Selasa, 13 Maret 2018

Kilas Balik Pemilu | Drama Pemilu 1955: Demo Penista Agama Sampai Tolak Pemakaman Komunis

Selasa 13 Maret 2018, 13:57 WIB | Danu Damarjati 



Surat Suara Pemilu 1955, Jawa Timur (Dok. Situs KPUD Sukoharjo)

Jakarta - Persaingan di Pemilu 1955 berlangsung sengit. Partai-partai politik saling serang, termasuk menjelek-jelekkan satu sama lain.

Dikutip detikcom dari berbagai sumber, Selasa (13/3/2018), Pemilu 1955 ini menabalkan empat partai besar di panggung politik utama, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Peneliti asal Australia yang dipekerjakan Pemerintah RI, Herbert Feith, menggambarkan suasana persaingan Pemilu 1955 di buku "The Indonesian Elections of 1955". Ada sejumlah peristiwa yang terjadi, antara lain demonstrasi menentang penistaan agama, penolakan pemakaman komunis, hingga intimidasi yang dilakukan aparat.


Mulainya kampanye ditandai dengan pengesahan Undang-Undang tentang Pemilu pada 4 April 1953. Lambang-lambang partai disahkan dan diumumkan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) pada 31 Mei 1953. Kampanye ini seolah memaksa parpol-parpol membuat jejaring sampai tingkat desa.

Masyumi beradu dengan PNI soal aspirasi penerapan syariat Islam di Indonesia. Ada momentum yang menyulut ketegangan. Presiden Sukarno, di Amuntai Kalimantan Selatan pada Januari 1953, memperingatkan usaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam akan menyulut perpecahan dari daerah-daerah yang penduduknya bukan Islam.

Kalangan Islamis bereaksi keras menanggapi Sukarno. Anggota DPR dari Masyumi, Kiai Hadji Isa Anshary, dalam kampanyenya selalu mengutuk pemimpin partai politik non-Muslim sebagai munafik dan kafir. PNI menilai Isa Anshary sebagai ekstremis karena selalu menentang simbol-simbol nasionalisme. 



Penistaan Agama Menyulut Demo Besar


Pemilu 1955: Demo Penista Agama, Tolak Pemakaman, dan IntimidasiPoster-poster Pemilu 1955 (Department of Information of the Republic of Indonesia via Wikimedia Commons)
Dituliskan oleh Feith di bukunya yang lain, yakni "The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia", ada kasus penistaan agama yang dilakukan pihak Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia) yakni Mei Kartawinata. Dia menyatakan Muhammad adalah nabi palsu. Ada pula Mr Hardi dari PNI yang mengatakan Alquran sudah ketinggalan zaman. 

Organisasi Islam yang didominasi Masyumi kemudian menggerakkan demonstrasi Februari 1954 mengecam Permai dan PNI. Ini adalah demo lanjutan dari isu sebelumnya, yakni digantinya Wali Kota Jakarta Raya yang dari Masyumi, Sjamsuridjal, dengan orang PNI yakni Sudiro. Penggantian ini juga mengubah komposisi representasi Masyumi di Komite Pemilihan setahun sebelum Pemilu. Demo ini juga didorong oleh ketidaktegasan pemerintah dalam merespons isu penistaan agama saat itu. 

Setengah juta orang turun ke jalan. Unjuk rasa berujung rusuh. Satu orang kapten TNI yang berusaha menjaga keamanan menjadi korban tewas kerusuhan. Ini adalah korban jiwa pertama di suasana Pemilu.

Dilarang Makamkan Jasad Komunis

PKI menghubung-hubungkan Masyumi dengan pemberontak Darul Islam dan punya niat mendatangkan pihak asing pada sektor perkebunan dan tambang. 

Masyumi juga menuding PKI sebagai partai yang tunduk pada Moskow. Masyumi juga selalu mengingatkan publik soal peristiwa pemberontakan Madiun 1948. Partai ini berusaha menjadikan hari Pemberontakan Madiun sebagai Hari Berkabung Nasional.

Masyumi juga menyatakan komunis sama saja dengan atheis, maka komunis adalah kafir. Jasadnya harus ditolak bila hendak dimakamkan di pemakaman muslim. 

Intimidasi Aparat 

Adapun PNI berkampanye pula dengan menyatakan pihaknya sebagai 'Partainya Pak Karno'. PNI saat berkampanye di Jawa menyebut Masyumi sebagai partainya orang Sumatra. Namun Masyumi juga menyatakan bila berkampanye di Sumatra bahwa PNI itu partainya orang Jawa saja.

PNI dikatakan Feith menggunakan pengaruh aparat pemerintahan sampai tingkat desa. Penyalahgunaan kekuasaan ini bahkan juga berbentuk intimidasi ke warga desa. PNI di pedesaan Jawa mengancam lurah-lurah dengan hukuman penjara dan denda uang bila mereka tidak mendukung PNI. PNI juga mengancam akan menahan distribusi sembako.

Yang menjadi kejutan menurut Faith, adalah NU. Disebutnya, NU adalah partai dengan modal kampanye paling cekak namun bisa sukses menempati peringkat ke-3, di bawah PNI, Masyumi, dan di atas PKI. "...Mungkin ini kejutan terbesar di Pemilu," tulis Feith.

Anomali kemenangan NU menunjukkan satu hal, yakni modal sosial juga tak kalah penting ketimbang modal finansial.



Karakter Pemilih

Masyumi dan NU sama-sama berkampanye bahwa hanya yang memilih partainyalah yang bisa masuk surga. Kalau tidak pilih partai ini maka bisa masuk neraka. Tentu saja ini hanya satu contoh yang menarik di mata Feith. 

Ada garis pemisah yang nampak di antara pemilih PNI dan PKI. Menurut amatan Feith di desa-desa, pemilih PNI saat itu adalah priyayi dan juragan. Pemilih PKI biasanya para penyewa lahan garapan dan orangmiskin. 

Di Minangkabau, ada perbedaan pemilih Masyumi dan Perti (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah). Perti dipersepsikannya sebagai NU-nya orang Sumatra. Biasanya, pemilih Perti adalah kaum tua tradisionalis. Kaum muda Muslim cenderung terafiliasi dengan Masyumi.


(dnu/tor)
Sumber: NewsDetik.Com 

0 komentar:

Posting Komentar