Senin, 06 September 2010

Tapol Jakarta


1.25 - Suhartono
Jakarta, 13 November 2000 - 06/09/2010

Merupakan pemuda asli Semarang. Pada masa pendudukan Jepang ia bersekolah di Sekolah Menengah Tinggi Teknik Bandung. Namun karena Jepang menyerah pada Pasukan Sekutu, maka sekolah di mana ia belajar pun ditutup. Ia kemudian kembali ke Semarang. Di Semarang ia bergabung dalam AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) yang berjuang melawan aksi pendudukan kembali oleh Belanda.

Tahun 1945 ia menjadi Polisi Tentara. Selama clash ke dua Suhartono kerap terlibat pertempuran melawan tentara Belanda melalui perang gerilya. Wilayah perjuangan Suhartono umumnya adalah Semarang dan sekitarnya. Ia sempat menjadi Komandan Polisi Tentara di Salatiga.

Sekitar tahun 1952 Suhartono lebih memilih menjadi guru pada sekolah Corp Polisi Militer (CPM). Suhartono kemudian mendaftar dan diterima pada Akademi Hukum Militer yang diadakan oleh Angkatan Darat. Pendidikan yang mestinya ia tempuh tidak lebih dari empat tahun, justru ia tempuh dalam waktu lima tahun. Selesai pendidikan di Akademi Hukum Militer, ia ditunjuk menjadi Jaksa atau Oditur Militer untuk kasus upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno dalam peristiwa pengeboman di Cikini.
Dalam persidangan di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) untuk kasus Dokter Soumokil ia pun bertugas sebagai Oditur Milter.

Tanggal 1 Oktober 1965 pada pagi hari ia diberitahu oleh seorang temannya tentang aksi penculikan terhadap perwira tinggi. Ia pun kemudian pergi ke rumah Jenderal Sutoyo yang tidak lain adalah atasannya sendiri. Setiba di rumah Jenderal Sutoyo, kondisi rumah sudah berantakan. Ia memperoleh kabar dari istri Jenderal Sutoyo bahwa suaminya dibawa oleh Cakrabirawa untuk dihadapkan kepada presiden.

Inisiatif Suhartono untuk mendatangi rumah Jenderal Sutoyo rupanya justru membawa kesulitan bagi diri Suhartono. Suhartono dituduh sudah mengetahui sebelumnya tentang aksi penculikan para jenderal.
Kehadirannya ke rumah para jenderal dianggap sebagai upaya untuk mengetahui apakah penculikan telah dilaksanakan atau belum. Suhartono akhirnya menjalani pemerikasaan.

Pasca peristiwa G 30 S oleh Jenderal Soeharto, Suhartono diangkat menjadi Ketua Tim Oditur. Suhartono mempunyai otoritas untuk menunjuk siapa saja yang menjadi oditur dalam kasus G 30 S. Salah satu Oditur yang ia tunjuk untuk menangani kasus Letnan Ngadiyono dari Batalyon 430, mengatakan bahwa ia (oditur) tidak mau mengajukan tuntutan mati terhadap Ngadiyono, sebab fakta-fakta yang ada tidak mendukung untuk diajukan tuntutan mati.

 Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, Suhartono pun kemudian menyampaikan keberatan oditur tersebut kepada oditur-oditur yang lain, Mahkamah Agung hingga Jenderal Soeharto. Semua mengatakan sama, yang penting terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum, berapapun hukumannya. Yang penting adalah dinyatakan bersalah. Namun di sidang kenyataannya berubah, terdakwa tetap dijatuhi hukuman mati, karena Letkol Sugiri yang pada waktu itu juga menjabat sebagai oditur mendapat teror.

Tidak lama kemudian Suhartono diperiksa oleh komandannya atas laporan rekannya yang mengatakan Suhartono terindikasi tidak setuju jika para pelaku yang terlibat dalam G 30 S dihukum mati. Suhartono kemudian mengalami beberapa kali mutasi. Ia sempat menjabat sebagai Penasehat Hukum Militer di PBB dengan masa kerja semestinya lima tahu. Namun baru sembilan bulan ia dipanggil kembali ke Indonesia dengan alasan ada pekerjaan yang lebih penting.

Setiba di Jakarta jam satu pagi, ia kemudian menerima surat penahanan. Hari itu juga ia harus menghuni penjara Nirbaya. Di Nirbaya ia banyak menjumpai menteri dan para pejabat pemerintahan Soekarno. Suhartono kemudian dipindah di LP Cipinang dan mengalami beberapa kali pemeriksaan. Pangkat terakhir Suhartono adalah Kolonel dan tidak dipecat.
 Ia juga sempat ditahan di studio film yang digunakan sebagai kamp penahanan. Banyak tahanan yang mengalami penyiksaan di kamp tersebut. Hampir tiap malam terdengar teriakan orang yang kesakitan karena mengalami penyiksaan.

Selama Suhartono ditahan, untuk bertahan hidup keluarganya terpaksa menjual harta benda yang masih terisisa, termasuk rumah mereka di Kebayoran. Saudara tidak ada yang berani untuk menolong.
Tahun 1978 Suhartono dibebaskan.


1.24 - Pak De
Jakarta, 23 April 2000

Lahir di Jakarta, 1939. Ibu meninggal ketika Pak De baru berusia 40 hari. Pendidikan SMA. Sempat bekerja pada sebuah perusahaan negara di Irian Jaya, saat itu sedang terjadi proses nasionalisasi perusahaan Belanda di Irian Jaya.

Sejak SMP Pak De aktif dalam organisasi Pemuda Rakyat. Di Organisasi ini ia menjabat sebagai ketua Sub Cabang. Awalnya ia tidak tahu bahwa Pemuda Rakyat berafiliasi dengan PKI. Dari organisasi ini ia mulai mengenal dan sering berhubungan dengan orang-orang CC PKI.

Ingin melanjutkan sekolah manajemen tiba-tiba pecah peristiwa G 30 S. Untuk menghindari penangkapan ia kerap tidur di kebun. Tanggal 20 November 1965 ditangkap di rumahnya oleh seorang letkol. Pak De dibawa ke Kodim Jakarta Timur. Kemudian dikirim ke Penjara Cipinang. Setelah itu dikirim ke Penjara Salemba, ia dikirim lagi ke Penjara Tangerang. Begitu terus sampai berkali-kali. Ketika ditangkap anak pertama Pak De baru berumur 8 bulan. Di Kodim Jakarta Timur Pakde diperiksa dan mendapatkan pukulan dan setruman.
Ia merasa bahwa konsep sosialisme yang ia miliki justru berasal dari Bung Karno lewat pidato-pidatonya yang selalu ia dengarkan.

Dahulu memang beredar kuat isu Dewan Jenderal dan Kup Dewan Jenderal. Sebagai pengurus Pemuda Rakyat ia pernah mengirim anggotanya latihan ke Lubang Buaya, namun untuk kepentingan Dwikora, aksi konfrontasi dengan Malaysia.

Ketika dibebaskan Pak De harus menandatangani surat perjanjian yang antara lain tidak akan mempelajari Marxisme, Leninisme, dan tidak akan menuntut kepada pemerintah atas apa yang dialaminya. Setelah pulang ia menjalani hukuman tahanan rumah dan wajib lapor ke Guntur (markas POM). Setelah menjalani tahanan rumah kemudian ia harus menjalani tahanan kota.

Di LP Salemba ada satu orang tapol dipukuli hingga tewas oleh rekannya sendiri sesama tapol, karena melaporkan kepada petugas penjara bahwa ada gerilya politik di dalam penjara. Satu waktu Penjara Salemba pernah menerima sekitar 200 orang tapol dari penjara Tangerang yang sangat kurus, berjalan ditanggapun harus merangkak, karena tidak sanggup berdiri.

Untuk bertahan hidup di Penjara biasanya tapol amat bergantung pada kiriman keluarga dan solidaritas antar sesama tapol. Sebab jika bergantung kepada jatah yang diberikan oleh penjara jelas tidak akan mungkin dapat bertahan hidup. Dan ada kesempatan untuk bercocok tanam di dalam areal penjara.

Di penjara sering diadakan bimbingan rohani untuk para tapol. Bimbingan agama dari unsur Islam lebih banyak bersifat cercaan dan makian kepada tapol. Sedangkan dari agama lain, Kristen misalnya, lebih banyak memberikan pengajaran tentang cinta kasih. Maka tidak jarang terjadi perpindahan agama secara besar-besaran dari Islam ke Kristen lain.
Di Penjara Salemba ia sempat menghuni blok N, satu blok dengan Kolonel Latief.

Ketika masih ditahan, anaknya sering bertanya kenapa bapaknya tidak pernah pulang. Di lingkungan tempat tinggal anaknya sering mendapat ejekan karena anak PKI.

Tahun 1976 Pak De dibebaskan. Setelah bebas Pak De kemudian menjadi pengemudi bajaj. Ia masih kerap dikumpulkan di kantor lurah bersama para mantan tapol lainnya. Namun setelah Suharto lengser pemanggilan ke kantor lurah sudah tidak ada lagi.

Pak De sepakat dengan usulan Gus Dur tentang pencabutan Tap MPR NO XXV tahun 1966. Ia juga menyoroti hutang negara yang begitu banyak sehingga kita tidak mungkin lepas dari pendiktean IMF dalam menentukan kebijakan ekonomi nasional.

Implikasi menyandang gelar sebagai eks tapol nyaris membatalkan rencana pernikahan anaknya. Padahal anaknya sudah menjalin hubungan pacaran selama 10 tahun. Bukan saja rencana pernikahan terancam batal, keluarga Pak De juga kerap diteror dan diintimidasi oleh keluarga calon menantunya yang kebetulan dari kalangan polisi. Bahkan keluarga Pak De digugat hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Untuk melaksanakan pernikahan anak gadis dari keluarga polisi tersebut harus dilarikan ke luar kota.

Dalam klasifikasi petugas Pak De masuk dalam Golongan B. awalnya ia masuk dalam golongan C, kemudian A, lalu menjadi B1.


1.23 - Mustajab
Jakarta

Mustajab lahir di Semarang tanggal 17 Agustus 1939. Kedua orang tuanya meninggal pada tahun 45, oleh karena itu kehidupannya cukup menderita. Salah seorang kerabatnya bekerja di tangsi militer NICA. Hal itu membuat ekonomi keluarga terbantu. Kalau orang lain banyak kesulitan makan, ia justru bisa merasakan roti dan keju. Pendidikan dasar ia tempuh di Bruderan Gedangan, Semarang.

Tahun 1950, ia hijrah ke Jakarta ikut pamannya seorang perwira dan tinggal di kawasan Senen. Mustajab melanjutkan sekolah di Vincentius Kramat. Ia kemudian sempat bekerja di pabrik dan sorenya sekolah di SMP. Ia juga ikut kursus teknik mobil. Karena keahliannya di teknik mobil, sekitar tahun 1954 ia dapat bekerja di Peralatan Angkatan Darat (Palad) Manggarai, Jakarta Selatan. Pekerjaan itu ia jalani dengan lancar sampai tahun 1964. Tahun 1964 ia ikut Barisan Soekarno yang mendukung pemerintahannya, sebab Soekarno adalah idolanya.

Pasca G 30 S, menurut Mustajab, masyarakat ‘terperdaya’ dengan seruan Soeharto bahwa PKI adalah dalang G 30 S. Mustajab sempat ikut melakukan penangkapan orang-orang PKI dan melakukan operasi keamanan di kantor-kantor di Jakarta.

Mustajab menikah tahun 1967. Seiring dengan berjalannya waktu, oleh teman-teman sekantornya ia diisukan terkait dengan PKI, keponakan Aidit, dan lain-lain. Pada tahun 1969, setelah beberapakali dipanggil dan dibebaskan, ia dipanggil kembali untuk kemudian ditahan. Selama tiga bulan ia disiksa, dipukul dengan kenut di kepala dan pundak. Ia dituduh ikut dalam peristiwa G 30 S di Lobang Buaya. Ia dipaksa mengakui keterangan interogator walaupun sebetulnya pada malam peristiwa ia sedang menghadiri Munastek (Musyawarah Teknik Nasional).

Ia ditahan di Rutan Salemba. Ia dan tapol lainnya dicampur dengan tahanan kriminal dalam satu sel. Jatah makan untuk tahanan kriminal jauh lebih baik daripada jatah makan untuk para tapol. Jaminan kesehatanpun tidak memadai. Petugas penjara kerap melakukan teror kepada para tahanan. Bahkan ada tahanan yang putus asa dan akhirnya meninggal.

Mustajab dan tahanan lainnya dapat bertahan hidup berkat kiriman dari keluarga. Riungan adalah salah satu mekanisme survive para tapol. Tapol yang memperoleh kiriman makanan dari keluarga berbagi kepada tapol lain yang tidak memperoleh kiriman makanan. Hal lain yang dapat membuat tapol survive adalah dengan menjadikan sesuatu sebagai hiburan. Misalnya naik ke atap rutan sekedar untuk melihat letak rumah keluarga. Kunjungan rohaniwan dari kelompok agama nasrani juga memiliki peran besar terhadap tapol.

Ia sempat dipindahkan ke penjara Tangerang. Di Tangerang dipekerjakan di pertanian. Untuk survive di Tangerang, para tapol makan tikus, kucing dan ular yang ditemukan di dalam penjara. Makanan-makanan ini adalah gizi bagi para tapol.

Tahun 1976 ia dibebaskan, itu pun lewat upaya ‘suap’ yang dilakukan keluarganya. Dalam pembebasan ia diberi pesan agar kembali pada UUD 45 dan Pancasila. Setelah bebas ia sempat bekerja di sebuah Yayasan di Jakarta. Setelah tidak bekerja, bersama istri dan anaknya, ia membuka warung sebagai sumber penghasilan keluarga.


1.22 - Muslihan
Jakarta, 11 November 2000

Masa revolusi ’45 ia tergabung dalam Batalion Sukowati. Ia adalah anak angkat Kyai Haji Abdul Mukti, tokoh Islam Madiun, yang juga akrab dengan Tan Malaka. Pada tahun 1948 Muslihan pernah ditahan karena diduga terlibat dalam Peristiwa Madiun. Proses penangkapannya tidak lepas dari pengkhianatan seorang temannya yang dahulu sama-sama menjadi santri di Pondok Pesantren Gontor.

Sehari sebelum peristiwa Madiun meletus, sudah ada penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh gerakan buruh, antara lain, Mister Abdul Madjid, Tang Lien Djie, Siaw Giok Tjan, Mohammad Tauhid. Ketika clash kedua pecah, Muslihan dan tahanan lainnya membebaskan diri. Ia kemudian menuju Madiun.

Setelah lulus sekolah Akademi Hukum Militer, Muslihan dijadikan staf pribadi A.H. Nasution. Pada tanggal 28 Oktober 1952 A.H. Nasution akan membuat sebuah rezim militer. Konsep rezim militer ini lahir dari pikiran TB. Simatupang, yang menempatkan militer sebagai pelopor dalam perang dan pelopor dalam damai. Artinya kemerdekaan semata-mata hasil dari perjuangan bersenjata. Nasution juga termasuk pemilik konsep “Atasan yang berhak menghukum”, yang jika diimplementasikan akan melahirkan impunity.

Sebelum menjadi staf pribadi AH Nasution, Muslihan sempat bergabung dengan Batalyon Slamet Riyadi dan Batalion Maladi Yusuf yang jelas secara ideologi berseberangan dengan Nasution. Setelah satu tahun menjadi staf pribadi A.H. Nasution, Muslihan dikembalikan lagi untuk bertugas pada Direktorat Kehakiman Angkatan Darat, yang dipimin oleh Mayor Wuwoto.
 Kementrian pertahanan dikuasai oleh kalangan PSI. Banyak skandal pembelian senjata dibongkar oleh kalangan PNI. Karena memergoki atasannya berbisnis ia ditawari untuk mutasi: pindah kesatuan atau pindah tempat tugas.

Bulan Januari 1965 Muslihan pensiun dari dinas kemiliteran. Bulan November 1965, setelah peristiwa G 30 S Muslihan menyerahkan diri ke Angkatan Laut, setelah sebelumnya seisi rumahnya diobrak-abrik oleh petugas dan keluarganya diancam akan ditangkap jika ia tak menyerahkan diri.

Muslihan dikirim ke Nusakambangan dan untuk selanjutnya ia ditahan di Pulau Buru. Tahun 1979 Muslihan dibebaskan dari Pulau Buru. Selama ia ditahan dan sampai bebas hak pensiunnya tetap dibayarkan. Dan rumah yang ia tempati kini luput dari penyitaan tentara. Semua ini tidak lepas dari usaha istrinya melobi pejabat pemerintahan dan petinggi militer yang sejak dahulu sudah ia kenal.

Selama ditahan Muslihan tidak pernah diperiksa. Pernah satu kali ia hanya diperintahkan untuk mengisi formulir yang menanyakan identitas dan keberadaan ia ketika terjadi peristiwa G 30 S.

Banyak perwira-perwira angkatan laut yang mendukung dan fanatik terhadap Bung Karno ditangkap dan ditahan setelah Sudomo menjadi KSAL.

Ketika ia masih di tahanan di Jakarta istrinya sering membesuk dan membawakan makanan. Jika istrinya besuk kadang bisa bertemu kadang tidak. Para petugas ada yang menyediakan tempat dan waktu khusus untuk besuk asal tapol atau keluarganya memberikan sejumlah uang kepada petugas tersebut.

Hingga kini keluarga (terutama anak-anak) sangat trauma dengan pengalaman yang dialami oleh Mustahal. Anak-anak melarang Mustahal berhungungan dengan teman-teman sesama tapol. Anaknya takut apa yang pernah terjadi pada waktu itu terulang lagi pada saat sekarang.

Karena ia tapol, karir menantu dan anak-anaknya banyak yang terhambat oleh proses litsus dan skrining, dan masuk dalam kualifikasi tidak bersih lingkungan. Menantunya harus keluar dari perusahaan negara, anaknya harus rela tidak akan naik pangkat/jabatan selama bekerja.


1.20 - Harsono
Jakarta, 30 November 2000

Harsono lahir tanggal 9 Desember 1939. Pada masa penjajahan Belanda ayahnya bekerja di kantor pos dengan penghasilan yang cukup besar, sehingga bisa gunakan untuk membeli modal usaha batu-bata di Cikarang.
Tahun 1946 sampai tahun 1949 keluarganya mengungsi ke Purworejo.

Setelah mengungsi keluarganya kembali ke Cikarang dan Jakarta. Harsono melanjutkan sekolahnya di Jakarta hingga tamat SMA. Ketika SMP ia bergabung dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPPI). Di SMA ia aktif dikegiatan penerbitan majalah. Hobinya adalah melukis.

Setamat SMA dia bersekolah di Akademi Seni Rupa dan Akademi Teknik Nasional. Di dua sekolah ini ia mulai aktif di CGMI. Belum selesai studinya di sekolah itu, oleh teman-temannya ia disarankan pindah ke jurusan Arsitektur ITB. Di kampus ini iapun bergabung kembali dengan CGMI.

Ia sempat aktif dalam kegiatan melawan gerakan rasialis anti Cina, melawan penyusupan DI/TII di Bandung, dan juga gerakan solidaritas anti bom atom.
Pada tahun 1964, ia cuti kuliah untuk cari uang agar bisa biayai kuliah lagi. Namun tahun 1965, meletus G30S. Ia kemudian ditahan, dibawa ke Lidikus, Kodam. Sedang ayahnya, yang juga simpatisan PKI, ditangkap di Bekasi. Waktu dalam tahanan, ia juga mengetahui kalau ibunya ditahan di penjara Bukit Duri. Rumahnya dirusak dan dibakar oleh massa.

Ia kemudian ditahan di Rutan Salemba. Ia mengalami penyiksaan dan pelaparan. Pada tahun 1967 ia sempat bertemu dengan ayah dan ibunya di penjara. Tahun 1970 ia dibuang ke Pulau Buru.

Pada tahun 1974, keadaan mulai melonggar. Para tapol mulai bergaul dengan warga pendatang. Harsono berkenalan dengan seorang gadis dan menikahinya pada tahun 1978. Pemerintah mengijinkan perkawinan itu dengan catatan bersedia menetap di Pulau Buru.

Pada saat pembebasan tapol tahun 1979, bapak Harsono dan isteri tetap tinggal di Savanajaya, Pulau Buru. Orangtuanya sempat berkunjung ke Pulau Buru. Tahun 1991 ia dan keluarganya sempat pindah ke Ambon. Harsono bekerja pada proyek-proyek pembangunan milik pemerintah, seperti membangun jembatan, bendungan, irigasi dan lain-lain.

Pada saat terjadi kerusuhan Ambon, ia dan keluarganya terpaksa mengungsi ke beberapa tempat. Namun karena kondisi keamanan masih juga tidak membaik, ia memutuskan keluar dari Ambon.

1.18 - Sudir
Jakarta, Februari 2001

Sudir lahir di kota Purworejo tanggal 1 Oktober 1920. Pada era pemerintahan kolonial ia bersekolah di HIS. Pada saat itu kehidupan sangat sulit. Keluarganya hanya mampu makan oyek dan awuk(makanan berbahan dasar singkong). Tahun 1939 ia bergabung dengan milisi bentukan Belanda. Ia dilatih ketentaraan. Ia sering berpindah-pindah tempat tugas, bahkan sempat bertugas di Bandung.

Ketika Jepang menduduki Indonesia ia aktif melawan tentara Pendudukan Jepang. Saat Jepang hengkang dari Republik, ia bergabung dengan BKR dan TRI untuk menghadapi tentara NICA dan Jepang yang masih tersisa di Indonesia. Dalam masa perjuangan itu, anak istrinya selalu dibawa. Ia mengaku sempat mengalami pertempuran di Ciracas, Suka Miskin, kemudian mengungsi sampai daerah Cirebon.

Pada tahun 1949, ia kemudian bekerja sebagai petugas penjara Salemba sampai tahun 1960, kemudian pindah ke penjara Cipinang. Tahun 1963 pindah lagi ke Salemba. Selama sebagai petugas penjara, ia aktif dalam organisasi Serikat Buruh Penjara. Ia aktif juga dalam kongres-kongres yang diadakan. Bahkan, ia sempat menjadi sekretaris.

Pascameletusnya G30S, anggota Sarekat Buruh Penjara dinyatakan terlibat G 30 S. Tahun 1965 ia ditangkap dan dipenjara di LP Cipinang, kemudian dipindah ke Salemba sampai ia dibebaskan. Selama dalam tahanan ia mengalami penyiksaan. Ia menyaksikan banyak tahanan yang dibon dan tak pernah kembali.

Tahun 1976 ia dibebaskan bersama tahanan-tahanan temannya. Ia kembali ke keluarganya. Untuk menafkahi keluarga ia memilih berdagang gula. Namun usahanya berhenti sampai tahun 1984, sebab dagangannya tidak mengalami kemajuan yang berarti, sulit memperoleh keuntungan. Bersamaan itu pula ia mulai sakit-sakitan.

Sebagai mantan aktivis Sarekat Buruh, ia mempunyai harapan agar Serikat Buruh saat ini dapat melanjutkan perjuangan. Sementara itu ia juga berharap terhadap kasus 65 ada tindakan untuk mengadili orang-orang yang terlibat dan tidak memberikan jabatan publik kepada mereka.


1.17 - Sodikin
Jakarta, 29 Mei 2000

Sodikin adalah salah satu saksi yang cukup penting dalam perjalanan sejarah Indonesia. Pada tahun 1964 aktif dalam organisasi Persatuan Sarjana Indonesia sebagai ketua. Pada saat itu wakilnya adalah Bapak Soedharmono (Mantan Wapres RI). Kemudian pada tahun 1965 ia mendapat pendidikan khusus di Sekolah Staf Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung. Hal itu ia jalani karena ia juga menjabat sebagai Hakim Militer Tinggi (Mahmilti) se-Indonesia.

Saat meletus G 30 S, Sodikin masih menjalani pendidikan di Bandung. Ia kemudian kembali ke Jakarta dan terlibat dalam proses pengadilan kasus G 30 S. Tanggal 5 Desember 1965, Bung Karno meminta diadakan pengadilan khusus terhadap kasus G 30 S. Sodikin ditunjuk sebagai Koordinator Hakim dalam proses pengadilan tersebut. Pengadilan terhadap tokoh “PKI” antara lain pengadilan Nyono, Untung, Subandrio, dan lain-lain.

Sodikin merupakan salah satu saksi tentang simpang siurnya Supersemar. Ia juga menjadi saksi bagaimana kejadian Ir Soekarno harus pergi dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. Saksi atas pengakuan-pengakuan tokoh-tokoh “PKI” yang menjadi terdakwa dalam pengadilan, termasuk Syam yang cukup ‘misterius’.

Pada tahun 1967, setelah pengadilan Soebandrio, Sodikin diminta memimpin pengadilan atas diri Ir Soekarno dengan tuduhan kudeta. Ia menolak dengan alasan bahwa ia merasa tidak mampu. Dan mengenai upaya Kudeta, ia berpendapat bahwa tidak mungkin Soekarno meng-kup dirinya sendiri.
Akibat dari penolakannya itu, tanggal 7 Agustus 1967 ia ditahan dan menjadi tapol sampai 8 Desember 1979. Sodikin paling lama ditahan di tahanan Salemba.

Sejak ia ditahan tahun 1967, ia tidak pernah lagi mendapat gaji, rumah dinas yang ia diami disita. Istri dan delapan anaknya terpaksa mencari penghidupan baru.

Setelah dibebaskan, Sodikin mengaku tidak mau mengurus soal pensiun dan hak atas gaji yang dulu tidak diberikan. Menurutnya hal itu merupakan pekerjaan sia-sia.


1.12 - Sugianti
Jakarta, 31 Agustus 2000

Sugianti anak ke dua dari empat bersaudara pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru. Ayahnya adalah guru SMA sementara ibunya adalah guru Sekolah Dasar. Di Kebumen, Jawa Tengah, rumah tinggalnya dijadikan tempat Kursus Calon Guru Taman Kanak-kanak Melati.

Ketika pecah peristiwa G 30 S, ia baru saja merayakan hari ulang tahunnya. Pada saat itu ia baru duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar. Setelah peristiwa G 30 S, kawasan pecinan dan pertokoan, termasuk rumah keluarga Sugianti, dibakar oleh massa yang berteriak “Allhahuakbar” dan “Bakar! Bakar!” Akibat dari pembakaran tersebut ia terpisah dengan anggota keluarga yang lain, termasuk ibunya. Tidak lama kemudian ayahnya ditangkap. Ia tidak tahu ayahnya ditahan di mana.

Ia juga tidak tahu secara persis latar belakang organisasi orangtuanya. Seingat dia, di rumahnya ada majalah yang dikelola oleh PGRI. Dan di rumahnya dibuat pula koperasi kebutuhan pokok untuk para guru.
Ia kemudian pergi ke tangsi untuk berkumpul dengan orang-orang lainnya. Dua hari kemudian ia bertemu dengan ibu dan adiknya di tangsi. Di tangsi ia mendapat jatah bulgur dari pihak gereja untuk makan dengan jumlah yang amat terbatas. Di dalam tangsi ia merasa lebih aman dari ejekan dan cemoohan dibandingkan jika ia harus hidup di luar.

Tidak lama setelah ayahnya ditahan, ibunya pun turut ditahan. Ketika ibunya dipindah ke tahanan Purworejo, ia tidak ada komunikasi lagi dengan ibunya. Ia juga tidak tahu nasib dan keberadaan saudara-saudaranya yang lain. Selama ibunya ditahan ia tinggal di Pasar Gede Kebumen bersama anak-anak lain yang mengalami nasib yang sama. Selama di kamp penahanan ia juga kerap melihat penyiksaan yang dilakukan oleh para petugas kepada para tapol.

Setelah tiga setengah tahun, ibunya dibebaskan. Namun kebebasan tersebut tidak berlangsung lama, sebab ibunya ditahan kembali. Sugianti tidak mau lagi kehilangan orang tuanya, ia pun turut serta tinggal di penjara. Namun begitu, sesekali Sugianti masih hidup dan mencari makan di pasar. Ketika masih hidup di pasar, datang serombongan suster mengambil anak-anak yang ada di pasar untuk dititipkan pada panti asuhan. Oleh suster itu pula Sugianti dibesarkan dan disekolahkan.

Setelah dipenjara selama tiga tahun, ibunya dibebaskan. Untuk dapat menafkahi diri dan anaknya, ibunya mengajarkan bahasa Indonesia kepada orang-orang Cina di Kebumen.

Berbekal pengalaman mondar-mandir kamp penahan, Sugianti menawarkan jasanya kepada istri-istri tapol untuk mengantarkan makanan ke penjara. Imbalannya adalah ia memperoleh makanan.

Tahun 70-an ayah Sugianti pulang dari pembuangan Pulau Buru. Ketika bebas dari Pulau Buru ayahnya tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ditampung terlebih dahulu di markas koramil. Setelah mendapatkan indoktrinasi di markas koramil, ia baru diperbolekan pulang dan harus wajib lapor secara berkala.
Untuk menafkahi keluarga, ayahnya membuka bengkel sepeda.


1.10 - Rinawati
Jakarta, 18 April 2000

Sebelum peristiwa G 30 S, tanggal 28 September 1965 suami Ibu Rinawati baru saja pulang dari luar negeri. Pada saat itu suaminya dalam kondisi sakit, dan ingin menghadap Presiden Soekarno tanggal 29 September 1965.

Pada tanggal 30 September 1965, malam hari, kebetulan Ibu Rinawati ada rapat. Ia bertemu dengan seorang wanita dari PKI. Wanita tersebut menanyakan di mana suami ibu Rinawatipada saat itu. Ibu Rinawati menjawab bahwa suaminya sedang di rumah. Perempuan tersebut menanyakan apakah suami Ibu Rinawati “menyingkir”. Ibu Rinawati menjadi curiga dan bingung atas pertanyaan ini. Rapat kemudian diberhentikan setelah ada seseorang masuk dalam ruang rapat. Ibu Rinawati pulang sekitar jam 11 malam. Di jalan sudah banyak tentara.

Besok paginya baru datang para ajudannya dan memberitahukan bahwa telah terjadi penculikan dan pembunuhan para jenderal. Setelah peristiwa G 30 S rumahnya pernah didemo. Masa memanggil-manggil nama suaminya. Suaminya pun kemudian keluar menemui massa tersebut.

Tanggal 12 Maret suami Ibu Rinawati ditangkap bersama dua menteri lainnya. Surat penangkapan ditandatangani langsung oleh Suharto.
Sebelum menjadi menteri suami Ibu Rinawati adalah seorang advokat, setelah jadi menteri maka tidak lagi menjadi advokat dan uang sangat terbatas. Selama suaminya ditahan, kakaknya yang dokter kerap membantu biaya hidup sehari-hari.

Anak laki-laki Rinawati satu sekolah dengan anak Ahmad Yani. Mereka sering ejek-ejekan. Anak Rinawati juga sering terlibat adu omongan dengan tentara yang menjaga rumahnya. Selama beberapa bulan, setelah suaminya ditahan, rumah Ibu Rinawati selalu dijaga ketat oleh 8 orang tentara.
Seluruh kepentingan makan tentara penjaga ditanggung oleh Rinawati.
Pernah satu waktu sepeda milik Rinawati hilang dicuri oleh tentara yang menjaga rumahnya. Ke manapun Ibu Rinawati pergi tentara ini selalu ikut serta, bukan mengawal untuk memberi pengamanan, tapi mengawasi Rinawati.

Rinawati tidak menyangka kalau suaminya akan ditahan sampai 12 tahun. Seluruh harta benda yang diperoleh selama suaminya menjadi menteri diambil oleh negara. Termasuk rumah dinas. Banyak pihak pejabat, juga tentara, yang ingin mengambil alih rumah milik Ibu Rina, padahal rumah tersebut bukan rumah dinas.

Ketika Bung Karno meninggal dunia, Rinawati datang melayat. Ia datang ke rumah Bung Karno yang juga dijadikan tempat penahanannya (Bung Karno). Ia melihat kotor sekali kamar yang dijadikan tempat penahanan Bung Karno.

Ketika ke pasar, Rinawati pernah mendapatkan koran yang memuat berita bahwa suaminya sudah meninggal. Ia langsung ke tempat penahanan suaminya untuk cross check berita. Ternyata suaminya masih sehat dan tidak ada rencana untuk membunuh atau mengeksekusi suaminya.

Komandan kamp penahanan menjadi marah atas berita tersebut. Menurut isu, memang benar suami Rinawati akan dieksekusi, namun karena terlebih dahulu ada koran yang memuat hal tersebut, maka tidak jadi dilaksanakan.

Ketika suaminya menjadi ketua fact finding untuk peristiwa pembunuhan pasca G 30 S, Rinawati sering mendengar keluh kesah suaminya. Suaminya perihatin karena begitu banyak terjadi pembunuhan di setiap daerah dan banyak masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban dan pelaku karena dibohongi.

1.9 - Maryani
Jakarta, 8 Agustus 2000

Lahir tahun 1931. Ketika masih sekolah ia kerap membawakan peluru untuk kepentingan tentara republik melawan tentara Belanda. Ia juga sudah aktif di kegiatan palang merah sejak remaja.

Sebelum terjadi peristiwa G 30 S, Maryani bekerja sebagai kepala pelaksana makanan pada Gelora Senayan. Di tempatnya bekerja ia kerap melakukan tuntutan-tuntutan jika ada keterlambatan pemberian hak dan fasilitas karyawan/buruh.

Ibu Maryani senang melakukan perjuangan. Ia tergabung dalam Sukwati. Tanggal 30 September 1965, malam hari, ia dan relawan lainnya berkumpul di sekolah Thiongoa di kawasan Slipi. Malam itu katanya ia dan relawan yang lain akan dijemput. Tapi hingga pagi tidak pernah ada jemputan yang datang. Pagi itu kemudian ia mendengarkan siaran radio yang menyiarkan adanya penculikan terhadap para jenderal.

Maryani ditahan di Kodim 501. Jika malam ia dipaksa melihat pemuda yang disetrum kemaluannya ketika diinterogasi. banyak orang Tionghoa ditelanjangi dan disuruh lari-lari. Jika sore hari ia melihat seorang tapol perempuan diajak pergi dari ruang tahanan, ia tidak tahu mau diapakan perempuan itu. Bahkan ada empat orang anak tapol juga menghuni penjara bersama orang tuanya.

Jika ada penyiksaan telinga empat anak ini selalu ditutupi bantal agar mereka tidak mendengar jerit kesakitan tapol yang sedang disiksa. Selama pemeriksaan ia tidak pernah dianiaya. Beda dengan temannya yang juga tapol perempuan. Temannya dipukul dan disetrum oleh pemeriksa. Ketika ia dikirim ke tempat penyiksaan di Jl. Gunung Sahari 3, ia menjertit-jerit seperti orang gila. Akhirnya ia dikembalikan ke penjara lagi.
Suami Maryani juga ditangkap akibat peristiwa G 30 S. suami Maryani bekerja sebagai anggota tentara. Waktu ditangkap anak Ibu Maryani sudah 4 orang. Yang paling besar kelas 5 SD.

Maryani ditahan sekitar selama 5-6 bulan. Ia dikeluarkan dari penjara dan dijemput menggunakan mobil Sarwo Edie Wibowo.

Selama suaminya ditahan ia menghidupi anak-anaknya dengan singkong dan pisang rebus yang ada di kebunnya. Anak-anaknya sering diejek oleh para tetangga. Sampai sekarang anaknya merasa trauma dan khawatir.
Anak-anaknya selalu melarang jika Ibu Maryani berhubungan dengan teman-temannya sesama tapol, atau aktif dalam organisasi korban. Anak-anaknya tidak ingin ibu mereka ditahan lagi dan mereka menderita lagi seperti dulu.

Anak-anak Ibu Maryani tidak ada yang menemui kesulitan ketika masuk menjadi pegawai negeri. Sebab Ibu Maryani memiliki banyak nama, sehingga sulit terdeteksi bahwa ia adalah keluarga tapol.

Dengan Cucunya ia kerap menanamkan nilai-nilai perjuangan dan menuturkan sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G 30 S. Ia juga meyakinkan kepada anak-anak bahwa ayah mereka ditahan bukan karena mencuri, tapi karena politik. Ia mendorong agar anak-anaknya dapat menghargai perjuangan ayahnya.


1.4 - FX
Jakarta, 13 November 2000

Sejak berumur 17 tahun FX sudah bergabung dengan badan perjuangan yang ada di daerahnya untuk bergerilya melawan Belanda. Bersama pasukan Siliwangi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Mulai dari Yogyakarta, Jawa Barat hingga Jawa Timur.

Ketika itu tiap daerah diperintahkan untuk dijaga tentara untuk menghindari pendudukan oleh tentara Belanda. Ketika mendapat tugas untuk menjaga Jawa Timur, ia dan dan komandannya tertangkap Belanda di Madiun. Ia mengalami penyiksaan luar biasa karena tidak mau menunjukkan posisi induk pasukannya. Ia tetap tidak mau menunjukkan posisi induk pasukannya sampai ia dibebaskan.

Setelah Konperensi Meja Bundar, ia bertugas ke Jakarta. Di Jakarta ada penggabungan tentara bekas KNIL dan tentara gerilya Indonesia. Hal yang menyakitkan, setiap bekas tentara Belanda dinaikkan dua tingkat, sedangkan pangkat mantan laskar rakyat diturunkan dua tingkat. Karena kebijakan ini pangkatnya turun menjadi kopral. Walaupun kecewa, perlakuan ini tidak membuatnya kecil hati, ia mengejar karir hingga dapat menyelesaikan SMA. FX bertugas di bidang pendidikan calon perwira.

Pada tahun 1974, ia bersama sekitar 90 temannya ditahan karena dituduh terlibat dalam gerakan Blitar Selatan tahun 1968. Dalam penyiksaan ia dipaksa mengaku telah mengirim senjata ke Blitar. Suatu tuduhan yang mengada-ada itu tidak dapat ia terima. Ia dan teman-temannya juga dipaksa untuk menyebutkan (“menggigit”) orang lain yang terlibat walaupun sebenarnya tidak terlibat. Akibat penyiksaan yang luar biasa, tahanan yang tidak kuat memilih bunuh diri.

Dalam pemeriksaan lebih lanjut, tuduhan di atas tidak terbukti. Setelah ditahan dua tahun di Jakarta, ia mendapat surat rehabilitasi dari Kopkamtib. Namun kemudian ia dibawa ke Surabaya. Di sana ia kembali ditahan selama satu tahun. Selama menjalani penahanan ia masih berstatus anggota angkatan laut. Ketika dibawa ke Surabaya untuk ditahan, keluarganya tidak diberitahu. Keluarganya dikucilkan oleh para tetangga.

Saat usia 47 tahun, ia memutuskan pensiun dini. Setelah tidak lagi dinas diketentaraan, ia berprofesi sebagai pengacara.

1.3 - Binsar
Jakarta, 1 April 2001

Masa kecil Binsar dihabiskan di Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang pejuang yang pernah terlibat dalam pertempuran menghadapi agresi militer kedua Belanda di Sumatera Barat. Ayahnya pun terlibat dalam menumpas gerakan PRRI/Permesta di di Sumatera. Ayahnya mendapatkan penghargaan atas keberaniannya (berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan) dari CC PKI.

Ketika peristiwa G 30 terjadi Binsar berada di Jakarta. Beberapa hari setelah kejadian ia tahu kalau kantor CC PKI dan kantor-kantor lainnya dirusak. Melihat situasi yang semakin memanas akhirnya Binsar memutuskan untuk pergi ke Paris lalu ke Belanda. Di Belanda ia bertemu dengan Oemar Dhani. Oemar Dhani menanyakan tentang situasi politik Indonesia kepada Binsar. Setelah dari Belanda kemudian ia pergi lagi ke Paris.

Mei 1966 ia dan Duta Besar RI untuk Perancis dipanggil pulang ke Indonesia, namun ia memilih tetap tidak kembali ke Indonesia, ia kemudian pergi ke Moskow. Oleh pemerintah Moskow ia diberi kesempatan untuk kembali belajar. Di Moskow ia pun bertemu dengan pemuda-pemuda Indonesia dari berbagai latar belakang politik yang belajar di Universitas Lumumba. Pada waktu itu koordinasi partai di luar negeri dipimpin oleh Yusuf Adjitorop.

Tahun 1967 Binsar pergi ke Peking bersama tiga orang temannya untuk bergabung dengan teman-temannya yang sudah terlebih dahulu ada di Peking. Di Peking mereka kerap melakukan diskusi tentang situasi politik Indonesia. Hingga pada satu ketika diputuskan untuk menarik seluruh mahasiswa Indonesia yang pro PKI ke Peking. Keputusan ini kemudian memunculkan polarisasi pro Soviet dan Pro Peking. Ada sekitar 200-an pemuda Indonesia yang tinggal atau tidak dapat kembali ke Indonesia. Baik pemuda yang dikirim untuk belajar, olah raga maupun berobat ke Peking.

Di wilayah bagian selatan Peking ia dan beberapa temannya sempat belajar kemiliteran mengenai taktik perang gerilya. Latihan ini ia persiapkan untuk diterapkan jika mereka kembali ke Indonesia. Ketika itu mereka pun mendengar tentang peristiwa Blitar Selatan dan Kalimantan Barat. Kedua peristiwa inilah yang justru semakin meningkatkan motivasi mereka untuk mempelajari starategi kemiliteran dan taktik perang gerilya.

Dalam kelompok pendidikan kemiliteran tersebut terdapat dua perbedaan menyikapi situasi politik Indonesia: satu pihak ingin sesegera mungkin kembali ke Indonesia untuk memulai revolusi, dan kelompok yang lain ingin tetap bertahan di Peking sampai situasi memungkinkan.

Sekitar tahun 1990 Binsar mengajukan untuk menjadi Warga Negara Jerman. Dalam proses yang hanya memakan waktu enam bulan tersebut ia pun memperoleh kewarganegaraan Jerman. Menggunakan paspor Jerman itulah ia kembali ke Indonesia. Hanya sebulan ia berada di Indonesia. Ia pun kembali ke Jerman. Perubahan politik dan kepemimpinan di Indonesia membuat ia kembali lagi dan menetap di Indonesia.


1.2 - Atmajaya
Jakarta, 20 Mei 2000, 14 Desember 2002

Dalam wawancara ini banyak keterangan yang diberikan Atmajaya berkaitan dengan dokumen yang ditulis oleh Jenderal Soepardjo tentang peristiwa G 30 S. Beberapa cerita tentang sejumlah pertemuan yang diadakan para petinggi militer pada hari-hari menjelang maupun sesudah peristiwa G 30 S. Pertemuan untuk menyikapi kondisi Bung Karno yang saat itu sedang sakit dan pengambilan tindakan dari masing-masing kelompok yang berbeda.
Beberapa cerita menggambarkan situasi masing-masing gerakan dan konflik diantara angkatan bersenjata mengenai mendukung atau tidaknya isu Dewan Jenderal. Sehingga membawa wawancara sampai pada kilas balik hubungan-hubungan personal antar kesatuan angkatan bersenjata diantara kelompok-kelompok gerakan yang berbeda.

Contingency Plan muncul sebagai kekhawatiran dari Yani menghadapi jatuh sakitnya Bung Karno, dan ia menganggap perlu mengambil tindakan agar tidak terjadi chaos. Bersama dengan beberapa perwira tinggi militer, intelektuil dan ekonom-ekonom Yani mengadakan pertemuan untuk merumuskan tindakan dengan mengambil penasehat dari Seskoad-Bandung.

Beberapa yang hadir dalam pertemuan itu ada orang-orang PSI diantaranya: Emil Salim, Suwarto (komandan Seskoad Bandung), Sadeli, Wijoyo, Ali Wardhana, dan Soemitro. Pertemuan itu menghasilkan sebuah rumusan di bidang Politik Sosial dan Budaya yang keluar menjadi isu yang santer diperbincangkan sebagai Dewan Jenderal. Tetapi kemudian isu Dewan Jenderal itu sendiri dibantah oleh Yani. Bahwa yang ada hanya Wanjakti (Dewan Kebijakan Tertinggi) yang akan mengangkat perwira yang sudah seharusnya menjadi Jenderal.

Pada awalnya Atmajaya meragukan isu tersebut. Dengan asumsi bahwa dewan yang baru ini tidak akan mendapatkan legitimasi karena pengalaman bentukan dewan-dewan sebelumnya di Angkatan Darat.

Namun hal di atas mendapat perhatian serius dari Jenderal Soepardjo dan Omar Dhani, sehingga mereka membentuk sebuah kelompok baru Dewan Revolusi, yang bersama dengan beberapa perwira mengambil inisiatif untuk mendahului gerakan Dewan Jenderal. Dengan tujuan mengamankan Presiden dan mengagalkan kudeta Dewan Jenderal. Pada mulanya gerakan ini langsung mendapat dukungan dari perwira kesatuan Diponegoro dan Brawijaya. Tetapi ada salah satu anggota gerakan ini yang keluar pada saat menjelang aksinya yaitu Mayor Sigit, anak buah Latief.

Beberapa pertemuan diadakan oleh Jenderal Soepardjo, dimana Atmajaya selalu ada dalam pertemuan-pertemuan itu. Beberapa pertemuan diantaranya Jenderal Soepardjo bertemu dengan orang seperti; Untung, Syam, Aidit, Yono, dan Latief di rumah Anis Suyatno. Tak terkecuali pertemuannya dengan Omar Dhani dan Bung Karno di kantor Leo Watimena. Pertemuan Jenderal Soepardjo berjalan bolak-balik dan begitu seterusnya, berlangsung secara kontinyu. Sampai akhirnya pertemuan antara Jenderal Soepardjo bersama Bung Karno, Omar Dhani dengan Leimena, Martadinata, Ciptoyuto, Bambang Wijanarko di rumah Komodor Susanto dan menghasilkan Dekrit.

Atmajaya tidak terlalu banyak tahu tentang isi pembicaraan yang dibahas dalam pertemuan-pertemuan yang berlangsung. Beberapa pembicaraan dalam pertemuan itu menyangkut, antara lain, siaran RRI pertama dari Untung dan siaran kedua RRI yang diambil alih oleh Soeharto mengenai isu Dewan Jenderal, dan juga ancaman Kostrad yang memerintahkan pemanggilan pasukan 645. Tidak banyak tindakan dan pembahasan mengenai soal-soal ini, walau secara operasional gerakan itu terlaksana; pelatihan sukarelawan dan pengumpulan pasukan, pembagian tugas penculikan.

Soeharto dalam siarannya menyatakan akan memberlakukan jam malam dan memerintahkan Bung Karno keluar dari Halim karena area itu harus dibersihkan. Dan mengenai ancaman ini sempat dibahas dan akan diambil tindakan, bahkan oleh AURI sudah diadakan persiapan, tetapi dihentikan oleh Bung Karno karena akan berakibat korban pada rakyat. Namun terjadi juga pertempuran di Halim antara pasukan RPKAD dan pasukan 454 dibawah Kapten Kuncoro.

Setelah mendengar siaran kedua Soeharto, Bung Karno pernah mengatakan untuk tidak meneruskan gerakan itu dan mengambil alih gerakan. Dan Jenderal Soepardjo juga pernah menawarkan untuk mengambil alih komando tetapi ditolak, namun jawaban yang diberikan tidak begitu jelas.

Sehingga gerakan ini seperti tidak ada pemimpin dan unsur operasi militer di dalamnya (command and staff), gerakan ini hanya memanfaatkan orang-orang militer. Namun gerakan ini walaupun tidak masuk hitungan operasi militer tetap dijalankan dengan menggantungkan kepercayaan Syam bahwa PKI akan bergerak mendukung operasi ini. Namun PKI sendiri tidak pernah menggariskan untuk gerakan semacam ini, dan Biro Chusus yang terpisah dari partai tidak pernah mengetahui hal itu. Setting-an gerakan anti Dewan Jenderal pun berubah pada detik terakhir karena hilangnya beberapa tokoh yang dianggap memegang peranan penting gerakan ini.
Perwira seperti Dul Arief sebagai komandan seluruh operasi penculikan, Yahurup sebagai komandan penculikan Panjaitan, keduanya dari Cakrabirawa. Bahkan sampai sekarang tidak ada dokumen mengenai mereka dalam gerakan ini.

Sementara di antara kedua gerakan ini, Soeharto memanfaatkan operasi anti Dewan Jenderal ini karena dia anti Nasution sekaligus melakukan kontra-nya dengan gerakan anti Dewan Jenderal. Kemungkinan besar ada satu informasi yang diketahui oleh Soeharto, sementara gerakan yang lainnya tidak.

Informasi mengenai pidato Howard Jones yang mengatakan “Situasi yang paling baik itu atau kejadian yang paling baru di Amerika itu, kalau PKI melakukan coupyang bisa dihabisi.” Dan ini dimanfaatkan benar-benar oleh Soeharto. Pada peristiwa G 30 S sendiri ada perbedaan pita tanda yang dipakai antara gerakan anti Dewan Jenderal-nya Jenderal Soepardjo dengan pasukannya Soeharto.

Soeharto juga memang pintar memanfaatkan hubungan-hubungan personalnya dengan beberapa perwira, baik yang terlibat dalam gerakan anti Dewan Jenderal maupun yang berada di kelompoknya sendiri. Diantaranya Latief dan Untung merupakan orang yang dekat dengan Soeharto. Soeharto juga menjaga hubungan dengan Syam yang waktu itu menjadi kepala Biro Chusus PKI.
Ali Moertopo di detasemen intel Kostrad bersama dengan Yoga Sugama sebagai Staff Satu. Dulu pengalaman moral Ali Moertopo yang buruk membuatnya dibuang oleh Yani dari kesatuannya dan masuk ke Caduad yang kemudian diganti namanya menjadi Kostrad dibawah pimpinan Soeharto. Ali Moertopo sendiri berhubungan baik dengan Dul Arief yang waktu itu juga anak buah Latief. Beberapa hubungan personal Soeharto juga lahir dari operasi Irian Barat dalam hubungannya dengan Leo Watimena.


1.1 - Gunawan
Jakarta, 16 Juni 2000, 16 Agustus 2003

Pendidikan terakhir Gunawan adalah Akademi Seni Rupa. Karena orangtua menikah kembali, Gunawan dibesarkan oleh keluarga paman Sempat mengungsi ketika terjadi clash pertama dan clash kedua. Sejak kecil hobi dan memiliki bakat melukis. Mengenal dunia politik dan pergerakan lewat buku-buku milik pamannya yang tanpa sengaja ia baca ketika diminta membersihkan.

Sanggar “Bumi Tarung” Yogyakarta adalah organisasi yang pertama kali ia geluti. Ia tertarik Bumi Tarung karena organisasi ini tidak melulu mendiskusikan tentang seni rupa, tetapi juga tentang bahaya imperialisme Amerika. Karena mengalami kekecewaan ia memilih keluar dari organisasi ini. Kemudian ia masuk dalam organisasi seni rupa “Panitia Negara”.
Organisasi ini melayani kepentingan Sekretariat Negara jika ada kunjungan dari pejabat negara lain. Dari organisasi yang baru ia masuki ini Gunawan mulai dekat dengan kalangan CC PKI dan Lekra. Dari sini pula ia mulai bergelut ke dalam organisasi Lekra.

Gunawan senang mendengarkan pidato-pidato Bung Karno, walaupun berjam-jam lamanya. Lewat pidato tersebut ia menilai bahwa telah terjadi komunikasi antara rakyat dengan presidennya. Ia melihat bahwa di kalangan masyarakat konsep Nasakom yang dicetuskan oleh Bung Karno telah diterima.

Melalui siaran radio ia mengetahui peristiwa G 30 S.. Buntut dari peristiwa tersebut adalah kantor PKI, BTI, Gerwani dan Lekra menjadi sasaran amuk tentara dan massa. Ia merasa bahwa suatu saat ia pun akan menjadi sasaran.

Akhir November 1968 Gunawan ditangkap oleh petugas dari Operasi Kalong. Selama menjalani pemeriksaan ia dipukuli, dicambuk dengan ekor ikan pari dan disetrum. Gunawan mendapat klasifikasi Golongan B. Delapan bulan ditahan di Markas Operasi Kalong, Gunung Sahari. Satu tahun dua bulan di Penjara Salemba, kemudian diberangkatkan ke Nusakambangan. Setelah tiga bulan di Nusakambangan kemudian dikirim ke Pulau Buru.

Di Rutan Salemba ia melihat banyak tapol yang mati karena kelaparan. Dalam satu hari kadang ada tujuh orang yang mati. Di Nusakambangan ia menilai bahwa petugas penjara seperti polisi di era kolonial Belanda: kasar, bodoh dan tidak dapat berbahasa Indonesia secara baik. Untuk menghitung jumlah tahanan mereka selalu meminta tahanan jongkok. Setelah menghitung kadang mereka lupa dan harus memulai lagi dengan orang (tapol) pertama. Kadang tugas ini diambil alih oleh tapol. Kapasitas sel yang hanya untuk 25 orang dipenuhi oleh sekitar 125 orang tapol.

Di Nusakambangan mandi hanya 2 kali dalam seminggu. jarak tempat penahanan dengan tempat mandi sekitar 2 kilometer, harus ditempuh dengan jalan kaki dan dikawal. Kesempatan mandi biasanya digunakan untuk mencari dan menyelundupkan makanan ke dalam sel.

Ketika mendarat di Pulau Buru ia sempat “mencuri” susu dan gula pasir. Ia kepergok dan coba bernegosiasi dengan petugas, berhasil. Gula dibagi dua: satu bagian untuk dia, satu bagian lagi untuk petugas.Tahun-tahun awal di Pulau Buru adalah fase terberat bagi para tepol. Nanyak tapol yang meninggal, baik karena kelaparan, sakit atau bunuh diri.

Awalnya penduduk asli Pulau Buru takut kepada tapol. Hal ini disebabkan oleh propaganda pemerintah dan tentara. Tapi dengan seringnya tapol membuat sekolah dan mengajari penduduk asli membaca, menulis dan berbahasa Indonesia, penduduk asli percaya bahwa tapol tidak sengeri yang diceritakan tentara. Tapol juga kerap mengenalkan agama, bercocok tanam, mengajarkan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat kepada penduduk asli.

Pertengahan tahun 70-an, tapol yang biasanya hidup secara kolektif mulai mengarah ke kehidupan individual. Hal ini disebabkan adanya nilai komersialisasi yang mulai tumbuh di kalangan tapol.

Dalam pembebasan tapol Pulau Buru, Gunawan masuk dalam rombongan terakhir terakhir. Ia tinggalkan ternak dan kawasan yang dahulu padang rumput yang tandus namun sekarang menjadi kawasan pertanian yang sangat subur itu.

Kendati sudah dinyatakan bebas, namun Gunawan masih dikenakan wajib lapor. Setelah sekian kali dan sekian lama menjalani wajib lapor, karena merasa bosan, akhirnya ia memutuskan untuk tidak lagi menjalani wajib lapor

0 komentar:

Posting Komentar