Rabu, 27 November 2019

KKR dan Keadilan Hukum bagi Korban Pelanggaran HAM Berat

Kompas.com - 27/11/2019, 07:38 WIB
Penulis Kristian Erdianto
Editor Icha Rastika
SHUTTERSTOCK/210229957Ilustrasi HAM

JAKARTA - Rencana pemerintah membentuk kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) dinilai menjadi langkah awal yang baik dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Mekanisme penuntasan melalui KKR diharapkan mampu memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban serta keluarganya.
Sebab, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu karena tidak memberikan kepastian hukum.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari berpendapat, pemerintah harus tetap membuka peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur hukum atau pengadilan.
"Penuntasan kasus harus berjalan paralel. Tetap harus disediakan kemungkinan untuk mekanisme peradilan itu berjalan," ujar Taufik saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Taufik, penuntasan kasus HAM masa lalu melalui pengadilan perlu dilakukan untuk menghentikan praktik impunitas atau kejahatan yang terjadi tanpa ada penyelesaian melalui proses pemidanaan.

Sementara itu, opsi penuntasan melalui KKR diambil ketika terdapat kesulitan dalam hal pembuktian di pengadilan, misalnya, kurangnya alat bukti atau keterangan saksi atas sebuah kasus. 
"Ketika ada pelanggaran masa lalu tidak dituntaskan maka akan terjadi impunitas, sebuah kejahatan tanpa ada penyelesaian," kata Taufik.
"Tapi di sisi lain kita juga harus membuka peluang ketika ada kesulitan dalam hal membawa ke pengadilan ada ruang lain yaitu pengungkapan kebenaran melalui KKR," ucap dia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

Pengadilan HAM dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

Merujuk pada catatan Kejaksaan Agung, terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut yakni peristiwa 1965, peristiwa penembakan misterius (petrus), peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa penculikan dan penghilangan orang secara paksa, peristiwa Talangsari, peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong tahun 1989, peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Pengungkapan kebenaran

Selain memberikan jaminan kepastian hukum, opsi penuntasan melalui KKR juga harus menjadi mekanisme bagi pemerintah dalam mengungkap kebenaran atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dengan begitu, Taufik berharap KKR dapat menjadi pemecah kebuntuan yang selama ini menghambat penuntasan kasus.
Harus diakui bahwa selama ini penuntasan kasus HAM selalu terhambat oleh dua aspek, yakni hukum dan politik.
"Pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu itu adalah bagian dari pembelajaran bangsa ini. Bukan sekadar kita ingin menuding seseorang, mau memidanakan seseorang. Tapi titik beratnya lebih pada pengungkapan kebenaran dan belajar dari kejadian kelam masa lalu," ujar Taufik.
Menurut Taufik, jika nanti terbentuk, KKR harus menjadi wadah bagi korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian atas apa yang mereka alami.

KKR juga dapat meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, misalnya Komnas HAM yang selama ini telah melakukan penyelidikan, maupun organisasi masyarakat sipil pegiat HAM.

Kemudian, KKR bisa melakukan verifikasi atau meminta keterangan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM.

Dengan demikian, kata Taufik, mekanisme pengungkapan kebenaran akan berjalan.
"Ketika ada dua versi, ya jadikan itu tetap dua versi, tidak apa-apa, tetapi tercatat oleh negara, kalau menurut versi korban seperti ini, menurut pelaku seperti ini," kata Taufik.
Ia menekankan, bagian terpenting dalam KKR adalah peran negara dalam mendokumentasikan keterangan dari korban dan terduga pelaku. Artinya, pemerintah melegitimasi bahwa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menjadi bagian dari sejarah Bangsa Indonesia.

Di sisi lain, KKR juga mensyaratkan keaktifan pemerintah dalam mencari data-data yang selama ini sulit diakses oleh publik, misalnya terkait dokumen yang dimiliki oleh intelijen dan institusi militer.
"Data-data yang ada di intelijen atau di militer yang selama ini tidak mungkin diakses oleh publik, yang bisa mengakses siapa? Ya negara dengan kekuasaannya untuk minta. Kalau negara bisa mengakses data itu, bentangkan sebagai sebuah informasi. jadi gambaran mengenai kejadian itu bisa diketahui," ucap Taufik.
Tak miliki tendensi politik Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma berharap komisioner KKR nantinya diisi oleh orang yang tidak memiliki tendensi politik terhadap pelaku kejahatan HAM masa lalu.

Ia mengatakan, jabatan komisioner KKR harus diisi orang yang memiliki integritas, tidak berafiliasi terhadap partai politik, dan mempunyai kompetensi terhadap kasus HAM.
"Bisa diisi oleh orang yang selama ini tidak terlibat kejahatan HAM, tidak diduga bertanggungjawab atas suatu peristiwa, tidak punya tendensi politik terhadap pelaku," ujar Feri di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Feri, posisi komisioner dapat diisi oleh kalangan penggiat HAM, purnawirawan Polri yang fokus terhadap isu HAM, jurnalis, bahkan kelompok agamawan.

Baginya, yang terpenting dari wacana dibentuknya kembali KKR adalah pengungkapan kebenaran dari peristiwa masa lalu, termasuk perbaikan kondisi bagi keluarga korban, baik dalam bentuk restitusi, rehabilitasi, kompensasi, maupun jaminan pelanggaran HAM tidak terjadi kembali di masa depan.
"Yang paling penting itu keadilan agar proses hukum tetap jalan," kata Feri.
Kompas.Com 

0 komentar:

Posting Komentar