Senin, 10 Oktober 2016

Pulau Buru, Tempat Pembuangan Tahanan Politik G30S


Hasan Kurniawan - Senin, 10 Oktober 2016 - 05:05 WIB

Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru foto:Istimewa/idrommyharper.blogspot.com

PULAU BURU merupakan salah satu gugusan pulau di Kepulauan Maluku. Pulau ini memiliki luas 8.473,2 km persegi dengan panjang garis pantai 427,2 km. Pada masa Orde Baru, pulau itu dikenal sebagai salah satu Gulag-nya Indonesia.

Kata Gulag biasa digunakan untuk merujuk tempat pembuangan para tahanan politik, dan sebagai mekanisme untuk menindas oposisi terhadap rezim Orde Baru. Seperti diungkapkan Carmel Budiarjo, dalam bukunya Bertahan di Gulag Indonesia.

Ide pendirian Pulau Buru sendiri sebagai kamp konsentrasi berasal dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, saat menangani pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926-1927, yang mendirikan Pembuangan Boven Digul di Papua. 

Pulau Buru menempati urutan ketiga gugusan pulau terbesar setelah Pulau Halmahera di Maluku Utara, dan Pulau Seram di Maluku Tengah. Secara umum, Pulau Buru berupa perbukitan dan pegunungan dengan puncak tertinggi mencapai 2.736 m.

Areal kamp konsentrasi para tahanan politik di Pulau Buru adalah tanah cekung berbentuk sekop yang dikelilingi barikade tembok pegunungan yang bersambungan semak belukar. Dengan pertahanan yang kuat itu, pulau ini sangat sulit ditembus.

Menurut Pramoedya Ananta Toer, Pulau Buru sangat tidak layak ditempati oleh manusia. Proses pembangunan di pulau itu akan berjalan sangat lambat. Tanahnya sangat muda dan kurang mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh pembangunan.

"Menurut pendapat saya, sebaiknya Pulau Buru ini dihutankan dan ditinggalkan selama seratus tahun.. Karena pulau ini tidak vulkanis dan terdiri dari savanah, yaitu padang rumput yang diselang-selingi oleh hutan-hutan kecil," terangnya.

Pramoedya merupakan salah satu tahanan politik Orde Baru yang pertama kali dikirim ke Pulau Buru, Agustus 1969, bersama penyair Rivai Apin dan Oey Hai Djoen. Dia juga orang terakhir yang meninggalkan pulau itu, pada 12 November 1979.

Sedikitnya ada 12.000 tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru, sejak 1969, yang didatangkan bertahap sampai tahun 1976. Sebelum diasingkan ke Pulau Buru, mereka terlebih dahulu mendekam dalam berbagai rumah tahanan dan penjara.

Selama dalam penjara, para tahanan politik banyak mendapatkan siksaan fisik dan perilaku tidak manusiawi dari tentara. Akibat penyiksaan itu, tulang pelipis kiri Pramoedya bahkan mengalami retak dan membuatnya jadi tuli seumur hidup.

Menurut catatan Ernst Utrecht, jumlah tahanan politik yang ditahan sebelum dibuang ke Pulau Buru mencapai 250 ribu orang. Mereka ditahan karena dituduh terlibat dalam kudeta militer 1 Oktober 1965 atau Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Para tahanan politik itu dikelompokkan dalam beberapa kategori, yang pertama adalah Grup A. Mereka yang berada dalam kelompok ini dalam pandangan pemerintah terlibat G30S dan bisa diseret ke muka pengadilan. Kedua adalah Grup B.

Kelompok kedua ini dipercaya kuat oleh pemerintah sebagai pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau aktivisnya dan dicap penghianat bangsa. Tetapi terhadap mereka tidak ada tuduhan dan bukti kuat untuk dimajukan ke muka pengadilan.

Mereka yang berada dalam kelompok ini lah yang sangat menderita, karena tidak mempunyai kepastikan akan dibebaskan kapan. Mereka bisa ditahan untuk selamanya tanpa melewati proses peradilan. Pramoedya masuk ke dalam kelompok yang ini.

Selanjutnya Grup C. Tahanan politik yang masuk ke grup ini adalah para pengikut dan simpatisan PKI yang menurut pemerintah bisa dibebaskan. Ada juga Grup X, yang terdiri dari orang-orang yang belum bisa diklasifikasikan ke Grup A, B, dan C.

Selain itu, ada juga Grup F yang definisinya masih belum jelas. Keterangan lebih lanjut tentang penggolongan ini bisa dilihat dalam Amnesti Internasional, Indonesia Special, halaman 7-8. Kloter pertama pembuangan dilakukan pada 1969.

Kapal pertama yang diberangkatkan mengangkut lebih dari 800 tahanan politik, dari berbagai penjara. Kapal itu bertolak dari Pelabuhan Sodong, Nusakambangan, bertepatan dengan ulang tahun Republik Indonesia, pada 17 Agustus 1969.

Pembuangan Pulau Buru dibagi ke dalam 22 unit. Masing-masing unit dihuni oleh 500-1.000 orang, dibangun di atas areal terbuka persawahan dan bukan ladang. Tiap unit terdiri dari 10-20 barak yang dihuni masing-masing oleh 50 orang.

Tiap barak memiliki ukuran 9x30 m dengan dua pintu di depan dan belakang. Kompleks unit dikelilingi oleh kawat berduri dengan dua pintu di depan dan belakang. Masing-masing pintu itu terdapat pos tentara dengan penjaga 30-40 orang.

Masing-masing penjaga dibekali senjata lengkap. Mereka berjaga siang dan malam. Tiap-tiap unit berjarak 1,5-2 kilometer. Para tentara penjaga bersikap sangat kasar terhadap para tahanan politik. Mereka suka memaki dan main fisik.

Setibanya di Pulau Buru, para tahanan politik itu tidak diberikan persediaan obat-obatan dan makanan yang cukup. Mereka juga kerap diperlakukan bagai budak oleh tentara, dipaksa bekerja, dipukuli, ditendang, dan dimaki-maki kata kasar.

Pekerjaaan para tahanan politik meliputi membabat hutan atau alang-alang dengan tangan kosong, mencetak sawah, membuat jalan, membuat bendungan, membangun rumah dan tempat ibadah, menanam, memanen, dan pekerjaan kasar lainnya.

Mereka juga dipaksa untuk melayani tentara sebagai babu, memasak untuk mereka, mencuci pakaian kotor mereka, membersihkan asrama dan menuruti semua perintah mereka. Berani sedikit saja melawan, akibatnya akan sangat fatal bagi para tahanan.

Agar tidak mati kelaparan, para tahanan terpaksa memakan binatang apa saja yang mereka temui, seperti telur burung, tikus, telur kadal, kucing, anjing, dan ular. Selain untuk perut sendiri, para tahanan juga harus menyiapkan makan tentara.

Belum lagi soal pemenuhan hasrat biologis para tahanan. Tidak adanya pemuasan nafsu seksual atau lawan jenis, membuat para tahanan terpaksa menjadi homoseksual. Mereka disebut sebagai "sakit mata," karena melihat pria sebagai perempuan.

Sementara para tentara, memuaskan hasrat birahinya dengan memelihara gundik-gundik. Mereka bahkan tanpa malu meminta para tahanan membuatkan barak khusus untuk gundiknya. Perintah itu pun dilakukan dengan kasar dan disertai pukulan. 

Berdasarkan laporan jurnalis asing yang mengunjungi Pulau Buru, sebanyak 42 tahanan telah meninggal sejak proyek Buru dimulai. Sebanyak 24 dilaporkan karena sebab ilmiah, 14 karena kecelakaan, satu bunuh diri, dan dua karena dibunuh.

Tetapi data berbeda disampaikan jurnalis Indonesia, S Jasa yang mengunjungi Ambon pada Februari 1972. Menurut catatannya, jumlah tahanan yang tewas di Pulau Buru sebanyak 80 orang, 60 di antaranya tewas karena malaria dan kurang gizi.

Meski mengalami siksaan berat, para tahanan Pulau Buru tetap bisa bertahan hidup. Bahkan, tidak sedikit yang berhasil dalam mengembangkan pertanian. Tercatat, hingga akhir 1977, para tahanan Buru telah mencetak 3.435 hektare sawah.

Pembebasan para tahanan Pulau Buru baru terjadi pada Desember 1977, setelah ada desakan dari dunia internasional. Meski telah dibebaskan, para tahanan itu tetap tidak bebas. Gerak gerik mereka terus mendapat pengawasan dari tentara.

Para tahanan yang telah dibebaskan bahkan dilarang pemerintah bekerja menjadi PNS, pegawai perusahaan negara, masuk dinas militer, menjadi wartawan dan mempublikasikan tulisan mereka, dan pada KTP-nya dicantumkan tulisan ET (eks-Tapol).

Khusus Pramoedya, karya-karyanya di Pulau Buru yang terdiri dari empat jilid, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, dilarang beredar oleh pemerintah. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi, semoga bermanfaat.

Sumber Tulisan
*Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Lentera, Jakarta 6 Februari 1995.
*Harsutejo, G30S, Sejarah yang Digelapkan, Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto, Hasta Mitra, Jakarta, Agustus 2003.
*Malcom Caldwell & Ernst Ultrecht, Sejarah Alternatif Indonesia, Penerbit Djaman Baroe, Cetakan I, tahun 2011.
(san)

0 komentar:

Posting Komentar