Senin, 05 Maret 2018

Warga Tionghoa Indonesia Harus Terjun ke Dunia Politik

Oleh: Sastra Wijaya | 05 Maret 2018


Prof Ariel Heryanto (dan Siauw Tiong Djin dalam peluncuran buku Siauw Giok Tjan, hari Minggu (4/3/2018) di Melbourne
Foto: ABC Sastra Wijaya

Warga Tionghoa harus terjun ke dunia politik di Indonesia. Mereka harus aktif untuk membantu membuat perubahan dan tidak seharusnya berpeluk tangan saja.
Demikian dikatakan Siauw Tiong Djin PhD mengenai apa yang bisa dilakukan warga Tionghoa Indonesia, mengikuti jejak langkah ayahnya Siauw Giok Thjan sebelumnya.
Siauw Djin mengatakan hal tersebut hari Minggu (4/3/2018) dalam peluncuran bukunya berjudul "Siauw Giok Thjan Bicultural Leader in Emerging Indonesia" yang diterbitkan Monash University dalam bahasa Inggris.
Buku ini sebelumnya pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia, dan merupakan bagian dari disertai doktoral Siauw Djin di Universitas Monash di tahun 1999.
Selain Siauw Djin, hadir Prof Ariel Heryanto dari Monash University yang secara resmi meluncurkan buku tersebut.
Juga hadir Prof Charles Koppel, profesor emiritus dari Melbourne University yang memberikan paparan mengenai warga Tionghoa di Indonesia saat ini.
Menjawab pertanyaan dalam diskusi tersebut, Siauw Djin menggambarkan apa yang dilakukan ayahnya Siauw Gion Thjan (1914-1981) dalam kehidupan politik sejak Indonesia merdeka sampai sekitar tahun 1970-an.
Dalam sejarah Indonesia, Siauw Giok Thjan pernah menjalani hukuman penjara sebagai tahanan politik menyusul peristiwa 1965, karena keterlibatannya dengan organisasi Baperki yang dianggap mendukung komunisme di Indonesia.
Dalam penjelasannya, Siauw Djin mengatakan bahwa selain ayahnya, banyak warga Tionghoa Indonesia terlibat dalam dunia politik bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Siauw Djin yang sekarang tinggal di Australia menambahkan, buku ini membeberkan bukti guna membantah pendapat umum bahwa warga Tionghoa Indonesia hanya bergerak di bidang ekonomi.
"Dalam hal-hal tertentu, warga Tionghoa dianggap menguasai ekonomi dan menjadi sumber malapetaka. Ini yang perlu dibantah, dan buku ini cukup banyak mendiskusikan hal tersebut," kata Siauw Djin dalam acara yang dihadiri lebih dari 100 peserta.
Mengenai penguasaan ekonomi, Siauw Djin mencontohkan masih banyaknya warga Tionghoa di daerah seperti Kalimantan Barat (Singkawang) dan Tangerang (Banten) yang sama miskinnya dengan warga lainnya.
Hal lain yang menurut Siauw Djin ingin dibantah lewat buku tersebut adalah bahwa warga Tionghoa Indonesia tidak memberikan sumbangan dalam perkembangan Indonesia merdeka.
"Kita lihat fakta sejarah bahwa ikrar Sumpah Pemuda dilaksanakan di rumah seorang warga Tionghoa. Juga Lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan dan diberitakan oleh Harian Sinpo," katanya.

Juga banyak warga Tionghoa Indonesia yang ikut berjuang untuk kemerdekaan.
"Laporan-laporan usaha untuk merdeka disiarkan oleh surat-surat kabar Tionghoa. Ayah saya juga seorang wartawan Tionghoa di jaman Belanda," ujarnya.
Setelah Indonesia Merdeka, Siauw Giok Thjan masuk ke dunia politik lewat Partai Tionghoa Indonesia dan terlibat dalam pendirian Baperki yang mengusung pendekatan integrasi warga Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia, dan bukannya pendekatan asimilasi.
Perbedaan pendekatan integrasi dan asimilasi yaitu bahwa integrasi mendukung warga Tionghoa menjadi satu suku, sementara asimilisasi mendukung agar warga Tionghoa berbaur ke dalam masyarakat Indonesia lainnya.
Di masa Orde Baru, paham asimilasi ini lebih banyak diterapkan di antaranya warga Tionghoa harus mengganti nama mereka menggunakan nama-nama yang berbau Indonesia.
Dalam paparannya, Siauw Djin mengatakan ayahnya Siauw Giok Tjhan sekarang mungkin tersenyum di alam baka karena sejak 1998 setelah berakhirnya kekuasaan Soeharto apa yang diperjuangkan ayahnya dan Baperki secara hukum menjadi kenyataan.
"Sekarang di Indonesia sudah ada UU Anti Diskriminasi, Imlek boleh dirayakan, Barongsai boleh dipertunjukkan, bahasa Mandarin boleh digunakan. Hubungan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dengan RI juga sangat baik, ada ketergantungan RI atas kekuatan ekonomi Tiongkok," kata Siauw Djin.

Belajar dari masa lalu

Dalam pengantarnya, Prof Ariel Heryanto yang sekarang menjadi gurubesar Herb Feith di Monash University mengatakan apa yang disampaikan dalam buku mengenai Siauw Giok Thjan tersebut banyak yang bermanfaat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Indonesia sekarang dengan melihat kembali sejarah masa lalu.
"Semakin lama saya semakin sadar bahwa saya ini sebenarnya buta sejarah, dan semakin tua saya semakin sadar perlunya untuk memahami sejarah untuk memahami masalah yang ada sekarang," ujarnya.
"Semakin lama saya menyadari bahwa tidak mungkin kita bisa secara memadai paham mengenai masalah Indonesia saat ini tanpa melihat sejarah masa lampau," tambahnya.
"Dengan membaca buku ini, saya semakin yakin dengan pendapat tersebut," kata Prof Ariel.
Mengapa?
"Banyak masalah yang terjadi di masa kini tidak terpecahkan karena kita memahami masalahnya saja tidak benar," katanya.

"Tidak benarnya karena ada hal yang disangkal, dihapus dari masa lampau. Bagaimana menyelesaikan, memahami saja belum benar," kata Prof Ariel.
"Jadi buku ini semacamn obat juga bagi yang perduli dengan Indonesia masa kini," jelasnya.
Karena, menurut dia, walau buku ini memfokuskan diri pada kehidupan Siauw Giok Thjan, namun tidak terlepas dari sejarah kehidupan Indonesia pada jamannnya.
Selain Ariel Heryanto dan Siauw Tiong Djin, juga berbicara Prof Charles Koppel, akademisi Australia yang banyak memfokuskan penelitiannya mengenai kehidupan warga Tionghoa di Indonesia.
Dalam paparannya, Prof Koppel membeberkan data mengenai masyarakat Indonesia berdasarkan sensus resmi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Sumber: AustraliaPlus.Com 

0 komentar:

Posting Komentar