24 Juni 2015 23:21
Sumber gambar: dok. Pribadi
“Kita tidak mencari siapa benar atau siapa salah, melainkan melihat di mana kesalahan Negara ini. Apa yang salah dengan Negara ini.” Kata Agus Widjojo, Pengamat Militer, saat berkunjung ke makan pahlawan revolusi, Kalibara, Jakarta, senin (1/10) (Kompas, 2/10/2012).
Pasukan itu merangsek ke rumah seorang jenderal, dini
hari. Lengkap dengan senjata siap serbu. Beberapa orang masuk dan lainnya
berjaga di luar. Pintu rumah diketuk, sang empu rumah membukakan pintu dengan
kondisi mata mengatuk. Salah satu dari pasukan itu mengatakan jika Sang
Jenderal detik ini juga harus menghadap Presiden untuk menyampaikan kebenaran
mengenai “dewan jenderal” yang akhir-akhir ini santer di kalangan tentara.
Otomatis Sang Jenderal menolak, sebab pekat malam belum
pudar dan sangat tidak mungkin presiden mengundang mereka (para jenderal) di
pagi yang buta. Masih ada waktu. Firasat akan terjadi sesuatu yang tak baik
bercampur aduk bersama butanya malam, satu regu pasukan yang terlatih dengan
senjata lengkap. Berbagai alasan dilancarkan untuk meyakinkan para pasukan
tersebut. Namun nihil, pasukan itu tetap ngotot bila malam itu juga Sang
Jenderal harus ikut. Ending, suara letusan senjata, darah bersimbah,
tangisan keluarga yang ditahan.
Itulah adegan film G 30 S/PKI yang pernah tayang saat
orde baru berkuasa. Film garapan Arifin C.Noer itu mengisahkan bagaimana
lika-liku tragedi penculikan para jenderal yang dinilai akan melakukan
pembakangan terhadap Presiden. Film, yang sekarang dilarang tayang, itu memang
begitu mengiris bagi pemirsa dan dengan spontanitas mengatakan: “begitu
kejamnya mereka!”. Namun, seakan kebengisan adegan itu malah seperti candu yang
digandrungi, dikangeni para pemirsa: setiap tanggal 30 September berduyun-duyun
orang menontonnya dan kemudian kembali mendesis. Begitu seterusnya.
Masih ingat di benak saya, para tetangga, yang pada waktu
belum begitu banyak yang memliki dan listrik belum menjamah desa, ada semacam
antusias untuk menyaksikan film yang direstui Negara pada waktu itu. Persiapan
menonton jauh hari dilakukan: mengisi stroom accu. Pas tiba waktunya, para
tetangga itu berkumpul di rumah salah satu warga yang kebetulan punya televisi.
Sudah bisa dipastikan obrolan apa yang akan terjadi: ya, rasan-rasan masalah
PKI. Partai yang pernah berjaya itu menjadi narasi malam yang mengiringi acara
film itu sendiri.
Obrolan malam yang sebenarnya duka bagi negara malah
menjadi rasan-rasan, mengungkap kembali borok tetangga yang dulu berkubang pada
dunia “merah” meski hanya simpatasian dan tak tahu apa-apa tentang ideologi
tersebut. “kakeknya Si A dulu itu merah dan pernah Mbahmu sebagai daftar
yang akan dibersihkan!” sebagaian warga mengatakan begitu, dan saya masih ingat
dengan kata-kata itu: Mbah saya adalah satu daftar pembersihan oleh tentara
“merah”. Hanya saja niat itu belum terlaksana keburu para tentara “merah”
dibersihkan.Konon katanya, di bengawan kota saya banyak Batang pating
kleler. Ngeri untuk membayangkan. Entah bagaimana kebenarannya, apakah yang
mati, yang masuk daftar “pembersihan” benar-benar tahu seluk beluk permasalahannya
ataukah mereka sebenarnya hanya korban dari segelintir kelompok. Benar-benar
kelabu. Begitu samar dan kaburnya pihak mana yang diuntungkan dan yang
dirugikan. Tetapi masyarakat tidak mungkin lupa dengan peristiwa itu dan cap
berbagai kebiadaban telah terlanjur membekas.
Syukurlah film itu sudah tidak beredar karena hanya
menambah luka lara yang berkepanjangan dan sudah sepatutnya antara elemen
bangsa, keturunan yang moyangnya terlibat dalam peristwa tahun ’65 itu saling
memaafkan, meski memoar peristiwa tak mudah dilupakan.
Seperti yang dikatakan oleh Agus Widjojo, kita tidak
mencari siapa yang benar-siapa yang salah, tetapi kita harus menilik lagi
peristiwa itu agar perang saudara tidak kembali pecah. Ibaratnya, sulaman baju
yang terlanjur cacat harus kita runut kembali bagaimana dulunya dirajut supaya
kelak proses merajutnya tidak salah lagi.
Buku “Saksi
dan Pelaku Gestapu: Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30
September 1965” yang dikoordinatori Surya Lesmana ini berusaha merunut kembali
sejarah yang telah berlampau waktu. Seperti yang sudah disinggung dalam
pengantarnya bahwa buku ini tidak menyimpulkan siapa yang benar, siapa yang
salah. Pemaparan buku ini tidak ada kesimpulan hitam putih. Tidak ada vonis,
sebab semua mengungkapkan kebenaran dari pelakunya sendiri, yang bisa saja
ditambahi atau dikurangi.
Soeharto (alm), selanjutnya ditulis Pak Harto, yang pada
waktu berpangkat mayjen dan panglima kostrad adalah tokoh utama di balik
peristiwa penumpasan Gerakan 30 September 1965. Pada hari yang menentukan itu,
1 Oktober 1965, ia mengambil langkah-langkah taktis yang menentukan bagi perkembangan
karir politiknya. Salah satu langkah terpenting adalah, bertentangan dengan
kehendak Presiden/Pangti Soekarno, ia mengambil alih Kepemimpinan Angkatan
Darat, setelah Jenderal Yani (Men/Pangad) diculik oleh gerombolan G30S.
Seperti yang dituturkannya, dalam buku ini, pada tanggal
30 September 1965. Kira-kira pukul Sembilan malam Pak Harto bersama Ibu Tien
(alm) sedang berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto, menengok anaknya, Tomy, yang
dirawat di sana sebab tersiram air sup yang panas. Kira-kira pukul 12 malam Pak
Harto pulang ke rumah dan terus tidur. Kira-kira pukul lima subuh, 1 Oktober,
kedatangan seorang kameraman TVRI yang mengabarkan adanya suara tembakan di
beberapa tempat. Pak Harto tidak berpikir panjang. Setengah jam kemudian datang
Mashuri, tetangganya, yang memberi tahu jika ia mendengar banyak tembakan.
Setengah jam datang Broto Kusmardjo, menyampaikan kabar
mengagetkan mengenai penculikanatas beberapa Pati Angkatan Darat.
Dan sekitar Monas
ada pasukan yang tidak dikenal sebagaimana laporan Letkol Sadjiman, atas
perintah Pak Umar Wirahadikusumah.
KemudiaN Pak Harto mengambil langkah-langkah
penyelamatan. Dikumpulkan anak buahnya dan berbegas menumpas gerombolan G 30 S
yang dipimpin Letkol Untung sebagaimana yang tersiar dari RRI.
Setelah menguasai RRI dan Telkom, Brigjen Ibnu Subroto
dan beberapa orang menuju RRI dengan membawa rekaman pidatonya Pak Harto.
Isinya:
“…apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” telah
membentuk apa yang mereka sebut “Dewan Revolusi Indonesia”. mereka telah
mengambil alih kekuasaan Negara atau lazimnya coup dari tangan Paduka Yang
Mulia Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan
melempar Kabinet Dwi Kora ke kedudukan demisioner, di samping mereka telah
menculik beberapa perwira Tinggi Angkatan darat.
Para pendengar sekalian,
Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan-tindakan mereka
itu Kontra Revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Kami yakin, dengan bantuan penuh dari masyarakat yang
progresif dan revolusioner, gerakan kontra revolusioner 30 September pasti
dapat kita hancurkan-leburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya di bawah Paduka Yang Mulia
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi kita yang tercinta
Bung Karno…”(hal. 8-10)
Jika kita cermati pidato Pak Harto tidak ada penyebutan
bahwa penumpasan diarahkan pada PKI, melainkan pada Gerakan 30 September.
Tetapi juga ada kejanggalan ada kata “sampai akar-akarnya” yang mengindikasikan
jika pemberontakan itu masif dari atas sampai bawah. Meski “akar-akarnya” tidak
mengetahui sedikitpun permasalahan.
Mungkin, Pak Harto mengkaitkan dengan Letkol Untung yang
dikenal sebagai anggota PKI maka pemberontakan itu dinisbahkan pada partai
“Palu Arit” tersebut. Begitu pula dengan gerakan penumpasan yang boleh dibilang
singkat dan cepat. Tentunya ada strategi jitu untuk mengalahkan, atau tidak
para penumpas mempunyai titik-titik simpul yang jika ditariknya maka runtuh
semua anggota pemberontak.
Pengakuan dari anggota pasukan Cakrabirawa, pasukan yang
dikenal pelaku penculikan para jenderal, yakni Serka Bungkus. Dalam
wawancaranya Serka Bungkus mengakui jika yang menculik para jenderal memang
pasukan cakrabirawa. Tujuannya tidak lain untuk mengamakan presiden yang ketika
itu ada dewan jenderal yang akan meng-kup.
Serka Subur ditugasi mejemput Jenderal M.T. Haryono.
Menurut keterangannya ada masalah ketika menjalankan tugasnya. Sebab yang
menemui pasukan adalah istrinya M.T. Haryono, sedangkan dia (M.T. Haryono)
berada dalam kamar. Merasa kelamaan dan bertele-tele, akhirnya kamar didobrak
oleh Serka Subur. Keadaan kamar gelap, ketika Serka Subur mencari stop kontak
tiba ada sekelebatan bayangan putih, dan anak buahnya berteriak jika ada
banyangan putih. Karena terkejut Subur mengangkat senjata dan “dor” bunyi.
Ternyata, anak buahnya menembak, padahal senjata baru saja diangkat. “dor”nya
senjata ketidaksengajaan, katanya.
Pak Haryono tertembak di bagian belakang, tembus dari
punggung ke perut, dan saat itu masih hidup. Senjata yang dipegang oleh anak
buahnya dan menyalak adalah jenis Thomson, isinya 12. Itu senjata berat.
Menembak dari jarak dekat belum tentu kena, apalagi gelap. Serka Subur
menyangsikan jika penembak Pak Haryono adalah anak buahnya, keraguannya seakan
mengarahkan ada penembak lain yang bermain di malam itu.
Pasukan membawa para jenderal ke lubang buaya. Tujuannya
penculikan adalah untuk di hadapkan ke presiden yang tentunya berada di istana
kepresidenan. Lha ini kok ke lubang buaya, ada apa?
Ternyata komandonya berada di lubang buaya dan nantinya akan di hadapkan
presiden (tapi kok ada yang mati?). bagaimana para jenderal bisa memberikan
klarifikasi kepada presiden jika mereka dalam keadaan tak bernyawa?
Para sandera yang dibawa ke lubang buaya kemudian di “dor”
di dekat lubang tersebut. Menurut pengakuan Serka Subur di lubang buaya tidak
ada penyiksaan, penyiletan terhadap sandera. Para sandera di gandeng, mendekat
ke lubang kemudian di dor. Dan penembaknya bukan pasukan Cakrabirwa, ada
pasukan lain yang mengeksekusi. Entah dari kesatuan mana.
Namun, kesaksian Bungkus ditepis oleh anak kelima dari
M.T Haryono, yaitu Rianto Nurhadi. Saat peristiwa itu dia baru berumur sembilan
tahun. Pasukan yang dipimpin Bungkus benar-benar menembaki rumahnya, pintu
tidak didobrak sebagaimana pengakuan Bungkus melainkan ditembaki hingga rusak.
Hanya saja, saat kejadian tertembak ayahnya dia tidak melihat karena keburu
kabur menuruti perintah bapaknya.
Dalam film G30S ada adegan penyayatan, penyiksaan, bahkan
mata dicongkel. tentunya jika ini benar sebagaiman kenyataannya, maka visum
dari kedokteran bisa membuktikannya. Kesaksian otopsi terhadap jenazah korban
penculikan dilontarkan oleh prof. Dr. Arif Budianto. Beliau adalah dokter muda
ahli forensik dari UI (Universitas Indonesia) yang ditugasi oleh tentara untuk
memeriksa para jenazah penculikan.
Menurut Beliau, tidak ada penyiksaan, pecongkelan mata,
penyayatan terhadap para jenazah. Memang ada kondisi jenazah yang bola matanya
copot, kalau tidak salah jenazah Pak Yani. Itu terjadi karena, ketika
dimasukkan ke sumur, kepalanya lebih dahulu. Di dasar sumur ada air, jadi
kepalanya terendam di sana. Jenderal Yani pakaian piyama loreng-loreng,
biru-putih-biru. Piyamanya penuh pecahan kaca. Dia ditembak di depan pintu kaca
rumahnya. Itu sebabnya sisa pecahan kacanya masih berhamburan kemana-mana.
Di luar, kabar mengenai kondisi para jenazah yang kondisi
penisnya seram terdengar santer. Ketika dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti
lagi tentang itu. Ternyata kondisi penisnya tidak ada yang terpotong, bahkan
luka iris saja tidak ada. Namun, dokter Arif juga menampik jika tidak ada
penyiksaan terhadap para jenazah. Pergelangan tangan mayat Haryono malah jelas
sekali hancur karena bebatan perekanyang direkat kuat-kuat dan diikat sejak
dari lubang buaya. Dokter Arif kembali menegaskan, luka-luka di luar tubuh
memang ada namun karena kondisi mayatnya sendiri yang sudah busuk, kami tak
bisa bedakan lagi apakah kondisi mayat sesudah mati atau sebelum mati.
Itulah sekelumit kisah persaksian para pelaku yang
terlibat, mengalami peristiwa G 30 S. kesaksian tersebut bisa dipakai sebagai
pelajaran bagi bangsa Indonesia bahwa sejarah kelam tak perlu diulang. Yang
lalu biarlah berlalu. Permasalahan, bencana itu bersumber dari perebutan
kekuasaan, takut kehilangan tampuk kekuasaan. Padahal itu hanya untuk
kepentingan segelintir orang yang mengatasnamakan “kepentingan bangsa”.
Imbasnya adalah rakyat kecil yang tidak tahu punjering perkoro, menjadi
tumbal kebiadaban perebutan kekuasaan.
Kewaspadaan bangsa perlu diasah terus menerus untuk
mengantisipasi peristiwa kurawa-pendowo terulang. Sebab kita semua saudara,
satu ibu pertiwi meski ada perbedaan tetapi itu sudah menjadi keniscayaan. Yang
paling jelek adalah perilaku sengkuni yang terus mengadu domba antar komponen
bangsa. Inilah perilaku keji nan licik.
*Tulisan ini
disarikan dari Buku “Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan para Saksi dan Pelaku
Sejarah Gerakan 30 September 1965” yang dikoordinatori Surya Lesmana, terbitan
Agromedia Yogyakarta, Tahun 2005 (cetakan kedua)
0 komentar:
Posting Komentar