Senin, 23 Januari 2017

Populisme Islam (2): Tak Ada Kelas Borjuasi Islam Indonesia

SENIN, 23 JANUARI 2017 | 16:55 WIB

Dari kiri: Leila S Chudori, Vedi R. Hadiz, Robertus Robet dan Idrus F. Shahab dalam Diskusi Islam Populis di Indonesia dan Timur Tengah di Kantor Redaksi TEMPO, Palmerah, Jakarta, 23 Januari 2017. TEMPO/Charisma Adristy
TEMPO.COJakarta - Adanya pembedaan antara kelompok penganut Islam moderat, radikal dan liberal makin menyulitkan terbentuknya populisme Islam di Indonesia. 
"Di Turki, populisme Islam yang didorong Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) berhasil menguasai negara dan civil society," kata Vedi R Hadiz, Profesor Kajian Asia di Asia Institute, University of Melbourne, Australia.
Pernyataan Vedi disampaikan dalam diskusi di kantor Tempo, Jalan Palmerah Barat, Jakarta, Senin, 23 Januari 2017. Penanggap paparan Vedi adalah Robertus Robet (sosiolog, Perhimpunan Pendidikan Demokrasi) dan Idrus F Shahab, redaktur Tempo. 

Diskusi yang diadakan Tempo Institute ini terkait dengan buku terbaru Vedi bertajuk "Islamic Populism in Indonesia and the Middle East" terbitan Cambridge University Press. 
Buku tersebut merupakan hasil penelitian Vedi di Indonesia, Mesir dan Turki.Vedi meneliti politik Islam di ketiga negara itu menggunakan konsep filsafat politik yang dikenalkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Moufe, yakni populisme. 
Bagi kalangan akademisi, populisme adalah konsep yang lentur. Kadang-kadang ia diidentikkan dengan aspirasi Kanan, di waktu lain bisa diidentikkan dengan aspirasi kaum Kiri. 
Populisme Islam adalah sebuah upaya untuk membentuk artikulasi buat mentransformasi pelbagai identitas sosial politik Islam ke dalam satu identitas semi universal, yakni umat. 
Konsep umat adalah sebuah political frontier atau batas akhir dari proses diskursif pembentuk blok hegemonik atas kekuasaan negara. Di dalam identitas umat, pelbagai variasi dalam kelas, ras, etnis dileburkan. 
Vedi menjelaskan penyebab lain dari kegagalan terbentuknya populisme Islam di Indonesia adalah  tidak adanya kelas borjuasi Islam yang besar. Di Tanah Air, yang ada adalah borjuasi etnis Cina. "Tidak mungkin mengajak mereka," ujar Vedi yang sarjananya diperoleh dari FISIP UI dan gelar PhD dari Murdoch University, Australia pada tahun 1996. 
Menurut Vedi, Muhammadyah dan NU relatif tergantung pada negara sehingga tidak bisa diharapkan mewujudkan populisme Islam.  Bagaimana dengan Aksi Bela Islam I dan II pada 4 November dan 2 Desember 2017 ?                         
"Permasalahannya apakah gerakan mereka bisa diimajinasikan sebagai umat Islam ? Atau hanya gerakan untuk memenjarakan Ahok dan menjatuhkan Jokowi?," kata Vedi menjawab pertanyaan peserta diskusi. 
Vedi tidak menutup mata bahwa peserta Aksi Belas Islam itu lintas kelas, mulai dari orang kaya hingga miskin. Permasalahannya lagi, ujarnya, siapa yang bisa memayungi gerakan ini ? 
Di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mampu menjadi payung bagi populisme Islam.  Sementara di Indonesia belum ada, karena di level bawah sejumlah organisasi kemasyarakat Islam saling berebut pengaruh atau konflik. 
Peserta lain bertanya model Malaysia sejak era Perdana Menteri Mahatir Mohammad yang memberi bantuan bagi etnis Melayu. "Jangan salah, yang diuntungkan adalah kroni-kroni elit politik di Barisan Nasional saja. Bukan menguntungkan semua warga Melayu yang Islam," katanya. 

UNTUNG WIDYANTO 
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/01/23/078838912/populisme-islam-2-tak-ada-kelas-borjuasi-islam-indonesia

0 komentar:

Posting Komentar