Senin, 1 Juni 2015 21:50 WIB
Ilustrasi (JIBI/Dok)
Permakaman massal korban tragedi 1965 di Semarang mendapat perhatian.
SEMARANG-Lantunan suara saxophone yang
dimainkan Romo A. Budi Purnomo menggema di tengah hutan di Dusun Plumbon,
Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Ia mengiringi Al-I’tirof
yang dilantunkan warga menuju lokasi permakaman orang-orang yang dibunuh dalam
tragedi 1965.
Tangis pun pecah ketika pihak keluarga tiba di dua liang lahat
yang berada di bawah pohon jarak. Menurut keterangan saksi hidup, ada sekitar
24 orang yang dikubur dalam dua makam tersebut dan ada beberapa yang sudah
diketahui identitasnya.
Tepat di Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni ini, pihak keluarga, warga
Plumbon, pegiat sejarah, mahasiswa, dan beberapa pihak lainnya termasuk Pemkot
Semarang dan Perhutani menggelar pemasangan batu nisan di sana.
Sri Murtini, 61, warga asli Cepiring, Kabupaten Kendal tidak kuasa menahan
tangis karena ayah angkatnya, Yusuf Setyo Widagdo menjadi salah satu yang
dikubur di lahan yang saat ini dikelola Perhutani KPH Kendal itu. Selama 50
tahun Sri tidak tahu kondisi Yusuf dan beberapa hari lalu ia dihubungi
seseorang dan mengabari ayah angkatnya menjadi salah satu orang yang dikubur di
sana.
“Saya terima kasih sekali sama orang-orang yang mengurus ini, saya tidak tahu di mana jenazah bapak. Terima kasih masih ada yang peduli. Dari dulu tidak tahu, sudah 50 tahun,” kata Sri dengan sesenggukan, seperti dilansir detik.com, Senin (1/6/2015).
Beberapa orang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan jenazah yang
ada di kuburan massal itu juga tidak bisa menahan kesedihannya. Dengan diiringi
instrumental Padamu Negeri oleh Romo Budi, mereka menabur bunga. Nisan yang
sudah bertuliskan sembilan nama jenazah pun dipasang di tengah dua liang lahat.
Koordinator Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia
(PMS-HAM), Yunantyo Adi mengatakan warga sekitar sebenarnya sudah mengetahui
tentang adanya makam orang-orang yang dibantai dalam tragedi 1965 di wilayah
tersebut.
“Dulu warga tidak pernah terpikirkan untuk penisanan dan pemakaman ulang. Setelah ketemu kita baru terpikirkan itu. Ini dulu jadi pembicaraan publik, ada yang untuk cari nomor [togel], terus untuk diskusi kampus, tapi kok cuma diskusi doang, harus ada sesuatu yang dilakukan,” tandas Yunantyo.
Pihaknya kemudian menghubungi Komnas HAM untuk mengusahakan agar ada
prosesi pemakaman yang layak. Ternyata ada kendala karena harus forensik atau
tes DNA, maka ia menemui pihak Pemkot Semarang hingga akhirnya pemkot
menyumbang batu nisan dan Romo Budi menyumbang pembatas.
“Secara manusia mereka juga punya hak mati diperlakukan lebih baik. Dari Komnas HAM kendala forensik, tes DNA, dan lain-lain,” terangnya.
Mereka juga berkoordinasi dengan pihak Perhutani sehingga warga
diperbolehkan ziarah dan PMS-HAM harus melapor sekali setahun ke Perhutani.
Sementara itu, terkait identitas jenazah, lanjut Yunantyo, pihaknya tahu dari
saksi hidup yang mengenal beberapa korban.
“Nama-nama itu muncul ketika di sini tidak ada yang tahu siapa keluarga mereka, kemudian di UKSW ketemu Margiono yang bilang ada keluarga yang sering ziarah ke sini, nah saya cari,” ujar Yunantyo.
Meski demikian pihaknya belum bisa memastikan keseluruhan nama dan
memastikan identitas, karena tidak boleh membongkar makam tanpa seizin Komnas
HAM.
“Kami tidak bisa bongkar, harus ke Komnas HAM karena ini pelanggaran HAM berat. Kalau belum ada izin Komnas HAM kita tidak berani karena bisa kena perusakan barang bukti,” katanya
Sementar itu dari 12 jenazah, yang sudah diketahui namanya dan ditulis di
nisan yaitu Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar,
Doelkamdi, dan Soerono. Di bagian bawah nisan tertulis “gugur dalam peristiwa
1965 semoga diterima di sisi-Nya”.
Acara pemasangan batu nisan itu berlangsung khidmat, doa-doa dilantunkan,
puisi dan tembang macapat juga dilantunkan oleh para seniman.
“Ini momen perdamaian, sejarah damai luka-luka di masa lalu. Jangan sampai terjadi lagi,” tandas Yunantyo.Sumber: Solopos
0 komentar:
Posting Komentar