Kamis, 01 Oktober 2015

Situasi Purwokerto 1965: Versi kecil kisah sebuah kota


01/10/2015

Ilustrasi

Pencinta sejarah selalu ingin tahu bagaimana situasi kota kelahirannya pada saat terjadi momen besar yang meliputi seluruh negeri. Salah satunya, adalah di momen 1 Oktober 1965, yang didahului dengan peristiwa Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) atau yang kini banyak hanya ditulis cukup hanya G30S (entah mengapa tanpa akronim PKI lagi — sebuah kontroversi penglihatan sejarah dari kacamata berbeda?).

Baiklah, di sini tidak akan dibahas kontroversi itu, tapi ingin melihat bagaimana situasi Purwokerto dan Banyumas pada umumnya pada tahun 1965? Sebuah tulisan menarik dimuat di tlatah.wordpress.com pada 15 April 2009, berjudul “VERSI KECIL DARI KISAH SEBUAH KOTA” – Purwokerto, Dulu dan Kini oleh Arizal Mutahir & Luthfi Makhasin.

Tulisan panjang itu memuat sejarah kota Purwokerto, semenjak Purwokerto masih kalah pamor dengan Sokaraja dan Ajibarang, hingga Purwokerto makin maju melampaui Sokaraja dan Ajibarang, yang salah satunya berkat pembangunan jalur rel kereta api Cirebon-Kroya.

Bagaimana situasi pada tahun 1965, yang tidak lepas dari percaturan politik sejak Pemilu 1955? Berikut ini kami cuplikan tulisan di bagian yang mengulas situasi 1955-1965 di Purwokerto untuk Anda.

“Berbeda dengan periode sebelum 1955 yang banyak diwarnai pembangunan infrastruktur fisik kota, periode antara 1955-1966 ditandai oleh pembangunan fisik yang relatif stagnan. Memburuknya situasi ekonomi makro dan fragmentasi ideologis yang semakin menajam pasca pemilu 1955 sedikit banyak turut menyumbang melambatnya gerak laju perkembangan kota Purwokerto.

Dalam situasi ekonomi dan politik yang tidak kondusif seperti ini, kerjasama erat kalangan Nasionalis-Soekarnois, kelompok Islam, dan militer untuk menggolkan gagasan pendirian sebuah universitas negeri (baca UNSOED) berperan penting dalam meletakkan landasan kuat bagi perkembangan kota Purwokerto selanjutnya. Pendirian universitas negeri di Purwokerto adalah buah dari kerjasama orang-orang seperti Judodibroto (Residen Banyumas/kalangan nasionalis), Kyai Abu Dardiri (Muhammadiyah) dan kalangan elit militer asal daerah Banyumas yang banyak mengontrol birokrasi di pusat pemerintahan saat itu.

Akan terbukti kemudian bahwa pendirian sebuah universitas negeri di Purwokerto pada tahun 1963 ini akan membawa dampak positif secara ekonomi dan sosial tidak saja bagi kota Purwokerto tapi Banyumas secara umum.

Berbeda dengan beberapa kota lain seperti Solo, Klaten, dan Kediri yang harus mengalami luka sejarah traumatik dalam pergolakan politik tahun 1965, situasi Purwokerto masa itu relatif tenang. Memang ada cerita lisan yang beredar tentang terjadinya mobilisasi massa besar-besaran berbagai kekuatan politik di kota Purwokerto menjelang Oktober 1965. Namun, tidak pernah tercatat adanya bentrokan fisik yang mengarah pada pertumpahan darah berskala besar. Jikapun ada jatuh korban di wilayah Banyumas, menurut beberapa sumber lisan, itu adalah kasus-kasus terisolasi dan dalam skala yang kecil.

Iskandar Tirtabrata, mantan Panglima Banser Banyumas pada masa itu pernah bersaksi bahwa kalangan NU di Banyumas tidak pernah terlibat dalam bentrok massal dengan kekuatan politik lain yang berseberangan dengannya. Menurutnya, komandan batalyon militer di Banyumas pada saat itu, Mayor Radja Inal Siregar (pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara), relatif berhasil mendekati tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh untuk bersama-sama meredam konflik terbuka.

Namun demikian, gejolak politik tahun 1965 tetap membawa dampak besar bagi perubahan konfigurasi sosial, ekonomi, dan politik di Purwokerto. Pengambil-alihan beberapa aset gedung yang sebelumnya dimiliki etnis Tionghoa di pusat kota dapat menjadi indikasi untuk ini. Sehingga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa untuk kasus di Purwokerto, dampak utama dari huru-hara politik 1965 adalah goyahnya segregasi ekonomi atas dasar etnis yang dilembagakan sejak masa kolonial.”

Demikian gambaran umum Purwokerto saat terjadi gejolak di tahun 1965. Semoga Purwokerto dan Banyumas tetap aman, nyaman, menjadi hunian semua golongan.

(BNC/sumber: Tlatah)

0 komentar:

Posting Komentar