Kamis, 06 Oktober 2016

Rekonsiliasi Total tanpa Syarat

06 October 2016


September adalah bulan yang penting, dalam sejarah Indonesia. Sebuah awal dari periode paling kelam sejarah Indonesia modern
Saat itu, pada 30 September 1965, sebuah konstelasi politik yang rumit yang melibatkan tiga pendulum besar, Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan tentara—terutama Angkatan Darat (AD)— yang saling beradu membawa perubahan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Narasi sejarah yang dibangun Pemerintahan Jenderal Soeharto—yang masih berlaku sampai saat ini—adalah adanya sebuah upaya kup oleh PKI terhadap pemerintah. PKI pula dituding bertanggungjawa, membunuh enam Jenderal Angkatan Darat dan satu perwira polisi yang dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.

Dalam kemelut ini, militer—atas dalih menyelamatkan negara dan Pancasila— sangat sigap membalasnya. Operasi pembersihan anggota, simpatisan, dan keluarga anggota PKI berlangsung. Korban pembunuhan, menurut Gus Dur mencapai 500.000 jiwa. Sedangkan, menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal mencapai 3.000.000 jiwa. 
Jumlah tersebut belum termasuk dengan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru. Angka-angka yang mendirikan bulu kuduk namun sulit dipastikan jumlah pastinya.

Kematian enam Jenderal AD menjadi lonceng penanda akhir, pemerintahan Soekarno. Wacana publik yang berkembang saat itu, tertuju pada siapa sosok dalang atau aktor intelektual di dalamnya? Di luar hiruk pikuk politik dan kejatuhan Presiden Soekarno. Berubah pula, model pembangunan ekonomi Orde Lama. Orde Baru untuk kali pertama, melahirkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing No.1/ 1967.
Namun, pada tulisan kali ini, bukan membahas siapa dalangnya. Itu bukan hal sulit, melainkan terlalu mudah. Sebab, jika ingin mengetahui siapa dalang dari sebuah peristiwa, maka lihatlah siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut. Sepertinya, kita semua tahu siapa yang sangat diuntungkan dari peristiwa tersebut.

Upaya pengungkapan kasus dan diskursus mengenai pelaku dan korban peristiwa tersebut kembali menyeruak. Layaknya sebuah ritus tahunan yang tak boleh dilewatkan—hampir semua pihak membicarakannya kembali. Bahkan, sebuah majalah nasional menerbitkan edisi khusus tentang G-30-S setiap tahunnya. Setelah itu, diskursus pun kembali redup.

Pada April 2016 lalu, sebuah pertemuan dengan harapan negara mau mengakui kesalahan dan meminta maaf terhadap para penyintas. Namun, pertemuan tersebut menghasilkan keputusan menolak meminta maaf. Bahkan, Goenawan Mohammad (GM) pun dalam catatan pinggirnya dengan tegas menolak pemerintah meminta maaf—terlebih usia Presiden Joko Widodo masih sangat kecil dan tak mengerti apa-apa saat peristiwa itu berlangsung. Mungkin GM lupa bahwa negara itu tetap, sedangkan pemerintahan itu berubah.

Hal tersebut tentu saja sebuah langkah mundur yang dilakukan oleh pemerintah. Sebelumnya, saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, secara pribadi ia meminta maaf terhadap para penyintas. Gus Dur yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) secara tegas menyatakan bahwa saat itu umat islam—termasuk beberapa kalangan NU—sudah terprovokasi dan turut serta menjadi pasukan partikelir yang membunuh simpatisan PKI.

Langkah awal Gus Dur mesti mendapat apresiasi. Meminta maaf merupakan langkah awal dari sebuah proses yang lebih besar untuk para penyintas dan rekonsiliasi sebagai upaya pembentukan kembali nation building. Rekonsiliasi memang tak akan mengubah sejarah dan tak boleh mengubur ingatan kolektif tentang kelamnya sejarah.

Setidaknya, rekonsiliasi menjadi pelajaran sangat penting bagi Indonesia untuk meninggalkan cara-cara pembantaian dan kekerasan dalam menghadapi satu masalah negara. Sayangnya, rekonsiliasi ini masih sulit diwujudkan. Sebab, politik identitas masih menggandrungi sebagian orang Indonesia. Padahal, situasi dan politik kita sudah tidak mencekam seperti 1965. Saat ini, bukan lagi situasi yang mengharuskan, kita vs mereka, revolusi vs kontrarevolusi, beragama vs tidak beragama serta kiri vs kanan.

Hal tersebut justru akan membuat tercerai berainya nation buliding. Tak hanya identitas, adanya ketakutan akan bangkitnya kembali PKI melalui penyintas dan keluarganya menjadi catatan tersendiri. Taufik Ismail pada Oktober 2015, di Kantor PBNU menyatakan, “jika meminta maaf, maka ada kecenderungan bagi penyintas dan keluarganya untuk balas dendam.”

Ketakutan ini mungkin berlebihan. Sebab, seperti yang dikatakan sebelumnya, konteks zaman tidak memungkinkan lagi untuk membangkitkan politik identitas ala purba seperti pada tahun 1965. Jalan rekonsiliasi harus diyakini tak akan menimbulkan perubahan konstelasi politik yang sangat besar. Sebab, generasi saat ini sangat jauh dari hiruk pikuk situasi dan semangat jiwa zaman pada saat polemik tersebut berkecamuk.

Kita mesti belajar dari bangsa lain, rekonsiliasi justru semakin memperkuat persatuan sebuah negara dan bangsa. Nelson Mandela telah mengajarkan itu semua kepada dunia. Dengan rekonsiliasi, Afrika Selatan berani berdamai dengan masa lalu, zonder dendam. Dan bersama-sama membangun sebuah bangsa dan negara yang baru.

Rekonsiliasi total dan tanpa syarat merupakan langkah konkret bagi Indonesia, jika tidak ingin terus terbebani dan menutupi sejarah kelamnya. Dengan demikian, sejarah berguna sebagai penerang bagi generasi mendatang, bukan mewariskan kabut gelap masa lalu.(Virdika Rizky Utama)
 
http://sejarahkita.org/18-blog-feature-headline/308-rekonsiliasi-total-tanpa-syarat

0 komentar:

Posting Komentar