Senin, 23 Januari 2017

Populisme Islam (1): Turki Lebih Sukses Dibanding Indonesia

SENIN, 23 JANUARI 2017 | 16:47 WIB
Dari kiri: Leila S Chudori, Vedi R. Hadiz, Robertus Robet dan Idrus F. Shahab dalam Diskusi Islam Populis di Indonesia dan Timur Tengah di Kantor Redaksi TEMPO, Palmerah, Jakarta, 23 Januari 2017. TEMPO/Charisma Adristy
TEMPO.COJakarta - Profesor Vedi R Hadiz menjelaskan populisme Islam di Indonesia gagal membentuk political frontier dan identitas umat yang hegemonik. Hal itu berbeda dengan di Mesir dan Turki. 
"Faktor utama kegagalan ini karena ketidakmampuan membentuk sebuah aliansi antarkelas yang menjangkau jauh," kata Vedi dalam diskusi yang diadakan Tempo Institute di Jakarta, pada Senin, 23 Januari 2017. 
Penanggap paparan Vedi adalah Robertus Robet (sosiolog, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi) dan Idrus F Shahab, Redaktur Tempo untuk isu luar negeri. 
Diskusi di kantor Tempo, Jalan Palmerah Barat itu terkait dengan buku terbaru Vedi bertajuk "Islamic Populism in Indonesia and the Middle East" terbitan Cambridge University Press. 
Buku tersebut merupakan hasil penelitian Vedi di Indonesia, Mesir dan Turki. Profesor Kajian Asia di  Asia Institute, University of Melbourne, Australia ini menggunakan konsep filsafat politik yang dikenalkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Moufe, yakni populisme. 
Bagi kalangan akademisi, populisme adalah konsep yang lentur. Kadang-kadang ia diidentikkan dengan aspirasi Kanan, di waktu lain bisa diidentikkan dengan aspirasi kaum Kiri. 
Populisme Islam adalah sebuah upaya untuk membentuk artikulasi buat mentransformasi pelbagai identitas sosial politik Islam ke dalam satu identitas semi universal, yakni umat. 
Konsep umat adalah sebuah political frontier atau batas akhir dari proses diskursif pembentuk blok hegemonik atas kekuasaan negara. Di dalam identitas umat, pelbagai variasi dalam kelas, ras, etnis dileburkan. 
Vedi menjelaskan populisme Islam di Tanah Air juga gagal menguasai negara dan civil society. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PKS masuk ke dalam kabinet. "Tidak menang besar besar, malah terserap ke dalam sistem yang ada," katanya.  
Di Mesir, ujar Vedi, partai Al-Ikhwanal Muslimun menguasai civil society, namun gagal menguasai negara. 
"Sebaliknya di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) berhasil menguasai negara dan civil society," kata Vedi yang sarjananya diperoleh dari FISIP UI dan gelar PhD dari Murdoch University, Australia pada tahun 1996. 
AKP, partai yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan,  sudah berkuasa selama 13 tahun. Menurut Vedi, partai ini membangun aliansi dengan borjuasi nasional, kelas menengah dan civil society. 
Selain itu juga beraliansi dengan kelas miskin dengan memberi aneka bantuan. "Partai AKP  sama sekali tidak omong memperjuangkan negara Islam atau demi melindungi umat," kata Vedi.  Vedi R Hadiz 
Buku Vedi ini dipuji Robertus Robet dan Idrus Shahab. "Kekuatan buku ini adalah mampu memposisikan politik dan ideologi sebagai arena pertarungan yang konkret, historis, dan dialektis," kata Robertus. 
Menurutnya, pendekatan Vedi melampaui pandangan "behavioralisme" yang memusatkan perhatian pada perilaku individu atau elite. Ataupun pandangan liberal/pluralis yang melihat politik secara normatif dan institusional. 
Idrus F Shahab menjelakan buku Vedi Hadiz ini menawarkan hal yang baru dan meninggalkan pendekatan lama. "Analisis kelasnya menarik. Bagaimana perbedaan kelas bisa dijinakkan di Turki dan Mesir," kata Idrus, redaktur luar negeri Tempo. 
UNTUNG WIDYANTO 

0 komentar:

Posting Komentar