. Keluarganyalah yang memenuhi ini semua, walaupun harus dengan menjual sebagian barang-barang yang ada di rumah.

Tahun 1966 Hadi dikirim ke Nusakambangan. Untuk makan, ia dan tapol lainnya hanya diberi beberapa butir jagung pada siang hari, dan sore hari diberi gaplek yang sudah busuk. Minimnya jatah makanan membuat tapol memakan apa saja yang dapat dimakan. Kulit pisang yang ditemukan di bak-bak sampah rumah pegawai penjara adalah salah satu yang kerap mereka makan.

Satu kali pernah ada pertunjukkan wayang kulit di Nusakambangan. Setelah pentas wayang selesai, para tapol berebut mengambil gedebok pisang dan wayang kulit untuk kemudian mereka makan. Di Nusakambangan ia menyaksikan banyak tapol yang mati karena kelaparan. Blok yang paling banyak ‘menghasilkan’ tapol mati adalah Blok Permisan. Satu hari bisa lebih dari tujuh orang tapol yang mati di blok tersebut.

Jika ada tapol meninggal dunia, maka yang melakukan seluruh proses pemakaman adalah tapol sendiri. Biasanya jenazah tapol yang meninggal langsung dimakamkan dengan pakaian yang masih dikenakan, tanpa dimandikan terlebih dahulu. Liang untuk memakamkan jenazah juga tidak terlalu dalam. Minimnya fasilitas dan lemahnya kondisi fisik para tapol menyebabkan mereka melakukan hal ini.

Perlakuan kasar dan kejam tidak hanya dilakukan oleh petugas penjara, napi-napi pun diberi kekuasaan oleh pihak penjara untuk berbuat sesuka hati terhadap para tapol. Hadi pernah dihantam popor senjata oleh petugas tanpa ada kesalahan yang jelas.

Tahun 1971 Hadi bebas. Salah seorang anaknya gagal menjadi polisi lantaran tidak lolos litsus. Padahal dalam tes masuk anaknya mendapat peringkat kedua.

0 komentar:

Posting Komentar