Selasa, 26 November 2019

KKR Harus Jadi Ruang bagi Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu untuk Bicara


Kompas.com - 26/11/2019, 20:29 WIB

Aktivis mengikuti aksi kamisan ke-588 yang digelar oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (13/6/2019). Mereka menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum ditangani.(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

JAKARTA - Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari mengatakan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR) yang akan dihidupkan kembali oleh pemerintah harus menjadi ruang bagi korban pelanggaran HAM masa lalu atau keluarganya untuk bicara.


Ia menegaskan bahwa setelah KKR resmi dibentuk, keluarga korban perlu diberikan ruang untuk bersuara dan mengungkapkan keinginanya.
"Karena ada mekanisme KKR, maka kita harus berikan ruang bagi para korban. Kita harus dengarkan suara korban. Salah satunya yang bisa kita jadikan itu wadahnya adalah KKR," ujar Taufik saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Menurut Taufik, KKR harus menjadi wadah bagi korban dan keluarganya untuk memberikan kesaksian atas apa yang mereka alami.

Selain itu, KKR juga dapat meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, misalnya Komnas HAM yang selama ini telah melakukan penyelidikan, maupun organisasi masyarakat sipil pegiat HAM.

Kemudian, KKR bisa melakukan verifikasi atau meminta keterangan terhadap terduga pelaku pelanggaran HAM. Dengan demikian, kata Taufik, mekanisme pengungkapan kebenaran akan berjalan.
"Jadi yang paling penting adalah suara korban didengarkan, keinginan korban harus ditampung meskipun punya kesulitan ketika akan dibawa ke pengadilan," kata Taufik.
Kendati KKR akan kembali dihidupkan, namun Taufik menegaskan bahwa pemerintah harus tetap membuka peluang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur hukum atau pengadilan.

 Menurut Taufik, penuntasan kasus HAM masa lalu melalui pengadilan perlu dilakukan untuk menghentikan praktik impunitas atau kejahatan yang terjadi tanpa ada penyelesaian melalui proses pemidanaan.
 "Penuntasan kasus harus berjalan paralel. Tetap harus disediakan kemungkinan untuk mekanisme peradilan itu berjalan," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, wacana menghidupkan kembali KKR untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM pada masa lalu masih dibahas.

KKR pernah dibentuk tahun 2004 lalu untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM masa lalu. Namun, KKR bubar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 2006.

Berdasarkan penuturan Jaksa Agung ST Burhanuddin, saat ini terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Kedelapan kasus tersebut adalah Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi, Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, Oeristiwa Rumah Gedong tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun 1998.

Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh.

Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Krisiandi

0 komentar:

Posting Komentar