4.15 | Sudiyono
Sudiyono dilahirkan di Gunung
Kidul, Wonosari, pada 7 Agustus 1935. Ia merupakan salah satu dari tujuh
bersaudara, anak dari keluarga petani yang buta huruf. Setelah tamat Sekolah
Guru B (SGB), ia kemudian menjadi guru. Selain mengajar ia juga aktif di
organisasi Pemuda Rakyat. Pada saat itu kegiatan Sudiyono di Pemuda Rakyat
adalah memberantas buta huruf, pertemuan warga untuk meningkatkan hasil
pertanian (misalnya okulasi ketela tanah), menentang lintah darat (rentenir),
dan sebagianya.
Sudiyono tidak memperoleh
dukungan keluarga untuk aktif di Pemuda Rakyat. Sebab, menurut pihak keluarga,
organisasi yang digeluti Sudiyono terkait dengan ajaran komunisme, dalam hal
ini PKI. Sedangkan PKI sendiri adalah ateis. Namun Sudiyono punya pemahaman
lain. Menurutnya marxisme adalah salah satu bidang ilmu, ilmu memang tidak
bertuhan. Seperti halnya matematika. Namun orang yang mempelajarinya tetaplah
bertuhan.
Pada 1965 Sudiyono sudah
memiliki tiga orang anak. Saat terjadi Peristiwa G 30 S anak ketiganya baru
berusia 85 hari. Pada saat itu situasi kampung sangat tegang. Ia dan sejumlah
anggota Pemuda Rakyat menjaga kantor Pemuda Rakyat. Ia juga melakukan
pemasangan pamflet “Ganyang Dewan Jenderal”.
Pada 20 November 1965 ia
ditangkap dan ditahan di Bringharjo. Tahun 1966 ia dipindahkan ke
Nusakambangan. Di Nusakambangan ia menghuni LP Batu dan Kembang Kuning. Jatah
makan untuk tapol sangat minim dan tidak manusiawi. Maka tidak heran banyak
tapol Nusakambangan yang mati karena kelaparan. Selama dalam penahanan ia kerap
dikunjungi dan dikirimi makanan oleh istrinya. Bahkan istrinyapun dua kali
berkunjung ketika Sudiyono ditahan di Nusakambangan.
Setelah bebas Sudiyono dapat
berkumpul kembali dengan keluarganya. Anak-anaknya berhasil lulus sekolah
hingga jenjang sarjana. Anak-anaknya sempat mengalami kesulitan ketika akan
bekerja, sebab menyandang status keturunan PKI. Namun semua itu dapat diatasi.
Kini anak-anak Sudiyono sudah dapat bekerja. Dua orang anaknya menjadi Dosen di
Universitas Sanata Dharma, dan dosen di salah satu perguruan tinggi di
Australia.
·
Wonosari, Jogjakarta, 17 Juli 2000
***
4.11 | Supandriaman
Supandriaman dilahirkan di
Yogyakarta, 11 Mei 1942. Ia sempat bersekolah hingga tingkat dua di Universitas
Gajah Mada jurusan Geografi. Selama masa sekolah ia tidak tertarik dengan
kegiatan berorganisasi. Ketertarikannya justru datang setelah mendengarkan
pidato Bung Karno yang menyampaikan gagasan Nasakom. Ia kemudian masuk dalam
organisasi CGMI. Di CGMI ia mengurus bidang keolahragaan, bidang yang selama
ini ia gandrungi.
Setelah terjadi Peristiwa
G-30-S, di kampungnya terjadi penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI.
Kakak Supandriaman pun tidak luput dari aksi penangkapan. Supandriaman sendiri
berusaha menghindari penangkapan dengan cara bersembunyi. Oleh temannya ia
disarankan untuk membuat surat keterangan surat “Bersih G 30 S” agar dapat
melanjutkan kuliah kembali. Namun ia ditangkap justru ketika sedang mengurus
surat tersebut. Ia dibawa ke kamp Beteng. Kemudian dipindahkan ke Penjara
Wirogunan. Jatah makan yang diberikan kepada para tapol sangat tidak manusiawi.
Jagung hanya sekitar 16 butir atau bulgur.
Pada 1970 ia dipindahkan ke
Nusakambangan. Setelah empat bulan di Nusakambangan, Supandriaman dan ratusan
tapol lainnya dibuang ke Pulau Buru. Di Pulau Buru ia sempat dianiaya hingga
beberapa giginya tanggal. Selama di Pulau Buru ia lebih sering memilih
dipekerjakan di hutan untuk menebang pohon dan menggergaji kayu.
Bulan Oktober 1979, ia dinyakan
bebas dan kembali ke Yogyakarta. Ia berkumpul kembali dengan keluarga dan
kakaknya yang juga ditahan. Pada Desember 1979, kakaknya meninggal di usia 88
tahun. Pada 1985 Supandriaman menikah. Kepada anak-anaknya ia belum berani
bercerita terlalu banyak mengenai sejarah hidupnya. Sebab ia tidak ingin
anaknya justru memiliki watak pendendam setelah mendengar sejarah pahit
orangtuanya. Ia ingin bercerita tentang masa lalu jika saatnya sudah tepat dan
anak-anaknya sudah dewasa.
·
Yogyakarta, 4 Oktober 2000
***
4.10 | Ramto
Ramto tidak tahu pasti tanggal
kelahirannya Di kartu tanda penduduknya tercantum tanggal (kira-kira) 14 Juli
1933. Ibunya adalah istri kedua bapaknya. Ayahnya meninggal saat Ramto berusia
empat setengah tahun. Saudara kandungnya meninggal saat terjadi clash kedua
dengan Belanda.
Ramto hanya memiliki ijasah
SMP, sebab ia hanya duduk satu tahun di bangku SMA. Kewajiban untuk membantu
ekonomi keluargalah yang memaksa dia meninggalkan bangku SMA. Pada 1954 Ramto
mulai aktif dalam bidang organisasi. Ia dipercaya memimpin Pemuda Rakyat (PR)
Ranting Jalan Baru, Wirobrajan. Keaktifannya dalam mengorganisir pemuda lewat
olahraga dan kesenian cukup efektif untuk menjaring simpatisan. Perkembangan
organisasi pun cukup pesat. Pada 1958 ia menjadi anggota DPRD tingkat dua.
Setahun kemudian Ramto menikah dan memproleh dua orang anak.
Dalam kongres Pemuda Rakyat
1960 ia dinobatkan sebagai anggota Pemuda Rakyat Pertama se Jawa Tengah. Dalam
kurun tahun 1962-1964 anggota PR mencapai dua juta orang. Banyak anggot PR yang
menjadi sukarelawan/ti dalam komando Trikora dan Dwikora.
Tentang Peristiwa G 30 S, Ramto
mendapat informasi mengenai berita itu dari siaran berita di radio. Ketika itu
ia sedang berada di Semarang, menghadiri acara organisasi. Pada saat itu ia
hanya menunggu informasi dan instruksi dari organisasi dan dari PKI. Namun
informasi dan instruksi resmi tidak pernah datang hingga RPKAD tiba di
Semarang. Ia kemudian kembali ke Yogyakarta.
Sekitar tanggal 16 November
1965 ia ditangkap. Ia dibawa ke kantor Polisi dan, kemudian dipindah ke Penjara
Wirogunan. Selama di Wirogunan ia kerap mengalami penyiksaan. Mulai dari
pemukulan sampai disetrum pada bagian kemaluan. Dari Penjara Wirogunan ia
dipindah ke Penjara Magelang. Di Magelang ia dan sejumlah tapol lainnya melakukan
kerja paksa membangun jalan kota Magelang. Dari Magelang ia dikirim lagi ke
Wirogunan. Dari Wirogunan ia dipindah lagi ke Nusakambangan. Tahun 1970 ia
dibuang ke Pulau Buru. Masuk dalam rombongan tapol kedua yang diberangkatkan ke
Pulau Buru.
Di Pulau Buru ia mengalami
penyiksaan yang lebih sadis lagi. Siksaan yang begitu hebat membuatnya pingsan
hingga tiga kali dalam satu hari. Penembakan terhadap tapol tanpa alasan yang
jelas juga kerap dilakukan oleh aparat militer yang bertugas di Pulau Buru.
Pada 1979 Ramto dinyatakan
bebas. Ia diberangkatkan kembali ke Yogyakarta. Ia dapat berkumpul kembali
dengan istri dan anak-anaknya. Setelah masa pembebasan ia dikenakan wajib
lapor/apel. Awalnya setiap hari, kemudian menjadi sekali dalam seminggu, sekali
dalam bulan, dan setahun sekali. Pada suatu kali memenuhi wajib lapor ia
dimintai uang sejumlah Rp. 200.000. Setelah memenuhi permintaan itu Ramto tidak
pernah lagi diminta wajib lapor.
Ramto sempat menjalankan bisnis
percetakan. Namun bisnisnya terhenti karena ada peraturan menteri yang melarang
tapol berbisnis percetakan.
·
Yogyakarta, 12 Juli 2000
***
4.7 | Panca
Lahir di Purworejo, 14 Oktober
1933. Sempat kuliah di Universitas Gajah Mada jurusan Geografi. Ketika hampir
tamat, pecah peristiwa G 30 S. Dalam organisasi kemahasiswaan, Panca masuk
dalam organisasi CGMI.
Pada 22 November 1965 ia
bersama ibu, adik dan bapaknya ditangkap dan dibawa ke kecamatan. Kemudian
dimasukkan ke penjara Wirogunan. Sementara ibunya ditahan di tempat penahanan
khusus wanita. Sekitar tiga setengah tahun kemudian ibunya dibebaskan dari kamp
penahanan. Sedangkan ayahnya setelah dari penjara Wirogunan dipindah ke penjara
di Pekalongan. Di Pekalongan ayah Panca meninggal dunia.
Selama Panca ditahan di Penjara
Wirogunan, ia sering menyaksikan pemanggilan-pemanggilan tapol pada malam hari.
Luas sel yang digunakan untuk menampung para tahanan tidak seimbang dengan
jumlah tahanan. Jika antrian mandi tiba, Panca sering membuat sketsa antrian
tersebut.
Setelah ayahnya dipindah ke
Penjara di Pekalongan, tidak lama kemudian ia juga mendapatkan panggilan untuk
dibuang ke Pulau Buru. Ia tidak ingat secara persis tanggal-tanggal setiap
peristiwa yang ia lewati. Semua catatan peristiwa ada pada ibunya. Sebab ibunya
selalu mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi. Selama di Pulau Buru Panca
kerap diperintahkan untuk kerjapaksa oleh para petugas pengawal. Di Pulau Buru
Panca melanjutkan hobinya mencari fosil-fosil batu. Beberapa batu-batuan yang
ia temukan di Pulau Buru ia bawa pulang.
Pada 1978 Panca dibebaskan dari
Pulau Buru. Setelah bebas ia dikenakan mengikuti Santiaji.
·
Yogyakarta, 13 Oktober 2000
***
4.6 | Supartini
Supartini tidak tahu kapan ia
dilahirkan. Ia dibesarkan di Desa Kulwo, Beji Harjo, Wonosari, Yogyakarta .
Pada 1945 ia menikah dengan Harjo Priyono. Suaminya pernah menjadi Carik Desa
Beji Harjo dan menjadi lurah di desa yang sama. Supartini tidak tahu apa saja
kegiatan suaminya selain menjadi seorang kepala desa.
Harjo Priyono ditangkap tidak
lama setelah Peristiwa G 30 S. Saat itu Supartini sedang sakit. Bersama
putranya, ia menyaksikan langsung penangkapan suaminya. Pada saat itu Harjo
Priyono berpesan bahwa ia akan disekolahkan oleh pemerintah, sebab ia kurang
pandai. Harjo Priyono minta tolong kepada istrinya untuk menjaga anak-anak
mereka. Sedangkan untuk membiayai sakitnya dan membiayai kebutuhan sehari-hari,
Supartini diminta menjual apa saja yang mereka miliki.
Sejak penangkapan tersebut,
Supartini berusaha mencari tahu keberadaan suaminya. Ia mendatangi Penjara
Wirogunan, Penjara di Cilacap, kantor Kodim. Namun ia tidak pernah menemukan
suaminya. Ia pun selalu menunggu dan berharap suaminya pulang, namun hingga
saat ini suaminya tidak pernah kembali.
Sepeninggal suaminya, Supartini
harus menjual kambing, tanah, perabot rumah tangga. Bahkan ia pernah menjual
pakaian dan piring. Semua ini ia lakukan demi membiayai kehidupan ia dan
anak-anaknya. Akibat tekanan hidup yang begitu berat, Supartini sempat dirawat
di rumah sakit jiwa.
Namun berkat kesabaran dan
ketahanan dirinya, setelah putra-putranya tumbuh dewasa, sedikit-demi sedikit
Supartini mampu bangkit kembali. Kebutuhan hidup mulai teratasi oleh
penghasilan anak-anaknya yang membuka usaha bengkel dan merias pengantin.
Hingga saat ini Supartini tidak pernah tahu keberadaan dan nasib suaminya.
·
Yogyakarta, 16 Juli 2000
0 komentar:
Posting Komentar