YOGYA (KRjogja.com) - Acara MAP Corner-Klub MKP yang digelar di Lobby MAP UGM, Sekip, Yogyakarta berjalan diluar dari kebiasaan, Selasa (04/10/2016). Mengusung tema Gerakan Satu Oktober 1965 (Gestok) diskusi yang menghadirkan peneliti dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 diikuti tak hanya mahasiswa melainkan puluhan ormas yang mengatasnamakan Elemen Merah Putih (EMP).

Diskusi tersebut sebenarnya banyak membahas kebijakan ekonomi politik pasca tahun 1965 yang ternyata membawa efek jangka panjang yang dirasakan hingga saat ini. Masa peralihan dari Soekarno ke Soeharto termasuk kebijakan ekonomi luar negeri menjadi sorotan tersendiri dalam diskusi tersebut.

"Kita mengalami kemajuan dibanding sebelum tahun 65, tapi ada kebijakan yang lambat laun disadari yakni hutang luar negeri yang semakin menggunung. 
Akibatnya sangat besar kemudian kita mengalami krisis moneter (krismon) dan inflasi sangat parah dari Rp 2500 per Dollar AS menjadi Rp 10 ribu," ungkap Budiawan Dosen Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM yang menjadi pemantik diskusi.

Beberapa kebijakan politik juga dinilai memberangus kebebasan berpendapat seperti pengebirian organisasi wanita dan mandulnya lembaga swadaya masyarakat karena hanya dianggap ruang kaum marjinal saja. "Pasca Gerwani hanya ada Dharma Wanita yang tersentral dan terkesan tak progresif, secara tak langsung terlihat aspirasi kaum perempuan diberangus," imbuhnya.

Diskusi sempat memanas saat sesi pertanyaan dimana perwakilan Ormas menanyakan esensi mengundang peneliti dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65. EMP pun menuntut PKI meminta maaf atas kejadian tahun 1965 yang dinilai kesalahan partai berlambang palu arit tersebut.

Namun, peneliti dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 dengan cukup tenang dengan mengatakan bahwa saat ini partai tersebut sudah tidak ada lagi sehingga tak ada yang bisa meminta maaf. "PKI sudah tidak ada, Aidit juga sudah mati jadi tak ada yang bisa meminta maaf," ungkap Bardi salah satu peneliti. (Fxh)