Senin, 06 September 2010

Tapol Jawa Barat


2.24 - Dalang
15 Maret 2001 - 06/09/2010

Dalang dilahirkan pada tahun 1927 di Tasikmalaya. Ia sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Jualen dan pendidikan setingkat SMP. Pada jaman pendudukan tentara Jepang ia menjadi anggota Sainendan. Pada masa itu ia juga menyaksikan bagaimana kondisi sosial masyarakat yang sangat tertindas, miskin, dan kelaparan.

Pada akhir masa pendudukan ia mendengar kabar bahwa sebentar lagi Jepang akan menyerah. Bangsa Indonesia harus bersiap-siap untuk merdeka. Berita tersebut dipertegas lagi dengan kedatangan Bung Karno dan disusul kemudian Bung Hatta ke Tasikmalaya yang menyerukan agar bersiap-siap menyambut kemerdekaan. Maka, sampailah berita Proklamasi Kemerdekaan. Dalang kemudian bergerak menyampaikan berita kemerdekaan dengan menempelkan bendera merah putih di sepanjang kota.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda berusaha menduduki Indonesia kembali. Dalang ikut berjuang bersama laskar rakyat yang ada di Tasikmalaya. a aktif dalam upaya menghimpun senjata dengan merebut persenjataan Jepang, menduduki pabrik-pabrik peninggalan Belanda dan Jepang. Dalang juga sempat mengalami maraknya aksi militer yang dilakukan oleh DI/TII. Kartosuwiryo.

Setelah tidak lagi terlibat dalam gerakan bersenjata, pada tahun 1957, Dalang kembali menekuni bidang yang ia senangi, yaitu kesenian, terutama menari dan mendalang wayang golek. Ia sudah mulai digemari masyarakat. Pentasnya di dalam dan luar kota Tasikmalaya. Ia mulai berkenalan dengan seniman-seniman Lekra. Ia pun menaruh simpati dan ingin bergabung dengan organisasi kesenian itu. Namun belum sempat ia menjadi anggota Lekra, meletuslah Peristiwa G-30-S.

Saat terjadi G-30-S, Bapak Dalang sedang dalam persiapan pentas wayang di Tanjung Priok, Jakarta. Kemudian ia kembali lagi ke Tasikmalaya. Selang beberapa waktu, ia kemudian ikut ditahan di Koramil dengan tuduhan “berbau” Lekra. Ia sempat ditahan di daerah Cianjur. Sekitar tahun 1970 dipindahkan ke Nusakambangan dan tahun 1971 dibuang ke Pulau Buru.

Selama dalam tahanan, ia mengaku sangat terbantu dengan kebiasaan dia berpuasa. Sebab, saat dalam tahanan, perlakuan dan pemberian makanan sangat tidak manusiawi. Berkat kebiasaan berpuasa, persoalan itu menjadi tidak terlalu berat baginya. Di samping itu, saat ia di Pulau Buru, ia dapat melanjutkan kegemarannya di bidang seni. Ia sering diminta pentas menari tarian, seperti tari Remong, Gatotkaca, Gandrung. Kadang juga diminta mendalang dalam acara-acara yang diadakan di Pulau Buru.

Tahun 1979, ia dibebaskan dan kembali ke Tasikmalaya. Setelah dibebaskan, ia jarang diminta pentas menari dan mendalang oleh warga masyarakat. Menurut perkiraan dia, kemungkinan warga masyarakat takut akan latar belakang Dalang. Mereka takut kalau-kalau dari pentas Dalang justru dianggap berbau politik dan bisa menimbulkan permasalahan bagi pemerintah.

2.23 - Sudarno
Cipanas, 16 Maret 2001

Sudarno dilahirkan di Cianjur tahun 1932. Ia sempat mengenyam pendidikan pertanian. Ia mempelajari bagaiman mencari bibit murni, penggarapan yang baik, pengairan cukup, pemupukan yang cukup dan pemberantasan hama.

Pada masa revolusi ia masuk dalam kelompok pelajar yang mengajari membaca dan menulis kepada tentara yang buta huruf. Pada saat itu banyak berdiri badan-badan perjuangan seperti TKR, Laskar Rakyat, Laskar Hisbullah, Laskar Sabililah dan lain-lain. Pada masa clash kedua ia berperan sebagai kurir. Pada masa APRIS ia menjadi juru tulis Desa Ciranjang.

Saat memperjuangkan tanah warga, oleh wakil Gubernur Bandung Astra Winata ia disarankan untuk bergabung dengan Barisan Tani Indonesia (BTI).
Bersama 58 orang rekannya ia pun bergabung dengan BTI. Selama bergabung dengan BTI Sudarno banyak terlibat dalam implementasi Undang Pokok Agraria dan kerja-kerja di panitia Land Reform.

Pasca G 30 S, Sudarno ditahan. Ia sempat ditahan di Cianjur. Kemudian dipindahkan ke tahanan Sukamiskin selama lima tahun. Tahun 1975 ia disidang dan divonis 16 tahun, 6 bulan penjara. Sudarno dituduh mengadakan rapat gelap, terlibat pembunuhan para jenderal. Dalam penggolongan ia dimasukkan dalam golongan A.

Selama ditahan, ia sempat mengalami penyiksaan. Namun ia mengaku lebih beruntung di Lembaga Pemasyarakatan (LP) daripada ditahan di Koramil, Kodim. Sebab di LP ia masih mendapat jatah makanan.

Tahun 1992 ia dibebaskan dan dikenakan wajib lapor. Sementara itu, setiap setengah bulan sekali, ia dan tapol lainnya diwajibkan “kerja bakti” membersihkan jalan dan kantor.

2.21 - Jaelam
Tasikmalaya, 3 April 2001

Jaelam lahir pada tahun 1940 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kesulitan ekonomi membuat sekolahnya harus berhenti di bangku kelas dua SMA. Semasa sekolah di SMA ia sudah aktif dalam Ikatan Pelajar Indonesia (IPI).
Setelah putus sekolah ia memilih kursus otomotif di sebuah Yayasan di Jawa Barat. Ia pun tertarik dengan organisasi Pemuda Rakyat.

Ketertarikannya bermula dari seringnya ia melihat anggota Pemuda Rakyat membantu warga yang mengalami kesulitan. Pergaulannya dengan orang-orang yang bekerja pada bidang otomotif pun mengantarnya bergabung dalam organisasi Serikat Buruh Kendaraan Bermotor (SBKB). Kegiatan yang dilakukan SBKB antara lain melakukan advokasi kepentingan para sopir dan pengguna kendaraan bermotor. Selain itu SBKB juga kerap mengadakan kursus-kursus tentang teori Karl Marx.

Setelah Peristiwa G-30-S, pada tanggal 14 November 1965, ia dipanggil ke markas Koramil. Selang 10 hari kemudian ia dipangil ke markas Kodim. Ia dituduh terlibat Peristiwa G-30-S. Tanggal 19 Januari 1966 terjadi pembebasan massal tapol, ia termasuk orang yang dibebaskan. Namun tidak boleh pergi ke mana-mana (keluar desa), dan wajib lapor.

Sekitar bulan Maret 1968, Jaelam ditahan kembali. Kemudian ia dipindahkan ke Nusakambangan. Tahun 1970 ia dibuang ke Pulau Buru, masuk dalam rombongan ketiga yang dibuang ke pulau tersebut.

Selama menjalani penahanan, ia sering mengalami penyiksaan. Jatah makanpun sangat tidak memadai. Kadang, untuk bertahan hidup, ia dan tapol lainnya harus memakan bonggol pisang.

Tahun 1979 ia dibebaskan dari penahanan. Di Tasikmalaya ia mendapat beberapa tawaran kerja teman lamanya. Namun ia memilih kerja di bidang otomotif, dan untuk itu harus bekerja pada Teten, seorang anggota Golkar Tasikmalaya. Dari Teten ia memperoleh informasi bahwa kesempatan kerja bagi para tapol dan keturunannya memang dibatasi oleh pemerintah.

Pada era refromasi Jaelam bergabung dengan organisasi Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba). Ia berharap, lewat organisasi ini dapat memperjuangkan hak-hak para tapol, termasuk dirinya. Ia juga berharap tidak ada lagi diskriminasi kepada anak cucu mantan tapol ’65.


2.19 - Endin
Tasikmalaya, 4 April 2001

Endin dilahirkan pada tanggal 22 Mei 1938. Ia berasal dari sebuah keluarga miskin. Karena keluarga kurang mampu membiayai, Ia hanya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR). Pada umur 13 tahun ia harus bekerja untuk membantu orangtuanya.

Pada Tahun 1948, ia menyaksikan pasukan DI/TII menyerang asrama tentara APRIS di Banjar, Tasik Malaya. Dalam kejadian itu banyak tentara APRIS yang dibantai DI/TII. Setelah DI/TII berhasil ditumpas, Endin pergi ke Jakarta. Ia bekerja sebagai buruh bangunan. Setelah beberapa tahun di Jakarta, pada awal tahun 1965 ia kembali lagi ke Tasik. Ia kemudian bergabung di Pemuda Rakyat (PR).
Ia bergabung dengan PR karena tertarik dengan visi dan misinya yang sejalan dengan cita-citanya, yaitu membela kaum yang tertindas dan lemah. Kegiatan PR antara lain memperbaiki saluran irigasi pertanian, membantu memperbaiki rumah-rumah warga yang rusak.

Pada masa ia aktif di Pemuda Rakyat, ia telah menikah dan dikaruniai satu orang anak. Baru beberapa bulan aktif di PR terjadi Peristiwa G-30-S. Endin mendengar berita itu dari radio. Ia tidak tahu-menahu tentang peristiwa itu dan mengapa dihubungkan dengan PKI yang katanya sebagai pelaku pembunuhan para Jendral.

Pada tanggal 7 November 1965, Sekitar jam 07.00, Endin ditangkap. Ia dibawa ke Balai Desa, lalu ke Koramil. Tahun 1966 dipindah ke Kamp Simpang, dan tahun 1969 dipindah lagi ke Pulau Buru.

Selama penahanan itu, tidak pernah sekali pun ia mengalami pemeriksaan. Ia mengaku “dilibatkan” begitu saja pada kasus G-30-S, walaupun ia tidak tahu menahu. Ketika masih menjalani penahanan di kamp Simpang, Bapak Endang “diceraikan” oleh istrinya.

Sedang pengalaman di Pulau Buru, ia mengaku diperlakukan seperti binatang. Ia mempunyai pengalaman dimana para tapol disiksa hanya karena ketidaktahuan para petugas dalam mengolah pertanian. Kadang tapol dikira bermain-main saat bekerja, misalnya saat membuat pematang sawah dimana kaki harus menginjak-injak lumpur. Menyaksikan hal itu petugas marah dan menyiksa para tapol. Mereka menganggap para tapol bermain-main lumpur saat membuat pematang sawah.

Di Pulau Buru, Endin sempat berada di unit 10, lalu dipindah ke unit 12, dan terakhir di unit 13. Pada tahun 1979 ia dibebaskan. Setelah bebas, ia kembali lagi ke Tasik. Pada tahun 1980, ia menikah lagi.

Mengenai perjuangan dia terhadap nasib yang dialami, ia bergabung di Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba). Ia berharap, lewat Pakorba ia dapat memperjuangkan nama baiknya, menghilangkan stigma buruk, menghapus diskriminasi yang masih dialami para tapol.


2.18 - Djayadi
Tasikmalaya, 4 April 2001

Djayadi dilahirkan di Cikatomas, sebuah kecamatan sekitar 50 kilometer ke arah Selatan Tasikmalaya. Ia adalah anak seorang kepala sekolah. Ketika terjadi clash kedua, keluarga Djayadi mengungsi. Tahun 55 ia menjadi seorang guru. Isterinya adalah anak seorang camat.

Djayadi menjadi wakil unsur Komunis dalam Front Nasional tingkat kecamatan dalam rangka ideologisasi Nasakom Soekarno. Ia juga mewakili daerahnya untuk persoalan-persoalan agraria. Djayadi mengalami masa-masa pemberontakan DI/TII. Ia juga mengetahui bagaimana kedekatan PKI dengan TNI dalam rangka menumpas DI/TII.

November 1965 ia ditangkap. Dalam proses interogasi ia dipukuli, dipaksa mengakui bahwa ia memiliki 500 pucuk senjata dan sebuah truk. Ia ditahan di Penjara Kebon Waru, Bandung. Isterinya “diambil” oleh tentara ketika ia berada dalam penjara.

Di dalam tahanan Kebon Waru, Djayadi pernah diangkat menjadi kepala bagian industri, yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan bersama. Caranya adalah dengan membuat barang-barang kerajinan tangan yang akan dijual di luar penjara. Karena ada perbedaan penafsiran kata “kesejahteraan bersama” dengan komandan Kebon Waru, jabatan itu tidak berlangsung lama digenggam Djayadi.
Djayadi menganggap bahwa “kesejahteraan bersama” adalah kesejahteraan para tapol. Sedangkan Komandan Kebon Waru beranggapan bahwa ‘kesejahteraan bersama’ adalah kesejahteraan tapol dan petugas penjara.

Setelah bebas, Djayai bersama temannya mendirikan sebuah CV yang mengerjakan proyek-proyek pembangunan jembatan. Proyek itu kemudian ia tinggalkan. Itu semua demi keamanan teman-temannya. Sebab ada seseorang yang menuding bahwa CV itu adalah CV komunis.

Djayadi termasuk seorang yang sangat menyukai kesenian. Sebelum peristiwa 65 ia memiliki seperangkat gamelan degung di rumahnya, dan aktif dalam mengembangkan kesenian lain di daerahnya, seperti wayang golek dan pencak silat.
Djayadi pernah menjadi guru les Bahasa Inggris. Ia juga pernah bekerja di sebuah koperasi Legiun Veteran RI, di Jakarta. Ia pun menikah kembali. Tahun 1998 isteri keduanya meninggal dunia.


2.15 - Rahmadin
Cipanas, 16 Maret 2001

Bapak Rahmadin mengaku tidak tahu pasti kapan ia dilahirkan. Yang masih ia ingat, ia masih sempat mengalami jaman pendudukan Jepang. Pada masa itu keluarganya dan warga lainnya membuat bungker-bungker untuk bersembunyi dan berlindung. Pada masa clash kedua Belanda, usianya sekitar tujuh tahun. Keluarganya ikut berjuang melawan Belanda, bahkan ayahnya sempat ditahan tentara Belanda.

Menginjak usia remaja sempat mengalami aksi-aksi militer DI/TII. Pada saat itu mereka melakukan pembunuhan terhadap beberapa warga dan menjarah harta warga kampung. Karena peristiwa ini keluarganyapun kemudian mengungsi.

Rahmadin sempat mengenyam pendidikan hingga jenjang Sekolah Guru A (SGA). Sebuah jenjang pendidikan yang relatif tinggi untuk masanya. Baginya, capaian pendidikan yang berhasil ia tempuh tidak lepas dari dorongan kuat sang ayah. Beliau yang mendorong Rahmadin untuk tetap sekolah agar ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sejak duduk di bangku SGA ia mulai senang membaca tulisan-tulisan karya Tan Malaka dan pidato Bung Karno. Dari referensi yang ia baca, ia menilai PKI. Menurutnya massa PKI adalah massa yang sangat merakyat, memiliki solidaritas yang tinggi dan menentang imperialisme. Dari penilaian tersebut ia menjadi simpatisan Pemuda Rakyat.

Setelah tamat dari SGA, pada tahun 1964 ia menjadi guru di SD Ciwalen. Selain warga desa yang tergabung dalam organisasi Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG), ia adalah termasuk salah seorang yang terlibat dalam membangun sekolah.

Pada tanggal 04 Oktober 1965, rumahnya diperiksa oleh tentara. Seminggu kemudian ia ditahan dan dibawa ke markas Koramil Pacet. Di sana sudah banyak orang yang juga ditahan. Pada saat itu para tahanan mendapat cacian dari warga sekitar. Mereka memaki dengan kata-kata “PKI anti Tuhan”, “Biadab”, “Pembunuh Jenderal”, dan lain-lain. Para tahanan hanya melongo saja, karena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dari Pacet Rahmadin dibawa ke Cianjur. Setelah sekitar 75 hari ditahan, ia sempat diperiksa dengan tuduhan terlibat pembunuhan para jenderal. Pemeriksaan berikutnya dilakukan seorang letnan bernama Efendi. Orang yang sudah saling kenal dengan Rahmadin. Oleh Letnan Efendi ia disarankan tunduk pada aturan pemerintah. Ia diberi surat keterangan dan disuruh pulang. Di rumah ia bertemu dengan orangtua.

Berbekal surat keterangan dari Letnan Efendi ia mengurus status kepegawaian, namun gagal. Ia kemudian ditahan lagi. Sebagai tahanan ia “ditugaskan” ke rumah seorang Jaksa bernama Annas sebagai pembantu.

Sekitar 100 hari Rahmadin bekerja di rumah sang Jaksa, setelah itu ia mendapat surat keterangan bebas. Setelah bebas, ia masih sering “diminta” kerja bakti oleh pihak kelurahan untuk membangun jalan dan jembatan.

Selain itu, setiap Senin dan Kamis ia wajib lapor ke Markas Koramil dan “kerja-paksa”. Kerja-paksa tersebut mulai berkurang pada tahun 1979, setelah tapol Pulau Buru dan Nusakambangan dipulangkan.


2.9 - Cahyati
Cariyu-Bogor, 9 November 2001

Cahyati tidak tahu kapan ia dilahirkan. Menurut Ibu Cahyati ia masih kanak-kanak ketika Jepang datang. Cahyati tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Kalaupun bersekolah, itupun sekolah agama atau mengaji.

Setelah peristiwa G 30 S, Cahyati ditangkap dan ditahan di Koramil Cariyu Bogor, dengan alasan terlibat PKI. Lebih dari satu tahun Cahyati harus mendekam di tahanan Koramil. Setelah itu ia dibebaskan dan harus menjalani wajib lapor. Tidak lama setelah bebas Cahyati kembali ditangkap dan ditahan. Menurut pengakuannya, selama menjalani penahanan dan pemeriksaan ia tidak pernah mengalami kekerasan.

Cahyati tidak tahu informasi tentang Peristiwa G 30 S. Yang ia tahu hanya ia ditangkap karena alasan terlibat dengan organisasi Gerwani dan PKI. Tuduhan ini didasarkan pada catatan yang dimiliki oleh pihak Koramil. Di mana pada waktu sebelum peristiwa G 30 S Cahyati pernah mengikuti rapat-rapat dengan orang-orang PKI. Padahal Cahyati ikut dalam rapat tersebut karena ajakan orang tuanya. Dan baru sekali ia ikut dalam arisan organisasi, yaitu arisan beras.

Selama menjalani masa tahanan, Cahyati dipekerjakan di rumah seorang sersan dari Koramil. Sedangkan tahanan laki-laki dipekerjakan untuk membangun saluran air. Sedangkan untuk makan, biasanya Cahyati dikirimi makanan dari rumah oleh ayahnya. Setelah menjalani penahanan Cahyati dikenakan wajib lapor seminggu sekali ke koramil selama tiga tahun.


2.8 - Angga
Bandung, 7 Mei 2000

Angga lahir tahun 1936 dari keluarga tuan tanah. Ayahnya seorang haji yang mempunyai tiga isteri. Ayahnya mempunyai beberapa rumah, perusahaan tenun, dan sawah yang cukup luas. Gedung perusahaannya, sebulan sekali digunakan oleh Bung Karno untuk tempat kursus politik kaum muda. Ayahnya yang sempat terlibat dalam revolusi 45 adalah salah seorang penyumbang terbentuknya Partai Komunis Indonesia.

Setelah menamatkan SMA, tahun 1955 ia pergi ke Yogyakarta. Tujjuan utamanya adalah belajar melukis dengan seorang seniman terkenal, Hendra. Ketika itu juga kerap diadakan pameran lukisan untuk menyambut Konferensi Asia Afrika. Setelah satu tahun belajar, ia pun turut serta memamerkan lukisannya dalam beberapa pameran lukisan.

Tahun 1957 Angga menjadi utusan pemuda dalam acara festival pemuda di Moskow. Dari Moskow ia kembali ke Bandung. Sejak lama rupanya ia telah ‘dibidik’ untuk dijadikan kader PKI. Ia menjadi salah seorang pengurus Lembaga Seni Rupa Indonesia.

Pada tahun 1961, ia menikah di Bandung. Angga memenangkan tender membuat dekorasi kota Bandung yang diadakan oleh Gubernur Jawa Barat Mashudi. Proyek tersebut ia garap sejak tahun 1961 – 1965.

Peristiwa G 30 S membuat bingung anggota dan simpatisan PKI. Tidak ada perasaan bersalah dalam diri mereka, sebab mereka tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka menganggap akan ada pengadilan terkait dengan peristiwa G 30 S. seiring dengan berjalannya waktu, dimulailah aksi pengejaran dan penangkapan terhadap orang-orang PKI dan ormas pendukungnya.

Angga sempat ditangkap dan dimintai keterangan, namun karena kedekatannya dengan militer kota Bandung, ia hanya dijadikan tahanan kota. Tahun 1966 ia dijadikan tahanan kota. Tahun 1968 ia dijadikan tahanan politik penjara Kebon Waru. Dalam setiap pemeriksaan ia selalu diperlakukan baik oleh tentara yang menginterogasinya.

Selama dalam tahanan Angga tetap berkarya. Bahkan ia memiliki kelompok yang hasil usahanya justru memberikan penghidupan bagi para tapol.

Produktifitas Angga membuat para petugas segan terhadap Angga. Tidak sedikitpun petugas melakukan tindak kekerasan kepada Angga. Selama menjalani masa penahanan, Angga tahu persis bahwa sebagian besar tapol tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ada tapol yang keluarganya menjadi hancur lantaran sang isteri diperkosa oleh aparat keamanan.
Rumah tangga Angga sendiri berantakan. Isterinya meminta cerai dan menikah kembali ketika Angga masih dalam tahanan. Perceraian itu membuat luka batin yang mendalam bagi Angga. Orangtuanya pun meninggal lantaran kecewa dan stress berat akibat perceraian itu. Anaknyapun tidak memiliki arah hidup yang jelas.

Tahun 1979 Angga dibebaskan. Ia menikah kembali dengan seoang sarjana ITB yang juga mantan tapol. Setelah bebas Angga semakin produktif dalam berkarya. Ia juga merekrut sejumlah orang untuk dipekerjakan. Pada tahun 1998 iteri keduanya meninggal.


2.7 - Mahmud
Bandung, 22 Mei 2000

Mahmud lahir sekitar tahun 1924. Pada tahun 1943 ia menjadi anggota Peta. Pada era kemerdekaan ia melanjutkan karir militernya di Angkatan Darat. Pangkat terakhirnya adalah kolonel. Di Angkatan Darat ia juga sebagai dosen untuk bidang politik dan strategi, serta bidang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pada saat itu ia sudah menikah dan memiliki enam orang anak.

Pada tahun 1964, Mahmud mendapat tugas dari Mabes untuk menjadi peserta tim delegasi ke Vietnam. Pada saat itu, di Vietnam sedang terjadi perang melawan Amerika. Mahmud dikirim ke sana untuk mempelajari peperangan di sana, karena Presiden Soekarno sangat simpati pada perjuangan rakyat Vietnam.

Sepulangnya dari Vietnam Mahmud diminta membuat konsep untuk seminar Angkatan Darat. Seminar itu membahas antara lain tentang perjuangan revolusioner, tentang siapa kawan siapa lawan, tentang rencana mempersenjatai massa, dan lain-lain. Seminar tersebut dilangsungkan bulan April 1965. pada saat itu dalam tubuh angkatan darat terdapat dua faksi: yang mendukung dan tidak mendukung Soekarno. Mahmud sendiri ada dalam kelompok pendukung Soekarno.

Menurutnya, peristiwa G-30-S dirancang untuk. “melenyapkan” kelompok pendukung Soekarno dan ada keterlibatan Amerika (CIA). Jenderal A. Yani, sebelum dibunuh, terkenal karena mempu meredam pemberontakan PRRI/Permesta. Sementara itu, ia adalah pribadi yang keras dan tidak mau diajak kerjasama oleh militer Amerika. Maka, sangat mungkin sekali ia dan kelompoknya “dilenyapkan”.

Setelah Peristiwa G-30-S, Mahmud langsung dijadikan tahanan rumah. Tahun 1966 ia dipindahkan ke Nirbaya. Tahun 1968 ia dipensiunkan, dan tahun 1973 ia dipecat sebagai anggota militer, namun saat itu ia masih sempat mendapatkan pensiun.

Pada tahun 1976, Bapak Mahmud disidangkan. Ia mendapat hukuman 17 tahun dipotong masa tahanan dan remisi. Tahun 1981 Mahmud dibebaskan.

Selama dalam tahanan, sedikitnya dua kali dalam satu bulan istrinya menjenguknya dalam tahanan. Berkat perjuangan keras sang isteri pula seluruh anaknya dapat memperoleh pendidikan yang memadai.


2.6 - Guritno
Bandung, 1 April 2001

Guritno menyelesaikan studinya pada Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada. Ia kemudian menjadi anggota TNI Angkatan Udara. Pangkat terakhirnya adalah kapten.

Saat terjadi G-30-S, Ia telah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Saat itu, ia juga masih sempat mendapat tugas dinas di beberapa kota hingga tahun 1970. Saat bertugas di Yogyakarta dan Solo, ia sempat menyaksikan penyiksaan dan pembantaian terhadap kelompok yang dianggap terlibat PKI. Di beberapa sungai dan jalanan banyak mayat tanpa kepala berjejer-jejer.

Kemudian ada perintah dari Ali Murtopo agar dilakukan “pembersihan” dalam tubuh TNI AU. Pada tahun 1970, di Bandung, diadakan “pembersihan”. Guritno dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia, ia pun ditahan. Ia sempat mengelak dan membantah tuduhan tersebut, sebab ia memang tidak tahu menahu. Ia hanya memanfaatkan perpustakaan-perpustakaan sewaktu kuliah di UGM. Namun ia terus disiksa. Bahkan ia memperoleh pukulan bertubi-tubi di sebuah hutan pinus saat akan dibawa ke Lembang. Karena tidak tahan dengan siksaan, akhirnya ia menyerah. Ia persilakan petugas pemeriksa untuk menuduh apapun dalam BAP-nya.

Akibat dari penyiksaan tersebut syaraf punggungnya tidak berfungsi dengan baik. Tahun 1972 ia dipecat dari TNI AU dan dibawa ke Baperda, lalu dipindahkan ke tahanan Kebon Waru, Bandung. Di Kebon Waru, ia mempunyai banyak pengalaman. Di sana ia mengetahui ada seorang anak berusia sembilan tahun ikut ditahan hanya karena membawa lem ikut menempel-nempel poster yang terkait dengan PKI. Anak itu ditahan delapan tahun dan sempat menikah di dalam tahanan. Makanan dan kesehatan tidak terjamin. Beruntung ada tapol yang ahli akupunktur dan bantuan pangan dari Swiss. Untuk mencukupi gizi tambahan, para tapol sering makan daging tikus, kucing, anjing, bekicot, dan kodok.

Di Kebon Waru, para tapol diperbolehkan aktif dalam kerajianan tangan, melukis, beternak, belajar akupunktur, bertani, dan lain-lain. Dari hasil kerajianan dan kegiatan itu, para tapol bisa dapat penghasilan. Bila ada tapol yang sakit, meninggal, para tapol lain saling membantu. Di sana, kunjungan dari keluarga pun boleh dilakukan. Oleh karena itu, tahanan Kebon Waru sering disebut surganya para tapol.

Sejak Guritno ditahan, istrinya ikut menanggung penderitaan yang tak ringan. Ia harus membiayai anak-anaknya, memikirkan tempat tinggal, menghadapi diskriminasi dan “stigma” PKI dari pemerintah dan masyarakat. Lewat kerja kerasnya, soal penghasilan dapat diatasi.

Tahun 1978, Bapak Guritno dibebaskan. Ia kembali ke keluarganya. Karena anak seorang tapol, anaknya sempat mengalami kesulitan untuk menikah dan mencari pekerjaan. Namun semua itu dapat dilalui dan diatasi saat ini.


2.3 - Amir
Bandung, 12 Mei 2000

Amir lahir tahun 1926. Ia berasal dari keluarga yang memiliki darah Padang. Pada usia 20-an ia sudah terlibat dalam perjuangan melawan Belanda. Pada era revolusi 1945, ia bergabung dalam Laskar Rakyat Jakarta Raya. Dari kelaskaran ini ia berkenalan dan bekerjasama dengan Sidik Kertapati, Chairul Saleh, Nandar, dan lain-lain. Anggota Laskar Rakyat Jakarta Raya kebanyakan berasal dari para pemuda Menteng 31.

Setelah kemerdekaan, pada masa pemerintahan Syahrir, Amir dan rekan-rekanya sempat selisih pendapat tentang hasil perundingan Linggarjati. Amir masuk dalam kelompok yang menentang hasil perundingan. Akibat sikap menentang tersebut, ia harus bersembunyi dari Bandung ke Solo. Pertentangan terhadap hasil perundingan ini memakan korban jiwa seorang anggota Laskar Rakyat.

Tidak hanya perjanjian Linggarjati, Amir juga menentang perjanjian Renville, Rom Royen, dan KMB. Rangkaian dari perjanjian-perjanjian tersebut antara lain, pada tahun 1949 diadakan program “rasionalisasi” tentara oleh Pemerintah Republik. Dengan program rasionaliasi ini Amir dan beberapa kawannya memilih keluar dari ketentaraan. Di antara rekannya antara lain Astra Winata, yang kemudian memilih melanjutkan studinya. Sedang Amir pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Muhamad Yamin.

Di Jakarta, Amir mempelajari beberapa buku yang dibawa Muhamad Yamin sepulangnya dari KMB. Buku-buku tersebut antara lain tentang Manifes Komunis, Perang Tani di Tiongkok, Perang tani di Afrika Selatan. Dari bekal membaca buku tersebut, bersama Sidik Kertapati dan kawan lainya, mereka sepakat untuk membentuk organisasi tani, yaitu Serikat Tani Indonesia (SATI). Program utama SATI adalah memperjuangkan “tanah untuk kaum tani”. Program ini berbeda dengan Barisan Tani Indonesia yang mana programnya adalah “Nasionalisasi tanah”.

SATI kemudian berkembang. Sidik Kertapati menjadi ketua SATI. Karena tidak ada perbedaan yang mendasar, pada tahun 1957 SATI berfusi dengan BTI. Sidik Kertapati terpilih sebagai ketua dari dua organisasi yang berfusi tersebut, sedangkan Amir menjadi Sekretaris Umum.

Tahun 1958 Amir menikah. Ia terlibat dalam merumuskan program BTI, antara program penegakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), program bagi hasil bagi kaum tani, program melawan “setan desa” dan “setan kota”, serta program anti imperialisme sebagai dasar kerjasama internasional.

Setelah Peristiwa G 30 S terjadi aksi pengejaran dan penangkapan terhadap anggota PKI dan ormas pendukungnya. Setelah sekian bulan bersembunyi, akhir tahun 1965 Amir tertangkap. Ia ditahan di Kebon Waru, lalu dipindah ke Nusakambangan dan dibuang ke Pulau Buru hingga tahun 1979.


2.2 - Karni
Bandung, 18 Februari 2001

Karni lahir di Bandung pada tanggal 5 Februari 1924. Sejak kecil ia tinggal dengan bibinya yang saat itu menjabat sebagai tenaga administrasi Pabrik Gula Kesana Baru (Kesana Baru adalah salah satu kota kecil di Cirebon). Ayah Karni meninggal dunia ketika dia masih kanak-kanak. Pada jaman pendudukan Jepang ia masuk Mulo. Kemudian ia juga bekerja pada Jawatan Kereta Api Jepang.

Pada awal kemerdekaan ia harus mengungsi ke Cirebon. Sebab kota Bandung telah menjadi lautan api. Ibunya sendiri menjadi perawat pada Palang Merah Indonesia. Pada perayaan satu tahun Kemerdekaan RI, ia bertemu dengan seorang komandan kompi di Kesana Baru yang kemudian menjadi suaminya.

Pada masa tentara Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah, suaminya ditugaskan ke Madiun, sedangkan oleh Belanda Karni dibawa ke Colomadu – Karanganyar. Ia berkumpul kembali dengan suaminya di Solo. Menjelang clash kedua, suaminya ditugaskan kembali ke Jawa Barat. Di Majalengka suaminya ditahan oleh kelompok DI/TII, beruntung suaminya dapat meloloskan diri.

Setelah Jepang pergi, masih dalam masa pemerintahan Belanda, Karni kembali bekerja pada jawatan kereta api. Dengan mengatakan bahwa ia telah menjadi janda. Sebab jika pihak Belanda mengetahui bahwa ia bersuami gerilyawan, maka sangat mungkin ia akan dijadikan sandera oleh pihak Belanda.

Tahun 1957–59 suami Karni ditugaskan ke Palembang dalam rangka penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta. Ketika sudah bertugas kembali di Jakarta, suami Karni pernah konflik dengan AH. Nasution terkait dengan barter barang-barang yang berasal dari luar negeri.

Tahun 1960-an suami Karni menjadi dosen pada Seskoad. Sebagai seorang dosen Seskoad maka mereka berhak menempati rumah di Kompleks Seskoad. Tahun 1964 Suami Karni bertugas di Vietnam. Awalnya ia ditawari untuk bertugas memberikan lekses di Pirthburg University Amerika. Namun karena politik Soekarno yang pada waktu itu cenderung anti Barat, maka ia lebih memilih Vietnam.

Setelah Peristiwa G 30 S, perlahan-lahan mereka terusir dari sana. Awalnya sebagian rumah diambil dengan alasan akan ditempati dosen yang baru datang. Tidak lama kemudian ia diperintahkan pindah dari rumah tersebut, sebagai gantinya ia dan keluarga dikontrakkan sebuah rumah untuk waktu satu tahun. Kondisi ini jelas mengganggu proses pendidikan ke empat anaknya. Anak keempatnya diasuh oleh seorang jenderal dan disekolahkan di Universitas Padjadjaran hingga selesai.

Ibu Karni sempat membesuk suaminya di Dirpom (sekarang Puspom, di depan Stasiun Gambir) Itupun tidak dapat bertemu langsung dengan suaminya. Oleh Jenderal Sudirman (komandan suaminya) ia diyakinkan bahwa paling lama suaminya ditahan seminggu sampai 10 hari. Informasi ini membuatnya untuk tidak khawatir. Tanpa sepengetahuannya, tiba-tiba suaminya dan dua orang tahanan lain dinaikkan mobil untuk kemudian dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Nirbaya. Setelah suaminya ditahan sekitar sebulan ia baru diperbolehkan bertemu langsung dengan suaminya saat menjenguk.

Tidak mudah untuk mengunjungi suaminya. Sebab setiap kali akan menjenguk suaminya di RTM Nirbaya, ia harus memperoleh surat ijin dari Dirpom, yang kadang diberi kadang tidak. Dari Bandung ia seorang diri membesuk suaminya di Nirbaya. Hanya pada saat idul Fitri ia membawa enam orang anaknya saat membesuk suaminya.

Selama suaminya ditahan, Karni tinggal di sebuah rumah kontrakan. Ia tinggal secara berpindah-pindah. Uang kontrakan ia peroleh dari pemberian kerabat dan teman-temannya yang masih peduli. Beruntung pada saat itu ia masih dapat menerima pensiun suaminya. Ia masih menerima pensiun suaminya bukan karena budi baik penguasa, tapi semata-mata karena buruknya administrasi tentara pada saat itu. Uang pensiun hanya cukup untuk menengok suaminya di penjara dua kali dalam sebulan. Setelah anaknya yang paling tua tamat dari ITB dan bekerja di PLN ia dibelikan rumah oleh anaknya tersebut. Ia tidak mengontrak rumah lagi.

Tahun 1972 suami Karni secara resmi dipecat dari ketentaraan. Tahun 1976 suaminya disidang di Cimahi. Dua hari sebelum suaminya disidangkan, suaminya didatangi oleh seorang kolonel yang akan menjadi oditur pada sidangnya nanti. Kolonel itu adalah temannya ketika mereka sama-sama bertugas di Kalimantan.
Dalam pertemuan itu seolah sang kolonel ingin meminta maaf kepada suami Karni bahwa ia hanya menjalankan tugas yang jika ia tolak maka ia akan bernasib sama dengan suami Karni. Pengacara memang disediakan dari Siliwangi, namun bukan pembelaan yang ia peroleh tapi pemberatan atas dakwaan yang ia dapat. Tahun 1981 Suami Karni dibebaskan dari penjara.


2.1 - Djadja
Bandung, 5 April 2001

Djaja lahir di Bandung, sekitar tahun 1918. Ia sempat menjalani pendidikan di Sekolah Rakyat. Setelah lulus, ia pergi ke Surabaya dan sempat bekerja di pabrik sepeda sampai sekitar tahun 1940. Selama bekerja tersebut, ia mulai menjadi anggota Gerindo dan mulai membaca buku-buku tentang aksi buruh. Dari pengetahuannya tersebut, ia kemudian mengadakan aksi-aksi buruh untuk menuntut perbaikan upah. Karena aksi tersebut ia justru dipecat dari tempatnya bekerja.

Dari Surabaya, ia kemudian pindah ke Bandung dan mulai membentuk koperasi, di samping tetap aktif di Gerindo. Sekitar tahun 1945, dalam masa perjuangan kemerdekaan, ia bergabung di Barisan Banteng di Cimahi.
Kemudian atas permintaan temannya di Yogyakarta, ia membentuk Polisi Tentara Detasemen Jawa Barat atau Barisan Tentara Laut (BTL) untuk perjuangan melawan Belanda. Djaja mendapat pangkat Mayor.

Sekitar tahun 1947, bersama pasukan lain, Djadja yang saat itu sudah menikah dan memiliki anak hijrah ke Yogyakarta bersama keluarga. Dan entah alasan apa, sekitar tahun 1949 kesatuan yang ia bentuk, yang dipimpin Kolonel Soeprapto, dinyatakan dibubarkan.

Sementara itu, di Yogyakarta Belanda melancarkan agresi militer. Djaja sempat mengungsi dan tidak bisa kembali ke Bandung. Atas dukungan seorang Lurah, ia kemudian aktif membangun pasar, mengurus administrasi desa, dan mengorganisir perlawanan warga untuk menghadapi Belanda.

Sementara itu, tahun 1949-1960, marak terjadi aksi-aksi yang dilakukan DI/TII Kartosuwiryo. Dengan “Perang Semestanya” DI/TII sering melakukan pembunuhan terhadap pemuda kampung. menurutnya ada kaitan tentara Masyumi dengan DI/TII, Sebab kebanyakan anggota DI adalah tentara Masyumi. Saat Jendral Soepardjo melancarkan operasi Pagar Betis, ia terlibat dalam operasi itu. Kemudian diketahui Kartosuwiryo berhasil ditangkap dalam operasi tersebut.

Tahun 1949, ia dan keluarga dapat kembali ke Bandung dan meneruskan kembali kegiatan koperasi.

Berbekal pengetahuan yang dimilikinya, bersama dengan beberapa teman, ia merintis untuk mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) cabang Bandung. Hal yang paling khas dilakukan PKI dalam mencari simpatisan dan pendukung adalah turun ke bawah (turba) membantu masyarakat, seperti memperbaiki jalan, memperbaiki rumah. PKI juga sangat didukung oleh organisasi-organisasi yang juga giat turun ke bawah seperti BTI. Maka tidak heran, perkembangan PKI sangat pesat.

Pada Pemilu 1955 PKI menempati urutan ke empat. Djadja “memetik” hasilnya, terpilih menjadi anggota DPRD Bandung. Ia juga menjadi staf harian di kantor Bupati Bandung. Jabatan dan pekerjaan ini, ia jalani sampai tahun 1965.

Setelah terjadi G-30-S, ketika dimulai operasi penangkapan, Djadja sempat “bersembunyi” dengan cara berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain. Upaya menghindari penangkapan ini ia lakukan hampir selama tiga tahun. Namun, pada tahun 1968, ketika ia sedang berada di Malang, ia ditangkap CPM Bandung yang dikirim ke Malang. Djdja ditahan di Malang, kemudian dipindahkan ke Surabaya, lalu dipindahkan ke Bandung dan kemudian dikirim ke Nusakambangan. Tahun 1978 ia dibebaskan.

Selama ditahan di Malang dan Surabaya, ia sempat menerima siksaan berupa pemukulan dengan rotan dan kakinya diinjak dengan kaki meja yang diduduki oleh petugas. Untuk mengisi waktu dan bertahan hidup di tahanan, ia belajar kerajinan membuat keranjang, kompor, belajar memijat, akupunktur, dan lain-lain.

Setelah bebas, ia sempat bertani. Dan untuk mencukupi biaya hidup, ia telah menjual tanah-tanahnya. Ia pernah mencoba mengurus pensiun dengan surat-surat yang lengkap, tetapi tidak berhasil.

0 komentar:

Posting Komentar