Minggu, 03 November 2019

Poncke Princen


Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen, lebih dikenal sebagai Poncke Princen (lahir di Den Haag, Belanda, 21 November 1925 – meninggal di Jakarta, 22 Februari 2002 pada umur 76 tahun) adalah seorang oposan sejati berkebangsaan Belanda yang pada 1949 beralih menjadi warga negara Indonesia, sejak muda hingga tua, melawan berbagai rezim yang melakukan penindasan dan penyelewengan, mulai dari Nazi hingga Orde Baru, mulai dari rezim sayap kanan hingga rezim yang cenderung ke-kiri-kiri-an.

Dia hanya hidup di Belanda sejak lahir hingga masa muda, selebihnya dia habiskan di Indonesia. Nama “Poncke” konon diperolehnya dari roman yang digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor Poncke.

Pada tahun 1994 perkumpulan penggemar roman tahun 1940-an tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk melarang H.J.C Princen menggunakan nama Poncke. Siapalah yang peduli. Ia toh sudah lama terbiasa tak punya apa-apa. Semua sudah diambil darinya, termasuk kesehatannya.

Di Indonesia, dia terutama dikenal sebagai pejuang Hak Asasi Manusia. Princen menikah dengan Janneke Marckmann (ke 1971) dan nanti dengan Sri Mulyati. Dia ada empat anak: Ratnawati H.E. Marckmann, Iwan Hamid Marckmann, Nicolaas Hamid Marckmann dan Wilanda Princen.

Latar Belakang

Princen lahir dan tumbuh di Belanda. Dia sempat mengenyam pendidikan di Seminari dari 1939-1943. Pada tahun 1943, tentara Nazi Jerman mulai menginvasi dan menduduki Belanda. Seminari tempat dia sekolah diisolasi dan anak-anaknya dikurung di asramanya karena Belanda berada sepenuhnya dalam suasana perang.

Pada tahun yang sama dia mencoba melarikan diri dan tertangkap oleh Nazi. Dia pun dikirim ke kamp konsentrasi di Vught, lalu dikirim lanjut ke penjara kota Utrecht. Di akhir 1944, sesaat setelah dia bebas dari Jerman, dia kembali ditahan oleh pemerintah - kali ini pemerintah Belanda, karena dia menolak wajib militer di tengah kondisi yang sangat kritis tersebut. Ia pun dengan paksa masuk dinas militer dan dikirim ke jajahan Belanda di timur yang berusaha untuk memerdekakan diri, yaitu Indonesia. Di negara jajahan ini ia tergabung dalam tentara kerajaan Hindia Belanda KNIL.


Mengabdi Republik, Berjuang untuk Kemanusiaan

Indonesia lewat proklamasi sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas jajahan masih terus menerus berkecamuk. Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke yang muak menyaksikan sikap dan berbagai kebrutalan yang dilakukan bangsanya, meninggalkan KNIL di Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan yakni Tentara Nasional Indonesia.

Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Malah ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya.

Isterinya, seorang peranakan republiken sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949. Pada tahun 1948 pula dia, walaupun seorang Belanda, secara langsung menerima penghargaan Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno.

Pada tahun 1956, Princen menjadi politikus populer Indonesia dan menjadi anggota parlemen nasional mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Tetapi dia pun akhirnya juga menyaksikan berbagai penyelewengan yang terjadi di dalam birokrasi saat itu. Dia juga kecewa dengan iklim politik yang semakin tidak kondusif. Dia pun keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal terhadap pemerintahan yang mulai otoriter saat itu dengan pihak militer yang bertindak sewenang-wenang.

Princen ditahan dan dipenjara dari 1957 hingga 1958. setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi. karena aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya dipenjarakan pemerintah Soekarno(1962-1966).

Semenjak akhir tahun 1965, kekuasaan Partai Komunis Indonesia (yang saat itu menjadi massa utama pendukung Presiden Sukarno dan rival dari kekuatan militer), mulai merosot karena dibabat habis oleh Angkatan Darat. sehingga pamor kekuasaan Presiden Sukarno semenjak Maret 1966. Degradasi energi kekuasaan ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok faksi militer dukungan CIA untuk melakukan "kudeta merayap" yang mengantarkan Suharto menjadi presiden. Dan berdirilah rezim baru, Orde Baru, menggantikan rezim yang lama - Orde Lama. Princen pun menikmati kebebasan kembali setelah dipenjara selama 4 tahun. Pengalaman hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia LPHAM dan sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia tersebut.

Mengkritik Rezim Ored Baru

Tetapi Princen kembali dikecewakan dengan rezim yang baru, dan perjuangannya pun tak berhenti walaupun rezim yang berkuasa sudah ganti. Princen justru membela pihak yang dulu memojokkannya, ia membela korban-korban pelanggaran HAM dan pembantaian yang terdiri dari bekas anggota PKI dan orang-orang yang dituduh komunis.

Pada tahun 1968 Poncke menitipkan sebuah perekam suara kepada Goenawan Moehammad yang saat itu bekerja di Harian Kami dan termasuk dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru. Poncke memintanya mewawancarai Pramoedya Ananta Toer diam-diam dan membuat sedikti laporan tentang keadaan di Kamp tahanan itu buat Amnesty International yang kemudian mengangkat Pramoedya sebagai ‘Prisoner of Conscience” lambang korban yang terinjak.

Tahun berikutnya, Poncke Karena pembelaan terhadap korban-korban yang dituduh PKI ini, Princen sendiri di kalangan umum juga sempat mendapat cap 'komunis' - orang lupa bahwa dia juga menentang kekuasaan yang didominasi komunis pada masa Orde Lama.

Pada tahun 1968-1969, lewat sebuah investigasi, Princen mengungkapkan sejumlah fakta dan memprotes pembantaian massal PKI di Purwodadi Jawa Tengah. Kritik itu jelas melahirkan murka penguasa yang baru dua tahun menikmati imperiumnya. Tidak hanya harus membantah pemberitaan yang menghebohkan tersebut, pemerintah juga perlu mengambil tindakan yang lebih serius tidak hanya terhadap Poncke tapi juga terhadap pers, masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia.

Tak ayal, Tuduhan pengikut komunis sebagai stigma yang paling terkenal untuk mengamputasi musuh politik orde baru digunakan Soeharto, Jenderal M. Panggabean (Panglima AD-KSAD pada waktu itu) dan Mayjen Soerono Reksodimedjo (Pangdam IV Diponegoro) disematkan kepada Princen agar kemudian lebih mudah untuk memenjarakannya.

Tidak hanya kritik yang dikeluarkan Poncke. Kakak dari Keis Princen ini juga menyarankan pemerintah membentuk tim independen untuk memeriksa laporan yang ia siarkan ke beberapa media nasional soal kasus Purwodadi. Hal itu ditujukan agar masyarakat dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kasus yang cukup menghebohkan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah tersebut. Begitu mengerikannya dampak kasus ini, pada tahun yang sama, ia bersama dengan rekan-rekannya mendirikan sebuah lembaga yang mencoba mengatasi trauma para korban PKI yang ia namakan Pusat Pemulihan Hidup Baru.

Gerakannya semakin meluas seiring ketidakadilan yang ia saksikan. Tahun 1970, Poncke menjadi salah satu yang mempelopori berdirinya Lembaga Bantuan Hukum.

Pada tahun 1974, Princen terlibat dalam penggalangan demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Pembangunan monumen raksasa ini secara umum dinilai sebagai langkah yang sangat tidak tepat di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih buruk di saat itu. Princen dipenjarakan karena aksinya ini, sejak tahun 1974 hingga 1976.

Berjuang Hingga Akhir Hayat

Sejak dibebaskan tahun 1976, Princen tidak menjadi kendor, tetapi malah semakin vokal membela Hak Asasi Manusia di bawah represi orde militer yang menguasai negeri ini saat itu. Dia terlibat dalam pembelaan HAM di Timor Timur salah satu dari dua kasus yang menonjol adalah pembantaian Santa Cruz dan melindungi puluhan mahasiswa Timor-Timur. dia juga aktif dalam masalah perburuhan. Sejak tahun 1976 dia tak pernah dipenjarakan secara permanen, tetapi berulang kali diinterogasi dan juga diawasi secara ketat oleh polisi, dan mungkin juga militer (yang tak jelas bedanya saat itu - sama-sama ABRI).

Tahun 1980, ia juga ikut mendirikan YLBHI, menjadi pengacara para korban pada peristiwa pembantaian Tanjung Priok (1984), membela puluhan mahasiswa ITB yang ditahan karena mendemo Mendagri Rudini (1989).

Mendirikan sebuah Koalisi HAM yang bernama Indonesia Front for Defending Human Right (INFIGHT) 1989, Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (SBMS) tahun 1990, KontraS (1998) dan lain-lain. Pun ketika masyarakat memberinya penghargaan Yap Thiam Hien Award 2002 sebagai tokoh HAM bersama petani Jenggawah Jember, Poncke memandang penghargaan tersebut sebagai bagian yang lahir dari proses panjang perjuangan penegakan HAM secara bersama di Indonesia. Baginya didukung atau tidak bukan menjadi bagian utama dari upaya pembelaannya secara konsisten terhadap manusia tanpa membedakan apakah ia dituduh PRD - yang oleh Orde Baru dianggap turunan dari PKI atau ekstrem kanan.

Princen meninggal pada 22 Februari 2002 sebagai figur yang sangat dihormati dan dihargai oleh tokoh dari berbagai golongan.

Pekerjaannya yang amat mulia kini dicoba diteruskan oleh Ahmad Hambali seorang aktivis muda yang sempat bertemu dalam kondisi berkursi roda ketika sama-sama membela petani Sagara Garut tahun 1990-an. Walaupun pencekalan di tanah leluhurnya masih terus berlangsung hingga ajal menjemput, namun rohnya kini bebas keluar masuk Den Haag, Heemstede, Amersfoort, Enschede, Haarlem dan Sukabumi. Bebas juga dari protes kerdil para veteran perang kolonial, dari Drs. Kamsteeg yang melarangnya menggunakan nama Poncke. Yang tersisa hanya semangatnya. Sang desertir sudah pulang ke kesatuannya.

Sumber tambahan: Ahmad Hambali, LPHAM dan Princen, Pengantar Draft Penelitian Studi Surat-Surat Protes Princen tahun 1990, LPHAM, Jakarta, 2004
            
Pranalan Luar

•(Indonesia) HJC Princen - Haji Belanda Pejuang HAM dalam "Tokoh Indonesia"
•(Inggris) Human Rights Campaigner Continues Fight That He Began Decades Ago as a Dutchman: Just Another Skirmish For Indonesian Warrior, Artikel di International Herald Tribune
•(Inggris) (Belanda) Archief Poncke Princen, Arsip di International Institute of Social History



Pembantaian Purwodadi

Pembantaian Purwodadi merupakan salah satu babak peristiwa pembantaian dan pembersihan sisa-sisa pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) di Purwodadi, GroboganJawa Tengah pada tahun 1968. Pembantaian ini terkenal di dunia internasional setelah salah satu tokoh yang ikut di dalam pembersihan tersebut memberikan kesaksiannya dan ditulis serta disebarluaskan oleh HJC Princen (Poncke Princen) dan koran Harian KAMI dengan editornya yaitu Nono Anwar Makarim. Salah satu hal kontroversi dari kasus ini adalah adanya daerah yang diduga merupakan lokasi kuburan massal korban pembantaian.[1][2][3] Lokasi pembantaian tersebut diduga ada di daerah Kuwu, Hutan Monggot (berada di Geyer), Sungai Ganjing, Sungai Glugu, Waduk Simo, Waduk Nglangon (terletak di Mangunsari, Tegowanu) , SendangtapakDaplangTegowanu (semua berada di Kabupaten Grobogan) serta KedungjatiMojolegi,Boyolali, serta Hutan Sanggarahan.

Reaksi Pemerintah

Jenderal TNI Maraden Panggabean

Selang beberapa hari setelah tersiarnya kabar pembunuhan massal di Purwodadi, banyak petinggi Angkatan Darat waktu itu, seperti Panglima TNI AD Jend. M. Panggabean dan Pangdam Diponegoro Mayjend. Surono Reksodimedjo berlomba-lomba menyatakan bantahannya bahkan Poncke dituduh sebagai agen komunis. Menghadapi tuduhan itu Poncke balas menyerang mengatakan bahwa tuduhan itu tak berdasar karena pada masa Sukarno, di saat PKI ada di atas angin, dia justru menjadi lawannya. “Saya bukan seorang sentimentalis naif,” begitu kata Poncke.[10]

Reaksi Internasional

Reaksi di Belanda
Cees dan Henk yang gagal membuat berita Purwodadi ekslusif akhirnya tetap mengangkat kasus itu di De Haagsche Courant. Hasil reportase Cees dan Henk ternyata membawa dampak yang cukup besar. Berita itu menyulut reaksi dan gelombang protes dari masyarakat internasional, khususnya di Belanda terhadap rezim Orde Baru. Surat kabar Belanda Trouw edisi 19 April 1969 menyiarkan “surat terbuka” dari Comite Indonesie (Komite Indonesia) yang keberatan dengan niat jalinan kerjasama Belanda-Indonesia karena dengan demikian melegalkan pembunuhan massal yang telah dilakukan Indonesia. Di lain pihak pemimpin kelompok Indonesianis terkemuka, Dr. J.M. Pluvier menyatakan bahwa pemerintah Soeharto bertanggung jawab atas penangkapan terhadap orang-orang kiri dan diskriminasi terhadap golongan Cina.[5]

Frans Seda

Bola salju yang menggelinding sejak peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi terungkap semakin membesar. Dalam rangka lustrum Universitas Katolik Nijmegen, pada tanggal 17 April 1969 diselenggarakan sebuah ceramah dengan mengundang Menteri Keuangan RI, Drs. Frans Seda sebagai penceramah. Begitu Frans Seda naik ke panggung untuk mulai berceramah, Y. van Herte seorang mahasiswa menyela dan bertanya perihal peristiwa pembunuhan massal anggota PKI selama bulan Oktober 1965.

 Frans menyanggupi untuk menjawab pertanyaan itu setelah ia diberi kesempatan untuk memberikan ceramah terlebih dahulu. Ternyata mereka menolak dan meminta pertanggungjawaban Frans atas pembunuhan massal di Indonesia. Akibatnya suasana menjadi kacau, bahkan Frans Seda diteriaki sebagai "Moordenaar " dan "lafaard..!."(Pembunuh dan Pecundang). Akhirnya ceramah dibatalkan dan Frans Seda keluar meninggalkan Aula Universitas lewat pintu belakang.[5]

Prof.Dr. Ernst Utrecht

Prof. Dr. W.F. Wertheim, seorang Indonesianis yang juga menjadi salah satu anggota komite Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan Majalah Vrije Nederland juga menyatakan ketidaksetujuannya atas bantuan finansial pemerintah Belanda bagi pemerintah Soeharto. Dalam wawancara lain dengan sebuah stasiun TV di Belanda, Wertheim kembali menegaskan, “tidak ada kerjasama” dengan rezim yang membiarkan pembunuhan massal terhadap 80.000 hingga 100.000 orang tahanan politik. Pemerintah Orde Baru, yang dibuat berang oleh pernyataan Wertheim, kemudian melarangnya mengunjungi Indonesia.[5]

Posisi pemerintah Orde Baru semakin terpojok dengan terungkapnya kasus pembunuhan massal di Grobogan. Kasus Purwodadi yang dibongkar oleh Poncke telah menorehkan aib bagi Orde Baru di awal kekuasaannya. Tidak tanggapnya rezim Soeharto terhadap kasus Grobogan menimbulkan reaksi keras di luar negeri. Prof. Dr. Ernst Utrecht, tokoh Indo-Belanda yang pernah masuk Konstituante RI dan menjadi anggota PNI, dalam sebuah diskusi di Universitas Nijmegen, Belanda, mengatakan bahwa “Repelita is onzin” (Repelita adalah omong kosong). Ia juga mengatakan bahwa bantuan kepada Indonesia adalah sama dengan imperialisme ekonomi yang membawa Indonesia memasuki Kapitalisme Barat. Kejatuhan Soekarno membawa angin segar bagi masuknya pemodal asing karena Soeharto, yang baru saja memegang kendali pemerintahan selama dua tahun, telah mengambil serangkaian langkah-langkah untuk merealisasikan program perbaikan ekonomi dan memulihkan stabilitas politik dalam satu paket dan stabilitas politik dijadikan prasyarat bagi landasan pembangunan ekonomi.[5]

Reaksi di Luar Belanda

Bukan hanya pers Belanda, pers Thailand juga mengangkat kasus pembunuhan massal di Purwodadi sebagai berita, sehingga perhatian khalayak diarahkan ke Indonesia. Akibatnya Kedutaan Besar RI di Bangkok menjadi sasaran hujatan dan kritik pedas dari berbagai kalangan, baik dari pemerintah maupun organisasi sosial lainnya di Bangkok. Kasus Purwodadi tampaknya berdampak lebih jauh daripada yang diperkirakan. Soeharto yang merasa terganggu oleh peristiwa itu, akhirnya membatalkan kunjungannya ke sejumlah negara Eropa yang sejatinya akan dilakukan pada medio April 1969. Ia memutuskan baru akan mengunjungi Eropa termasuk Belanda pada tahun 1970.[5]

Berbeda dengan publik di Belanda, reaksi pers Amerika Serikat terhadap pembunuhan massal terbesar sesudah Perang Dunia ke II itu dingin-dingin saja. Bahkan semenjak awal tersiar kabar penghancuran PKI di Indonesia, Majalah Time edisi 5 Juli 1966 menuliskan hal tersebut sebagai “berita terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia.”[5]


Referensi

1"Penemuan 16 Titik Kuburan Massal di Purwodadi". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
2. Affan, Heyder (2017-11-16). "Ditemukan 'kuburan massal korban kekerasan 1965 ' di Purwodadi, Jawa Tengah". BBC Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-27.
3. "Jejak Kuburan Massal Purwodadi [1]". ypkp1965.org. Diakses tanggal 2017-11-27.
5. "Purwodadi: Skandal Pertama Orde Baru". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
6. "Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)". SOCIO-POLITICA (dalam bahasa Inggris). 2009-10-21. Diakses tanggal 2017-11-17.
7. Samuel., Totten,; S., Parsons, William; W., Charny, Israel (2004). Century of genocide : critical essays and eyewitness accounts (edisi ke-2nd ed). New York: Routledge. ISBN 9780415944304OCLC 57124951.
8. "Di Balik Berita Purwodadi". historia.id. Diakses tanggal 2017-11-17.
9. "Soe Hok Gie dan Pembantaian Massal PKI 1965-1966". SINDOnews.com. Diakses tanggal 2017-11-27.
10. 1945-, Dhakidae, Daniel, (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792203097OCLC 52594506.

0 komentar:

Posting Komentar