Kamis, 06 Oktober 2016

Dialita - Menyanyikan Lagu-Lagu Bisu


05 Oktober 2016 | Fahrezal Sillia at 00.13 

“Sebagian lagu di album ini diciptakan sebelum ’65. Pasca ’65, lagu-lagu ini tak lagi terdengar. Kami  menyebutnya lagu-lagu bisu. Lagu-lagu yang dibungkam.” – Dialita, 1 oktober 2016

Pasca tragedi ’65, ibu Siti Jus Djubariah ditangkap dan ditahan di penjara perempuan Bukit Duri (1965-1971), lalu pada 1971 dikirim ke kamp Plantungan bersama puluhan tahanan lainnya dan sempat dipindahkan ke penjara di Bulu, Semarang, sebelum akhirnya bebas bersyarat pada 1978. Ibu Siti Jus Djubariah yang seorang guru, ditahan dengan ratusan perempuan beragam profesi lainnya tanpa pernah tahu apa kesalahannya. Mereka ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

Ibu Jus menulis lagu “Ujian” di penjara Bukit Duri. Bermula dari kegiatan bermain kasti bersama yang dilakukan seminggu sekali –yang bahkan saat hujan pun tetap mereka lakukan- untuk menghibur dan menumbuhkan semangat para tahanan. Pada suatu waktu, ibu Jus mengumpulkan kawan-kawan untuk belajar bernyanyi bersama lagu “Ujian”, bati per bait, lagu yang menjadi penyemangat bagi para tahanan.
“Dari balik jeruji besi hatiku diuji… apa aku emas sejati atau imitasi… ”
1 Oktober 2016, 51 tahun setelah tragedi ’65, lagu itu dinyanyikan kembali dengan lirih oleh ibu Sri Nasti Rukmawati dan ibu-ibu Paduan Suara Dialita di depan lebih dari 200 penonton di Taman Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma.

Ada sedikit kekhawatiran pertunjukan ini akan terganggu oleh kehadiran ormas-ormas intoleran. Setahun terakhir “kenyamanan” Jogja sebagai kota Seni dan Budaya –juga kota yang toleran— sedikit goyah akan perilaku ormas-ormas ini. Pada 2016, setidaknya 2 pameran seni (Lady Fast di Survive Garage dan Idola Remaja Nyeni di Galeri Independent Art Space) serta acara diskusi dan pemutaran film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di Sekretariat AJI Yogyakarta dibubarkan.
Belum terhitung aksi-aksi damai di ruang publik yang berakhir panas karena dihadang ormas.

Pemilihan Taman Beringin Soekarno sebagai venue pertunjukan punya alasan yang kuat: berada di lingkungan kampus yang bebas dari intimidasi ormas, pihak dosen maupun rektorat Universitas Sanata Dharma mendukung rekonsiliasi tragedi 65 serta keberadaan pohon beringin yang ditanam sendiri oleh Alm. Soekarno pada 1960.

Hadir sebagai pengiring Dialita: Leilani Hermiasih (Frau), Nadya Octaria Hatta, Bagus Dwi Danto (Sisir Tanah), Prihatmoko Moki, Lintang Raditya dan Kroncongan Agawe Santosa. Panggung malam ini tentu saja milik ibu-ibu Paduan Suara Dialita: Utati Koesalah, Mudjiati, Elly Soetarjo, Sri Nasti Rukmawati, Tuti Martoyo, Hartinah, Murti, Uchikowati, Kurnia, Titi Ananta Toer, Yetti Hari Sapi’I, Irina Dayasih, Fidellia D., Hersiswanty, Mega TRG., Nancy Sunarno, Yohana, Resi Prasasti dan Ira Atmosukarto.

Pada awalnya biduanita Dialita adalah bagian dari “Keluarga Dalam Sejarah 65” (KDS 65), para keluarga penyintas tragedi peristiwa 1965, yang terdiri dari anak-anak yang ketika tragedi 1965 terjadi harus berpisah dengan orang tua dan keluarga. Bernyanyi, berkumpul, bercerita dan berbagi pengalaman dalam bertahan hidup adalah cara mereka, para keluarga penyintas untuk merawat harapan. Dari saling menguatkan, mereka memutuskan untuk membentuk sebuah paduan suara yang diberi nama Dialita, singkatan dari Di Atas Lima Puluh Tahun, usia kebanyakan anggotanya. Dalam perjalanannya, banyak kaum muda yang bergabung di kelompok paduan suara ini karena bersimpati pada perjuangan dan semangat Dialita dalam merajut hidup.

Dialita dibentuk secara kolektif pada 2011 diantaranya oleh ibu Uchikowati, ibu Mudjiati, ibu Astuti dan ibu Tunik. Dua anggota Paduan Suara Dialita adalah eks tahanan politik tragedi ’65 yakni ibu Utati Koesalah dan ibu Mudjiati.

Terbentuknya Dialita juga tak lepas dari upaya penyelamatan lagu-lagu yang lahir di kamp konsentrasi. Sejak 2005, ibu Utati Koesalah menulusuri kembali lagu-lagu ciptaan tahanan politik. Tujuannya untuk kembali merawat harapan, sekaligus sejarah tentang apa yang pernah terjadi di negara ini, agar tak terlupakan begitu saja. Perjalanan mengumpulkan lagu-lagu ini tak mudah. Karena di penjara, para tapol tak diperkenankan untuk menulis apapun. Sesederhananya bahagia, barangkali bahagianya ibu Utati Koesalah kala menemukan potongan kecil pensil dan kertas di yang bisa dipakainya untuk menulis lirik di dalam penjara.

***

Konser peluncuran album Dunia Milik Kita dibuka oleh Frau yang memainkan “Tarian Sari”, lalu bersama Nadya Octaria Hatta memainkan “Salahku, Sahabatku.” Frau kemudian mengundang ibu-ibu Dialita untuk tampil. Mengenakan seragam  kebaya biru-hijau dengan bawahan kain batik ibu-ibu Dialita menempati panggung yang lebih tinggi dari dirigen dan musisi pengiring –yang setara dengan penonton. Panggung malam itu tepat berada dibawah beringin yang ditanam Alm. Soekarno.

Pada lagu pertama, Dialita menyanyikan “Salam Harapan”, lagu yang diciptakan ibu Zubaedah Nungtjik AR. & Murtiningrum di penjara Bukit Duri. Kala itu, lagu “Salam Harapan” dan “Tetap Senyum Menjelang Fajar” biasa dinyanyikan oleh ibu-ibu di depan sel kawan yang sedang berulang tahun dengan membawa sekuntum bunga yang dipetik di halaman penjara, sebagai ucapan selamat.

Dialita kemudian melanjutkan dengan “Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu”. Pada lagu “Ujian” suasana menjadi hening saaat ibu Sri Nasti Rukmawati menyanyikan bagian pertama lagu itu dengan lirih bergetar, “dari balik jeruji besi hatiku diuji, apa aku emas sejati atau imitasi.. tiap kita menempa diri jadi kader teladan, yang tahan air tahan hujan, tahan musim dan badai.” Dingin. Namun nuansanya berubah penuh harapan saat dinyanyikan bersama, “…namun yakin dan pasti masa depan kan datang, kita pasti kembali.”

Pada “Lagu untuk Anakku”, Dialita hanya diiringi dentingan gitar dan pianika. Ada kesepian saat Frau memainkan solo pianika. Lagu ini diciptakan oleh Heryani Busani Wiwoho dan Mayor Djuwito yang gelisah melihat ratusan ribu anak Indonesia yang tiba-tiba harus kehilangan orang tuanya karena dibunuh, dibuang atau dipenjara. Ibu Heryani lantas menuliskan lirik yang menggugah dan penuh rasa cinta kasih, “…Cita dan cinta lahirkan segala nan indah, di hari mendatang sayangku, jadilah putra harapan bangsaku.”

Di jeda antar lagu ibu Uchi beberapa kali menyapa penonton, menyatakan betapa bahagianya ibu-ibu Dialita bisa tampil di Taman Beringin Soekarno dan melangsungkan pertunjukan dengan kerja sama lintas generasi.

Konser ini dibagi dalam 3 sesi. Di jeda antar sesi, musisi pengiring Dialita bergantian mengisi panggung. Kroncongan Agawe Santosa mendapatkan kesempatan lebih dulu, saat ibu-ibu Dialita istirahat. Sambil menikmati keroncong yang syahdu, penonton juga bisa mengambil kudapan yang disajikan Bakudapan – Food Study Group di sisi barat panggung. Panganan macam Lumpia Sintrong juga sayur genjer disediakan Bakudapan. Resep kudapan ini juga disisipkan dalam booklet album Dunia Milik Kita.

Tuntas memainkan 2 lagu, Kroncongan Agawe Santosa mengundang kembali Dialita untuk tampil dan menyanyikan lagu berirama keroncong nan syahdu “Taman Bunga Plantungan.” Lagu ini diciptakan ibu Zubaidah Nungtjik AR. pada 1971 di kamp Plantungan. Kala itu, ibu Nurcahya, ibu Mia Bustam, ibu Rusiyati dan kawan-kawan bertugas membuat taman di kamp Plantungan yang semula merupakan rumah sakit untuk penderita Lepra. Ibu-ibu itu merubah alang-alang menjadi taman cantik dengan memanfaatkan bunga, batu-batu dan rumput dari area di sekitar kamp. Hasil kerja keras ibu-ibu itu yang mendorong ibu Nungtjik menciptakan lagu indah ini.

Pada sesi ketiga, ibu-ibu Dialita diiringi Sisir Tanah (Bagus Dwi Danto) menyanyinyakan lagu-lagu yang bernada lebih riang dibanding sesi sebelumnya. Lagu-lagu yang diciptakan sebelum ’65 lantas tak pernah terdengar lagi pasca ’65, yakni lagu “Padi untuk India” dan “Viva Ganefo.”

Pada tahun 1946, India yang masih dibawah jajahan Inggris mengalami krisis pangan sehingga rakyatnya menderita kelaparan. Sebagai bentuk solidaritas, Indonesia yang baru setahun merdeka mengirim 700 ton beras ke India. A. Alie kemudian merekam peristiwa itu dalam lagu “Padi untuk India.” Sedang “Viva GANEFO”, diciptakan Asmono Martodipoero untuk perayaan GANEFO (Games of New Emerging Forces), ajang olahraga yang diikuti oleh negara-negara Asia, Timur Tengah, Afrika, Eropa dan Amerika selatan. Perhelatan ini dimotori oleh Soekarno sebagai “balasan” atas skors terhadap Indonesia oleh Komite Olimpiade Internasional kala itu.

Dialita menutup konser malam itu dengan memainkan lagu “Persahabatan.” Di akhir pertunjukan tangan kanan ibu-ibu Dialita terkepal di udara. Mereka baru saja menuntaskan pertunjukan diiringi tepuk tangan panjang penonton. Mewakili Dialita, ibu Uchi mengaku bahagia melihat sebagian besar penonton yang datang adalah anak-anak muda –selain kerabat-kerabat dekat Dialita.

Walau kebanyakan sudah berusia lebih dari 50 tahun (ibu Utati Koesalah bahkan berusia 72 tahun), namun semangat ibu-ibu Dialita rasanya masih membara. 3 kali tangan-tangan itu terkepal di udara –saat meneriakkan Merdeka dengan lantang di lagu “Asia Afrika Bersatu” dan di akhir lagu “Viva GANEFO”.

Taman Beringin Soekarno, 1 oktober 2016. 51 tahun setelah tragedi ’65, lagu-lagu yang dibungkam: lagu-lagu yang diciptakan diam-diam dan dituliskan di potongan kertas, di tanah, di tembok penjara bukit duri, di salemba, di kamp pembuangan para tahanan politik; lagu-lagu bisu itu kini telah dinyanyikan kembali dengan lirih dan merdu.

0 komentar:

Posting Komentar