17 Juni 2015 11:36
"Salah satu
sekuel Film, adegan
penjemputan yang diduga terlibat BTI-PKI"
Kreatif dan menyejarah. Itulah ungkapan yang pantas
diucapkan ketika menyaksikan Film Pendek yang berjudul "Tragedi Kali
Abang". Kali Abang sendiri dalam bahasa Jawa artinya Sungai Merah. Film
ini sebenarnya adalah tugas akhir dari salah satu mata kuliah di Prodi
Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta untuk angkatan 2011. Namun
mereka membuatnya dengan sungguh-sungguh dan riset yang dalam. Salah satu nilai
plus dalam film ini ialah diangkat dari kisah nyata tentang kemelut sosial
sekitar tahun 1960an di Klaten (pedesaan) karena faktor ekonomi. Kemudian
konflik ini memuncak pada tahun 1965 pasca Gerakan 30 September 1965 yang oleh
Orba PKI lah dalangnya.
Film yang disutradarai oleh Arifin ini mengisahkan sepak
terjang dua kelompok petani yang masing-masing dipengaruhi oleh 2 kekuatan
besar politik saat itu. Kelompok petani pertama ialah kelompok petani yang pro
pemerintah dan didukung oleh massa PNI yang diperankan oleh sosok yang bernama
Suharto (diperankan saya). Petani kaya yang memiliki tanah luas dan memiliki
petani penggarap. Sedangkan kelompok petani kedua ialah kelopok petani yang pro
terhadap isu-isu Landreform yang tergabung dalam kubu Barisan Tani Indonesia
(BTI) didukung oleh PKI. Sosok utama petani kelompok ini diperankan oleh tokoh
bernama Joyosukarno, petani miskin yang sawahnya disewakan ke Suharto dan
justru bekerja dilahannya sendiri sebagai petani penggarap.
Konflik mulai muncul saat tahun 1964 ketika harga
kebutuhan pokok terus merangkak naik dan inflasi terus meningkat. Hal ini
begitu mencekik leher Joyosukarno. Suradi, pentolan PKI di desa tersebut
memberitahu Joyosukarno untuk meminta haknya kepada Suharto dari sawah yang
disewakan tersebut. Menurut instruksi pemerintah melalui Menteri Agraria, tanah
yang disewakan atau digadaikan, maka pemilik tanah tersebut berhak juga
menerima hasilnya. Namun yang terjadi adalah Joyosukarno dimaki-maki dan diusir
saat datang ke rumah Suharto untuk mengusut tanah tersebut. Sejak saat itu
Joyosukarno mulai tidak suka dengan Suharto.
Mengetahui usaha Joyosukarno tidak berhasil, Suradi
kembali mendekati Joyosukarno. Kali ini ia mengajak Joyosukarno untuk
memperjuangkan nasibnya melalui forum pertemuan Barisan Tani Indonesia di
desanya. Joyosukarno tertarik dan datang ke pertemuan tersebut, apalagi ia juga
menjumpai petani-petani lain yang senasib dengannya. Pertemuan Barisan Tani
Indonesia di desanya itu kemudian memutuskan untuk melakukan aksi sepihak
terhadap tanah-tanah milik Setan-Setan Desa. Suatu pihak yang dicap oleh PKI
sebagai orang-orang seperti Suharto yang memiliki tanah luas atau petani kaya.
Tanah-tanah milik petani kaya mulai diduduki sebagai bentuk aksi sepihak, termasuk
tanah milik Suharto. Dalam pendudukan tanah milik Suharto tersebut salah satu
pelakunya tak lain Joyosukaro sendiri.
Maraknya aksi sepihak membuat pemerintah mengeluarkan
Instruksi Presiden yang isinya tidak membenarkan aksi sepihak dan pelakunya
dapat dihukum penjara. Suharto dan teman-teman PNI nya seperti Giyanto,
Mangkuwiryo, dan Siswodarsono mengadakan pertemuan untuk membahas dan mengecam
aksi sepihak tersebut. Pertemuan itu memutuskan untuk melakukan tindakan tegas
terhadap kelompok-kelompok yang melakukan aksi sepihak yang didukung oleh BTI
dan PKI.
Melalui bantuan ABRI, Suradi ditangkap dan dijatuhi
hukuman 6 bulan. Sementara itu sengketa kepemilikan tanah antara Suharto dan
Joyosukarno juga diselesaikan di Pengadilan. Tanah milik Joyosukarno kembali,
namun hasil panen dan padi-padinya hakim memvonis masih milik Suharto hingga
masa panen tiba. Untuk sementara konflik kelompok petani ini dapat diredam dan
keadaan kembali kondusif.
Namun saat pecah Gerakan 30 September 1965 di Jakarta
yang menewaskan petinggi-petinggi Angkatan Darat. Pasca Gestapu 1965 PKI dan
simpatisannya memang berada diatas angin di daerah-daerah untuk sementara.
Berbagai isu dan kekacauan pun berhembus, termasuk di desa itu. Kelompok PKI
dan PNI mulai melakukan pengumpulan massa untuk mengantisipasi setiap
kemungkinan terburuk yang terjadi. Seperti adanya simpatisan Dewan Jenderal di
desa-desa. Isu itu pun akhirnya termakan juga dengan menimbulkan gesekan yang
dinamakan peristiwa Kentong Gobyok. Beberapa tokoh PNI di desa itu diculik
oleh kelompok yang diduga dari kelompok PKI.
Dalam film ini Mangkuwiryo dan Giyanto dibunuh, sementara
Suharto dan mandornya Darmo dikabarkan hilang. Tak cukup disitu, kerusahan juga
pecah hingga menimbulkan bentrok fisik langsung antara pemuda kelompok PKI dan
PNI.
Militer mulai bergerak cepat setelah mendengar informasi
Depo yang berisi persenjataan dan perbekalan akan diduki oleh massa yang diduga
BTI/PKI. Komandan tentara setempat segera memerintahkan anak buahnya untuk
menghalau gerombolan massa itu di perbatasan dan menangkap beberapa.
Keesokan harinya Mangkuwiryo dan Giyanto ditemukan tewas
mengenaskan. Siswodarsono teman PNI nya menduga hal itu dilakukan oleh kelompok
PKI di desa tersebut pimpinan Suradi. Akhirnya Siswodarsono melaporkan hal itu kepada
militer setempat. Disisi lain Suradi dan beberapa petani lainnya termasuk
Joyosukarno mulai cemas dan gelisah terkait keadaan yang semakin kisruh saat
itu. Dikabarkan tentara mulai melakukan penyisiran di desa-desa mencari PKI dan
simpatisannya.
Kegelisahan itu akhirnya terjadi juga. Tentara mulai
datang dan menjemput paksa orang-orang yang diduga PKI, termasuk yang hanya
mengikuti pertemuan BTI sekalipun seperti Joyosukarno dan petani lain. Setelah
dijemput, mereka lalu didata dan kemudian dimasukkan ke dalam truk.
Dalam hal ini Tentara bekerjasama dengan tokoh desa yang
memiliki daftar nama orang-orang yang dituduh simpatisan PKI. Sebelum
dieksekusi, mereka diintrogasi di markas militer setempat. Tentu saja dengan
siksaan dan pukulan yang tak jarang menyebabkan korban terluka dan pingsan.
Mereka yang sudah tidak berdaya ini kemudian di
"bon" untuk dieksekusi di sebuah tepian sungai di Klaten. Eksekusi
dilakukan pada tengah malam. Pria wanita, tua muda, PKI Atau yang dituduh PKI
semua dihabisi disini dihadapan regu tembak. Mayatnya kemudian dibuang di kali.
Itulah mengapa film ini dinamakan Tragedi Kali Abang.
Film ini mencoba untuk berdiri dalam posisi yang netral.
Tidak memihak manapun melainkan dibuat berdasarkan Based in True Story.Film
ini bukan hanya sekedar untuk memenuhi nilai mahasiswa dan sebagai produk mata
kuliah. Namun untuk kembali mengingatkan perlunya sebuah pelurusan sejarah
tentang peristiwa kelam pada pertengahan 1965 itu dan penggambaran situasinya
di daerah-daerah. Sebab selama ini film dari periode waktu serupa yang
ditayangkan secara luas seperti Film garapan Arifin C Noer Gerakan 30 September
PKI hanya terpusat kekacauan masyarakat di pusat atau kota-kota besar saja.
Well....film ini memang bukan dibuat secara professional,
apalagi lulus sensor dari LSFN. Juga tidak mengedepankan sisi hiburan, melainkan
mengendapkan sejarah dan peristiwanya. Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia
dan Bahasa Jawa, namun yang sudah umum dan mudah dimengerti. Tapi anda bisa
bayangkan Film ini dibuat hanya 2 bulan oleh kurang lebih 40an mahasiswa yang
bukan spesialisasi mahasiswa Perfilman. Applaus!
0 komentar:
Posting Komentar