Sabtu, 28 Januari 2017

[Book Review]: G30S Dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin

 

Editor: Kurosawa Aiko dan Matsumura Toshio
Pengantar oleh: Asviwarman Adam
Penerbit: Kompas
Tahun Terbit: 2016
Jumlah Halaman: 308 halaman

Membahas putaran sejarah memang tidak akan pernah ada habisnya. Ketika jalan buntu ditemui, maka satu demi satu jalan lain terbuka untuk melusuri kembali setapaknya. Satu versi ditebas habis, disusul versi untuk diperdebatkan. Bicara mengenai sejarah, ada satu kisah masa lalu yang hingga kini tak pernah habis dikupas. Ada beberapa rahasia yang bila diungkapkan maka akan ditemukan benang merah terkait perjalanan bangsa ini. Kisah yang tak tuntas ini secara de facto selesai ketika Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukan Angkatan Darat merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma dan para pemimpinnya seperti Letkol Untung, Brigjen Supardjo dan Syam Khairuzamman diadili oleh negara melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Namun, efek yang ditimbulkan setelahnya justru bergulir bak bola liar, tak terhentikan dan mirisnya menciptakan konspirasi panjang yang tak berkesudahan. Sejarah penuh intrik, konspirasi, tragedi yang berhasil membuat Indonesia kalang kabut selama puluhan tahun setelahnya, sekaligus alat utama penguasa negara menciptakan narasi penuh tipu daya itu bernama Gerakan 30 September atau biasa kita menyebutnya G30S.

Telah banyak orang mencoba membuka tabir dibalik G30S. Dari sejarawan, peneliti, akademisi, hingga aktivis, giat melakukan diskusi.
Beberapa dari mereka bahkan menuliskan penelitian serta diskusinya ke dalam sebuah buku. John Roosa, seorang seorang sejarawan yang juga professor di University of British Columbia (Kanada) muncul dengan bukunya yang berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. John Roosa menguak banyak sisi yang tidak banyak diketahui khalayak dan menjungkir-balikkan narasi yang selama ini dikeluarkan secara resmi oleh negara melalui rezim Orde Baru di bawah Suharto. Selain itu melalui bukunya, John Roosa menjelaskan secara runtut bagaimana G30S direncanakan, siapa saja yang bergerak di belakang layar, bagaimana keterlibatan negara-negara asing seperti Amerika Serikat melalui CIA dan Inggris melalui M-16 dan yang terpenting bagaimana keterlibatan Suharto beserta kroni-kroninya dalam G30S ini.

Dari sisi yang lain, Wijaya Herlambang juga berusaha menguak tabir seputar G30S. Jika John Roosa membuka G30S dari segi teknis dan runtutan peristiwa secara langsung, Wijaya Herlambang menuliskan sebuah pandangan baru mengenai G30S melalui sudut pandang pertarungan kebudayaan yang terjadi pra dan pasca peristiwa bersejarah tersebut muncul di permukaan. Gagasan, diskusi dan penelitian Wijaya Herlambang tersebut dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah karya berjudul Kekerasan Budaya Pasca 1965  di tahun 2013. Pertarungan kebudayaan yang mau tidak mau harus menghadirkan perseteruan antara pihak Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) semakin dilengkapi oleh buku terbitan Harian Tempo dengan judul Lekra dan Geger 1965.

Pergulatan menarik yang mengupas sisi-sisi tersembunyi telah dibahas oleh sumber-sumber di atas. Namun, baik John Roosa dan Wijaya Herlambang sendiri tampaknya memang hanya fokus untuk menggali G30S dari sudut pandang internal negara Indonesia, khususnya dampak pasca peristiwa G30S terhadap internal kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal sekali lagi dikatakan bahwa G30S ini bukanlah peristiwa tunggal dan berdiri sendiri. Banyak berbagai faktor baik dari dalam maupun luar negeri turut yang mendorong terjadinya Gerakan 30 September pada 1 Oktober dini hari tersebut. Hal tersebut menandakan dampak G30S tidak hanya berpengaruh pada internal negara Indonesia saja tetapi juga pihak eksternal negara asing lainnya. Pertanyaannya, pihak eksternal mana sajakah yang turut terpengaruh atas terjadinya G30 dan mengapa? Apakah selain Amerika Serikat dan Inggris yang telah sedikit dibahas oleh John Roosa, ada negara lain yang turut bermain api dalam prahara G30S serta mengambil keuntungan? Lalu adakah pihak-pihak yang dirugikan walapun tidak ikut campur secara langsung ke dalam G30S?

Aiko Kurasawa bersama tim penelitiannya hadir dalam sebuah karya buku berjudul G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sekali lagi, selama ini buku-buku, literasi, atau ulasan mengenai kejadian G30S yang bertebaran di dunia kebanyakan hanya membahas keterlibatan propaganda CIA dan M-16 sebagai aktor eksternal yang turut menyokong Suharto membangun Orde Baru lewat kudeta merangkak dengan G30S itu sendiri sebagai dalihnya. Padahal, secara letak geografis Indonesia terletak pada kawasan Asia, tepatnya Asia Tenggara yang tentunya hidup berdampingan dengan negara-negara serumpunnya. Secara logika apabila kejadian G30S memang benar-benar menjadi peristiwa besar nan mengguncangkan yang memaksa negara nun jauh di sana seperti Amerika Serikat dan Inggris untuk turut campur, bukan tidak mungkin negara-negara tetangga dalam lingkup Asia Tenggara seperti Malaysia, Fillipina, Vietnam, serta Singapura ikut masuk dalam pusaran prahara.

Belum lagi peran negara-negara Asia yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia seperti Tiongkok dan Jepang, pastilah mereka memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam G30S. Dengan latar belakang kegusaran dan penasaran itulah akhirnya Aiko Kurasawa dan kawan-kawan mencoba mengkaji secara mendalam pengaruh atau dampak yang diberikan G30S terhadap Asia. Kajian-kajian mendalam tersebut yang nantinya menjadikan buku ini sebagai yang pelopor dalam pembahasan G30S dilingkup Asia.

Penelitian yang berkelanjutan ini akhirnya memunculkan pertanyaan dan perspektif yang menakjubkan. Benarkah Tiongkok ikut terlibat dalam G30S? Apakah pengaruh G30S dalam pergerakan kemerdekaan Sarawak? Bagaimanakah Korea Utara dan Korea Selatan menanggapi G30S? Negara mana yang paling diuntungkan setelah G30S? Mengapa Filipina tidak begitu memberikan perhatian terhadap G30S? Mengapa Jepang sangat diuntungkan pasca G30S? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat ditemukan di dalam buku ini. Buku ini bermaksud menguraikan G30S dari perspektif dinamika pergeseran politik di Asia. G30S ternyata berpengaruh terhadap perubahan peta politik negara-negara di Asia dalam menentukan sikap terhadap pengaruh ideologi komunis dan kapitalis. Negara yang paling banyak dibahas di dalam buku ini adalah Tiongkok, baik peranannya sebelum G30S maupun pasca G30S itu terjadi.

Sebagai negara yang memiliki organisasi komunis ketiga setelah Uni Soviet dan Tiongkok, Indonesia tentunya memiliki hubungan yang cukup erat dengan negara-negara berhaluan kiri tersebut. Apalagi setelah Presiden Sukarno dengan lantang menyatakan keinginannya membuat kekuatan dunia baru dengan Jakarta-Peking-Hanoi-Phnom Penh sebagai porosnya di pertengahan medio 1960-an, hal itu membuat hubungan Indonesia dan Tiongkok semakin erat. Partai Komunis Tiongkok (PRT) seperti yang diulas pada buku ini juga beberapa kali berkoordinasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk membicarakan program-program partai. Isu miring pun tak luput menerpa hubungan keduanya.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Subandrio bahkan secara terang-terangan menuduh Tiongkok dan PRT sebagai dalang G30S terkait dukungan mereka untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani Indonesia (keinginan serupa untuk mendirikan angkatan kelima pernah diutarakan oleh Dipa Nusantara Aidit kepada Sukarno, namun ditolak mentah-mentah oleh para petinggi Angkatan Darat seperti Ahmad Yani dan Abdul Haris Nasution).
Tuduhan tersebut dibantah dengan tegas oleh Menteri Luar Negeri Tiongkok lewat arsip Kementrian Luar Negeri Tiongkok yang pernah dibuka untuk publik di tahun 2011. Bahwasanya dukungan untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani bukanlah sebagai rencana G30S, namun untuk persiapan menghadapi kekuatan neo-kolonialisme Amerika Serikat yang mulai menginvasi Asia Tenggara lewat perang Vietnam.

Tiongkok sendiri pernah menandatangani perjanjian dengan Indonesia mengenai pemberian bantuan persenjataan ringan pada bulan Agustus 1965, namun hingga peristiwa G30S pecah bantuan senjata itu tidak pernah diberikan secara langsung kepada pemerintah.

Hal menarik lainnya yang diulas di dalam buku ini adalah betapa besar pengaruh G30S terhadap pergerakan kemerdekaan Negara Sarawak atau Republik Kalimantan Utara yang kini menjadi bagian dari Malaysia. Kita semua mengetahui Sukarno pernah melakukan konfrontasi secara terbuka dengan Malaysia di tahun 1965. Hal tersebut dilakukan karena Sukarno menyatakan bahwa Malaysia merupakan negara boneka yang dibentuk oleh Inggris dan kekuatan nekolim yang berpotensi mengganggu stabilitas negara-negara di Asia Tenggara khususnya Indonesia yang sedang gencar membangun kekuatan bersama negara dunia ketiga di bawah naungan New Emerging Force atau Nefo. Negara Sabah dan Serawak yang ingin melepaskan diri dari Malaysia jelas mendapat dukungan dari Sukarno dan Indonesia.

Konfrontasi “Ganyang Malaysia” yang dilakukan Sukarno jelas membantu pergerakan kemerdekaan secara moril. Bahkan di penghujung bulan Agustus pergerakan untuk kemerdekaan Sarawak semakin besar dan berpotensi untuk mencapai keberhasilan. Namun, pecahnya G30S di akhir September membuat peruntungan berubah ditambah Perdana Menteri Singapura, Lee Kwan Yeeuw yang awalnya mendukung gerakan kiri beralih untuk memberikan perlawanan dan menekan komunis yang ada di negaranya membuat dukungan terhadap kemerdekaan Republik Kalimantan Utara tereduksi. Turunnya Sukarno lalu naiknya Suharto yang ditindaklanjuti dengan pemberantasan kekuatan komunis dan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia membuat kemerdekaan Sarawak tinggalah angan-angan belaka.

Negara Jepang juga sedikit banyak mengambil keuntungan dari kejadian baik pra maupun pasca G30S. Sebelum G30S terjadi, Indonesia memiliki banyak agenda untuk mengusir nekolim dari bumi pertiwi, salah satunya adalah program nasionalisasi perusahaan asing dan land-reform yang amat didukung atau setidaknya selaras dengan program yang dimiliki oleh PKI. Saat itu kebanyakan perusahaan asing yang memiliki aset di Indonesia adalah milik orang-orang Belanda. Melihat hal tersebut Jepang turut mendukung program nasionalisasi itu sebab mereka hampir tidak memiliki sama sekali kepemilikan perusahaan di Indonesia. Dengan terusirnya Belanda, Jepang berharap suatu saat nanti pemerintah Indonesia akan memberi banyak proyek yang condong ke Jepang dan memberikan izin untuk berinvestasi di Indonesia. Pasca G30S Jepang banyak mengeruk keuntungan. Dengan adanya undang-undang tentang penanaman modal asing yang diteken oleh Presiden Suharto ditambah menguatnya kerja-sama Indonesia dan Amerika Serikat bersama para sekutunya (termasuk Jepang serta Korea Selatan), membuat produk Jepang serta Korea Selatan membanjiri pasar Indonesia, mulai dari produk otomotif hingga alat telekomunikasi. Ekspor yang deras ke Indonesia tersebut secara langsung membuat perekonomian Jepang dan Korea Selatan meningkat pesat hingga mereka dijuluki “Macan Asia” sampai hari ini.

Bila kita telisik lebih dalam dampak dari G30S sangatlah besar dan luas. G30S dan Asia – Dalam Bayang-Bayang Perang Dingin banyak membuka tabir yang selama ini masih tertutup rapat sehingga kita bisa menarik benang merah dari kejadian di masa lampau untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Sembilan tulisan yang dikumpulkan dalam buku ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, mengenai respons dan keterlibatan masing-masing pemerintah dan masyarakat. Kedua, fokus terhadap pemberitaan media di beberapa negara di Asia. Ada delapan negara yang dibahas di buku ini, yaitu Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Buku yang sangat menarik untuk dibaca dan bisa menjadi referensi kita untuk mendiskusikan posisi geopolitik yang terjadi di kawasan Asia. 
[Kontributor: Mario Muhammad Hafidh]


WarningMagz 

0 komentar:

Posting Komentar