Senin, 06 September 2010

Tapol Bali


6.31 - I Made
Denpasar, 7 Januari 2001

I Made dilahirkan dari keluarga petani sekitar tahun 1935 di Kasiman, Bali. Ia beruntung bisa mengenyam pendidikan hingga SMA, sebab di masa kecilnya sangat sulit untuk memperoleh kesempatan bersekolah, apalagi hingga jenjang SMA. Pria yang memiliki hobi menari dan bermain sepak bola ini sudah bercita-cita ingin memperjuangkan rakyat kecil sejak duduk di bangku sekolah.

Pada Pemilu 1955 ia berperan sebagai panitia pemilu di daerahnya. Ketika itu ia mulai aktif di PNI dan mendirikan Ranting Pemuda Demokrat di Kasiman. Pasca dibubarkannya PSI oleh Soekarno, persaingan perebutan massa terjadi sangat ketat antara PNI dengan PKI yang tidak jarang berakhir pada bentrok fisik antara dua organisasi ini

Ketika aksi penumpasan PKI dilakukan di Bali, I Made yang saat itu menjabat sebagai ketua hansip, ikut serta membantu RPKAD/TNI dalam melakukan penumpasan. Perannya adalah menunjukkan tempat orang-orang yang masuk dalam daftar pencarian RPKAD. Namun ia mengaku tidak tahu menahu seputar penghilangan dan pembunuhan orang-orang PKI.

Setelah aksi pengganyangan PKI mereda, I Made diangkat oleh Bupati menjadi Perbekel di Kesiman. Sebagai perbekel ia berusaha keras untuk mempersatukan Kesiman yang terpecah belah setelah persitiwa G 30 S dan akhirnya berhasil dengan menyatukan 30 Banjar. Tugasnya sebagai perbekel ia jalani sampai tahun 1971.

Memasuki era ‘Golkarisasi’, I Made kerap menolak tawaran untuk masuk Golkar. Akibatnya ia sempat ditahan, kemudian dipindahkan ke kantor camat dan dinas Pariwisata. Tahun 1977, dengan alasan telah terpilih sebagai anggota DPRD II Badung dari PDI, ia memilih mengundurkan diri sebagai pegawai negeri.


6.22 - Chandra
Bali, 25 Agustus 200

Chandra berasal dari Sumbawa, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Karena hidup menumpang dengan kakak iparnya yang seorang tentara, maka Chandra pun harus mengikuti ke mana sang kakak ditugaskan, seperti Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Tahun 1959 ia menamatkan pendidikan SLTA di Bali.

Kecintaannya pada seni rupa mengantarnya ke Yogyakarta untuk belajar menulis. Pengagum Sudjojono dan Hendra Gunawan ini banyak bergaul dengan seniman yang tergabung dalam Lekra di Yogya. Saat itu di Yogya sedang berlangsung perdebatan tentang konsep seniman: seni hanya untuk berseni atau seni yang berpolitik.

Bersama dengan seniman Lekra, Chandra kerap pergi ke Jakarta, salah satunya adalah menjadi Panitia Negara yang akan membuat karya di istana negara. Pasca G 30 S banyak seniman Lekra yang ditangkap, namun Chandra terhindar dari gelombang penangkapan sampai tahun 1968. Namun pada akhirnya ia tertangkap dan ditahan di kamp penahanan Tangerang selama satu tahun, lalu pindah ke Salemba selama satu tahun sebelum akhirnya dibuang ke Pulau Buru selama tujuh tahun.

Di Pulau Buru ia tinggal di unit 14 dan sempat bergaul dengan banyak tokoh lain seperti Pramoedya Ananta Toer. Chandra kerap mengalami perlakuan kasar selama menjalani pembuangan di Pulau Buru. Saat banyak tahanan mengalami sakit, ia sering melakukan terobosan dengan memakan tumbuhan obat seperti daun bluntas. Aktivitas lain yang ia lakukan adalah bersawah/ berladang untuk memenuhi kebutuhan pangan unit dan melukis.

Selama di Pulau Buru ia juga sempat menyaksikan kunjungan Amnesti Internasional. Baginya kunjungan lembaga ini sangat penting untuk memberikan tekanan internasional kepada Indonesia atas perlakuan tidak manusiawi terhadap para tapol.

Tahun 1979 ia dibebaskan dari Pulau Buru dan sempat tinggal di lingkungan Gereja Katedral Jakarta. Kehidupannya banyak dibantu oleh kalangan Katholik, salah satunya adalah Romo Suto.

Tahun 1982 Chandra memutuskan pindah ke Lombok. Selama tinggal di Lombok ia sempat bolak balik ke Bali. Awalnya ia berniat untuk tinggal secara permanen di Bali, namun ijin tinggal selalu dipersulit, bahkan sempat ditolak oleh lurah lantaran statusnya sebagai eks tapol. Pada era reformasi pengawasan dan pembatasan terhadap Chandra mulai mengendur.


6.21 - Berdha dan Dedi
Bali, 29 Agustus 2000

Berdha dilahirkan tahun 1924. Pada tahun 1940 ia menikah dengan Sutedja, salah satu pejuang republik, baik pada periode melawan Jepang maupun Belanda. Pada masa penjajahan Sutedja kerap keluar masuk penjara. Lalu pada era kemerdekaan ia memperoleh pengakuan sebagai seorang veteran dari pemerintah dengan nomor pokok veteran 282757 A.

Sutedja bekerja di birokrasi pemerintahan, ia menjadi camat/raja. Saat Bali menjadi provinsi, oleh Presiden Soekarno Sutedja diangkat menjadi Gubernur Bali. Sebagai gubernur, beliau ikut terlibat dalam mengurus organisasi-organisasi di Bali antara lain BTI, SOBSI, Gerwani, dan Pemuda Rakyat. Selama ia menjadi gubernur, Soekarno sering berkunjung ke Bali dan menemui keluarga Sutedja.

Pascaperistiwa G 30 S, Sutedja ditugaskan ke Jakarta oleh Soekarno. Untuk mengisi sementara posisi Sutedja yang kosong, Sugriwa diangkat sebagai gubernur caretaker. Keluarga Sutedja kemudian menyusul ke Jakarta pada 28 Desember 1965. Di Jakarta, keluarga Sutedja tinggal di daerah Senayan dengan fasilitas dan pengamanan yang cukup. Pada tanggal 29 Juli 1966, Sutedja didatangi oleh orang yang mengaku bernama Kapten Tedy dan memintanya untuk datang ke markas. Namun sejak kepergian itu, Sutedja tidak pernah kembali lagi. Berdha berusaha mencarinya hingga ke Istana Bogor untuk menemui Soekarno, namun ia tetap tidak memperoleh informasi keberadaan dan nasib suaminya.

Sementara itu, Benny, salah satu putra Sutedja yang juga sukarelawan dalam merebut Irian Barat, kembali ke Jakarta setelah mendapat informasi tentang ayahnya. Ia turut berupaya mencarinya, dan memperoleh keterangan bahwa Kodim tidak mengeluarkan surat perintah pemanggilan untuk ayahnya. Nomor kendaraan jeep Nissan yang dipakai menjemput Sutedja juga tidak dikenal. Kemudian Benny melacak dan menanyakan ke Menteri Dalam Negeri, Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal Gatot Subroto (Kepala Skrining Nasional), namun tetap tidak diketahui keberadaan Sutedja.

Tahun 1970 Berdha kembali ke Bali. Di Bali ia harus memulai kehidupan dari awal lagi karena sekitar tahun 1967 rumahnya dirusak oleh massa anti PKI. Dengan kesabarannya, ia dan anak-anaknya dapat bangkit kembali. Sampai saat ini keluarganya masih terus berjuang untuk mengetahui nasib dan keberadaan makam Sutedja jika memang sudah meninggal dunia. Upaya pencarian terhadap Sutedja terus dilakukan hingga pemerintahan BJ. Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Komnas HAM pun dikirimi surat untuk melacak keberadaan Sutedja, namun hasilnya tetap nihil. Keluarga berharap kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan di negeri ini.


6.19 - Nitik
Kapal, 24 Agustus 2000

Nitik sudah berusia 17 tahun ketika Proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Ketika itu ia tinggal di Kapal, Bali. Ia terlibat aksi pelucutan terhadap tentara pendudukan Jepang dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia kemudian menjadi menjadi guru pada 1950.

Pada era 1950-an bermunculan organisasi massa dan organisasi partai, antara lain PNI dan PSI. Nitik lebih memilih untuk menjadi anggota PNI, karena partai ini mengusung semangat nasionalisme. Setelah PSI dibekukan, muncul PKI. Untuk menarik simpati warga Bali, PKI mengusung isu pembebasan ekonomi dari para “pencoleng”. Aksi ini cukup berhasil untuk menarik massa meskipun kerap memunculkan ketegangan diantara partai-partai. Persaingan lewat programpun terjadi, misalnya ketika PKI melatih ketangkasan kepada para pemuda, PNI pun melakukan hal serupa.

Pada tanggal 30 September terjadi konsentrasi massa PKI dengan bersenjata di Bali. Nitik mendapat informasi bahwa di Jakarta ada gerakan menghadapi kup dari Dewan Jenderal. Massa PKI di Bali ikut siap siaga dan menentang Dewan Jenderal. Beberapa waktu kemudian ada berita resmi dari pengurus PNI dan aparat pemerintah bahwa PKI telah memaksakan kehendak dan melenyapkan para Jenderal yang jadi penghalang, dan G 30 S didalangi oleh PKI.

Bulan Desember muncul kekacauan di Bali. Menurut Nitik, anggota PKI daerah Kapal menuntut pengurusnya bertanggung jawab, karena telah membohongi rakyat. Bahkan para pengurus partai banyak yang dibunuh oleh anggotanya sendiri. Sementara itu di daerah lain sudah terjadi pembakaran dan pembunuhan.

Di Kapal, pada bulan Maret 1966, bersama anggota PNI lain, Nitik ikut melakukan pembersihan PKI secara “resmi” yang dikoordinir oleh RPKAD. Di Kapal sempat ada eksekusi tembak mati terhadap sekitar 25 oarang anggota PKI, di antaranya Puger. Tetapi ia mengaku, di Kapal tidak ada konsentrasi tempat penahanan, semua yang terlibat PKI diseleksi dengan baik dan “diamankan” secara rapi untuk kemudian diserahkan kepada aparat pemerintah.

Pada era pemerintahan Soeharto, Nitik aktif di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada tahun 1971 ia sempat ditahan selama satu tahun karena sebagai seorang guru ia dianggap menghalangi program Golkar. Tahun 1978, karena tidak terbukti bersalah dan tidak terlibat G 30 S, ia direhabilitasi dan bekerja kembali di Kantor Dinas Pengajaran Kabupaten. Sementara itu, keaktifannya di PDI mengantarnya ke kursi DPR.

Sementara itu, dalam menanggapi kasus Tragedi 1965, dalam rangka konsolidasi kembali di Bali, ia menyuarakan agar kasus tersebut kita lupakan saja, dan berharap agar kejadian serupa tidak terulang kembali.


6.18 - Barda
Kapal, 10 Januari 2001

Barda lahir tahun 1927 di Kapal, Bali. Ia sempat mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat sampai kelas lima. Orangtuanya bekerja sebagai montir mobil pada tentara pendudukan Jepang dan Barda kerap diajak ke bengkel mobil tempat ayahnya bekerja.

Pada era dibentuknya badan-badan perjuangan, ia bergabung dengan TKR sebagai sopir dan montir. Pada masa itu ia sempat ditahan oleh tentara pendudukan Jepang dan kemudian dibebaskan setelah ada tekanan dari Jakarta.

Pada era kemerdekaan ia bekerja sebagai montir pada bengkel milik ABRI di Denpasar. Lalu pada tahun 50-an, di Bali sedang marak pembentukan organisasi massa dan organisasi politik yang berlomba-lomba menarik simpati masyarakat agar menjadi anggotanya. Ketika itu Barda memutuskan untuk bergabung dengan PKI.

Kegiatan-kegiatan yang sedang dijalankan PKI pada saat itu adalah memperbaiki rumah warga, membuat rumah untuk warga miskin dan menjalankan landreform.

Tahun 1965, setelah pecah Peristiwa G 30 S Barda ditahan oleh CPM dan baru dibebaskan setelah menjalani 14 tahun masa penahanan di berbagai tempat penahanan di Bali. Selama di tahanan, ia menyaksikan tahanan yang dibon, dibunuh, disiksa, mati karena penyakit, stres, dan karena sebab lain. Namun ia juga melakukan aktivitas lainny seperti membuat kerajianan ember dan dandang dari drum bekas yang kemudian dijual istrinya saat berkunjung, dan juga bekerja di bengkel CPM.

Saat ini ia akan memperjuangkan nasib dan sejarah hidupnya dan korban lainnya untuk memperoleh keadilan dan kebenaran.


6.13 - Nyoman
Denpasar, 25 Agustus 2000

Pada tahun 1964, ketika Nyoman masih duduk di bangku SMP di daerahnya terjadi konflik sosial sebagai efek dari pembentukan banjar. Kelompok Banjar Pekambingan dengan Kelompok Banjar Catur Pance tidak dapat bersatu.

Di Banjar Pekambingan kemudian dibentuk organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, antara lain SOBSI dan BTI. Banyak orang yang tertarik menjadi anggota organisasi ini karena mereka melihat kegiatan organisasi ini sangat membantu kaum tani. Misalnya dalam pembasmian hama tikus dan perjuangan untuk kaum buruh tani yang tidak memiliki tanah garapan.

Pasca Peristiwa G-30 S terjadi pengejaran dan pembunuhan terhadap mereka yang dituduh PKI. Menurut Nyoman, konflik agraria yang terjadi sebelum Peristiwa G 30 S memiliki pengaruh besar terhadap aksi pembantaian orang-orang PKI. Dua orang kakak Nyoman yang aktif di CGMI dan Front Nasional ikut terbunuh dalam aksi penumpasan PKI di banjarnya. Kakaknya dibunuh pada tanggal 7 Desember 65 bersama dengan 10 orang aktivis lainnya. Pembunuhan dilakukan oleh seorang tentara dengan disaksikan oleh banyak warga, termasuk Nyoman sendiri.

Setelah Nyoman dewasa, ia aktif di kegiatan pemuda. Karena keaktifannya di bidang kepemudaan, oleh warga yang terlibat pembunuhan kakaknya ia sempat dicurigai akan melakukan balas dendam. Namun kecurigaan tersebut mampu ia patahkan, apalagi setelah ia aktif dalam kegiatan keagamaan. Lewat upacara Ngaben ia juga melakukan ritual bagi kakak-kakaknya yang sudah meninggal. Ritual tersebut sebelumnya sempat ditentang para warga karena kakak-kakaknya dianggap sebagai anggota PKI. Selain dua kakaknya, ayah mertua Nyoman juga menjadi korban aksi penumpasan PKI di banjarnya. Ayah mertuanya hilang setelah massa mengeluarkannya dari kamp penahanan.


6.4 - I. Wayan
Denpasar, 6 Januari 2001

Bapak I Wayan dilahirkan di Denpasar, Bali. Ia menempuh pendidikan jenjang sarjana jurusan sejarah yang kemudian ia lanjutkan hingga meraih gelar Doktor Honoris Causa di bidang Sosial Politik. Pengalaman ini sangat disyukuri oleh I Wayan karena pada masa itu kesempatan bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu.

Ia menjadi guru pada 1953, setelah tamat Sekolah Guru A (SGA). Bersamaan itu pula ia mulai terjun di dunia politik. Ia memulai aktivitas politiknya dengan memimpin pemuda di kampungnya hingga kemudian menjadi ketua ranting PNI. Partai ini adalah partai nomor satu hasil Pemilu 1955 di Bali, disusul oleh PSI.

Sekitar tahun 1963, bersamaan dengan isu Ganyang Malaysia dan reformasi agraria, dukungan terhadap PKI Bali mulai mengalir. Banyak aksi sepihak dilakukan oleh PKI dan BTI. Isu “Setan Desa” dan “Setan Kota” mulai gencar didengungkan. Isu ini menyebabkan ketersinggungan bagi kelompok-kelompok di luar PKI.

Pasca meletusnya Peristiwa G 30 S, aksi penumpasan terhadap PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya mulai dilakukan. I Wayan yang ketika itu sedang menjabat sebagai Bupati Badung ikut berpartisipasi dalam penumpasan orang-orang PKI. Pada awal-awal setelah Peristiwa G 30 S, PKI terlihat masih sangat solid dan terkonsentrasi. Ketika itu I Wayan dan kelompoknya belum berani melakukan pembunuhan terhadap mereka yang dituduh PKI. Keberanian untuk membunuh orang-orang PKI muncul setelah RPKAD yang dipimpin oleh Mayor Yasmin datang di Bali dan memberikan dukungan terhadap penumpasan orang-orang PKI. Pada saat itu RPKAD pun sangat brutal menumpas PKI.

Semasa menjadi Bupati, I Wayan mengaku pernah menjadi saksi eksekusi yang dilakukan oleh RPKAD terhadap sekitar 50 orang anggota PKI di desa Kapal. Aksi-aksi ini mulai mereda pada tahun 1967.

Pasca lengsernya Soeharto ia memilih aktif di PAN. Ketertarikannya pada Amien Rais – yang menurut dia adalah seorang reformis – menjadi pendorong keikutsertaannya di PAN.

Mengenai ide rekonsiliasi, ia berpendapat, rekonsiliasi harus jelas inisiatornya, bagaimana konsepnya, siapa pemimpinya dan juga siapa yang disebut korban dan siapa yang dikorbankan.

0 komentar:

Posting Komentar