Senin, 06 September 2010

Tapol Jakarta


1.39 - Zakaria
Jakarta, 14 Desember 2000 - 06/09/2010

Zakaria dilahirkan di Buton pada tahun 1937. Ia merupakan putera dari seorang pejuang. Pada masa pendudukan Jepang ayahnya sempat ditahan Jepang. Setelah kemerdekaan ayahnya menjadi camat di Buton.

Ia bersekolah di Ujung Pandang hingga jenjang perguruan tinggi. Baginya pendidikan adalah modal dasar untuk membangun SDM yang berkualitas untuk mengembangkan potensi Buton. Oleh sebab itu, bersama Bupati, dan individu lainnya mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara dan IKIP.
Sekitar tahun 1960, di Buton partai-partai juga sudah berkembang, yang cukup besar adalah PNI dan NU. PKI sudah mulai ada tetapi ia mengaku tidak suka dengan cara perekrutan anggota yang dilakukan PKI. Maka, saat ia bekerja di suatu perusahaan ia membentuk SOKSI yang merupakan tandingan dari SOBSI.

Saat meletus G30S, ia masih di Makasar. Dan datanglah pengganyangan massa PKI. Ia ikut terlibat pengganyangan tersebut karena terkait juga dengan ketidaksetujuan dengan gerak PKI. Tahun 1966, ia kembali ke Buton dan menjadi pejabat pembantu bupati. Di Buton, sejak tahun 1965, sudah berdatangan unsur militer yang menunjukkan gejala akan menguasai banyak bidang kehidupan. Gejala itu semakin jelas pada tahun 1969, Zakaria dan bupati ditangkap tentara. Ia dan bupati dituduh menyembunyikan senjata PKI, suatu tuduhan yang mengada-ada. Ia ditahan berpindah-pindah, diinterogasi dan menyaksikan penyiksaan terhadap tanahan lain. Selama lima bulan ia tidak boleh dijenguk keluarga. Rumahnya digeledah, semua perhiasan diambil dan tidak pernah dikembalikan.

Setelah menjalani tujuh bulan penahanan Zakaria dibebaskan. Ia kembali ke keluarga, tetapi pekerjaan sudah digantikan oleh militer. Warga sekitar tempat tinggalnya mencap Zakaria dan keluarga sebagai orang PKI, orang yang jahat. Ia dan keluarga hijrah ke Jakarta. Usaha jasa pengangkutan laut dia geluti sebagai sumber penghidupan keluarga.

Ia merasa harga dirinya telah dikorbankan oleh rezim Orde Baru. Ia menuntut agar ada rehabilitasi dan kompensasi akibat perlakuan yang telah ia alami.


1.36 - Yuarsa
Jakarta, 22 Februari 2001

Yuarsa dilahirkan di Kota Tegal, 10 Juli 1947. Keluarganya adalah penganut Islam yang soleh. Ia merupakan salah satu anak kembar dari pasangan duda beranak dua, dan janda beranak tiga. Ia memiliki lima saudara kandung.

Saat kelas dua SD Yuarsa ikut pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia tinggal di sekitar Salemba. Ia bergaul dengan anak-anak muda yang dikenal suka berkelahi. Oleh Soekarno, anak-anak muda ini kemudian disalurkan menjadi anggota Marinir dan RPKAD. Sementara itu, Yuarsa tetap bersekolah. Ia bergabung dengan IPI. Kegiatan-kegiatan IPI antara lain olah raga, belajar bersama dan koor. Menurut pengakuannya, saat itu IPI ada dua: IPI Pancasila dan IPI pimpinan Robby Sumelang. Pada saat itu ia tidak tahu mana IPI yang beraliran kiri dan mana yang beraliran kanan.

Kakak tirinya adalah aktivis. Di sebelah rumahnya dijadikan sekretariat tempat berkumpul anggota Pemuda Rakyat dan anggota PKI. Sebetulnya pertemuan-pertemuan mereka biasa saja, dan banyak membicarakan hal-hal yang baik bagi Indonesia. Namun, pasca G 30 S, pertemuan-pertemuan tersebut justru dijadikan alasan untuk mengaitkan mereka yang pernah hadir dalam pertemuan dengan G 30 S.

Saat itu Yuarsa masih duduk di kelas dua SMA. Karena kondisi kacau, ia sempat pulang kampung. Namun oleh saudaranya ia diantar ke kantor polisi.
Ia kemudian ditahan dan ditempatkan di kamp bersama tahanan lain.

Dalam pemeriksaan ia selalu ditanyakan tentang keterlibatannya dalam pembunuhan Jenderal di Lubang Buaya. Yuarsa kerap mengalami penyiksaan. Ia kemudian mendekam di penjara selama empat tahun dengan kondisi makanan dan kesehatan tak terjamin. Ia dapat bertahan karena terbantu oleh kiriman sega aking (nasi kering) dari keluarganya. Setelah empat tahun, ia kemudian dipindah ke Nusakambangan. Setelah beberapa bulan di Nusakambangan, ia dibuang ke Pulau Buru. Di Pulau Buru ia ditempatkan di Unit II Wanapura.

Selama penahanan itu, ia mengaku sempat putus asa dan berpikir tak ada harapan untuk bebas. Namun ia punya pengalaman spiritualitas yang kemudian dapat meneguhkan hatinya. Di Pulau Buru ia menjadi penganut Kristen.

Setelah dibebaskan ia sempat pindah ke Yogyakarta untuk mendalami akupunktur. Di sana ia berkenalan dengan seorang gadis beragama Islam. Sang gadis meminta agar Yuarsa kembali ke Islam. Kemudian mereka menikah secara Islam. Kendati pernikahan dilangsungkan secara Islam, namun pihak keluarga istrinya sempat tidak merestui pernikahan tersebut, sebab ia seorang tapol.


1.35 - Widarko
Jakarta, 27 Juli 2001

Widarko, seorang mahasiswa yang dikirim oleh pemerintah Soekarno untuk belajar di salah satu institut di Moskow. Jurusan yang ia ambil adalah metalurgi. Sebelum dikirim belajar ke Moskow ia sempat kuliah di Universitas Gajah Mada.

Menurut Widarko, walaupun tempat tujuan belajar adalah negara sosialis, namun tidak semua mahasiswa yang dikirim oleh pemerintah Indonesia memiliki ideologi kiri. Mahasiswa yang tidak memiliki ideologi kiri pun dikirim ke negara yang sama dengannya.

Widarko senang bersekolah di Moskow, sebab ia tidak perlu lagi meminta uang bulanan kepada orang tuanya yang hanya pegawai biasa. Di Moskow setiap mahasiswa memperoleh beasiswa dan hak berlibur. Hak libur selalu digunakan oleh Widarko untuk mengunjungi Kuba.

Widarko juga sempat bekerja di pabrik yang memproduksi logam di Moskow. Menurutnya, organisasi buruh dan pemuda sangat memiliki perananan yang sangat berarti, baik untuk kesejahteraan buruh maupun untuk kemajuan perusahaan.

Setelah terjadi peristiwa G 30 S di Jakarta, di Moskow pun dibentuk organisasi Mahasiswa dan pelajar, seperti KAMI dan KAPI di Indonesia. Tugas mereka pun sama, menangkapi mahasiswa yang disinyalir kiri. Duta besar Indonesia untuk Moskow, Manai Sophian diganti. Mahasiswa harus mendaftarkan/mencatatkan diri di kantor Kedutaan.

Banyak mahasiswa yang tidak mendaftarkan diri, terutama mereka yang menganut ideologi kiri.
Mereka kemudian masuk daftar cekal dan black list oleh pihak kedutaan.
Mereka tidak boleh kembali/pulang ke Indonesia. Mereka yang masuk daftar cekal atau black list bukan hanya mahasiswa yang menganut aliran kiri, melainkan juga para mahasiswa pendukung Bung Karno. Paspor mereka dicabut oleh pihak KBRI.

Ketika benar-benar tidak bisa kembali ke tanah air, pemerintah Moskow memberikan dispensasi kepada Widarko dan mahasiswa lain untuk dapat bekerja di Moskow. Kemudian Widarko lebih memilih bekerja dan melanjutkan kembali studinya di Kuba.


1.33 - Axien
Jakarta, 16 Juni 2000, 16 Maret 2001

Kegiatan dalam bidang politik mulai ia tekuni ketika masih tinggal di tempat kelahirannya, Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu usianya masih sangat belia.

Awalnya ia tertarik dengan Baperki, namun belakangan ia lebih tertarik dengan PPI, organisasi pemuda bentukan Baperki yang lebih banyak bergerak di bidang kesenian. Ia terlibat dalam kegiatan mencari kader-kader organisasi di berbagai kota. Ia juga mendirikan lebih banyak lagi organisasi PPI di berbagai kota. Kegiatannya inilah yang mengantarnya ke Jakarta pada tahun 1963.

Di Jakarta ia juga banyak terlibat dengan organisasi lain diantaranya yang disebutnya sebagai organisasi penganut aliran Kiri atau pengikut ajaran Bung Karno. Kegiatannya di bidang kesenian juga mendekatkannya kepada organisasi kesenian dan kepemudaan semacam Lekra dan Pemuda Rakyat.
Jabatannya sebagai fungsionaris Baperki dan PPI membuatnya berhubungan lebih dekat dengan berbagai tokoh yang terkait dengan organisasi PKI.

Pascaperistiwa G 30 S terjadi aksi penangkapan dan pengejaran terhadap anggota dan pengurus PKI, termasuk anggota Baperki dan PPI. Axien ditangkap di Tomang pada tanggal 6 Desember 1966 bersama dengan tokoh PKI Sudisman dan Sukadi. Saat itu orang yang menangkapnya adalah Ketua Komisi Verifikasi Komite Central PKI, dimana kedudukannya ini diangkat oleh Kongres PKI. Ia datang bersama dengan beberapa orang anggota tentara.

Axien ditahan di Rutan Salemba, RTM Budi Utomo, Kodam, Kodim Air Mancur. Sejak awal ditahan Axien meyakini bahwa ia menjadi tahanan politik karena adanya perubahan situasi politik. Oleh karena itu ia sadar bahwa untuk memperoleh kebebasan kembali mesti ada perubahan politik. Axien mengetahui bagaimana proses pembuatan buku ‘Kritik Oto Kritik’ yang dirangkai Sudisman dari diskusi anggota-anggota PKI yang tersisa sebelum akhirnya ditangkap pada tahun 1966.

Ia dan tapol lainnya mengalami penyiksaan selama ditahan. Jatah makan begitu minim dan buruk. Para tahanan dapat bertahan hidup dari berbagai bentuk tindakan, solidaritas maupun perpecahan. Para tahananpun lebih terbantu dengan kiriman makanan dari keluarga. Di dalam penjara, tapol mengalami perpecahan. Mereka membuat kelompok, yaitu Komite Partai dan Gerakan Pancasila.

Pengalaman pribadi yang unik dari Axien adalah bernyanyi untuk mencari kekuatan sesaat setelah ia disiksa, sementara para tahanan lain memalingkan muka karena ngeri melihat wajah Axien setelah menjalani penyiksaan. Pengalaman menyanyi ini juga dilakukan Axien menjelang pelaksanaan eksekusi Sudisman.

Selama menjalani penahanan, ia sempat dihadapkan ke Mahmilub sebagai saksi untuk pengadilan Sudisman. Proses persidangan sempat diikuti oleh Ben Anderson dan Yap Tiam Hien.

Menurutnya, situasi penjara mulai longgar ketika Jimmy Carter terpilih sebagai presiden Amerika, sehingga Palang Merah Internasional bisa mengunjungi para tapol di tahanan dan penjara. Tahun 1976 situasi penjara mulai mengalami perbaikan, baik makanan, akses informasi seperti televisi dan bahan bacaan, memelihara hewan ternak yang hasilnya untuk konsumsi para tahanan.

Tanggal 8 Desember 1979 Axien dibebaskan. Setelah setahun keluar dari penjara, ia kemudian menikah dengan seorang teman lamanya, seorang gadis Tionghoa. Pernah bersekolah di Universitas Res Publika, aktif di CGMI dan senang berkesenian.

Sebagai mantan tapol, tentu banyak hambatan yang ia dan keluarga hadapi dalam bersosialisasi dengan masyarakat. PKK adalah salah satu wadah bagi istri dan keluarganya untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Saat ini Axien bergabung dengan salah satu organisasi perjuangan antidiskriminasi rasial.

1.30 - Romo Tono
Jakarta, 10 Mei 2000

Romo Tono seorang rohaniawan Katholik yang ditugaskan untuk memberikan pedampingan para tapol, baik yang ditahan di tempat-tempat penahanan maupun di tempat pembuangan Pulau Buru. Pada tahun 1967 ia mulai bertugas di Pulau Buru. Romo Tono bertugas selama tiga bulan.

Ia melihat bahwa pemahaman tantang ajaran komunisme di Asia, khususnya Indonesia, tidak sekuat pemahaman komunisme di Eropa Barat/Timur. Kalaupun banyak simpatisan atau kader PKI, bukan berarti pemahaman komunisme mereka sudah merata. Banyak kader yang sebenarnya semata-mata karena didorong oleh kebutuhan, terutama kebutuhan ekonomi.

Di Pulau Buru selain bergaul dengan para anggota Pleton Pengawal, ia juga kerap berdiskusi dengan para tapol. Menurutnya, karena perlakuan yang manusiawi dari rohaniawan Katholik, maka banyak terjadi perpindahan agama dari non katholik menjadi Katholik. Bahkan, jika dibiarkan, penganut Katholik dari kalangan tapol Pulau Buru bisa mencapai 80 peresen.

Fenomena ini membuat khawatir para petugas. Kemudian dibikin mekanisme agar tapol tidak mudah melakukan perpindahan agama. Romo Tono pun membuat aturan yang ekstra ketat bagi mereka yang ingin melakukan pindah agama.

Beberapa tapol yang dieksekusi mati sempat disaksikan oleh Romo Tono. Sebab sebelum dieksekusi biasanya para tapol/napol diberikan bimbingan rohani oleh rohaniawan dari agamanya masing-masing.

Mengenai kekerasan di Pulau Buru, nampaknya Romo Tono tidak mau terlalu terbuka. Ia menganggap bahwa perlakuan para petugas terhadap para tahanan masih dalam tahap biasa/wajar. Bahkan Romo Tono beranggapan bahwa jika dibandingkan dengan para transmigran, selayaknya para tapol berbahagia. Karena mereka diberikan kebebasan untuk membangun dan mengembangkan unit-unit yang digunakan untuk menahan mereka.

0 komentar:

Posting Komentar