Sabtu, 01 Oktober 2016

Pembantaian Etnis Tionghoa Kalimantan Barat 1967


Sabtu, 01 Oktober 2016

Vihara Surga Neraka di Singkawang, Kalimantan Barat (Aju)

JAKARTA- Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober masih dirayakan sampai tahun 2016 ini. Penting kiranya juga melihat bagaimana Kesaktian Pancasila itu dilaksanakan di daerah.

Wartawan Sinar Harapan, Aju asal Kalimantan Barat menggambarkan dengan bagus sekali dalam bukunya yang segera akan terbit berjudul “Militer Di Balik Pembantaian Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat 1967”. Tulisan dibawah ini diambil sedikit dari buku itu.
"Saya, J. C. Oevaang Oeray, mantan Gubernur Kalimantan Barat, tokoh masyarakat Dayak, menyatakan perang terhadap PGRS/PARAKU,” demikian garis besar materi pemberitaan dan pengumuman di Radio Republik Indonesia (RRI) Regional Pontianak, di Rubrik Daerah, selama dua pekan, sejak awal September 1967.
Pengumuman dan pemberitaan di RRI Regional Pontianak, berasal dari Komando Daerah Militer (Kodam) XII/Tanjungpura selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Peperalda). Peperalda Kalimantan Barat dijabat Pangdam XII/Tanjungpura berkedudukan di Pontianak. Pangdam XII/Tanjungpura ketika itu dijabat  Brigjen TNI Antonius Josep Witono Sarsanto yang sebelumnya sebagai Kasdam Jaya di Jakarta. PGRS singkatan dari Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak. PARAKU singkatan dari Pasukan Rakyat Kalimantan Utara.

Tanggal 21 September 1967, pukul 21.00 WIB, pemberitaan yang dilanjutkan dengan pengumuman di RRI Regioal Pontianak, kebetulan didengar Laurentius Herman Kadir, mahasiswa semester akhir Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Pontianak Angkatan Pertama.

Laurentius Herman Kadir,  lahir di Tisi Temeru, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, 28 Mei 1941, lulus APDN Pontianak Angkatan Pertama. Jabatan terakhir L. H. Kadir,  Wakil Gubernur Kalimantan Barat, 2003 – 2008.

Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray lahir di Tanjung Kuda, pehuluan Sungai Mendalam, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, 18 Agustus 1922 dan meninggal dunia di Pontianak, 17 Juli 1986 dalam usia 63 tahun. Johanes Chrisostomus Oevaang Oevang, anggota Konstituante, salah satu dari 7 gubernur pendukung Presiden Soekarno atau Soekarnois yang diberhentikan setelah kepemimpinan nasional beralih dari Presiden Soekarno kepada Presiden Soeharto terhitung 1 Juli 1966. 

Johanes Chisostomus Oevaang Oeray diberhentikan sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Basuki Rachmat, Nomor UP 12/2/43-912 tanggal 12 Juli 1966. 

Pemberhentian J. C. Oevaang lebih cepat dua bulan 10 hari sebelum habis masa jabatannya, karena  keputusan pemberhentian dengan hormat dari Presiden Soeharto Soeharto, baru turun tanggal 22 September 1966, dengan Nomor 207 Tahun 1966.

Datangi J. C. Oevaang Oeray

Merasa penasaran, L.H. Kadir mendatangi kediaman J.C. Oevaang Oeray di Jalan Sidas, Nomor 5, Pontianak Selatan, tanggal 22 September 1967 pagi.  

“Pak Oevaang, kenapa menyatakan perang terhadap PGRS/PARAKU di RRI, sementara kami selaku generasi muda tidak diminta pendapat? Ini sangat bahaya, karena merangsang gerakan spontanitas masyarakat Suku Dayak di pedalaman dan perbatasan!” protes L.H. Kadir. 

Johanes  Chrisostomus Oevaang Oeray kaget dan bingung. Dalam suasana kebingungan, tiba-tiba datang tamu dua orang perwira menengah Kodam XII/Tanjungpura berseragam lengkap yang tidak dikenal.    Karena menyadari materi pembicaraan sangat penting dan sensitif, L. H. Kadir memutuskan pulang.   

Beberapa jam kemudian, J. C. Oevaang Oeray memanggil L.H. Kadir seorang diri ke kediamannya di Jalan Sidas Nomor 5, Pontianak.  

Di hadapan L. H. Kadir, ternyata, J.C. Oevaang Oeray, baru mengakui, pengumuman di RRI Regional Pontianak sepenuhnya atas inisiatif Kodam XII/Tanjungpura selaku Peperalda, tanpa seizin dirinya. Utusan Kodam XII/Tanjungpura mengaku sebagai sumber pemberitaan yang menyatakan perang terhadap PGRS/Paraku di RRI Regional Pontianak, seakan-akan betul berasal dari J.C. Oevaang Oeray. 

Diakui utusan Kodam XII/Tanjungpura, ujar L.H. Kadir, mengutip keterangan J. C. Oevaang Oeray, sebelum pengumuman di RRI Regional Pontianak, memang sudah ada letupan kerusuhan berskala kecil di sejumlah daerah, untuk mengusir Etnis Cina.  Akibatnya pengumuman dari Peperalda yang mencatut nama J. C. Oevaang Oeray, dianggap sebagai legitimasi terhadap letupan kerusuhan rasial kecil sebelumnya.

Sulit diterima akal sehat dalam kondisi sekarang, hanya berbekalkan materi pemberitaan dan pengumuman Peperalda Kalimantan Barat di RRI Regional Pontianak, implikasinya mampu membangkit gerakan spontanitas masyarakat Suku Dayak di pedalaman dan perbatasan. 

Ketika itu, RRI menjadi satu-satunya sarana hiburan dan sumber informasi bagi masyarakat pedalaman dan perbatasan. memang ada instruksi dari aparat keamanan agar warga Suku Dayak dalam jam-jam tertentu, wajib mendengarkan pengumuman dan atau berita yang disiarkan stasiun RRI Regional Pontianak. Tiap kampung dibagikan radio gratis dari Pemerintah. 

Aksi Mangkok Merah

Melalui pemberitaan dan atau pengumuman di RRI Regional Pontianak, membuat rangkaian pembunuhan sejumlah warga Dayak sebelumnya diklaim dilakukan oknum PGRS/PARAKU yang identik dengan Etnis Cina, begitu mudah menyebar di kalangan masyarakat di pedalaman dan perbatasan. Itu dilakukan Kodam XII/Tanjungpura, karena pemerintah mengaku sudah kewalahan menghadapi pergerakan separatis PGRS/PARAKU di pedalaman dan perbatasan. 

Penumpasan pemberontakan PGRS/PARAKU sangat sulit dilakukan, jika Etnis Cina masih dibiarkan menyatu dengan warga Dayak di pedalaman dan perbatasan. Berbagai operasi militer, selalu gagal di tengah jalan, karena sudah keburu bocor.  

Suplai logistik milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) sering dihadang di tengah jalan, karena menggunakan fasilitas kendaraan darat dan air milik sejumlah oknum Etnis Cina. 

Parahnya lagi, sebagian besar pentolan PGRS/PARAKU warga Indonesia yang menolak menyerahkan diri, sebagian besar berasal dari Etnis Cina yang selalu berkolaborasi dalam banyak hal dengan rekan-rekannya sesama etnis dari Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia.

Keberadaan Etnis Cina di pedalaman dan perbatasan yang berfungsi sebagi pemasok sembilan bahan pokok, karena kapasitasnya sebagai pedagang, menjadi andalan bagi separatis PGRS/PARAKU. Gerombolan PGRS/PARAKU dapat dengan mudah membeli berbagai kebutuhan sembilan bahan pokok dari pedagang Etnis Cina di pedalaman dan perbatasan. 

Kodam Minta Maaf  Evakuasi paksa seluruh Etnis Cina dari pedalaman dan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat, dengan jalan pintas ala TNI, bertujuan memutus mata rantai suplai logistik bagi PGRS/PARAKU. 

Laurentius Herman Kadir, mantan Wakil Gubernur Kalimantan Barat 2003-2008, saksi sejarah pencatutan nama J. C. Oevaang Oeray di RRI regional Pontianak yang memicu kerusuhan tahun 1967. 
“Pihak Kodam XII/Tanjungpura memohon maaf, karena mencatut nama saya dalam pemberitaan di RRI Regional Pontianak. Akibatnya terjadi aksi demonstrasi serentak tidak terkendali,” kata J.C. Oevaang Oeray sebagaimana ditirukan L.H. Kadir.  
“Kodam XII/Tanjungpura kemudian meminta bantuan saya untuk ikut aktif meredam aksi demonstrasi yang disertai insiden pengusiran dan pembunuhan keji terhadap warga Cina di pedalaman dan perbatasan,” J.C. Oevaang Oeray
“Karena implikasi kerusuhan sudah sangat parah, membahayakan stabilitas politik dan keamanan daerah, Kodam XII/Tanjungpura meminta bantuan saya untuk ikut aktif meredam aksi demonstrasi yang disertai insiden pengusiran dan pembunuhan keji terhadap warga Cina di pedalaman dan perbatasan.”
“Rupanya Mangkok Merah sudah beredar. Demi kewibawaan Pemerintah, kita mesti bergerak cepat membantu menghentikan aksi Mangkok merah. Tidak ada pilihan lain,” ujar L.H. Kadir mengutip penegasan J.C. Oevaang Oeray. J. C. Ovaang Oeray, menurut L.H. Kadir, mendapat pengakuan utusan Kodam XII/Tanjungpura, pengumuman dan pemberitaan di RRI Regional Pontianak, memang sudah berkalikali disiarkan sebelum tanggal 21 September 1967.
Ketika itu, operasi penumpasan PGRS/PARAKU masuk Operasi Sapu Bersih II ditandatangani Pangdam XII/Tanjungpura Brigjen TNI Antonius Josef Witono Sarsanto, Agustus 1967 – Februari 1969. Utusan Kodam XII/Tanjungpura, sangat yakin gerakan massa tidak akan tembus Pontianak, apabila J. C. Oevaang Oeray turun tangan melerai.

Apabila Pontianak sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Barat diserbu massa rusuh warga Dayak, aksi kerusuhan menjadi sangat sulit dihentikan yang mengakibatkan kewibawaan pemerintah akan jatuh. 
  
Tak Mampu Bendung

Kodam XII/Tanjungpura, menurut J. C. Oevaang Oeray sebagaimana dikutip L.H. Kadir, mengakui sudah tidak mampu lagi membendung aksi brutal masyarakat Suku Dayak di pedalaman dan perbatasan, setelah ditabuh gendang perang melalui kekuatan supranatural memanggil kekuatan roh leluhur lewat media Mangkok Merah.  

Maksud pengumuman di RRI Regional Pontianak yang sedianya hanya bertujuan menggiring paksa masyarakat Cina supaya segera pindah dari pedalaman dan perbatasan, ternyata berubah drastis menjadi ajang pembantaian keji tidak berperikemanusiaan. 

C. Oevaang Oeray menurut L.H. Kadir, mengakui, sebelumnya tidak pernah didatangi perwira Kodam XII/Tanjungpura, terkait situasi di lapangan dan terutama setelah insiden pembunuhan sejumlah tokoh Dayak di wilayah Kabupaten Bengkayang yang diklaim pihak TNI dilakukan PGRS/PARAKU.

Ketika itu kondisi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur memang relatif terbatas. Tidak tersedia jaringan telepon seluler seperti sekarang. Di sektor timur Kalimantan Barat, jalan darat beraspal dari Pontianak, baru sampai ke Kabupaten Sanggau.    Untuk menjangkau wilayah pehuluan sektor timur, yakni di Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Kapuas Hulu, semata-mata mengandalkan transportasi sungai, memudiki Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, sekitar enam hingga tujuh hari. 

Sedangkan ke sektor timur lainnya, yakni Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara, hanya bisa dijangkau dengan transportasi laut, menelusuri sejumlah selat kecil di dekat muara Sungai Kapuas di Pontianak, lalu melintas wilayah Kabupaten Kubu Raya di Batu Ampar, dan baru merangsek masuk wilayah perairan Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara. 

Infrastruktur transportasi darat di sektor barat, yakni Kabupaten Mempawah, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang, Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Sambas, baru sebatas rute Pontianak – Singkawang. Dari Singkawang menuju Bengkayang dan Sambas, badan jalan sudah dibuka, tapi belum semuanya diaspal.  

C. Oevaang Oeray hanya berhubungan dengan Pangdam XII/Tanjungpura Brigjen TNI Antonius Josef Witono Sarsanto, setiap kali ada kendala teknis pelaksanaan operasi penumpasan PGRS/PARAKU di pedalaman dan perbatasan yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat Dayak.

Dalam kondisi fasilitas infrastruktur darat masih sangat terbatas, rusuh massa sudah terlanjur meledak di Kabupaten Sambas (sekarang mencakup Kabupaten Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang), Kabupaten Pontianak (sekarangi Kabupaten Mempawah, Kabupaten Landak dan Kabupaten Kubu Raya), serta sebagian lagi di Kabupaten Sanggau (sekarang Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau).

Di Kabupaten Landak (dulu Kabupaten Pontianak) aksi rusuh massa di antaranya terjadi di Serimbu, Ngabang, Meranti, Senakin, Pahauman, Darit, Tunang, Mandor, Menjalin, Karangan.

Di Meranti, Ibukota Kecamatan Meranti, Kabupaten Landak, sebanyak 350 orang Etnis Cina pengungsi, laki-laki perempuan, tua muda, dimasukkan ke dalam satu rumah, kemudian dikunci dari luar. Dalam keadaan terkunci, rumah disiram bensin dan dibakar sehingga semua pengungsi tewas terpanggang api. 

Aksi rusuh massa didahului dengan tanda-tanda alam yang tidak lazim. Di antaranya tiba-tiba angin ribut kencang disertai bunyi halilintar menggelegar bersahut-sahutan. Saat bersamaan terdengar suara teriakan histeris sangat nyaring yang dikenal dengan sebutan Tariu. Tariu mampu membangkitkan gerakan solidaritas dan spontanitas massa.

Khusus aksi rusuh massa di Senakin, Kabupaten Landak, menurut L.H. Kadir, sedianya warga Suku Dayak hanya meminta pengertian supaya warga Cina segera meninggalkan tempat. (Web Warouw)

0 komentar:

Posting Komentar