Sabtu, 07 Januari 2017

Bilven Sandalista: “Buku Kiri Itu Penting Disebarkan”

Muhidin M Dahlan


“Buku ini bikinan Rakyat,” jawabnya ketika saya katakan buku yang hits dalam lakon antikuminisma di bulan Mei 2016, Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula, yang diterbitkan elemen-elemen demokratik. Ultimus salah satunya.
Bilven itu Ultimus. Atau bisa juga di balik. Terserah. Yang pasti ia adalah ikon. Termasuk ikon literatur buku kiri. KPG dan kelompok Gramedia mana saja, contohkanlah begitu, juga menerbitkan buku kiri. Bahkan dikemas lebih baik, baik sampul, desain isi, maupun penyuntingan. Namun KPG dan saudagar-saudaranya bukanlah ikon. Bilven dan Ultimus-lah ikon. Seorang ikon dan calon lejen mudah dilihat dan diidentifikasi ketika berhadapan dengan ujian sejarah.

Terkait dengan buku kiri dan turunannya, jelas Bilven sudah pernah masuk sel sehari dua malam karena diskusi dan buku kiri. Jelas pula, Bilven bergabung dan ini konsisten dilakukannya membela buku kiri baik di ranah online maupun offline. Ia ada di jantung aliansi dan operasi gerakan. Dan dengan pelbagai represi dari serdadu yang hidup dalam barak dan beking ini itu serta ormas intoleran, Bilven tetap berada di jalurnya: menerbitkan buku kiri. Untung atau buntung, buku kiri itu penting. Selalu itu yang diucapkannya dengan mantap.
KPG dan semua kerabatnya berbeda sama sekali dengan apa yang dilakukan Bilven dan Ultimus ini. Mereka semata penjual. Gampang mengenali watak orang yang semata dagang kiri; hanya kasak-kusuk saja entah sumbernya datang dari mana langsung tutup lapak dan setelah itu diam sediamnya.
Bilven lain. Ultimus lain. Dia tidak jualan, dia ber-dakwah. Bagi pendakwah pikiran-pikiran kuminis dan kiri lainnya, menjual adalah nomer sekian. Apalagi di negeri pobia seperti (serdadu) Indonesia ini. Dakwah mementingkan nilai dan suburnya pikiran di ranah yang nyata. Makanya dakwah menyorongkan risiko yang mesti dipanggul. Beda dengan dodolan. Penjual totok hanya berpikir semata mendatangkan laba dan me-NOL-kan risiko. Lain tidak. Digertak sedikit, rak kosong.
Bilven adalah ikon, dan sekaligus makin langka dalam peta perbukuan kita. Terutama di Kota Bandung. Ia memilih tema studi, sejarah dan sastra dalam tema terbitannya. Itu pun diperasnya lagi hanya tema-tema kiri. Bahkan diperasnya lagi hanya soal marxisma dan kominisma.
Tiga judul buku, Kapital. Seri 1,2,3 karya Karl Marx, Manifesto Komunis karya Marx dan Engels, dan Manuskrip Sejarah PKI karya Busjari Latief, sudah cukup menahbiskannya sebagai dai.
Jangan terkecoh, ia tak punya janggut. Jangkung, iya. Usianya pun masih muda dalam menapaki “jalan kiri” yang beronak di zaman liberalisme absurd ini. Hobi catur. Dan bicaranya sangat lembut, bahkan teramat lembut. Ketika saya mewawancarainya di Radio Buku, ia mesti membuka laptop, melihat catatan. “Takut keliru,” katanya. Suaranya lirih sekali di mikropon. Kadang bergetar lemah. Lantaran begitu lemahnya, di perangkat edit audio mesti menaikkan level suara itu.
Jika intel yang lebih suka memata-matai penggiat buku ketimbang memaksa diri membaca dengan tekun itu hanya mengandalkan berhadapan langsung dengan sosok Bilven, mungkin terjebak dan tak percaya sedang berhadapan dengan bintang merah yang berbahaya. Bilven, seorang yang ke mana-mana lebih bahagia memakai sandal jepit, minum bir, tak merokok, selibat, tak foya-foya, suci dari tato, sungguh sangat jauh dari tampilan seorang peternak hantu yang perlu diburu hingga liang luweng.
Tampilannya kenes dengan wajah tampak pucat. “Buku kiri itu penting disebarkan,” katanya tanpa ekspresi dan suara yang sangat datar. Ia bukan seorang yang suka meledak-ledak. Lebih tepatnya, ia dai kiri yang pemalu dengan memangku bisnis buku kiri secara terengah-engah. “Lesu penjualan, Bung!” ucapnya.

Panjang umur buku kiri, Bilven.

0 komentar:

Posting Komentar