Kamis, 29 Maret 2018

Perspektif Dunia 2018 - Bagian I

Kamis, 29 Maret 2018

Berikut adalah bagian pertama dari dokumen Perspektif Politik Dunia 2018 IMT.


Sepuluh Tahun Setelah Krisis
Sepuluh tahun telah berlalu sejak krisis finansial 2008. Peristiwa ini adalah salah satu momen menentukan dalam sejarah dunia yang menandai perubahan fundamental, seperti 1914 (Perang Dunia Pertama), 1917 (Revolusi Oktober), 1929 (Keruntuhan Wall Street) dan 1939-45 (Perang Dunia Kedua). Oleh karenanya kita perlu mengkaji perimbangan selama satu dekade terakhir.
Krisis 2008 secara kualitatif berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Ini bukanlah krisis siklikal yang normal, tetapi merefleksikan krisis organik kapitalisme. Satu dekade sejak keruntuhan 2008, kaum borjuasi masih kesulitan keluar dari krisis yang telah menghancurkan kesetimbangan sistem kapitalis. Sampai pada tingkatan yang sangat terbatas kita bisa berbicara mengenai pemulihan, ini hanya bersifat parsial. Pada kenyataannya pemulihan yang ada adalah pemulihan ekonomi terlemah dalam sejarah. Bahkan pada 1930an ada pemulihan besar. Dan konsekuensi tertentu mengalir dari fakta ini
Sepuluh tahun yang lalu, kita memprediksikan bahwa semua usaha kaum borjuasi untuk memulihkan kesetimbangan ekonomi akan merusak kesetimbangan politik dan sosial. Proposisi ini telah terkonfirmasi oleh peristiwa-peristiwa dalam skala dunia. Di seluruh dunia, usaha pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengetatan dengan tujuan menggerakkan ekonomi (dan mereka tidak berhasil) telah mempersiapkan ledakan-ledakan sosial dengan karakter yang tanpa preseden.
“Ekonomi yang terkonsentrasikan”
Lenin mengatakan bahwa politik adalah ekonomi yang terkonsentrasikan. Pada analisa terakhir semua krisis ini adalah ekspresi kebuntuan kapitalisme yang sudah tidak mampu lagi mengembangkan kekuatan produksi seperti sebelumnya. Ini tidak berarti, tentu saja, kalau tidak akan ada lagi perkembangan kekuatan produksi.
Marx, Lenin, atau Trotsky tidak pernah mengatakan bahwa ada limit absolut yang membatasi perkembangan kekuatan produksi di bawah kapitalisme. Ini adalah fenomena yang relatif, bukan absolut. Akan selalu ada perkembangan, seperti di Tiongkok selama periode terakhir ini. Tetapi dalam skala dunia hari tidak ada perkembangan kekuatan produksi yang sebanding dengan periode paruh kedua abad ke-20 setelah Perang Dunia Kedua.
Marxisme menjelaskan bahwa rahasia kelanggengan dari setiap sistem ekonomi adalah kemampuannya untuk mencapai penggunaan waktu kerja yang paling efektif. Salah satu elemen terpenting dalam perkembangan kapitalisme adalah persis pertumbuhan produktivitas kerja. Selama 200 tahun kapitalisme telah meningkatkan produktivitas kekuatan kerja manusia sampai ke tingkatan yang tak pernah terbayangkan di masa lalu. Tetapi pertumbuhan ini sekarang telah mencapai limitnya.
Studi mengenai produktivitas kerja yang dilakukan oleh “Centre for Economic and Policy Research” pada September 2015 menemukan bahwa, dari 2007 sampai 2012, produktivitas global tumbuh 0.5% per tahun; ini separuh dari tingkat pertumbuhan pada periode 1996-2006. Namun pada periode 2012-14, pertumbuhan ini telah mandeg sepenuhnya, yakni nol persen. Di negeri-negeri seperti Brasil dan Meksiko laju pertumbuhannya bahkan negatif. Seperti yang dinyatakan oleh laporan ini: “Ini adalah salah satu fenomena yang paling mengejutkan, dan jelas penting, yang mempengaruhi perekonomian dunia.”
Angka-angka ini adalah indikasi jelas kalau kapitalisme sekarang menemui dirinya dalam krisis sistemik. Pertumbuhan produktivitas kerja yang melambat – dan dalam kasus tertentu bahkan jatuh – adalah gejala mencolok dari kebuntuan kapitalisme, yang sudah tidak mampu lagi meraih keberhasilan-keberhasilan menakjubkan seperti dulu.
Biang keroknya adalah tingkat investasi yang secara historis rendah: formasi kapital bruto di Uni Eropa dan Amerika Serikat telah jatuh ke bawah 20 persen PDB untuk pertama kalinya sejak 1960an, sementara konsumsi kapital dan depresiasi meningkat. Di wilayah bekas jajahan, boom harga bahan mentah mendorong peningkatan investasi untuk sementara, tetapi ini telah jatuh lagi selama beberapa tahun terakhir.
Kegagalan untuk berinvestasi dalam produksi bukanlah karena tidak ada uang. Sebaliknya, korporasi-korporasi raksasa berenang dalam kolam uang. Adam Davidson menulis di koran The New York Times pada Januari 2016: “Perusahaan-perusahaan Amerika hari ini memiliki 1,9 triliun dolar AS dalam bentuk tunai, yang tidak mereka gunakan ... hal seperti ini tidak ada paralelnya dalam sejarah ekonomi.” Sang penulis artikel menganggap ini “misteri” tetapi yang sebenarnya ditunjukkan oleh fakta ini adalah bahwa dalam kondisi perekonomian dunia hari ini kapitalis tidak memiliki medan investasi yang menguntungkan.” (Why Are Corporations Hoarding Trillions? New York Times, January 20, 2016)
Data paling mutakhir dari US Federal Reserve menunjukkan “aset likuid perusahaan non-finansial, yang termasuk uang tunai, deposit asing, pasar uang dan saham reksa dana ... mencapai rekor 2,4 triliun dolar AS pada kuartal ketiga 2017.”
Kapitalisme sungguh secara harfiah tenggelam dalam kekayaan yang berkelimpahan. Ini seperti tukang sihir yang telah melepaskan kekuatan yang tidak bisa dia kendalikan. Kekuatan produksi memiliki potensi memproduksi massa komoditas yang tidak bisa diserap oleh pasar.
Ketidakmampuan untuk menggunakan secara produktif nilai lebih yang teramat besar ini, yang diperas dari keringat dan darah buruh, menunjukkan bahwa kapitalisme sudah tidak bisa berfungsi. Overproduksi terrefleksikan dalam krisis umum perekonomian dunia, yang ada dalam keadaan yang sangat rapuh. Kredit murah sudah tidak bisa lagi mendorong investasi. Apa gunanya melakukan investasi untuk menciptakan kekuatan produksi baru ketika tidak ada pasar untuk kapasitas produksi yang sudah ada?
Pemulihan baru?
Setiap hari media pers memproklamirkan pemulihan ekonomi. Dalam kasus terbaik, ada kenaikan kecil PDB dalam konteks umum stagnasi jangka panjang. Bagi kaum Marxis ini tidak mengejutkan; bahkan dalam periode kemunduran sistem kapitalisme terus bergerak dalam siklus dan setelah periode panjang kemunduran atau stagnasi kita dapat mengharapkan sebuah pemulihan kecil. Akan tetapi pemulihan ini sangatlah lemah dan tidak substansial, dan tidak akan bertahan lama.
Kendati kebijakan moneter yang sangatlah longgar, pertumbuhan masih terbatas. Federal Reserve mempertahankan suku bunga hanya sedikit di atas nol persen sejak musim gugur 2008 sampai pada awal 2017. Bank Sentral Eropa juga menurunkan suku bunga mereka sampai hampir nol persen.
Gelembung real estate kita temui dalam pasar perumahan di Inggris, Kanada, Tiongkok dan Skandinavia. Pasar Saham tidak hanya telah pulih ke level 2007, tetapi bahkan telah melampauinya. Nilai Dow Jones telah meningkat sebesar 36 persen. Rasio harga terhadap pendapatan (yakni harga yang dibayar oleh investor untuk $1 pendapatan atau profit perusahaan) telah mencapai puncak tertinggi ketiga dalam sejarah (yang sebelumnya pada 1929 sebelum Keruntuhan Finans 1929 dan pada 2000 sebelum pecahnya gelembung dotcom 2001). Semua ini mengindikasikan, bukan pemulihan yang sehat, tetapi sebuah krisisbaru sedang dipersiapkan. Ini juga memiliki efek mentransfer sejumlah besar uang ke kelas kapitalis yang nilai asetnya telah meningkat dengan influks kredit baru.
Limit Kredit
Alasan utama kebuntuan hari ini adalah, pada dekade-dekade sebelum 2008, kapitalisme tidak hanya telah mencapai limitnya tetapi jauh melampaui limit “alaminya”. Ekspansi kredit dan hutang yang tanpa preseden ini memungkinkan kapitalisme untuk mendobrak batas-batas pasar dan overproduksi. Ada ekspansi perdagangan dunia yang besar dan intensifikasi pembagian tenaga kerja dalam skala internasional.
Marx menjelaskan bahwa salah satu cara kapitalisme melampaui limit pasar dan menanggulangi kecenderungan tingkatan laba untuk jatuh adalah dengan ekspansi kredit dan perdagangan dunia (globalisasi), yang secara parsial, dan untuk beberapa waktu, memberinya cara untuk menanggulangi kontradiksi kunci lainnya: batasan negara-bangsa. Tetapi kedua solusi ini efeknya terbatas dan sekarang telah menjadi kebalikannya.
Sepanjang sejarah, tingkat hutang AS (pemerintah dan swasta) biasanya berkisar 100-180% PDB. Namun pada akhir 1980an, total hutang ini mencapai 200%, dan terus meningkat sampai 2008, mencapai puncaknya sekitar 300%. Jepang, Inggris, Spanyol, Prancis, Italia dan Korea Selatan semua memiliki tingkat hutang di atas 300%. Hutang dunia sekarang telah mencapai 217 triliun dolar, atau 327% PDB dunia, tertinggi dalam sejarah.
Marx mengatakan dalam “Manifesto Komunis” bahwa kaum borjuasi menyelesaikan krisis hari ini hanya dengan cara membuka jalan untuk krisis yang lebih besar di masa depan. Apa yang telah mereka capai selama sepuluh tahun terakhir dengan semua penderitaan dan pengetatan? Tujuan mereka adalah mengurangi defisit dan gunung hutang yang menumpuk dari periode sebelumnya.
Satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah gali lubang tutup lubang, yakni memindahkan hutang dari bank-bank swasta ke anggaran pemerintah. Bank-bank hampir bangkrut dan mereka hanya diselamatkan oleh intervensi negara, yang menyelamatkan mereka dengan memberi mereka bertriliun-triliun dolar dari anggaran publik. Masalahnya negara hanya bisa mendapat uang lewat pembayar pajak.
Pertanyaan utamanya oleh karena itu: siapa yang membayar? Semua orang tahu kalau orang kaya tidak membayar banyak pajak. Mereka punya ribuan cara untuk menghindar pajak. Kelas buruhlah yang harus membayar, kelas menengah yang harus membayar, kaum pengangguran yang harus membayar, yang sakit yang harus membayar, sekolah yang harus membayar. Semua orang harus membayar kecuali kaum kaya, yang telah menjadi bahkan semakin kaya selama periode “pengetatan” ini.
Apakah ini telah menyelesaikan satu hal pun? Tujuh dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia sekarang anggaran tahunannya defisit di atas 3% PDB, dan hanya Jerman yang memiliki defisit di bawah 2%. Hutang meningkat di mana-mana. Tidak ada jalan keluar dari krisis, kecuali dengan menghapus hutang ini. Tetapi, bagaimana caranya menghapus hutang pemerintah? Di bawah kapitalisme, seluruh hutang dibebankan di atas pundak lapisan rakyat pekerja yang paling miskin dan lemah.
Skenario yang kita saksikan secara internasional sungguh tidak ada presedennya. Dan kita hanya berbicara mengenai negeri-negeri kapitalis maju. Situasi di negeri-negeri yang disebut Dunia Ketiga jauh berbeda. Di sini kita saksikan kesengsaraan yang tak tertanggungkan, penderitaan yang tak terbayangkan, kelaparan dan degradasi yang menimpa miliaran rakyat.
Ancaman Proteksionisme
 Selama puluhan tahun, perdagangan dunia tumbuh jauh lebih pesat daripada produksi, dan menjadi tenaga pendorong pertumbuhan ekonomi dunia. Akan tetapi, selama periode terakhir, pertumbuhan perdagangan dunia telah melambat, sampai ke level yang lebih rendah daripada PDB. Perdagangan dunia mencapai puncaknya pada 2008, dan lagi pada 2011, yang mencapai 61% PDB. Hari ini perdagangan dunia menurun sampai ke 58%.
WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) telah menyatakan kekhawatirannya kalau pemerintah-pemerintah nasional dapat tergoda untuk menjaga pasar mereka sendiri dengan kebijakan-kebijakan proteksionis, dan ini pada gilirannya dapat mempengaruhi secara negatif pertumbuhan perdagangan. Trump mengkonfirmasikan kekhawatiran ini ketika dia menyeruduk masuk ke panggung politik. Kebijakan “America First” (Amerika Pertama) yang diluncurkan Trump merefleksikan krisis global. Dia ingin “membuat Amerika hebat lagi” dengan mengorbankan negeri-negeri lain. Dalam kata lain, dia ingin menggunakan otot Amerika untuk merebut pangsa pasar dunia yang lebih besar.
 Selama beberapa tahun terakhir, kelas kapitalis AS kesulitan mencapai perjanjian perdagangan dengan Eropa, Amerika, dan Asia. Hal pertama yang dilakukan oleh Trump adalah merobek perjanjian TPP (Trans Pacifif Partnership atau Kesepakatan Trans Pasifik) dan TTIP (Transatlantic Trade and Investment Partnership atau Kesepakatan Perdagangan dan Investasi Transatlantik). Dia juga mengancam membatalkan NAFTA (North American Free Trade Agreement, Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara) kalau dia tidak bisa mendapatkan kesepakatan dimana Meksiko dan Kanada mengorbankan kepentingan mereka demi AS. Dia juga mengancam akan melumpuhkan WTO dengan memblokir penggantian hakim-hakim pengadilan WTO.
Tiongkok memiliki surplus perdagangan yang besar dengan AS, mencapai rekor 275,81 miliar dolar pada 2017. Inilah salah satu alasan utama Trump mengeluh mengenai Tiongkok yang katanya merusak ekonomi AS. Selama kampanye pilpres, Trump menuduh Tiongkok “menjarah Amerika”, mencuri pekerjaan AS, dsb. Sejak pilpres, dia terpaksa melunakkan bahasanya, karena dia ingin Tiongkok menekan Korea Utara. Tetapi tujuan ini tidak tercapai dan kontradiksi antara AS dan Tiongkok masih belum selesai. Di sini kita sudah saksikan cetak biru untuk perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Trump bukan satu-satunya orang yang meluncurkan kebijakan proteksionis. Sejak permulaan krisis negeri-negeri kapitalis maju telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan surplus perdagangannya. Ini sebagian dicapai lewat sejumlah kebijakan proteksionis. AS (di bawah Obama) menjadi pemimpin dunia dalam proteksionisme, tetapi juga Inggris, Spanyol, Jerman dan Prancis menjadi lebih proteksionis daripada Tiongkok.
Kita harus ingat kalau proteksionismelah yang mengubah keruntuhan 1929 menjadi Depresi Hebat 1930an. Bila proteksionisme merajalela, ini dapat meruntuhkan fondasi rapuh perdagangan dunia, dengan konsekuensi-konsekuensi serius.

Amerika Serikat – Krisis Tanpa Preseden
NOT MY PRESIDENT02Melemahnya AS secara relatif sejak Perang Dunia Kedua ditunjukkan oleh fakta bahwa pada 1945 lebih dari 50% PDB dunia diproduksi di AS, dan sekarang angka ini telah menurun menjadi 20%. Ketika kita berbicara mengenai melemahnya imperialisme AS secara relatif, kita tidak boleh membesar-besarkan proses ini. Pelemahan secara relatif berarti AS telah melemah dan tidak bisa lagi memainkan peran yang sama seperti dulu kala, seperti yang bisa kita lihat dalam krisis Suriah. Namun AS masih merupakan kekuatan adidaya dunia yang dominan dan hari ini tidak ada satupun negeri yang bisa menggantikannya, seperti ketika AS menggantikan Inggris di masa lalu.
Pelemahan secara relatif ini mempengaruhi kemampuan AS untuk mendominasi dunia secara ekonomi, politik dan diplomatik, dan juga kemampuannya untuk memberi kaum buruh Amerika taraf kehidupan yang baik, yang hari ini lebih buruk dibandingkan masa lalu ketika AS memiliki kestabilan internal. Realitas ini sekarang sedang merasuki kesadaran massa AS.
Mimpi Amerika sudah mati. Ia telah digantikan dengan mimpi buruk Amerika. Mimpi ini telah usai dan tidak akan kembali lagi. Perubahan dalam kesadaran rakyat di Amerika terungkap secara unik selama pilpres November 2016. Selama seratus tahun, kestabilan kapitalisme Amerika bersandar pada dua partai: Demokrat dan Republiken. Kedua partai ini bergantian berkuasa setiap saat.
Ada kekecewaan besar dan keinginan yang berkobar-kobar atas perubahan. Kita telah saksikan ini ketika rakyat memberi suara pada Obama, yang secara demagogi menjanjikan perubahan. Jutaan rakyat yang biasanya tidak ikut pemilu beramai-ramai mengantre untuk memberikan suara mereka untuk Presiden Hitam Amerika pertama. Mereka lakukan ini dua kali, tetapi pada akhirnya tidak ada perubahan. Oleh karenanya ada mood kemarahan, kekecewaan dan frustrasi yang tumbuh, terutama di antara lapisan yang paling miskin.
Mood ini secara jelas terekspresikan lewat kampanye Bernie Sanders. Awalnya tidak ada yang kenal siapa itu Bernie Sanders, sementara semua orang kenal Hillary Clinton. Namun ketika Bernie berbicara mengenai revolusi politik melawan kelas milyader, seruan ini mengena dengan banyak orang, terutama kaum muda. Pertemuan-pertemuan massa dengan puluhan ribu orang digelar untuk mendukung Bernie Sanders. Setidaknya satu survei mengatakan kalau Sanders bertarung melawan Trump di pilpres, dia akan menang. Tetapi dia disabotase oleh mesin partai Demokrat. Lebih parah lagi, dia menerima ini, yang menyebabkan demoralisasi di antara pendukungnya.
Kelas penguasa lebih memilih seorang yang bisa mereka kendalikan, seperti Hillary Clinton. Mereka tidak menginginkan Trump karena dia adalah seorang pembangkang dengan penyakit egomania dan oleh karenanya sulit dikendalikan. Hillary Clinton adalah kacung kapitalis besar. Trump mewakili kelas yang sama tetapi dia punya pendapatnya sendiri mengenai bagaimana pemerintah harus dijalankan. Selama kampanye pemilu dia secara demagogi menarik simpati buruh. Untuk pertama kalinya, seorang kandidat presiden berbicara mengenai kelas buruh, seperti yang juga dilakukan Sanders. Ini tidak pernah terjadi. Bahkan kebanyakan kaum liberal sayap-kiri dan pemimpin serikat buruh selalu berbicara mengenai “kelas menengah”.
Penguasa yang ada melakukan segalanya untuk menghentikan Trump. Tetapi mereka gagal. Kelas penguasa menentang penyeludup yang demagogis ini. Kaum Demokrat menentangnya, dan juga mayoritas kaum Republiken. Semua media menentangnya. Dia bahkan berhasil mengasingkan Fox News (medianya kaum Republiken) untuk beberapa waktu. Media jelas adalah instrumen kuat di tangan kelas penguasa, dan kendati demikian dia menang.
Kemenangan Trump adalah gempa politik. Bagaimana bisa kita menjelaskan ini? Trump adalah seorang reaksioner, tetapi dia juga adalah seorang demagog yang handal, yang mengarahkan seruannya ke kaum pengangguran miskin yang terasingkan dan kaum buruh di wilayah RustBelt (daerah industri di Amerika bagian Barat Tengah yang sejak 1980an mengalami deindustrialisasi), menjanjikan mereka pekerjaan, mengecam tatanan yang ada dan para politisi elite di Washington. Dengan cara ini dia bersentuhan dengan mood kemarahan dan kekecewaan massa.
Bernie Sanders menyentuh mood yang sama. Tetapi dia disabotase oleh mesin Partai Demokrat. Dan ketika Sanders akhirnya menyerah dan menyerukan dukungan untuk Hillary Clinton, banyak yang lalu melihat Trump sebagai pilihan “yang terbaik dari yang terburuk,” dan dia lantas memenangkan pilpres. Banyak pendukung Sanders yang entah abstain dari pemilu atau berpikir, “Bila kita tidak dapat memberi suara kita untuk Sanders, kita akan memilih Trump.”
Kampanye Trump ditandai oleh mobilisasi lapisan pemilih yang sebelumnya tidak aktif, dan menerima jumlah suara absolut yang lebih banyak daripada kandidat-kandidat Republiken lainnya dalam sejarah, walaupun dia memenangkan persentase yang lebih rendah dibandingkan kandidat Republiken Mitt Romney pada 2012. Akan tetapi, kemenangannya juga mengekspose watak tidak-demokratik dari sistem ElectoralCollega AS, dimana Trump menang walaupun jumlah suaranya tiga juga lebih sedikit dibandingkan Clinton.
Mayoritas borjuasi tidak senang dengan perubahan situasi yang tak terduga ini. Tetapi mereka juga tidak khawatir awalnya. Mereka memiliki seribu satu cara untuk mengendalikan politisi yang sulit. Awalnya mereka mencoba menenangkan diri mereka sendiri dengan gagasan kalau apa yang dikatakan Trump selama kampanye hanyalah propaganda, dan dia akan bersikap rasional segera setelah dia memasuki Gedung Putih (dalam kata lain, dia akan tunduk pada perintah kelas penguasa). Tetapi mereka keliru. Sang Presiden di Gedung Putih ini ternyata sulit dikendalikan.
Kaum Demokrat punya penjelasan sederhana mengapa Trump menang: mereka salahkan Rusia, sementara Hillary Clinton juga menyalahkan Sanders. Semua ini hanya membuktikan kalau Partai Demokratik sampai saat ini masih belum memahami mengapa Trump menang. Mereka mengorganisir sebuah kampanye yang mengklaim bahwa Rusialah yang bertanggung jawab atas peretasan komputer yang menentukan hasil pilpres.
Tuduhan mengenai keterlibatan Rusia dalam meretas dokumen mungkin saja benar dan juga mungkin saja tidak. Tetapi banyak negeri, dan terutama AS, yang terus meretas, menyadap telepon dan mengintervensi masalah internal negeri-negeri lain, termasuk “sekutu” mereka seperti yang dipelajari oleh Merkel [Kanselir Jerman Angela Merkel teleponnya disadap oleh Amerika Serikat – Editor]. Tuduhan kalau Rusia menentukan suara jutaan warga AS adalah teramat kekanak-kanakan.
Yang tidak ada presedennya adalah fakta kalau hari ini Presiden AS berkonfrontasi secara publik dengan FBI dan seluruh instansi intelijen Amerika. Instansi  rahasia seharusnya rahasia, dan mereka adalah jantung dari aparatus negara borjuis. Ketika instansi-instansi ini berbenturan secara publik dengan presiden, secara terbuka membangkang dan ingin menendangnya keluar dari kepresidenan, hal seperti ini tidak pernah terdengar. Dan di tengah hingar bingar ini, semua orang lupa isi email-email yang diretas ini. Dan tidak ada yang ingin bertanya apakah isi email ini benar atau tidak.
Pada kenyataannya, tuduhan-tuduhan yang terkandung dalam materi-materi yang diterbitkan oleh Wikileaks sungguh benar adanya. Di antaranya email tersebut membuktikan bahwa aparatus Partai Demokratik menggunakan trik-trik kotor untuk menghalangi Bernie Sanders dan memenangkan Hillary Clinton. Ini jelas adalah intervensi paling blak-blakan dalam pemilu AS. Tetapi di tengah hingar bingar mengenai “intervensi Rusia”, semua ini dengan enaknya dilupakan.
Revolusi tidak dimulai di bawah; mereka dimulai di atas dengan perpecahan di antara kelas penguasa. Di sini kita saksikan perpecahan terbuka dalam pemerintah. Ini bukan krisis politik yang normal. Ini adalah krisis dalam rejim. Badan-badan intelijen – yakni pasukan elite kelas penguasa – tidak suka terlihat mengintervensi politik, walaupun ini mereka lakukan setiap saat dengan diam-diam. Oleh karenanya sungguh sangat luar biasa ketika hari ini mesin dan intrik FBI dipampang begitu terbuka di hadapan rakyat jelata Amerika Serikat.
Situasi politik hari ini di Amerika tidak ada presedennya dalam sejarah. Presiden terpilih berbenturan langsung dengan mayoritas pemerintah, dengan media, dengan FBI, dengan CIA, dan semua badan intelijen lainnya, yang sedang coba digunakan oleh kelas penguasa untuk menyingkirkan Trump atau memaksanya tunduk.

Perubahan Kesadaran
Banyak kaum Kiri di Eropa yang telah menelan bulat-bulat pandangan bahwa rakyat Amerika adalah reaksioner, sayap kanan, dan tidak akan pernah mendukung sosialisme. Ini sama sekali tidak benar. Ada survei yang diambil sebelum kampanye Sanders, yang bertanya ke anak-anak muda di bawah umur 30 tahun, “Apakah kamu akan memberi suara untuk seorang Presiden sosialis?” dan 69% menjawab iya.
Survei yang sama mengajukan pertanyaan yang sama pada rakyat Amerika berumur 65 tahun ke atas, dan “hanya” 34 persen menjawab iya. Hasil ini bahkan lebih luar biasa. Setelah 100 tahun propaganda keji yang menghitamkan sosialisme dan komunisme, hasil survei ini menunjukkan perubahan kesadaran yang tajam.
Perubahan kesadaran ini tidak terbatas hanya pada lapisan bawah. Dengan cara yang unik, reaksioner dan terdistorsi, kemenangan Donald Trump mencerminkan kemarahan jutaan rakyat kelas pekerja dan yang lainnya terhadap tatanan dan sistem yang ada. Tentu saja massa hanya belajar lewat pengalaman. Dan pengalaman akan menunjukkan – dan banyak sudah mulai menunjukkan – bahwa apa yang dikatakan oleh Trump adalah konyol. Di periode selanjutnya gerakan-gerakan yang lebih besar sedang dipersiapkan.
Pada kenyataannya ini sudah dimulai. Segera setelah terpilihnya Trump, demonstrasi-demonstrasi besar meledak di setiap kota. Demonstrasi Perempuan (Women’s March) adalah protes terbesar dalam sejarah Amerika Serikat, yang terjadi pada hari pelantikannya. Dan ini hanya permulaan saja.
Alasan mengapa kelas penguasa membenci Trump adalah karena dia menghantarkan pukulan besar pada konsensus yang sudah rapuh antara kaum Demokrat dan kaum Republiken. Pelemahan konsensus inidapat mengarah ke konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya, seperti kita saksikan dengan penutupan pemerintah baru-baru ini. Runtuhnya politik tengah mencerminkan semakin besarnya jurang dan polarisasi tajam antar kelas dalam masyarakat AS. Ini memiliki implikasi yang paling serius untuk masa depan.
Obama dan kaum Demokrat adalah pihak yang bertanggung jawab atas kemenangan Donald Trump. Tetapi Trump sendiri sedang memperdalam proses radikalisasi sosial dan politik, yang akan mempersiapkan ayunan ke kiri yang bahkan lebih besar. Survei paling mutakhir menunjukkan rekor 61% rakyat Amerika menentang Partai Demokrat dan Republiken, dan berpendapat bahwa sebuah partai besar yang baru dibutuhkan. Survei ini menunjukkan bagaimana rakyat Amerika mengecam sistem dua-partai yang ada. Di antara kaum muda, angkanya mencapai 71%. Polarisasi ke kiri dan ke kanan ini telah mendorong lonjakan tiba-tiba kelompok DSA (Democratic Socialist America; Sosialis Demokratik Amerika), sebuah kelompok kiri yang secara historis ada di pinggiran Partai Demokrat.
Sebelum kampanye Sanders, DSA memiliki sekitar 6000 anggota, yang kebanyakan adalah orang-orang berumur, yang dipenuhi dengan cara pandang reformis. Tetapi sejak terpilihnya Trump, keanggotaan DSA melejit melebihi 30 ribu, kebanyakan kamu muda yang mencari sebuah organisasi sosialis. DSA muncul di wilayah-wilayah baru dimana sebelumnya mereka tidak punya basis, dan sedang membangun basis di banyak kampus di seluruh penjuru AS. Sekarang ada debat internal dalam DSA untuk pecah sepenuhnya dengan Demokrat. Ada selapisan anggota yang bergerak ke gagasan-gagasan radikal dan sangat terbuka dengan gagasan Marxisme revolusioner. Masa depan organisasi ini masih belum jelas, tetapi bila DSA pecah dari Demokrat dan mengadopsi posisi kelas yang mandiri, maka organisasi ini punya potensi untuk memainkan peran penting dalam pembentukan partai sosialis massa di AS.

Kanada dan Quebec
Kanada tidak terhantam keras krisis 2008 seperti banyak negara lainnya, karena gelembung perumahannya lebih kecil dan perekonomiannya ditopang oleh ekspor sumber daya alam ke Tiongkok yang sedang booming. Oleh karenanya Kanada tidak menerapkan kebijakan pengetatan sekeras negeri-negeri OECD (kapitalis maju) lainnya. Akan tetapi faktor-faktor yang menyebabkan kestabilan sekarang telah berbalik. Kredit murah telah mendorong pertumbuhan hutang dan ledakan dalam biaya perumahan. Hutang rumah tangga sekarang telah mencapai 171% dari pendapatan pertahun, dan terus meningkat. Tiongkok tidak bisa lagi mendorong harga minyak dan tambang seperti dulu, sementara ancaman proteksionis Trump untuk keluar dari NAFTA mengancam ekspor Kanada. Pelemahan ekonomi global yang baru akan mempertajam semua kontradiksi ini.
Quebec telah menyaksikan sebuah periode perjuangan kelas yang intens, dimulai dengan pemogokan mahasiswa pada 2012. Sayangnya, karena kombinasi ultra-kiri-isme dari selapisan kepemimpinan gerakan mahasiswa, dan kapitulasi oportunis dari kepemimpinan serikat buruh, gerakan ini telah menurun. Namun lapisan muda dan buruh yang aktif sedang mencari jawaban atas kebuntuan ini.
Nasionalisme Quebec sedang dalam krisis. Parti Quebecois (PQ; partai nasionalis di Quebec) telah bergerak ke kanan dan mengadopsi nasionalisme yang rasis. Selama memerintah, PQ telah menerapkan kebijakan pengetatan berulang kali dalam 40 tahun terakhir, dan ini menjelaskan mengapa kaum muda melihat PQ sebagai bagian dari tatanan lama. Partai QuebecSolidaire (QS; sebuah partai kiri nasionalis) dapat menyalurkan kemarahan rakyat, tetapi kepemimpinannya yang borjuis kecil selalu bingung dan membuat banyak kesalahan. Biasanya ketika QS fokus pada isu-isu kelas buruh mereka meraih dukungan, tetapi ketika mereka fokus pada masalah kemerdekaan mereka dilihat sama seperti PQ.
Tidak ada antusiasme untuk referendum kemerdekaan yang baru di antara kaum buruh dan muda yang sadar kelas. Walaupun kita tidak boleh menihilkan kemungkinan kegeraman kelas massa mengekspresikan dirinya lewat gerakan kemerdekaan nasional, untuk jangka pendek ke depan perspektif ini kecil kemungkinannya.

Tiongkok
Perekonomian Tiongkok telah mengalami perkembangan kekuatan produksi yang luar biasa besar dalam 40 tahun terakhir. Ini adalah salah satu faktor utama yang menopang perekonomian dunia selama 20-30 tahun terakhir dan mencegahnya runtuh. Tetapi ini telah mencapai batasannya. Pertumbuhan Tiongkok telah melambat secara drastis dan sekarang kurang dari 7%. Ini sangat rendah untuk standar Tiongkok.
Ada banyak kontradiksi yang kompleks dalam perekonomian Tiongkok. Manufaktur Tiongkok sangat tergantung pada ekspor. Untuk menjaga laju pertumbuhan Tiongkok harus mengekspor. Bila Eropa dan Amerika tidak mengkonsumsi seperti dulu, Tiongkok tidak dapat memproduksi seperti dulu karena mereka membutuhkan pasar asing untuk menyerap surplus produk mereka. Dan bila Tiongkok tidak berproduksi, maka negara-negara lain seperti Brasil, Argentina dan Australia tidak dapat mengekspor bahan mentah mereka. Maka globalisasi memanifestasikan dirinya sebagai krisis global sistem kapitalis.
Setelah krisis finansial global, penguasa Tiongkok khawatir. Dari estimasi mereka, mereka harus mempertahankan pertumbuhan tahunan 8% untuk mencegah akumulasi kekecewaan massa yang dapat mengancam kekuasaan mereka. Mereka meluncurkan kebijakan Keynesian dan meluncurkan rencana investasi infrastruktur publik baru yang tidak ada presedennya. Mereka gunakan sistem perbankan milik negara untuk meluncurkan kebijakan pelonggaran moneter terbesar dalam sejarah, dengan menawarkan hutang murah. Tetapi ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru yang mengancam kestabilan Tiongkok dan seluruh dunia di masa depan.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan ini, hutang pemerintah Tiongkok meningkat dua kali lipat, mencapai 46,2% PDB, walaupun ini masih relatif lebih rendah dibandingkan AS. Akan tetapi total hutang (hutang negara, bank, bisnis dan rumah tangga) telah tumbuh secara eksponensial dan berisiko kehilangan kendali. Dalam jumlah absolut, total hutang Tiongkok melejit dari 6 triliun dolar AS pada 2008 ke 28 triliun dolar pada akhir 2016. Sebagai persentase GDP, total hutang meningkat dari 140% ke hampir 260% pada periode yang sama. Dan angka resmi ini jelas tidak memberikan gambaran yang lengkap.
Sangatlah mungkin total hutang Tiongkok lebih dekat ke 300% GDP, dan estimasi ini tidak mengikutsertakan sektor perbankan gelap yang tidak teregulasi, yang diperkirakan bernilai 30-80% PDB. Bank Dunia di laporannya pada Oktober 2017 mengenai perekonomian Asia Timur dan Pasifik secara khusus melaporkan kalau perbankan gelap ini adalah salah satu ancaman terbesar terhadap kemakmuran wilayah ini.
Perekonomian Tiongkok jelas diselamatkan dalam jangka pendek oleh keputusan pemerintah untuk membuka pintu hutang, tetapi ini telah menghasilkan perekonomian yang tergantung pada pinjaman dan terancam oleh gelembung aset yang besar. Ujian yang sesungguhnya akan datang ketika Beijing mencoba mengurangi ketergantungan hutang ini. Ini dapat memercikkan keruntuhan finansial, yang ditakuti oleh para ekonom borjuis dapat menghantam perekonomian dunia. Tahun lalu, IMF mengeluarkan peringatan mengenai keengganan Beijing untuk menghentikan laju pertumbuhan hutang yang sudah mencapai level berbahaya.
Pada saat ini keruntuhan sistem finansial Tiongkok tampaknya tidak akan terjadi. Tetapi keruntuhan 2008 juga pada saat itu tampaknya tidak akan terjadi, sebelum ini benar-benar terjadi. Karena sektor pemerintahan yang kuat, pemerintahan Tiongkok punya kendali yang lebih besar terhadap peminjam dan pemberi pinjaman dibandingkan ekonomi pasar lazimnya. Pemerintah dapat memerintah bank milik negara untuk terus memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan yang merugi atau ke pemberi pinjaman kecil yang mengandalkan kredit jangka pendek untuk likuiditasnya. Pada akhir Desember 2017, Tiongkok memiliki cadangan mata uang asing sebesar $3.14 triliun yang dapat digunakannya untuk “keperluan darurat”, tetapi ini pun tidak akan menyelamatkan mereka selamanya.
Ini memungkinkan Tiongkok untuk menunda masalah ini lebih lama. Tetapi menunda masalah tidak berarti menyelesaikannya. Sebaliknya, semakin lama masalah ini ditunda, semakin meledak-ledak dan besar krisis yang akan datang. Cepat atau lambat, krisis ini akan tiba. Perlambatan ekonomi telah menyebabkan peningkatan besar dalam tingkat pengangguran, yang disembunyikan oleh statistik pemerintah, yang tidak mencakup jutaan buruh migran yang datang dari daerah pedesaan karena mereka tidak bisa mendapat pekerjaan. Ini akan mempengaruhi situasi politik dan sosial.
Kita tidak bisa memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di Tiongkok. Di dalam sebuah negara yang totaliter, berita disensor dengan ketat. Tetapi pemogokan dan demonstrasi meluas. Jumlah “insiden” ini meningkat dua kali lipat antara 2011 dan 2015, dan ini hanya puncak gunung es saja. Rejim ini berhasil menghentikan gelombang pemogokan dengan menekan perusahaan-perusahaan yang tidak membayar gaji tepat waktu dan menghukum kasus-kasus korupsi sebagai pencitraan bahwa mereka ada “di sisi buruh”.
Di bawah permukaan yang tenang ada kegeraman besar yang sedang terakumulasi. Ketidakadilan membuat massa semakin geram; tindakan sewenang-wenang birokrasi yang mencuri tanah kaum tani, perusakan lingkungan hidup, dimana Beijing dan kota-kota lainnya diselimuti oleh kabut beracun, dan di atas segalanya ketimpangan yang memuakkan, yang secara terbuka mengejek klaim kalau Tiongkok adalah sebuah negara sosialis.
Kaum buruh Tiongkok dapat menoleransi semua ini selama mereka merasa kalau hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi sekarang ini sudah tidak lagi demikian. Nasib Tiongkok tergantung pada masa depan pasar dunia. Tiongkok tumbuh dari partisipasinya dalam pasar dunia, tetapi semua kontradiksi kini telah berbalik menghantam mereka. Ada situasi yang eksplosif yang dapat meledak kapanpun tanpa peringatan.

Relasi Dunia
Konflik dengan Korea Utara dengan jelas mengekspos keterbatasan dari kekuatan imperialisme AS. Trump mengancam akan menghancurkan Korea Utara, tetapi ancamannya tidak memiliki efek terhadap Pyongyang, selain meningkatkan hingar bingar dan mendorong Korut untuk meningkatkan tes nuklir dan roket yang terbang di atas Jepang. Kim Jong-un mengklaim kalau sekarang roketnya dapat mencapai AS.
AS mempertimbangkan membangun basis misil di Korea Selatan, yang ditentang keras oleh Tiongkok. Trump terpaksa menjilat ludahnya sendiri dan mencari dukungan dari Tiongkok untuk menekan Korut. Tiongkok, pada kenyataannya, telah memberi tekanan halus ke rejim Korut untuk mendorongnya ke arah yang diinginkannya, untuk mengekangnya guna mencegah konflik terbuka dan berbahaya dengan AS. Ini jauh dari apa yang diinginkan Trump. Tetapi tujuan utama Tiongkok adalah mencegah runtuhnya rejim Korut.
Semua ini mengekspos ketidakmampuan AS untuk melindungi sekutu-sekutunya. Duterte, “penguasa tangan besi” Filipina mengatakan bahwa AS banyak bicara tetapi tidak bisa melakukan apapun. Dia menarik kesimpulannya sendiri dan sekarang mendorong Filipina ke orbit Tiongkok. Korea Selatan sekarang lebih dekat dengan Tiongkok secara diplomatik, terutama karena permusuhan historisnya dengan Jepang.
Thailand yang sebelumnya adalah sekutu terdekat AS telah mengumumkan kalau mereka akan membeli kapal selam dari Tiongkok, yang berarti kerja sama dengan Tiongkok. Rencana pembelian ini terhenti sementara karena tekanan dari AS, tetapi tampaknya akan terus berjalan. Kudeta 2014 di Thailand dikecam oleh AS, tetapi dipuji oleh Tiongkok. Vietnam dan Malaysia juga telah membangun hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Tiongkok, walaupun relasi antara Tiongkok dan Vietnam dirumitkan oleh sengketa wilayah, terutama terkait dengan klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan.
Tiongkok dan Amerika sedang bersaing memperebutkan pasar dan pengaruh. Banyak negara yang partner dagang nomor satunya adalah Tiongkok. Tiongkok punya saham di dua pertiga dari 50 pelabuhan terpenting di dunia. Proyek “One Belt One Road”nya adalah proyek diplomatik dan finansial terbesar sejak Rencana Marshall [Rencana Marshall adalah proyek infrastruktur dan stimulus besar yang diluncurkan AS di Eropa pasca Perang Dunia II].
Ketegangan antara kedua kekuatan ini paling tajam dalam masalah Laut Cina Selatan, dimana kelas penguasa Tiongkok telah mengembangkan Doktrin Monroe-nya sendiri [Doktrin Monroe adalah kebijakan imperialis AS untuk mendominasi Amerika Latin], yang berarti mereka harus punya kendali atas halaman belakang mereka sendiri. Proyek “pembangunan pulau” Tiongkok yang provokatif ditentang oleh Washington, yang telah mengirim kapal-kapal perang untuk menekankan apa yang mereka sebut “kebebasan laut”.
Sebelum Perang Dunia Kedua, ketegangan antara AS dan Tiongkok seperti hari ini sudah pasti akan mengarah ke peperangan. Tetapi Tiongkok yang bersenjata nuklir sudah bukan lagi negeri semi-kolonial yang lemah, dan tidak ada kemungkinan AS dapat menyerang dan menjajah Tiongkok hari ini.
Sumber: Militan Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar