Selasa, 13 Maret 2018

Kilas Balik Pemilu | Pemilu 1955, Pembuktian Rakyat Buta Huruf di Depan Mata Dunia

Selasa 13 Maret 2018, 10:53 WIB | Danu Damarjati



Poster-poster Pemilu 1955 (Department of Information of the RI via Wikimedia Commons)

Jakarta - Setahun lagi, Indonesia akan menggelar Pemilu ke-12. Namun penyelenggaraan ke-12 tak akan ada tanpa penyelenggaraan pertama, yakni Pemilu 1955. 

Dilansir situs Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), diakses detikcom pada Selasa (13/3/2018), Pemilu 1955 mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing. Pemilu ini dinyatakan terlaksana dengan aman, lancar, jujur, adil, dan demokratis 

Pemilu 10 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI ini menunjukkan tingkat partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat. Orang rela menempuh jarak yang jauh untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), meski harus berjalan kaki atau menyeberang pulau. 

Cerita tentang Pemilu 1955 ini dicatat Herbert Feith dalam bukunya, "The Indonesian Election of 1955' terbit pertama tahun 1957. Cendekiawan asal Australia ini dipekerjakan oleh Kementerian Informasi Indonesia pada 1951 hingga 1953 serta pada 1954 sampai 1956. Dia juga bepergian di kawasan Jawa dan Sumatra saat suasana Pemilu. 

Dikatakan Feith, Pemilu ini digelar tanpa pengalaman berdemokrasi sebelumnya. Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) adalah penyelenggaranya, berisi orang-orang dari banyak partai. 

Di level pelaksanaan, petugas partai di masing-masing TPS banyak yang buta huruf. Namun di antara para buta huruf hampir selalu ada paling tidak dua orang yang bisa membaca.

"Indonesia berani mempertaruhkan proses Pemilu pada tingkat kecerdasan para penduduk desa yang buta huruf, dan... pertaruhan itu terbayar tunai," kata Irene Tinker dan Mil Walker, peneliti pemilu di Indonesia dan India, sebagaimana dikutip Feith. 

Dalam suasana ini, lumrah saja terjadi fenomena salah coblos partai. Soalnya, ada partai yang lambangnya mirip dengan partai lainnya. Ini membuat partai kecil berlambang mirip dengan partai yang lebih besar mendapatkan raupan suara.

Ada salah satu kandidat di Jawa Timur yang kurang terkenal, namanya Koesadi PM (Kusadi Paulus Maria), berhasil mendapat 64.522 suara gara-gara lambangnya di surat suara mirip lambang Palu-Arit Partai Komunis Indonesia (PKI). Kalau dilihat-lihat, lambang Koesadi PM adalah Palu-Kapak.

Ada pula Partai Buruh di Jawa Timur dan Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM) di Jawa Barat. Mereka punya lambang yang mirip dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), yakni banteng/kerbau. Akibatnya, ada peningkatan suara yang diperoleh Partai Buruh di Pemilu Konstituante. 

Apapun itu, Pemilu 1955 menjadi ajang pembuktian Indonesia sebagai negara demokratis. Pemilu adalah syarat satu negara dikatakan demokratis. Ada pula kebanggan nasional yang muncul dari Pemilu ini, karena Indonesia bisa membuktikan di depan mata dunia bahwa dirinya sudah matang sebagai bangsa. 

Selain itu, Pemilu 1955 juga ditujukan untuk menciptakan stabilitas politik usai ada peristiwa meriam diarahkan ke Istana Kepresidenan pada 17 Oktober 1952 dan ketidakstabilan demokrasi liberal kala itu. 

Sebetulnya sekitar tiga bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan oleh Sukarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, pemerintah sudah menyatakan keinginannya untuk menggelar Pemilu. Pada Maklumat X atau maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945, tercantum anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Disebutkan di situ, Pemilu akan diselenggarakan pada Jauari 1946. Namun gara-gara kondisi tidak stabil, ancaman agresi militer, dan ketidaksiapan negara, maka Pemilu tertunda sampai nyaris satu dasawarsa. 

Memang secara nasional, Pemilu 1955 adalah yang pertama. Akan tetapi pada 1946 pemilu legislatif regional sudah digelar di Kediri dan Surakarta. Pemilu juga digelar pada 1951 dan 1952 di Minahasa, Sangir-Talaud, Makassar, dan Yogyakarta. Pemilu-pemilu ini menjadi rujukan Pemilu skala nasional.

Penghitungan daftar pemilih tetap dimulai pada Mei 1954 dan selesai pada November 1954, alias enam bulan saja. Terhitung jumlah daftar pemilih tetap adalah 43.104.464 orang. Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) mengumumkan pada April 1955, Pemilu Parlemen akan digelar pada 29 September 1955, dan Pemilu Konstituante akan digelar pada 15 Desember 1955. 

Pemilu benar-benar terlaksana. 39 Juta orang mendatangi TPS. Pada Pemilu DPR, ada 37.875.299 orang menggunakan hak pilihnya, atau 87,65% dari 43.104.464 daftar pemilih tetap. Dari 87,65% itu, ada 91,54% suara sah. 6% Yang tak menggunakan hak suaranya meliputi orang yang sangat tua dan sangat sakit, juga warga yang terancam keamanannya. Ada 2,5% yang tak menggunakan hak pilihnya karena meninggal dunia. Ada pula kelompok-kelompok kecil yang bersifat anarko-komunis secara sadar menolak Pemilu, yakni Suku Samin di Jawa Tengah, sisa-sisa PKI Lokal Islami di Sumatera Barat, dan kelompok Si Raja Batak, serta kelompok-kelompok keagamaan di berbagai wilayah.

Pada Pemilu Konstituante, yang menggunakan hak pilihnya adalah sekitar 89,33% dari daftar pemilih tetap. Surat suara sah sebesar 87,77% alias lebih besar sedikit ketimbang Pemilu parlemen sebesar 87,65%.

Total penduduk Indonesia berdasarkan statistik Panitia Pemilihan Indonesia tahun 1955 ada 77.987.879 (77 juta). Sebanyak 45,6% populasi hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pemilu Parlemen memperebutkan 257 kursi di DPR, diikuti 36 partai politik, 34 organisasi, dan 48 calon perorangan. Pemilu Konstituante memperebutkan 514 kursi, diikuti 39 partai politik, 23 organisasi dan 29 perorangan. Pemilu ini memunculkan empat besar partai pemenang, yakni juara pertama PNI, disusul Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan PKI.


Pemilu 1955, Pembuktian Rakyat Buta Huruf di Depan Mata DuniaFoto: Hasil Pemilu 1955 (Herbert Feith, The Indonesian Election of 1955)
Namun ada kekecewaan yang amat dirasakan oleh kelompok-kelompok Indonesia karena ternyata Pemilu 1955 tidak menciptakan stabilitas politik. Feith menilai kondisi seperti ini wajar saja.

"Pemilu mungkin bukanlah panacea (obat mujarab) bagi politik Indonesia yang sedang sakit meskipun banyak propagandis partai mengklaim bakal bisa melakukannya. Dinamika politik Indonesia tak berubah gara-gara Pemilu. Namun demikian parlemen yang terpilih secara demokratis seperti itu adalah langkah awal bagi evolusi bangsa yang demokratis, merepresentasikan capaian penting," tulis Feith.

Bahkan para wakil rakyat hasil Pemilu 1955 ini akhirnya dibubarkan oleh Presiden Sukarno, lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk membubarkan Konstituante. Indonesia kembali ke UUD Negara RI 1945. Tahun 1960, DPR hasil Pemilu 1955 juga dibubarkan oleh Sukarno, setelah sebelumnya DPR meolak Rancangan APBN yang diajukan pemerintah.


(dnu/tor)

Sumber: NewsDetik.Com 

0 komentar:

Posting Komentar