Selasa, 13 Maret 2018

Meringkus Loyalis Sukarno

Kamis 15 Maret 2018 WIB

Supersemar juga dijadikan alat untuk menangkap 15 menteri pendukung Sukarno. Sisi kelam menjelang terbitnya Orde Baru.

Soebandrio, salah satu loyalis Sukarno yang ditangkap. 
Foto
CHAERUL Saleh tak pernah menyangka, tanggal 18 Maret 1966 menjadi hari Jumat petaka dalam hidupnya. Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III merangkap Ketua MPRS itu masuk dalam daftar menteri yang ditangkap atas perintah Letjen TNI Soeharto. Kepada rekannya Mohammad Achadi yang menjabat Menteri Transmigrasi dan Koperasi, Chaerul berujar tanpa curiga mengenai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
“Tiga jenderal itu kan kawan-kawan kita sendiri. Masa tidak percaya?” kata Chaerul Saleh sebagaimana dikutip Achadi dalam Kabut G30S. Ketiga jenderal yang dimaksud adalah Amirmachmud, Basuki Rachmat, dan M. Jusuf. Merekalah yang menyampaikan Supersemar kepada Soeharto. Dengan surat itu, Soeharto punya kuasa bertindak apa saja dalam pemulihan keamanan pasca Gerakan 30 September 1965.
Sebelum ditangkap, Chaerul sempat berpidato di corong radio membacakan pengumuman presiden yang mengecilkan arti Supersemar. Karena sikap politiknya yang terkesan sejajar dengan Sukarno, Chaerul akhirnya ikut “diamankan” bersama para menteri lainnya. Semuanya berjumlah 15 menteri.

Mereka antara lain: Soebandrio (Waperdam I merangkap menteri luar negeri dan ketua Badan Pusat Intelijen Indonesia), Chaerul Saleh (Waperdam III merangkap ketua MPRS), Surachman (menteri pengairan rakyat dan pembangunan desa), Setiadji Reksoprodjo (menteri urusan listrik dan ketenagaan), Oei Tjoe Tat (menteri negara yang diperbantukan pada presidium kabinet), Jusuf Muda Dalam (menteri urusan Bank Sentral merangkap gubernur Bank Indonesia), Mayjen TNI Achmadi (menteri penerangan), Mohammad Achadi (menteri transmigrasi dan koperasi), Soemardjo (menteri pendidikan dasar dan kebudayaan), Armunanto (menteri pertambangan), Sutomo Martopradoto (menteri perburuhan), Astrawinata (menteri kehakiman), J. Tumakaka (menteri sekretaris jenderal Front Nasional), Mayjen TNI Soemarno Sastroatmodjo (menteri dalam negeri merangkap gubernur DKI Jakarta), Letkol Imam Sjafei (menteri khusus urusan keamanan).

Alasan Penangkapan

Penangkapan sejumlah menteri merupakan kejutan kedua setelah Soeharto menerima Supersemar. Soeharto memerintahkan operasi “pengamanan” dengan dalih keselamatan diri para menteri dari amukan demonstran. Dalam pidato yang disiarkan RRI, Soeharto menempatkan para menteri itu dalam tiga macam kategori. Pertama, mereka yang mempunyai hubungan dengan PKI atau G30S dengan indikasi yang cukup. Kedua, mereka yang kejujurannya dalam membantu presiden diragukan. Dan ketiga, mereka yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas penderitaan rakyat.

Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Harold Crouch menggolongkan Soebandrio, Astrawinata, Oei Tjoe Tat, Setiadi Reksoprodjo dalam kategori pertama. Chaerul Saleh dan Jusuf Muda Dalam termasuk kategori ketiga. Menilik peran dan afiliasinya secara khusus, Chaerul, Achmadi, Achadi, dan Tumakaka telah berperan dalam pengorganisasian Barisan Sukarno. Sutomo Martopradoto, Oei Tjoe Tat, dan Armunanto adalah anggota nasionalis-kiri Partindo. Surachman, sekretaris jenderal PNI merupakan sayap kiri dalam partainya. Sepasang perwira Angkatan Darat, Sumarno dan Sjafei dinilai lebih loyal kepada Presiden Sukarno ketimbang Panglima Angkatan Darat.
“Dapat dikatakan, semua ditahan karena kesungguhan mereka membantu presiden dan bukannya kegagalan mereka yang menyebabkan mereka ditangkap,” tulis Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia.
“Semuanya, kelima belas orang itu, mendukung presiden dalam usahanya mengembalikan tentara di bawah kontrolnya.”
Soebandrio dan Achadi merupakan dua dari lima belas menteri yang mampu melewati masa sulit penahanan. Di usia senjanya, mereka masih sempat menuangkan kesaksian dalam bentuk buku dan memoar. Menurut Achadi, dengan ditangkapnya para menteri, Presiden Sukarno sedang dipojokkan secara taktis. Bung Karno kehilangan kekuatan-kekuatan pendukungnya yang “dilumpuhkan” justru dengan menggunakan Supersemar itu.
“Ini juga merupakan langkah pembubaran Pemerintahan Sukarno dan diganti dengan para menteri yang pro-modal asing (Nekolim),” ujar Achadi.
Sementara Soebandrio meyakini tujuan Soeharto membubarkan PKI dan menangkapi para menteri adalah serangkaian strategi untuk meraih puncak kekuasaan. Menurutnya “kudeta merangkak” yang dilancarkan Soeharto terdiri dari empat tahap. Pertama, menyingkirkan para jenderal pesaing dalam operasi G30S. Kedua, memperoleh Supersemar yang menjadi dasar pembubaran PKI. Ketiga, penangkapan 15 menteri yang loyal kepada Bung Karno. Keempat, mengambilalih kekuasaan dari Bung Karno.
“Yang jelas, begitu ditangkap para menteri langsung ditahan. Tuduhannya gampang: terlibat G30S/PKI -tuduhan yang sangat ditakuti seluruh rakyat Indonesia sepanjang Soeharto berkuasa,” ujar Soebandrio dalam manuskrip memoar Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S. “Kini yang dicapai Soeharto sudah tiga tahap. Tinggal tahap terakhir.”

Pencidukan

Pada 16 Maret 1966, tuntutan untuk menangkap para menteri bergaung keras dari kalangan Angkatan Darat maupun demonstrasi mahasiswa. Tanggal 17, seorang menteri tertawan oleh para pelajar KAPPI sedangkan sembilan yang lain mengungsi ke Istana. Kolonel Sarwo Edhie dari RPKAD ditugaskan untuk menangkap mereka. Pasukan RPKAD telah diperintahkan untuk mengepung Istana. Sementara Panglima Kodam Jakarta Raya, Amirmachmud diberi tugas khusus untuk meringkus Soebandrio.
“Semua aparat ABRI, terutama yang bersimpati kepada perjuangan Orde Baru, dikerahkan untuk mencari dan menangkap mereka. Kodam V/Jaya sudah tentu mendapat tugas itu pula,” kata Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang.
Pada 18 Maret, Angkatan Darat dengan mudah menangkap mereka. Hampir semua menteri dapat diciduk tak lama setelah perintah penangkapan diumumkan. Achadi ditangkap pada 3 Mei 1966. Sedangkan Surachman melarikan diri dan terbunuh di Blitar Selatan dalam “Operasi Trisula” pimpinan Mayor Jenderal M. Jasin pada 1968.

Chaerul Saleh menjadi salah satu korban penangkapan yang mengalami akhir hidup mengenaskan dalam status tahanan politik. Di Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Chaerul mendadak meninggal dunia karena serangan jantung pada 8 Februari 1967.

Menurut kesaksian Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, yang juga ditahan di RTM yang sama, pagi itu dia mendatangi kamar Chaerul Saleh dan menemukan tokoh pejuang itu duduk diatas pispot namun sudah tak bernyawa. Hingga saat ini, meski rezim Soeharto telah tumbang, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.

Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar