21 June 2015 | Made Supriatma
MINGGU LALU saya menonton film ‘The Look of Silence.’ Di
Indonesia, film dokumenter ini diberi judul ‘Senyap.’ Saya menontonnya dalam
acara Human Rights Watch Film Festival. Agak menyenangkan melihat reaksi publik
atas film ini. Ada dua ratus tiket tersedia dan habis tandas. Terlebih lagi
sebagian besar penonton masih duduk untuk sesi diskusi.
Saat acara diskusi, ada satu pertanyaan yang sangat menggelitik
saya. ‘Mengapa pembantaian tahun 1965 tidak memancing perhatian dan reaksi
dunia internasional?’ Sedikit sekali orang tahu bahwa pembantaian besar-besaran
ini benar-benar pernah terjadi.
Orang akrab dengan pembantaian massal oleh Khmer Rouge di Kamboja;
pembantaian besar-besaran orang Yahudi pada Perang Dunia II; genosida terhadap
orang Armenia pada tahun 1915 oleh Turki; atau yang lebih modern lagi,
pembantaian etnis Hutu oleh etnis Tutsi di Rwanda tahun 1994.
Namun, hampir tidak ada orang tahu akan pembantaian orang-orang Komunis di
Indonesia tahun 1965. Padahal, pembantaian di Indonesia terjadi dalam skala
yang tidak kurang besarnya.
Mengapa? Jawaban yang paling spontan adalah bahwa pembunuhan ini didukung
oleh pemerintah Amerika dan negara-negara Barat. Suara Ted Yates, reporter TV
Amerika NBC, sangat jelas dalam
film ini. Bahwa pembantaian itu adalah kemenangan terbesar Amerika dalam front melawan
komunisme, tanpa melibatkan satu pun prajurit, tanpa mengeluarkan sepeser pun
uang dan tanpa ada satupun bom Amerika dijatuhkan.
Film ini diputar di di wilayah Greenwich Village, New York City. Ini
adalah wilayah yang termasuk paling progresif di Amerika, dimana aktivis,
seniman, atau intelektual berkumpul. Karena itulah, ketidaktahuan mereka akan
pembantaian 1965 menjadi mencengangkan.
Namun bisa dimaklumi. Bagaimana pun juga kaum progresif ini adalah orang
Amerika.
Tetapi, bagaimana dengan Indonesia?
***
Saya merasa, sebagai orang Indonesia identitas keindonesiaan saya
didefinisikan oleh pembunuhan massal ini. Suka atau tidak suka, identitas itu
melekat erat pada diri saya. Saya adalah bagian dari bangsa yang melakukan
pembunuhan massal itu.
Memang, banyak bangsa lain juga melakukan pembunuhan massal. Hanya saja
bedanya adalah bahwa bangsa-bangsa tersebut berani membicarakannya secara
terbuka. Beberapa bangsa mengakui pembantaian massal itu sebagai sejarah hitam
bangsanya. Dengan mengakui noda hitam ini mereka berharap untuk tidak
mengulanginya.
Bahkan Kamboja, negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia, mengadili
anggota-anggota Khmer Merah yang melakukan pembunuhan massal. Sekalipun tidak
sempurna, toh peradilan itu memancing perbincangan yang meluas.
Bangsa Khmer
berusaha mencari jawaban mengapa kebiadaban itu terjadi. Dari sana mereka
berharap menemukan jiwanya kembali, yang bersih dari kebiadaban.
Mendiskusikan pembantaian massal, mengenali siapa pelakunya, mengetahui
mengapa pembantaian itu terjadi, dan dimana itu terjadi tentu sangat penting.
Itu adalah bagian dari proses penyembuhan.
Namun, sebagai bangsa kita sebagai memilih untuk tidak melakukannya.
Pembantaian massal tahun 1965 kita perlakukan seperti keluarga kita
memperlakukan ‘aib.’ Kita berada dalam situasi seperti bapak yang memperkosa
putrinya sendiri. Alih-alih menuntutnya dan menghukumnya seberat mungkin, kita
memilih diam. Kita menolak membicarakannya. Kita bahkan menolak mengingatnya.
Kita terlalu takut bahwa ‘aib’ itu akan memberikan nama buruk pada keluarga
kita.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah si bapak ini kemudian memperkosa
kiri-kanan. Karena dia tidak pernah dihukum oleh satu kesalahan yang berat, dia
merasa bebas untuk melakukannya lagi.
Yang lebih parah lagi, kita menerima penjelasan dari si bapak itu bahwa
yang terjadi bukan perkosaan melainkan karena kesalahan si putri yang menggoda
dengan pakaiannya yang seksi. Kita juga menerima penjelasan itu karena takut
akan kekuasaan si bapak.
Akhirnya, kita ikut mengasingkan si putri dari keluarga. Kita mengusirnya
keluar dari rumah, menistanya, bahkan memukulinya.
***
Sayangnya, pembantaian itu tidak berhenti hanya pada tahun 1965. Beberapa
tahun sesudahnya, kita membersihkan ‘pemberontakan’ di Kalimantan Barat.
Pelakunya adalah ‘pemberontak’ ciptaan kita sendiri, yakni PGRS/Paraku. Ini
adalah organisasi ciptaan tentara Indonesia ketika terjadi konfrontasi
menentang pembentukan negara Malaysia.
Sejarah resmi selalu menyatakan bahwa pembantaian 1965 dimulai dari usaha
kudeta Gerakan 30 September (G30S). Sejarah yang sama mengajarkan bagaimana
jenderal-jenderal Angkatan Darat ditangkap dan disiksa oleh gerombolan G30S,
yang sesungguhnya dipimpin oleh perwira-perwira muda Angkatan Darat. Mereka
disiksa habis-habisan, muka mereka disilet, kemaluan dipotong, dan dipukuli.
Dari narasi itulah muncul pembantaian massal. Pelakunya, sebagaimana
kelihatan dalam film ‘The Look of Silence’ bukanlah tentara melainkan ‘massa’
atau rakyat yang marah terhadap PKI.
Hal yang serupa diulangi dalam menangani PGRS/Paraku di Kalimantan Utara,
yang kebetulan disokong oleh etnis Cina. ‘Pemberontakan’ ini berhasil
dipadamkan karena penculikan dan kemudian pembunuhan sembilan orang Dayak
–diantaranya adalah Temenggung. Orang-orang Dayak ini disiksa sebelum dibunuh.
Setelah meninggal, kelaminnya dipotong dan dimasukkan ke dalam mulut dan
didadanya terdapat kain bertuliskan aksara Cina. Kemudian diketahui bahwa
penculikan dan pembunuhan ini adalah bagian dari operasi ‘psywar’ (perang psikologis) yang dilakukan oleh
pihak militer.
Kematian sadis itulah yang disebarkan. Seorang petinggi militer dengan
terus terang mengakui adanya operasi militer untuk mendorong orang-orang Dayak
melakukan ‘pengayauan’ terhadap orang-orang Cina. Pihak militer dengan aktif mendampingi
orang-orang Dayak melakukan pembunuhan dan pengusiran orang-orang Cina dari
pedalaman Kalimantan Barat.
Pembantaian itu tidak berhenti di sini. Satu dekade berikutnya, kita
mengirim pasukan untuk menginvasi negara tetangga kita yang kecil. Sepertiga
penduduknya habis, entah karena peluru atau karena kelaparan akibat strategi
perang.
Tidak berapa lama kemudian, kita melihat pembantaian-pembantaian terjadi
di Talangsari, Lampung; di Tanjung Priok, Jakarta; dan di seantero Indonesia
dengan alasan membasmi preman. Belum lagi pembantaian secara sistematis yang
kita lakukan di Aceh dan Papua.
***
Kita, sebagai bangsa, didefinisikan oleh apa yang kita lakukan atas nama
Indonesia. Suka atau tidak suka, kita juga didefinisikan oleh sekian banyak
pembantaian massal yang dilakukan atas nama bangsa Indonesia. Dan itu akan
terus berlangsung jika kita tidak melawannya dan melakukan definisi ulang atas
apa artinya menjadi ‘orang Indonesia’ itu.
Saya seringkali mendengar orang berbicara dengan topik ‘Menjadi
Indonesia.’ Beberapa buku sudah ditulis dengan topik yang sama. Ada juga lomba
esei untuk mahasaiswa dengan judul seperti itu.
Namun, ada yang hilang dalam semua perbincangan dan diskusi ‘menjadi
Indonesia’ itu. Tidak ada satu pun perbincangan ‘menjadi Indonesia’ itu terkait
dengan pembantaian massal 1965 dan pembantaian-pembantaian yang terjadi
sesudahnya. Bisu. Senyap.
Semua pembantaian massal itu adalah aib kita sebagai bangsa. Dia harus kita
kubur dalam-dalam. Kita tabu membicarakannya. ‘Yang lalu biarlah lalu,’
demikian selalu dalih para pembunuh yang muncul dalam film ‘The Look of
Silence.’ Kita tidak mau mengungkap luka lama sekalipun luka itu hadir terus
menerus dengan pembunuhan-pembunuhan massal yang lain.
***
Ketika sedang merenungkan soal ini, tiba-tiba saya ingat pada sebait
kalimat dari Dr. Martin Luther King, Jr. yang diucapkan saat menyampaikan eulogy atas kematian
tiga anak korban pengeboman sebuah gereja di Birmingham, Alabama. Dr. King
mengatakan bahwa kita tidak usah terpaku hanya kepada siapa yang membunuh
melainkan kita harus lebih menaruh perhatian kepada ‘sistem, cara hidup , dan
filosofi yang menghasilkan para pembunuh tersebut.’[1]
Hampir mustahil untuk menjadi orang Indonesia masa kini tanpa menanggung
beban pembunuhan massal itu. Kita ada dalam sistem, cara hidup, dan filosofi
yang menghasilkan para pembunuh itu. Kita lakukan itu demi tegaknya ‘Negara
Kesatuan Republik Indonesia.’ Kita menerima filosofi ini dengan sukarela dalam
hidup sehari-hari kita. Kita didefinisikan oleh pembunuhan massal itu.
Jika Anda membisu maka Anda menerima definisi ini. Saya menolaknya. Untuk
itulah saya bersuara.
***
———
———
[1] ‘They
say to us that we must be concerned not merely about who murdered them, but
about the system, the way of life, the philosophy which produced the
murderers.’ Lihat, http://kingencyclopedia.stanford.edu/encyclopedia/documentsentry/doc_eulogy_for_the_martyred_children/
Sumber: Indoprogress
0 komentar:
Posting Komentar