Minggu, 02 Oktober 2016

Akhir Api Gerwani dan Serpih Kenangan Bersama Hartini Sukarno

Prima Gumilang, CNN Indonesia | Minggu, 02/10/2016 07:01 WIB


Nadiani dan Rosnina, pengurus Gerwani Sumatera Barat. Mereka dekat dengan Ahmad Yani, salah satu jenderal yang tewas di Lubang Buaya. (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
Bukittinggi -- Perempuan-perempuan tani berseragam kebaya berkumpul di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejak pagi buta, sebelum anak-anak sekolah dan pasukan militer ikut bergabung, mereka telah berbaris rapi di sepanjang jalan menuju Jam Gadang, ikon kota itu. 
 
Ratusan orang dari desa yang tidak pernah ke kota, bersiap menyambut kedatangan tamu agung pagi itu, 27 Juli 1965.

Hartini, istri Presiden Sukarno, akan berkunjung ke Bukittinggi. Bersamanya, ikut pula istri Wakil Perdana Menteri RI Subandrio dan istri Ketua MPRS Chaerul Saleh. 


Nadiani Saridin, eks pengurus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Kabupaten Agam, tersenyum bangga mengenang momen itu. Dia menyaksikan besarnya antusiasme yang ditunjukkan para perempuan Gerwani. 

“Tidak ada organisasi lain yang berbaris, selain anak sekolah dan militer. Organisasi massa wanita waktu itu hanya Gerwani,” kata Nadiani.
Malam sebelumnya, para perempuan Gerwani itu sibuk menyiapkan perlengkapan penyambutan di rumah Nadiani.

Baju kebaya dijahit cepat-cepat untuk kostum. Para perempuan belajar berbaris agar nantinya tidak saling bertabrakan di lapangan. Sebagian sibuk memasak untuk hidangan esok hari, dan beberapa lainnya menyiapkan kesenian setempat untuk disuguhkan. 
 
Kehadiran Hartini ke kota itu menjadi momen penting bagi para pengagum Sukarno, dan para perempuan Gerwani dikenal luas sebagai pendukung Sukarno.

Nadiani mempersiapkan betul penyambutan kunjungan Ibu Negara. Dia memimpin rangkaian acara.

Sebuah pentas dibuat di pelataran Jam Gadang. Hartini dinobatkan sebagai Ibu Kandung. Ia disematkan Sunting Minang, hiasan kepala Anak Daro Minangkabau.

Perhatian Hartini pun terusik oleh barisan perempuan berseragam kebaya. Mereka pun dipanggil untuk bernyanyi. Nadiani memimpin membawakan lagu Indonesia Raya.
“Itu kenangan indah sekali. Gembiranya bukan main. Jaya sekali. Penghabisan dengan Bu Hartini. Itu yang terakhir,” kata Nadiani kepada CNNIndonesia.com di Bukittinggi, pertengahan September.

Hartini bersama Sukarno di Istana Bogor, Februari 1965. (AFP Photo)
Dua bulan kemudian, 1 Oktober 1965, tujuh perwira Angkatan Darat dibunuh. Partai Komunis Indonesia dituding bertanggung jawab. Semua orang yang dianggap terlibat partai berlambang palu arit itu, juga organisasi yang bernaung di bawahnya, ditangkapi dihabisi.

Nadiani dan banyak kawan Gerwani lain buta situasi. Padahal perburuan terhadap pendukung Bung Karno telah digencarkan.
 
Perempuan Gerwani pun dituding melakukan penyiksaan kepada para jenderal sebelum mereka dibunuh di Lubang Buaya. KSAD Jenderal Ahmad Yani jadi salah satu korban.

Nadiani bingung, mengapa Gerwani dituduh ikut membunuh padahal hubungan mereka dengan Yani begitu dekat.

Patung Ahmad Yani di depan Museum Sasmita Loka Ahmad Yani di persimpangan Jalan Lembang 58 dan Jalan Latuharhari 65, Menteng, Jakarta Pusat. Museum ini dulu kediaman Ahmad Yani saat diculik oleh Gerakan 30 September. (Detikcom/Ari Saputra)


Gerwani dan Jenderal Yani
Masih jelas dalam ingatan Nadiani peristiwa 58 tahun lalu. Yani memimpin penumpasan para pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Penumpasan itu didukung Gerwani dan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). 
“Yang mendukung Jenderal Yani ke mana-mana membawa pasukan, ke desa-desa, ke hutan-hutan tempat pemberontakan, itu orang Gerwani. Kami yang memberi makan, memasak nasi,” kata Nadiani.
Gerwani menyediakan lokasi pengungsian dan makanan bagi tawanan PRRI yang diselamatkan APRI.

Kesetiaan Gerwani pada Jenderal Yani saat pembebasan Sumatera Barat, tegas Nadiani, telah teruji.
“Sampai Pak Yani mengatakan, kalau nanti saya punya anak, akan saya kawinkan dengan orang Gerwani,” kenang Nadiani. 
Gerwani saat itu mengambil sikap politik mendukung pemerintah pusat memberangus PRRI, memandang keutuhan negara penting untuk dipertahankan di usia Republik Indonesia yang masih seumur jagung.

PRRI marah kepada pemerintah pusat yang dianggap menganaktirikan daerah. Pembangunan dituding lebih digencarkan di Jawa. Itu awal pemberontakan.

Satu-satunya organisasi massa di Bukittinggi yang berdiri di belakang pemerintah pusat saat itu, ujar Nadiani, hanya Gerwani.

“Waktu pemberontakan, banyak orang Gerwani kena tembak. Bu Manismar ditahan PRRI, dibawa lari oleh pemberontak,” kata Nadiani. 
Manismar, pengurus Gerwani Sumatera Barat, ditangkap saat memimpin demonstrasi menentang Dewan Banteng, cikal bakal PRRI. Dia ditahan selama satu tahun, sejak Agustus 1957 hingga September 1958.
“Kehancuran PRRI di Sumatera Barat menjadi kekalahan terbesar bagi Amerika Serikat. Sebab sudah ada kapal perang Amerika untuk membantu PRRI di sini,” kata Manismar.
Selain Manismar, kader Gerwani yang pernah ditahan oleh PRRI adalah Jamian. Guru SMP Islam itu ditahan tiga bulan karena dituding sebagai pendukung Bung Karno.

Nadiani menjadi saksi kekejaman pemberontak. Seorang temannya menjadi korban pemerkosaan oleh tentara PRRI. Padahal perempuan itu sedang mengantar makanan untuk keluarganya, anggota pemberontak yang tengah bersembunyi di hutan.
 
Menurut Nadiani, tentara PRRI memperlakukan perempuan sewenang-wenang. Mereka berpoligami, melakukan perkawinan tak wajar, dan memerkosa gadis di bawah umur. 

Hal itu menggugah hati Nadiani untuk memperjuangkan emansipasi wanita. Program tersebut kala itu diusung Gerwani. Nadiani pun bergabung di kemudian hari.

Para perempuan Gerwani. (Dok. Istimewa)
Rosnina, kader Gerwani, menyaksikan para pengungsi asal Jawa ditahan dan disiksa para pemberontak PRRI.
“Kalau di Pasaman ada orang berderet, mereka itu digilas mobil berat baja sama PRRI di muka istri dan anaknya. Pokoknya Jawa dilibas,” ujar Rosnina.
Ia mengatakan, “Pemberontakan PRRI mengubah keadaan. Awalnya masyarakat enggak tau apa yang terjadi. Tapi lalu masyarakat yang tersisa mulai mikir, mana yang benar dan salah. Akhirnya datang APRI membebaskan Sumatera Barat.”
Nadiani, Rosnina, dan banyak perempuan di Sumatera Barat bergabung dengan Gerwani atas dasar pengalaman pribadi. Mereka menyaksikan langsung aksi pemberontakan PRRI yang menindas masyarakat, termasuk kaum perempuan.

Presiden Sukarno bersama para aktivis perempuan, Juni 1950. (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia Commons CC-BY-SA-3.0)
Gerwani melebarkan sayap dari kota ke desa-desa di Sumatera Barat. Mereka menggalang massa dengan deretan program kerakyatan. Memberantas buta huruf, mendirikan TK di tiap kecamatan, memberikan pengertian kepada perempuan yang akan dipoligami, hingga melaksanakan reforma agraria. 
 
Di sisa hidupnya, Nadiani menyatakan bangga pernah bergabung dengan Gerwani. Nenek 75 tahun itu kini bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Dia juga aktif memimpin Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 Sumatera Barat, organisasi yang memperjuangkan hak para korban Tragedi 1965.

“Saya beruntung masuk Gerwani. Saya bisa mengatur ekonomi keluarga sampai bisa menjadikan anak-anak tamat kuliah. Kalau enggak kami hanya kuli,” kata Nadiani.

Sejarah Gerwani berhenti pada 1965. Peristiwa pembunuhan para jenderal di Jakarta menjadi titik tolak untuk menghabisi organisasi perempuan yang berpengaruh tak hanya di Indonesia, tapi juga dunia internasional itu.
 
Manismar menyebut pembumihangusan Gerwani dan para pendukung Sukarno di Sumatera Barat sebagai aksi balas dendam para pemberontak PRRI.

“Di Sumatera Barat ini, seakan-akan kejadian 1965 di Jakarta itu kesempatan untuk balas dendam dari orang-orang PRRI terhadap orang-orang Sukarno. Walau mereka (PRRI) sudah dihancurkan, tapi idenya tidak hancur,” kata Manismar.
Lilin pun habis, api Gerwani padam. Baranya tinggal di hati Nadiani dan Manismar.
 


Sumber: CNN Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar