Minggu, 18 Maret 2018

Memburu Soebandrio

Martin Sitompul | 18 Mar 2018, 02:47

Digadang-gadang sebagai suksesor Sukarno, Soebandrio justru menjadi buronan nomor satu Jenderal Soeharto.


Soebandrio saat diadili di Mahkamah Luar Biasa. Foto: Arsip Nasional Belanda.

Sesaat setelah menerima Supersemar, Letjen Soeharto memerintahkan Panglima Kodam Jakarta Raya, Mayjen Amir Machmud mengawal Presiden Sukarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amir Machmud.
“Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Soebandrio harus ditemukan,” ujar Amir dalam otobiografi Amir Machmud: Prajurit Pejuang.
Ketika melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amir Machmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Soebandrio 
“Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Soebandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amir.
Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberitahu posisi Soebandrio sembari menitip pesan agar Amir jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amir ke guest house komplek Istana Merdeka. Di lantai atas guest house, yang tampak bukan hanya Soebandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya kena ciduk. Amir Machmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Soebandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut.
Terindikasi PKI?
Soebandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Soebandrio sejak akhir Februari 1966. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Soebandrio berafiliasi dengan PKI. Tempo setelah G30S meletus, Soebandrio lewat sejumlah pidato menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Soebandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam: membalas teror dengan kontra-teror.
Soebandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh jadi seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Soebandrio terindikasi PKI.
“Dia (Soebandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam Bertarung dalam Revolusi.
Angkatan Darat kian memusuhi Soebandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Soebandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan rapat Soebandrio dengan Bung Karno di satu pihak dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan ekstra cemas.
Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat. Membunuh Soebandrio, misalnya. Bila hal ini terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Soebandrio habis-habisan.
“Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan berakhirnya,” tutur Yoga kepada B.Wiwoho dan Banjar Charuddin dalam Memori Jenderal Yoga. “Mengatasi Soebandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.”
Vonis Mati
Pada 1967, proses hukum terhadap Soebandrio digelar dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Anehnya, dakwaan buat Soebandrio bukan karena terindikasi PKI atau terlibat G30S. Pengadilan memutuskan Soebandrio bersalah karena dianggap subversiv terkait ucapannya membalas teror dengan kontra-teror.
Sidang berlangsung singkat. Soebandrio dijatuhi hukuman mati. Bagi Soebandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara.
“Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Soebandrio dalam memoarnya Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S. “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.”
Namun nasib mujur masih menyertai Soebandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Soebandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden AS Lyndon Jhonson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Soebandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup.
Selama hampir 30 tahun, Soebandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu dia mengalami depresi. Pada 1978, tatkala masih meringkuk dalam penjara, anak tunggal Soebandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Soebandrio Hurustiati menyusul. Soebandrio bebas dari penjara pada 1995.
Ketika pemerintahan Orde Baru runtuh pada 1998, kebebasan bersuara terbuka bagi siapa saja. Termasuk pula untuk mereka, yang dulu pernah dibungkam oleh rezim Soeharto. Tak terkecuali bagi Soebandrio.
“Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno. Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu menjadi tekad saya,” kata Soebandrio.
“Dan ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.”
Sumber: Historia 

0 komentar:

Posting Komentar