Selasa, 13 Maret 2018

Kilas Balik Pemilu | Resah di Pemilu 1955: Hoax Beracun hingga Orang Gila Ngamuk

Selasa 13 Maret 2018, 12:05 WIB | Danu Damarjati


Ilustrasi: Sukarno Memasukkan Surat Suara ke Kotak Suara di Pemilu 1955 (Department of Information of the Republic of Indonesia via Wikimedia Commons)

Jakarta - Di era internet ini hoax mudah menyebar, termasuk hoax yang bertendensi politis. Bukan berarti bila tidak ada internet kemudian tidak ada hoax. Pemilu 1955 juga diwarnai hoax. 

Dilansir situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (13/3/2018), Pemilu pertama kali selepas Indonesia merdeka sedianya digelar pada 1946, namun terpaksa tertunda gara-gara situasi tak memungkinkan. 

Pemerintah belum siap dan belum punya perangkat perundang-undangan yang mengatur Pemilu. Stabilitas keamanan negara masih rendah. Suasana masih rentan, serbuan kekuatan asing mengharuskan Indonesia untuk berperang. Sebagaimana diketahui, paruh kedua tahun '40-an terjadi agresi militer Belanda jilid I dan II.

Apapun kesulitan itu, toh akhirnya terlaksana juga Pemilu pertama di Indonesia. Pemungutan suara dibagi dua, yakni 29 September 1955 untuk Pemilu DPR dan 15 Desember 1955 untuk Pemilu Konstituante yang bertugas merumuskan Undang-Undang Dasar.

Pemilu semakin dekat. Muncul hoax-hoax yang bikin resah warga di desa-desa, juga membuat gelisah penduduk di pulau-pulau. Ini diceritakan oleh Herbert Feith dalam bukunya, "The Indonesian Elections of 1955".

Kabar bohong pertama, ada kapal selam yang segera merapat menyerang Indonesia. Kabar bohong kedua, orang-orang kulit putih yang sembunyi di gunung-gunung bakal menyambangi kota dan menyerang dengan bantuan pasukan hantu. Bayang kengerian perang masih lekat di benak orang-orang Indonesia era itu. Kabar-kabar seperti itu sungguh tak mengenakkan masyarakat.

Hoax selanjutnya, orang-orang di Jawa dilaporkan banyak yang keracunan pada beberapa hari sebelum dan beberapa hari sesudah Pemilu DPR. Herbert Faith yang berada di Indonesia saat itu menilai sebenarnya ini cuma gangguan psiko-sosial saja.

Namun rakyat Indonesia kebanyakan bukanlah seperti Herbert Feith si cendekiawan Australia. Saat itu banyak orang Indonesia masih buta huruf. Kabar orang yang keracunan makanan itu benar-benar bikin takut. Ini menjadi keresahan masyarakat.
Terjadi persekusi terhadap penjual makanan. Persekusi model begini bukan hanya di satu tempat, tapi di banyak tempat. Bahkan isu makanan beracun sampai menjadi pembicaraan di kabinet. 

Selama empat hari, Institut Bakteriologi Eijkman di Rumah Sakit Pusat Jakarta menerima 600 sampel makanan yang diduga beracun. Setelah diperiksa, ternyata tak ada racun dalam sampel-sampel makanan itu.

Tak jelas siapa yang mengembuskan hoax ini. Ancaman hukuman diserukan kepada partai-partai yang mencoba menghasut masyarakat memakai isu ini.

Namun keresahan kadung menjalar. Toko-toko tutup dan barang dagangan ditimbun. Bukan hanya toko, bahkan di beberapa tempat pasar kota dan desa juga tutup lebih awal pada siang, sehari sebelum Pemilu. Di pelosok-pelosok, dilaporkan bahwa warga banyak yang menggadaikan hartanya. Kota-kota menjadi terasa sunyi, persis seperti setelah digempur serangan udara saat perang.

Toko-toko tutup dan menimbun barang dagangan. Bukan hanya toko, bahkan di beberapa tempat pasar di kota dan di desa juga tutup lebih awal pada siang, yakni sehari sebelum Pemilu. Di pelosok-pelosok, dilaporkan bahwa warga banyak yang menggadaikan hartanya. Kota-kota menjadi terasa sunyi, persis seperti setelah digempur serangan udara saat perang.

Pemerintah lewat siaran radio mengimbau masyarakat tetap tenang. Tentara-tentara berseliweran di jalanan beberapa hari jelang Pemilu DPR. Pemandangan ini justru menambah ngeri warga. Jam-jam malam diberlakukan pada dua atau tiga hari menjelang hari pencoblosan. Simpelnya, suasana jelang Pemilu DPR: tegang.

Hari pencoblosan tiba. Pria, wanita, tua, muda, ibu-ibu hamil, orang sakit, bahkan anak-anak juga diajak keluarganya ke TPS. Para perantau pulang kampung sekadar untuk mencoblos. Feith menyaksikan rata-rata mereka datang ke TPS memakai baju yang bagus. 

Ketegangan sirna? Saat hari pencoblosan 29 September, orang-orang di TPS cenderung bicara dengan bisik-bisik. TPS terasa sunyi namun tidak alamiah. Namun kekhawatiran soal terjadinya malapetaka perlahan sirna.

Namun ada pula peristiwa yang bikin kaget saat itu. Dilaporkan media massa, ada tiga kejadian pembunuhan oleh orang gila. 

"Tiga kasus dilaporkan di media massa, yakni warga-warga desa yang menderita keterbelakangan mental mengamuk pada saat hari pemungutan suara. Salah seorang dari mereka membunuh tiga orang warga desa," tulis Feith di halaman 50.

Selanjutnya, Pemilu Konstituante pada 15 Desember 1955 berlangsung relatif lebih rileks. Kampanye untuk Pemilu Konstituante juga tak semeriah kampanye sebelum Pemilu DPR.

(dnu/tor)
Sumber: NewsDetik.Com 

0 komentar:

Posting Komentar