Jumat, 13 Januari 2017

Mengkhayalkan pertemuan Sneevliet dan Semaoen di Kota Lama

Penulis: Agustin Rudiana
Keterangan Gambar : Sisa bangunan Kantor Surat Kabar De Locomotief yang terbengkalai di kawasan Kota Lama Semarang, Ahad, 6 November 2016.
Mari mengkhayalkan keduanya bertemu. Berorasi di hadapan buruh dan bersama-sama menyusun cita-cita Indonesia merdeka.
Riset sejarah profil Henk Sneevliet di Kota Lama Semarang. Gedung ini adalah tempat bekerja Sneevliet saat berada di Semarang. Di pintu itu, ia pertama kali bertemu dengan Semaoen.
"Bro, ko koyo tau ketemu. Awakmu sopo yo?" ujar Henk kepada Semaoen.
"Koyoe aku yo tau weruh sampeyan nang angkringan Simpang Lima," kata Semaoen menjawab.
"Eh, nek iso awakmu teko nang rapat buruh mengko bengi nde Kafe Tekodeko. Iku loh sing ono macem2 dodolan kopi cedhak Gereja Blenduk."
"Emang ono rapat opo bro, kok koyoe serius men,"
"Iki aku arep gawe ISDV, yo nggo keren2 sitik lah. Nek awakmu kate melu teko yo jam 7 wengi. Ojo lali nggowo cewemu, mengko kenalno mbe aku,"
"Cewe sing ndi. Aku yo esih jomblo su,"
Tawa saya nyaris lepas tiap kali membaca status tersebut dari akun Faceebook milik seorang kawan, Aris Andrianto. Entah apa yang ada dalam kepala jurnalis Purwokerto itu sehingga menulis akun percakapan fiktif antara dua tokoh revolusioner yang dicap kiri, Henk Sneevliet dan Semaoen, dalam suasana kekinian.
Percakapan itu membawa ingatan saya bersama tujuh kawan yang kebetulan hobi menulis dan mbolang saat berkumpul di Semarang, 5-6 November 2016 lalu. Dari Yogyakarta, Purwokerto, Banyuwangi, dan tuan rumah bersepakat menjadikan kawasan cagar budaya Kota Lama, Semarang jujugan utama selama dua hari di sana.
Sebuah kawasan yang masuk wilayah Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Utara yang dipenuhi dengan situs peninggalan masa kolonial Hindia Belanda. Bahkan pada 2020 ditargetkan bisa masuk daftar UNESCO untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia. Tak heran apabila merasa sudah pernah ke Eropa setelah jalan-jalan ke Kota Lama.
Salah satu tuan rumah, Pratono, jurnalis Semarang yang aktif di Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang menjadi pemandu kami. Lantaran tak bakal cukup waktu mengunjungi semua situs di sana, kami pun fokus pada sejumlah situs yang meninggalkan kisah tentang sejarah perusahaan media massa dan serikat buruh.
Dua hal yang beberapa tahun belakangan menambah kasus sengketa perburuhan di sejumlah perusahaan media akibat nasib buruh media massa tidak juga sejahtera, sementara perusahaan media kian kapitalistik.
Di sisi lain, sejumlah situs turut kami singgahi mengingat setiap situs berdekatan, di tiap lorong jalan, dalam satu kawasan. Jalan kaki menjadi salah satu pilihan untuk memudahkan berpindah antar situs, meskipun harus dengan tenaga ekstra.
Saat kaki memijak di depan pintu gerbang gedung tua yang kini menjadi Kantor Advokat B. Tedjorahardjo secara tak sadar membuat semangat kami, Ahad, 6 November 2016 pagi itu berapi-api. Bangunan itu bekas Kantor Semarangsche Handelsvereeniging (semacam Kamar Dagang), di mana Sneevliet menjadi sekretaris di sana.
Selama Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet, demikian nama lengkapnya, tinggal di Semarang sejak 1913 selepas dari Surabaya, dia aktif mendorong keanggotaan bumiputera setara dengan buruh Eropa dalam Vereniging voor Spoor en Tramweg Personeel (VSTP) alias Serikat Buruh Kereta Api dan Trem.
Hasilnya, berdasarkan catatan Koordinator KPS Semarang Rukardi Achmadi, jumlah buruh bumiputera bertambah hingga 1.439 orang dan buruh Eropa 853 orang pada Januari 1915.
Sneevliet juga aktif mendorong Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau organisasi sosial demokrat Hindia Belanda sehingga lahir sejumlah tokoh radikal, seperti Semaoen, Darsono, dan Mas Marco Kartodikromo untuk melakukan perlawanan politik terhadap pemerintah kolonial. Dan buntut pertemuan Semaoen dengan Sneevliet itu adalah bergabungnya Semaoen dengan ISDV Cabang Surabaya.

Bekas kantor pendiri perusahaan multinasional pertama di Asia Tenggara, Oei Tiong Ham di kawasan Kota Lama yang tengah direnovasi, Ahad (6/11/2016).
© Pito Agustin Rudiana /untuk Beritagar.id


Pertemuan itu mengilhami status yang diunggah Aris yang sebenarnya bermula dari rekaman video aktivitas kami di Kota Lama. Rencananya, rekaman video melalui telepon pintar itu akan diunggah di Facebook. Apa lacur, proses penyimpanan rekaman gagal, meski akting kami di depan bekas kantor Sneevliet itu sudah cukup meyakinkan.
Di depan pintu berteralis besi setinggi sekitar tiga meter itu Aris pun berimajinasi, bahwa di situlah Sneevliet dan Semaoen bertemu. Meskipun menurut Pratono, masih sumir literatur yang mengisahkan di mana pertama kalinya kedua tokoh itu bertatap muka.Pertemuan itu mengilhami status yang diunggah Aris yang sebenarnya bermula dari rekaman video aktivitas kami di Kota Lama. Rencananya, rekaman video melalui telepon pintar itu akan diunggah di Facebook. Apa lacur, proses penyimpanan rekaman gagal, meski akting kami di depan bekas kantor Sneevliet itu sudah cukup meyakinkan.
"Aku sedang mengkhayalkan keduanya bertemu. Berorasi di hadapan buruh dan bersama-sama menyusun cita-cita Indonesia merdeka," kata Aris yang sempat berakting dengan mengepalkan tangan kirinya ke atas di depan pintu itu.
Menyusuri jejak kedua tokoh revolusioner itu, kami pun singgah di Gedung Sarikat Islam (SI) Semarang yang terletak di Kampung Gendong. Bangunan dengan konstruksi seperti stasiun kereta api itu berada di tengah-tengah perkampungan padat penduduk.
Ruang di dalamnya sangat luas tanpa sekat. Ditopang sejumlah kayu yang menjadi tiangnya. Tak banyak perabot di dalamnya. Ada seperangkat meja kursi kayu, dipan kayu, juga sebuah mimbar dari kayu pula. Tak bisa dipastikan, apakah mimbar itu sudah ada sejak mula gedung SI berdiri.
"Tapi karena dari kayu jati tua, terkesan kuno, banyak yang meyakini itu mimbar asli pertama kali sejak SI berdiri," kata Pratono sambil tertawa.
Yang menarik, di tengah lantai dari tegel abu-abu terdapat sepetak lantai yang mencekung berbentuk kotak. Ukurannya sekitar dua setengah meter kali dua meter dengan tinggi satu tegel. Dasar tegel berwarna kuning yang sudah kusam dan memudar. Dan terdapat tegel hitam yang membentuk huruf: S.I.
Dua huruf itu menjadi salah satu penanda, bahwa bangunan itu adalah bekas Gedung SI yang pernah nyaris roboh dan dirobohkan. Lantainya pun ditinggikan, termasuk tiang-tiang bangunannya. "Jadi lantai yang asli itu, ya yang sepetak bertuliskan SI itu," kata Pratono.
Jurnalis Banyuwangi, Ika Ningtyas meminta dipotret di petak ubin itu. Dia mengambil pose duduk di tepi petak ubin sembari menundukkan kepala. Pose lainnya, dia duduk bersila sembari melihat dua huruf yang dipatri pada lantai. Seolah tengah memikirkan sesuatu.
"Dulu buruh dikonsolidasikan di sini. Lalu pecah pemogokan buruh pertama kali juga dari sini," kata Ika. Dia membayangkan para tokoh pergerakan dan buruh berjubel di dalam ruangan masa itu.
Berdasarkan kajian sejarah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang dan KPS Semarang, bangunan itu digagas Semaoen menyusul perkembangan SI Semarang pada 1916.
Pembangunannya dilakukan pada 1919-1920 secara swadaya di atas tanah wakaf seorang anggota SI, Haji Busro. Tujuan pendiriannya adalah untuk sekolah pada siang hari dan rapat umum SI pada malam hari.
Di gedung itu pula, tokoh pergerakan nasional Tan Malaka menggalang massa buruh dan memimpin pemogokan berhari-hari. Sekitar lima ribu orang menghadiri rapat di gedung itu pada 22 Januari 1922. Mereka mendengarkan orasi Tan Malaka yang membuka kedok sikap pemerintah Hindia Belanda yang melecehkan bumiputera.
Usai itu, Tan Malaka diasingkan ke Digul, Papua. Aktivis Sentral Buruh Serikat Indonesia (SOBSI) yang merupakan underbow Partai Komunis Indonesia (PKI) juga menggunakannya usai kemerdekaan.
Sisa keemasan surat kabar itu tak berbekas setelah melihat kondisi bangunan yang terletak di Jalan Kepodang Nomer 20-22
Gedung itu juga menjadi saksi bisu, bahwa tak hanya tokoh-tokoh pergerakan yang dicap kiri yang pernah berkiprah di sana. Tokoh-tokoh maupun organisasi pergerakan berhaluan kanan pun turut merasakan manfaatnya.
Organisasi Persatuan Bangsa Indonesia dan Partai Indonesia pernah rapat di sana pada 1930. Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Yamin, Amir Syarifuddin, dokter Sutomo juga pernah mengunjunginya kurun 1930-1938. Tempat itu juga menjadi Pos Palang Merah saat berlangsung pertempuran lima hari di Semarang pada 15-20 Oktober 1945.
Persinggahan kami lainnya adalah di bekas Kantor Surat Kabar Sin Min. Itu adalah koran lokal berbahasa Indonesia yang didirikan oleh wartawan Tionghoa, Thio Soei Sen pda 1947. Setelah sebelumnya sempat tiarap, karena surat-surat kabar terbitan Tionghoa dilarang pada masa penjajahan Jepang. Dan dari Sin Min itu, menurut Pratono, kemudian berganti menjadi Gema Masa yang dinilai koran kiri.
Dan menapaktilasi penerbitan-penerbitan di Semarang, tak lengkap apabila tak singgah di Kantor Surat Kabar De Locomotief, baik bangunan redaksi maupun percetakan. Sebuah koran pertama di Semarang yang awalnya bernama Semarangsch Nieuws en Advertentieblad pada 1851, lalu berubah menjadi De Locomotief pada 1863.
Koran yang dipimpin Pieter Brooshooft itu mendukung politik etis alias politik balas budi Pemerintah Hindia Belanda kepada masyarakat bumiputera saat itu. Bahkan pejuang emansipasi perempuan, Raden Ajeng Kartini gemar membacanya.
Ketika koran Suara Merdeka yang berdiri pada 1950 belum mempunyai percetakan sendiri, turut menumpang di De Locomotief yang merupakan milik perusahaan percetakan NV Handelsdrukkerij. Tragisnya, sisa keemasan surat kabar itu tak berbekas setelah melihat kondisi bangunan yang terletak di Jalan Kepodang Nomer 20-22.

Sungguh mengenaskan.
Bangunan nomer 20 telah rata tanah. Tinggal menyisakan tembok serta kerangka pintu dan jendela bangunan nomer 22 yang bagian atasnya dipenuhi semak belukar yang tumbuh subur. Bagian teras depan ditambahi atap dari seng yang saya duga untuk tempat parkir.
Daun-daun pintu dan jendela ditutup dengan terpal yang sudah koyak. Namun sisa-sisa keindahan arsitektur bangunan surat kabar berbahasa Belanda itu masih ada. Ukuran pintu dan jendelanya yang lebar. Bentuk ventilasi di atas pintu dan jendela yang melengkung. Dan salah satu bagian atas pintu terdapat relief Batara Kala yang terlihat jelas.
"Dulu itu terjadi salah identifikasi bangunan," kata Pratono.
Berdasarkan hasil penelitian dan inventarisasi Pemerintah Kota Semarang bersama Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, yang dibukukan dalam Senarai Bangunan dan Kawasan Pusaka Kota Semarang, 2006, awalnya Kantor De Locomotief diidentifikasikan pada bangunan yang sekarang beralih fungsi menjadi Kantor Bank Mandiri Cabang Kepodang.
Bangunan itu masih berdiri kokoh dan megah. Namun ternyata bangunan itu adalah bekas Kantor Nederlandsch Indische Handelsbank. "De Locomotief ternyata di sebelahnya yang rusak itu. Alamatnya sama dengan yang tercantum pada koran itu ketika masih terbit," tutur Pratono.

Potret koran lawas lokal Semarang Sin Min yang diterbitkan wartawan Tionghoa dengan latar belakang bekas kantor redaksinya di kawasan Kota Lama Semarang, Ahad (6/11/2016).
© Pito Agustin Rudiana /Beritagar.id



Literatur kusam pelengkap sejarah

Saat kami tiba di depan bekas Kantor Koran Sin Min, Pratono yang aktif di Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang itu segera membuka tas ransel hitamnya. Dia mengeluarkan koran yang kertasnya kekuningan dan kusam, meski kondisinya masih baik.
Koran itu dalam posisi dilipat dua bagian dan diberi sampul plastik biar tak lusuh dan rusak. Ujung tengah koran ada tulisan "Sin Min" yang diapit dengan huruf kanji Cina yang entah apa bunyinya. Namun isi berita yang ditampilkan menggunakan bahasa Indonesia ejaan lama.
Di depan bekas Kantor De Locomotief pun demikian. Pratono mengeluarkan selembar Koran De Locomotief dengan kondisi yang sama. Sayangnya, koran itu berbahasa Belanda. Saya hanya bisa menikmati wajah koran yang melegenda itu. Lalu mengambil foto koran lawas dengan latar belakang bekas kantornya yang tinggal dinding itu.
Tak hanya koran lawas yang ada di dalam tas Pratono. Di depan bekas kantor Oei Tiong Ham, Pratono mengeluarkan buku tentang profil taipan itu, Oei Tiong Ham - Raja Gula dari Semarang karya penulis Liem Tjwan Ling.
Tiong Ham (1866-1924) adalah pendiri perusahaan multinasional pertama di Asia Tenggara, orang terkaya di kawasannya pada masa itu, pemimpin masyarakat Tionghoa di Semarang, juga dikenal sebagai Raja Gula Asia. Sketsa wajah Tiong Ham yang digambarkan berwajah bulat dan mengenakan stelan jas berwarna kemerahan memenuhi sampul buku.
"Halaman rumahnya sampai Simpang Lima Semarang. Punya 200 tukang kebun, 20 koki, dan 50 pelayan," kata Pratono saat kami menyambangi rumahnya yang telah menjadi Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Semarang di Jalan Kiai Saleh.
Terlepas itu, kebiasaan Pratono menunjukkan literatur tentang sejarah Semarang saat berkeliling untuk melihat situs-situs jejak sejarah di sana mengusik saya. Rupanya literatur lama dan baru itu adalah koleksi pribadinya yang telah dikumpulkan sejak 2000 untuk buku dan 2010 untuk koran.
Tak terlalu sulit bagi dia untuk mendapatkan produk-produk lawas itu. Mengingat Pratono juga aktif dalam komunitas baca Good Reads Indonesia sehingga dia bisa mengandalkan sesama anggota komunitas untuk bertukar buku.
Semisal, Pratono mempunyai buku tentang sejarah Jakarta, Bandung atau kota lainnya, kemudian barter dengan anggota komunitas yang mempunyai buku tentang sejarah Semarang. "Kadang berburu juga ke pasar buku bekas atau melalui online," kata Pratono.
Sejumlah pasar yang menjual buku bekas di Semarang ada di pasar klithikan di kawasan Kota Lama, di belakang Stadion Diponegoro, atau pun di lantai II Pasar Johar yang kini tengah direnovasi dan dipindah ke Pasar Bulu.
Kini ada 100-an buku tentang Semarang, 25 koran lawas terbitan Semarang, daan 35 koran lawas terbitan luar Semarang yang dikoleksinya. Apakah sebagian koleksi itu selalu dibawanya saat menjadi pemandu wisatawan? "KPS bukan pemandu wisatawan. Tapi mengadvokasi bangunan-bangunan cagar budaya," kata Pratono meskipun sesekali dia akan membantu untuk memandu apabila diminta.
Pendirian KPS Semarang, menurut koordinatornya, Rukardi Achmadi, pun berawal ketika dia dan Pemimpin Redaksi Historia Bonnie Triyana mendapatkan proposal pembongkaran bekas Gedung SI di Jalan Gendong Selatan Nomer 1144 Semarang ketika berkunjung ke sana pada 2012.
Rencananya, gedung itu akan dibongkar menjadi tiga lantai pada 2013 oleh pemiliknya yang atas nama Yayasan Balai Muslimin. Mengingat gedung itu penuh dengan torehan kisah sejarah, Rukardi dan Bonnie pun bersepakat untuk melakukan upaya penyelamatan.
Persoalannya, gedung itu ternyata belum dicatat sebagai bangunan yang berstatus cagar budaya sehingga mempunyai legitimasi hukum untuk dilestarikan berdasarkan UU Cagar Budaya Nomer 11 Tahun 2010. Dan ternyata tak semua situs di kawasan Kota Lama telah mengantongi status bangunan cagar budaya, meskipun syarat-syarat terpenuhi.
"Kami harus berbuat sesuatu. Harus bikin lembaga untuk melaporkan biar posisi kuat," kisah Rukardi yang menjadi penggagas. Tanggal 10 Agustus 2012, KPS dibentuk lima orang pemrakarsa, termasuk Rukardi dan Bonnie.
Perkembangannya, sifat keanggotaan cair. Siapapun yang berminat dengan sejarah bisa bergabung, seperti yang telah ada saat ini antara lain ada jurnalis, advokat, dosen. Dan saat ini KPS tengah dalam proses untuk menjadi organisasi yang berbadan hukum.
Pada hari yang sama mereka mengirimkan laporan rencana pembongkaran bangunan itu ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah. Laporan juga dilayangkan kepada Pelaksana Tugas Walikota Semarang saat itu, Hendrar Pribadi yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Semarang.
Kemudian Gedung SI pun disahkan sebagai bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Walikota Semarang Nomer 640/184/14 tertanggal 27 Februari 2014 atas rekomendasi BPCB Jawa Tengah dan TACB Semarang.
Keberhasilan advokasi KPS lain adalah bersama dengan sejumlah komunitas lain di Semarang mendesak pemerintah Kota Semarang mengembalikan bangunan Pasar Peterongan yang sudah dibongkar ke bentuk asal. Bangunan pasar tradisional tertua di Semarang itu rencananya akan dibuat baru.
"Tapi untuk bangunan bekas koran De Locomotief, kecolongan," kata Rukardi.
Perobohan sebagian bangunan itu pun terkesan diam-diam. Rukardi menduga, pemerintah tak serius menyelamatkannya karena ada pemangkasan anggaran. Pelestarian Kantor De Locomotief dianggap tak penting, sehingga diabaikan.
https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/mengkhayalkan-pertemuan-sneevliet-dan-semaoen-di-kota-lama

0 komentar:

Posting Komentar