Selasa, 19 November 2019

Pengarsipan Digital: Dari Kerja Individu Menuju Kerja Bersama


19 November 2019

Diskusi internal yang cukup panjang. Dua setengah jam dan belum juga usai. Diskusi internal, yang akhirnya diberi nama oleh Adhe -Tholabul Ilmi- kali ini, dipantik oleh Devananta Rafiq, alumni mahasiswa Ilmu Politik UGM, 2014. Ia mendiskusikan Chantal Mouffe, seorang pemikir politik asal Belgia. Teks ini telah berhasil ia pertahankan dalam ujian, Mei lalu. "Mouffe kupilih ditengah tema skripsi yang itu-itu saja," katanya.

Siang tadi, Rafiq membagikan poin-poin skripsinya kepada saya. Bila berkenan membaca, sila klik tautan berikut:

Ketertarikan personal dengan sejarah Indonesia modern membawa saya pada pemahaman, bahwasannya pada era 1950 hingga 1965, banyak sumber pengetahuan yang tidak terdokumentasikan dengan baik.
Hal itu amat disayangkan, karena berdasarkan apa yang saya arsipkan, geliat intelektualitasnya sungguh meriah dan menyala bernas.

Proyek pengarsipan digital media massa yang saya lakukan berawal dari inisiatif personal yang tertarik dengan sejarah Indonesia usai perang kemerdekaan. Berawal dari keisengan ketika membuka lembar-lembar koleksi pribadi majalah lawas, kemudian berlanjut pada penemuan tulisan-tulisan menarik yang patut dibaca dan disimpan sebagai sumber pengetahuan.

Yang langsung terpikir saat itu adalah keinginan untuk mengkliplingnya. Tetapi, bila harus menggunting lembar-lembar majalah itu sungguh teramat sayang, karena bakal merusak fisiknya.

Sebagai alternatif, memindainya dan kemudian menyimpan dalam bentuk digital agar bisa dibaca sewaktu-waktu tanpa harus membuka lagi majalah tersebut.

Kegiatan iseng-iseng ini, lambat laun, ternyata memiliki banyak faedah. Lembar-lembar koleksi majalah yang merapuh termakan usia tak perlu lagi acap dibuka sehingga tidak merusak keutuhan fisiknya. Selain itu, file yang sudah berbentuk digital mudah pula disimpan dan diakses oleh berbagai pihak yang membutuhkan arsip tulisan itu.

Kegiatan mengarsip dan kemudian membaginya kepada publik inilah yang menjadi proyek kerja personal saya sebagai individu yang peduli ihwal pentingnya arsip sebagai sumber pengetahuan --di luar pekerjaan saya sebagai pelapak daring buku lawas, dengan akun bernama: Tokohitam.

Berkat kegiatan yang mulanya iseng ini, pada September 2017, Tokohitam turut berpartisipasi dalam Festival Arsip IVAA dengan membawa koleksi digitalnya untuk disajikan dalam kegiatan bernama Bakar Arsip.

Nilai penting pengarsipan digital

Kegiatan pendigitalisasian koleksi ini lantas memunculkan kesadaran ihwal pentingnya arsip sebagai sumber pengetahuan. Ketertarikan personal dengan sejarah Indonesia modern membawa saya pada pemahaman, bahwasannya pada era 1950 hingga 1965, banyak sumber pengetahuan yang tidak terdokumentasikan dengan baik.

Hal itu amat disayangkan, karena berdasarkan apa yang saya arsipkan, geliat intelektualitasnya sungguh meriah dan menyala bernas. Sebuah era di mana intelektualitas dicatat dan dipublikasikan dengan baik oleh media massa yang muncul bak cendawan di musim hujan. Itulah sebabnya kemudian saya lebih banyak memfokuskan diri pada pengarsipan majalah atau media massa yang terbit di era-era tersebut.

Di era yang sama, banyak pula bermunculan media massa yang penting untuk diarsipkan. Baik itu majalah yang bertema umum, seperti majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Merdeka, Pesat, Nasional, Majalah Kompas, Minggu Pagi, dll. Majalah khusus memuat perihal seni budaya, seperti Majalah Kebudayaan INDONESIA, Zenith, Majalah Seni, Majalah Budaja, Pujangga Baru, Konfrontasi, Zaman Baru, dll. Bahkan ada majalah yang khusus memuat karya sastra, terutama cerita pendek, bernama KISAH.

Majalah KISAH menjadi salah satu pionir dalam mengenalkan tren sastra majalah yang muncul di era tahun 1950-an awal. Tren sastra majalah pertama kali diperkenalkan oleh Nugroho Notosusanto dalam artikelnya yang terbit di Majalah Kompas (bedakan dengan harian Kompas) No. 7, Juli 1954.

Tulisan yang berjudul “Situasi 1954” ini menyoroti maraknya penerbitan cerpen dan puisi dalam majalah seiring dengan munculnya perdebatan mengenai krisis kesusastraan Indonesia yang bermutu. Peran Balai Pustaka kemudian menjadi sorotan karena tidak mampu mengakomodir karya-karya sastra terbaik yang membuat banyak penulis beralih untuk mengirimkan karya-karyanya ke berbagai penerbitan majalah yang kemudian mengakibatkan munculnya karya-karya sastra yang disesuaikan dengan kebutuhan media itu sendiri.

Pengarsipan media massa ini penting, karena tak banyak dari media-media itu yang bertahan lama dan keberadaannya kini susah ditemui. Ada beberapa media massa yang hanya mampu bertahan tak sampai lima tahun. Mereka harus tumbang karena kekurangan biaya atau karena kalah bersaing dengan majalah lainnya.

Majalah Zenith misalnya, adalah majalah kebudayaan yang hanya terbit empat tahun. Dalam Zenith sering saya jumpai artikel-artikel seni budaya yang menarik untuk diarsipkan, seperti misalnya artikel Trisno Sumardjo mengenai “Kedudukan Seni Rupa Indonesia”, artikel karya komponis Amir Pasaribu mengenai beda antara “Musik Nasional dan Musik Barat”, dll. Zenith, yang perdana terbit pada 1951, mesti tumbang setelah menelurkan empat nomor pada 1954.

Pascatumbangnya Zenith, muncullah majalah SENI yang terbit pada 1955. Tetapi, mesti berakhir dalam setahun dengan menelurkan 12 edisi. Majalah ini banyak memuat artikel dan berita-berita di bidang seni rupa. Saya menjumpai banyak karya rupa yang dibahas dengan genial dalam majalah ini.

Banyak pula majalah-majalah yang kini menjadi barang yang langka seperti jurnal kebudayaan milik Lekra, Zaman Baru. Awalnya, nama tersebut dipakai oleh majalah mingguan sosial politik yang terbit di Surabaya. Lekra, yang saat itu belum punya media massanya sendiri, hanya menumpang pada rubrik lembar kebudayaan yang beberapa halaman saja dalam majalah tersebut. 

Zaman Baru kemudian bersulih menjadi jurnal kebudayaan milik Lekra pada 1953, beriringan dengan pendefinisian ulang Manifesto Kebudayaan Lekra. Dari jurnal inilah saya menjumpai karya tulis beberapa pesohor lukis di medio 1950-an, seperti Basuki Resobowo dan Batara Lubis. Sayang, majalah ini mengalami librisida pada 1965 dan berakibat pada hilangnya rekaman intelektualitas orang-orang Lekra. Hingga kini agak susah untuk menangkap geliat intelektualitas orang-orang Lekra langsung dari sumber pengetahuan primernya.

Satu lagi majalah yang penting untuk diarsipkan adalah Majalah Kebudayaan INDONESIA. Majalah ini terbit perdana pada 1949 dan diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian, pengelolaan penerbitan berpindah kepada sebuah lembaga kebudayaan bernama Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).

Majalah ini menjadi penting untuk diarsipkan karena memuat banyak karya tulis para penggiat kebudayaan Indonesia pascaperang kemerdekaan. Dibandingkan majalah-majalah kebudayaan lainnya seperti Zenith, Pujangga Baru, Budaja ataupun Konfrontasi, majalah ini lebih utuh membicarakan kebudayaan tanpa tendensi yang berat sebelah.

 Mutu majalah ini kemudian merosot tajam di tahun 1960-an hingga kemudian menghilang setelah menelorkan tiga edisi pada 1965.

Pengerjaan proyek digitalisasi koleksi

Laku pengarsipan yang saya kerjakan sebenarnya sederhana sekali. Pada awalnya hanya mendigitalisasi tulisan-tulisan karya sosok tertentu, sseperti Pramoedya Ananta Toer. Lambat laun, saya asmengarsipkan pula tulisan-tulisan yang bertema sosial, politik, seni dan budaya yang menurut saya masih kontekstual untuk dipelajari sebagai sumber pengetahuan.

Dalam perjalanan pengarsipan kemudian saya tidak lagi hanya mengarsipkan satu persatu tulisan, tapi kemudian jika menjumpai majalah atau buku yang langka dan layak untuk diarsipkan, saya bakal mendigitalisasi secara utuh.

Dalam perjalanan pengarsipan, saya sering terkendala dengan minimnya koleksi yang saya jumpai dan miliki. Selain soal bea, mengingat pengerjaan proyek ini hanya menggantungkan diri pada pendapatan pribadi sebagai seorang pedagang buku lawas, juga terkendala pada kian susahnya mendapatkan koleksi yang layak untuk diarsipkan. Seringkali saya juga menjumpai majalah atau koran yang memuat artikel yang menarik, tetapi ternyata masih bersambung dengan penerbitan selanjutnya yang keberadaannya susah untuk ditelusuri.

Akhirnya, arsip itu menggantung dan tidak mampu bercerita secara detail. Kadang pula kondisi majalahnya sudah terlalu rapuh termakan usia hingga tak bisa lagi diarsipkan karena bisa dipastikan akan merusak fisiknya lebih parah.

Selain kendala biaya dan minimnya koleksi, kendala teknis seringkali menghambat kerja pengarsipan. Saya hanya menggantungkan pengerjaan pada sebuah mesin pemindai berukuran A4 yang hanya mampu memindai lembaran berukuran sama, sehingga ketika menjumpai lembaran yang ukurannya lebih saya harus menyiasatinya dengan menjadikan arsip itu dalam beberapa potongan. Karena bekerja sendirian, saya juga seringkali cepat merasa lelah dan bosan ketika terus menerus menghadapi kerja pengarsipan tersebut. Kerja sendirian ini juga membuat saya lebih banyak mendigitalisasi arsip yang saya senangi saja, sehingga gampang melewatkan data atau tulisan yang sebenarnya penting.

Pada awal 2019, saya bergandengan tangan dengan seorang kawan yang aktif dalam bidang penerbitan buku dan mendirikan sebuah rumah buku yang kemudian kami beri nama O.TH, singkatan dari nama Octopus dan Tokohitam. Rumah buku ini adalah sebuah perpustakaan, berikut sebuah toko buku dan kantor penerbitan kecil, yang didirikan untuk menghidupi kerja-kerja harian kami. Dalam rumah inilah kemudian saya bekerjasama dengan seorang kawan yang mempunyai hasrat yang sama dalam hal pengarsipan kembali mengerjakan proyek digitalisasi dengan semangat yang baru. Salah satu proyek yang kini sedang dikerjakan di Rumah Buku O.TH adalah mendigitalisasi arsip mengenai gerakan pemuda Indonesia setelah era perang kemerdekaan bersumber pada berbagai media massa tahun 1950-an yang menjadi koleksi perpustakaan.

Pengerjaan arsip digital gerakan pemuda ini berawal dari kegundahan kami terhadap banyaknya resistensi masyarakat luas terhadap peran pemuda dan pelajar dalam kegiatan protes terhadap kerja pemerintah.

Aksi para pemuda pelajar dalam berbagai kegiatan unjuk rasa dianggap negatif dan kontraproduktif dengan peran mereka sebagai murid yang harusnya belajar di kelas. Padahal, jika kita memahami sejarah sebagai alat penimbang kondisi-kondisi yang terjadi di hari ini, maka kita akan menemukan bahwa apa yang terjadi di hari ini berkorelasi dengan apa yang terjadi di masa lalu.

Pemeriksaan terhadap koleksi milik Rumah Buku O.TH memperlihatkan bahwa banyak peristiwa dan kegiatan protes yang melibatkan pelajar dan pemuda terjadi di era tahun 1950-an. Selain itu, kami menemukan beberapa artikel yang menarik mengenai peran pemuda dan pelajar dalam gerakan sosial, yang kini mungkin tak banyak orang bahas atau sampaikan.

Pengarsipan digital sebagai kerja gotong royong

Kerja pengarsipan adalah sebuah kenyataan yang harus dijalankan secara berkesinambungan dan konsisten. Membutuhkan banyak energi dan biaya yang tak sedikit. Sebab itu, kerja bergotong royong adalah solusi terdepan yang harus ditempuh mengingat banyak dan luasnya sumber yang harus segera diarsipkan. Berjejaring dengan sesama penggiat arsip digital harus diperluas beriringan dengan penyebaran kesadaran pentingnya kegiatan itu sebagai sebuah kerja budaya.

Berjejaring juga tidak hanya bermanfaat ketika sesama penggiat saling bekerja bersama mengarsipkan sebuah isu yang menarik untuk ditelusuri, namun juga bermanfaat dalam perburuan arsip atau dokumen yang mulai susah untuk didapatkan. Perpustakaan-perpustakaan, kebanyakan milik instansi pemerintah, yang masih banyak menyimpan koleksi majalah atau media massa lama nyaris tidak melakukan kerja apa-apa untuk menyimpan koleksinya agar mudah diakses oleh publik. Mereka seringkali mudah melepaskan koleksinya menjadi tumpukan kertas usang tak berguna yang kemudian diperjualbelikan secara bebas di pasaran buku langka. Ini sungguh menyusahkan para penggiat arsip digital ketika kemudian koleksi tersebut jatuh ke tangan pihak-pihak yang lebih ingin memilikinya sebagai memorabilia, bukan sebagai dokumen atau arsip yang perlu untuk disebarluaskan sebagai sumber pengetahuan.

Digitalisasi memudahkan para penggiat pengarsipan dalam pengerjaannya menggunakan sumber daya yang terbatas. Setiap penggiat kerja arsip digital bisa menggunakan alat yang dia miliki secara maksimal tanpa menunggu tersedianya alat yang lebih mumpuni. Setiap penggiat juga tak perlu harus menunggu tersedianya arsip yang istimewa, cukup dengan mengerjakan apa yang ia temukan dan dirasa menarik sesuai konten yang ingin dipelajari atau ditelusuri maka kecenderungan untuk terus bertekun diri akan membawanya pada perjumpaan-perjumpaan yang istimewa, baik perjumpaan dengan sesama penggiat arsip digital maupun dengan sumber-sumber yang menarik untuk diarsipkan.

Kerja pengarsipan digital bisa dikerjakan secara individual maupun kelompok tanpa menunggu kondisi yang ideal tersedia. Segala kendala hanya bisa dipanggul bersama secara bergotong royong. Berjejaring meluas dan terus berbagi informasi agar pengarsipan digital bisa terus dijalankan tanpa menunggu semua arsip atau dokumen sejarah musnah akibat abainya banyak pihak yang seharusnya bekerja maksimal untuk mempertahankannya.

*Ditulis oleh Dodit “Tokohitam” Sulaksono

0 komentar:

Posting Komentar