Rabu, 05 Oktober 2016

‘Mencari Identitas, Memetik I.N.D.O.N.E.S.I.A’


Leila S. Chudori - October 5, 2016



Esai ini merupakan bagian dari serangkaian ditugaskan oleh Pusat Australia-Indonesia, termasuk penulis terkemuka dan komentator dari Indonesia dan Australia masing-masing, yang memeriksa secara dekat masyarakat mereka sendiri, budaya dan situasi politik.

Tanggal 21 Mei 1998.

Hari itu adalah hari ketiga saya bangun pagi hendak mempersiapkan diri kembali ke gedung DPR. Seperti kawan-kawan lainnya, itu adalah hari-hari yang menegangkan sekaligus mengasyikkan karena gedung parlemen diduduki ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru   Indonesia. Kami yang “lebih senior” ikut meriung, menemani, mendengarkan pidato para tokoh, dan dari belakang ikut mendorong mahasiswa untuk menuntut mundurnya Soeharto sebagai Presiden.

Malam sebelumnya sudah terdengar berbagai desas-desus kemungkinan besar Soeharto akhirnya mundur. Tiba-tiba pemandangan di televisi pagi itu menghentikan kegiatan saya bersiap-siap. Sebuah siaran langsung. Presiden Soeharto didampingi puteri sulungnya akhirnya mengumumkan bahwa ia mengundurkan diri. Saya sungguh tak percaya.  Saat itu juga saya menelepon banyak kawan dan berjanji bertemu di gedung DPR yang saat itu hampir seperti sebuah festival besar.

Bagi  siapa saja yang lahir dan dibesarkan selama Orde Baru, ini tanggal yang penting. Sudah lama saya menyimpulkan dengan putus asa bahwa saya hanya akan mengalami satu presiden selama hidup saya, karena Soeharto nampak tak tergoyahkan selama lebih dari 30 tahun.

Bagi saya, saat itu, tahun 1998 menjadi sebuah kelahiran kembali. Peristiwa ini bukan saja menjadi bagian yang sangat penting sebagai penutup novel Pulang, tapi bagi saya kejatuhan Soeharto adalah sebuah momen untuk mendefinisikan ulang: Seperti apakah Indonesia yang kita inginkan?

****

17 AGUSTUS 1945 sebetulnya menyelipkan setitik humor. Ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada hari itu, negara kita berjalan tanpa Undang-undang Dasar selama sehari. Itu memang sebuah fakta sejarah, karena keputusan memproklamasikan kemerdekaan dilakukan dengan cepat untuk merebut sebuah momen setelah kekalahan Jepang.
Namun,  hukum dasar bagi Republik Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai UUD’45, sebetulnya sudah dipersiapkan oleh para bapak bangsa (Founding Fathers) beberapa bulan sebelumnya.  Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan Pancasila sebagai dasar negara sehari setelah proklamasi yaitu: 18 Agustus 1945. Tapi fakta yang paling penting adalah debat untuk membentuk dasar negara itu melibatkan semua perwakilan dari seluruh etnis, agama dan kelompok di Indonesia.

Adapun perdebatan terakhir dalam sejarah pembentukan negeri ini hingga menit-menit menjelang pengumuman apa yang dikenal sebagai  debat “tujuh kata”.  Sila pertama Pancasila yang kini lebih dikenal dengan “Ketuhanan yang maha Esa” sebetulnya memiliki sambungan anak kalimat:”….dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” 

Tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” inilah yang terus menerus menjadi perdebatan apakah perlu dimasukkan atau dipotong saja. Para pemimpin Islam merasa itu perlu dimasukkan, sedangkan pemimpin Kristen menganggap tujuh kata itu harus diedit. Pada akhirnya setelah terjadi lobi dan persuasi yang sengit, Mohammad Hatta yang berhasil meyakinkan bahwa tujuh kata itu harus dibuang karena ini adalah Indonesia yang kita inginkan, yang inklusif dan menghargai perbedaan.

Ini fakta sejarah penting yang menurut saya harus selalu diingat kami, yang menikmati dan mengisi kemerdekaan saat ini.

Pada tahun 1998, saya kira, kita tak (sempat) memikirkan sesuatu yang filosofis tentang Indonesia. Gerakan masyarakat dan elite Indonesia lebih pragmatis untuk melakukan upaya koreksi. Ini hal yang wajar dan lazim terjadi: Orde Baru merasa ingin “mengoreksi” Orde Lama. Sedangkan Orde lama juga ingin mengoreksi Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1998, agaknya yang pertama-tama penting dikoreksi—saat itu—adalah menghidupkan fungsi semua pilar demokrasi yang sempat dibekukan, jika tidak dibunuh, oleh pemerintah Orde Baru sejak Soeharto menjabat sebagai Presiden.
“Sebagai seorang wartawan, peristiwa penting bagi saya …adalah pembubaran Departemen Penerangan yang diprakarsai oleh Presiden Abdurahman Wahid….”
Maka tak heran, setelah Habibie dikukuhkan sebagai Presiden dengan begitu mendadak, segala gerakan terjadi  begitu saja di antara euphoria menjemput “Indonesia yang baru”. Upaya memberi daya kepada lembaga legislatif dan yudikatif sekaligus membebaskan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Selama beberapa kali pergantian Presiden, ratusan undang-undang diubah dan dikoreksi,antara lain: termasuk pembatasan masa kepresidenan, otonomi daerah, UU Pers.

Sebagai seorang wartawan, peristiwa penting bagi saya selain mendirikan majalah Tempo kembali –setelah dibredel rezim Soeharto tahun 1994—adalah pembubaran Departemen Penerangan yang diprakarsai oleh Presiden Abdurahman Wahid. Buat saya ini peristiwa penting, karena pada titik ini secara formal diakui bahwa jika kita ingin pers yang bebas tanpa intervensi siapapun, maka kita tak perlu membutuhkan sebuah lembaga pemerintah yang menaunginya. Dengan dibubarkannya Departemen Penerangan, artinya kita tak lagi perlu meminta izin penerbitan sebuah media cetak dan dengan sendirinya pemerintah tak memiliki hak untuk memberangus sebuah media.

Titik penting lain adalah berdirinya lembaga anti korupsi bernama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 2002 di masa pemerintahan Megawati Sukarnoputri. Meski dari tahun ke tahun fungsi KPK hampir selalu mengalami penyunatan dan secara rutin digempur oleh lembaga lain –terutama oleh kepolisian— KPK masih menjadi harapan bagi masyarakat menjadi alat peperangan melawan korupsi di Indonesia.

Sebagai seorang pelaku sastra: penulis dan pembaca, perubahan menggembirakan lain sejak reformasi adalah bebasnya peredaran buku-buku yang semula diharamkan oleh Kejaksaaan Agung. Pertama, dengan segera pada tahun yang sama semua buku-buku yang masuk dalam daftar larangan oleh Kejaksaan Agung, semua karya Pramoedya Ananta Toer dan berbagai buku lain yang dianggap buku “kiri” dipajang di berbagai toko buku besar maupun kecil.

Para bekas tahanan politik mulai menulis memoar di antaranya: Soebandrio dan Omar Dhani yang kemudian menjadi laporan utama majalah Tempo. Berbagai karya fiksi dari mereka yang pernah dipenjara tanpa pengadilan bermunculan. Pameran lukisan dari seniman Lekra digelar. Majalah Tempo sendiri akhirnya mulai rutin menyelenggarakan edisi khusus 30 September sejak tahun 2005.

Sementara  sejak tahun 2006, ketika saya mulai melakukan riset untuk menulis novel “Pulang” , bertemu dengan para eksil politik Indonesia di Paris dan para tapol di Jakarta, perlahan-lahan terjadi kesadaran sejarah tentang peristiwa 1965 yang jauh lebih dalam lagi dibanding saat saya menempuh pendidikan di Kanada. 
 Sebagai bagian dari generasi yang lahir di tahun 1960-an, dan juga generasi berikutnya, kami belajar sejarah resmi tragedi 30 September 1965 sesuai buku putih ciptaan pemerintah di mana Soeharto adalah penyelamat bangsa dan Partai Komunis Indonesia adalah penjahat yang harus diburu, dihantam dan dibunuh.
Sejarah 30 September ini diwujudkan melalui Museum Pengkhianatan G 30 S /PKI di Lubang Buaya dan film propaganda berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (Arifin C.Noer, 1984) yang diproduksi pemerintah.
“…film dokumenter Joshua Oppenheimer, The Act of Killing, … menggebrak dan mengganggu.”
Saya setuju dengan pernyataan sejarahwan John Roosa dalam wawancara dengan Left Book Review, “Identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa.” Untuk waktu yang lama, menurut Roosa, kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.

Saya mulai menyadari bahwa kami tumbuh sebagai generasi ahistoris; generasi yang mengenal (sejarah) Indonesia berdasaran konstruksi pemerintah.  Itu sudah mulai saya sadari perlahan-lahan ketika saya menempuh pendidikan selama enam tahun di Kanada. Saya bebas menyaksikan film atau membaca literature yang lazimnya dilarang beredar di Indonesia, termasuk Cornel Paper yang ditulis Ben Anderson dan Ruth McVey (dua peneliti yang saya kenal dari Ayah saya), serta menghadiri berbagai ceramah dan diskusi dari tokoh terkemuka yang saat itu sulit masuk ke Indonesia.

Tetapi kesadaran betapa ahistorisnya kami semakin terasa tajam ketika terjadi reformasi 1998. Dengan bebasnya distribusi buku-buku dan pers, dan kelak meledaknya revolusi internet dan sosial media, gugatan terhadap sejarah resmi semakin gencar. Banyak pertanyaan yang terlontar: sampai kapan pelajaran di sekolah Indonesia tetap mempertahankan sejarah versi Orde Baru ini?
Saya mulai bertanya-tanya apakah kita akan menjadi bangsa yang berpretensi bahwa pembunuhan masal itu tak pernah ada? Siapakah kita sesungguhnya? Betulkah orang Indonesia adalah orang yang mudah membunuh begitu saja? Berapa lama masyarakat Indonesia selalu harus bertanya-tanya apa yang sebetulnya terjadi pasca 30 September yang telah mengorbankan paling tidak 500 ribu orang Indonesia yang dituduh komunis dan ratusan ribu orang yang dipenjara tanpa pengadilan?

Itulah sebabnya tahun 1998 bagi saya pribadi menjadi titik penting karena saya menganggap inilah tahun untuk menemukan diri kami; membuat sebuah definisi ulang tentang idetitas kami; mencari tahu tentang masa lalu negeri ini untuk kemudian kami putuskan apa yang ingin kami lakukan agar peristiwa brutal seperti pembunuhan masal itu tak terulang lagi. Jika sejak tahun 1998 terdengar suara mereka secara bergiliran direkam kembali secara lirih atau lantang melalui berbagai karya fiksi, teater, tari, film atau jurnalistik, menurut saya adalah sesuatu yang wajar.

Bahwa pada tahun 2012 kemudian film dokumenter Joshua Oppenheimer Act of Killing meledak di seluruh dunia semakin membuat saya gelisah. Film itu menggebrak dan mengganggu. Saya rasa Oppeheimer secara sadar membuat dengan teknik brutal seperti itu untuk memperlihatkan apa yang disebut oleh penulis Zen R.S sebagai “grotesk dari ke-Indonesia-an”.
Bagi saya, betapapun film ini telah meletakkan Indonesia pada peta sinema dunia, saya tak nyaman mengingat betapa (sebagian) orang Indonesia dalam film itu dipotret sebagai orang-orang haus darah.
Bagi mereka yang sama sekali tak memahami konteks, orang Indonesia hanya seperti freaks yang menjijikkan. Bagi saya, yang lebih penting lagi, Indonesia berhutang untuk menjenguk dan membuka kembali masa lalu yang sudah begitu lama dikonstruksikan oleh pemerintah Soeharto.

Majalah Tempo, tempat saya bekerja, yang kebetulan menyaksikan film ini jauh sebelum dunia sempat heboh tentang film tersebut, memutuskan membuat edisi khusus yang terinspirasi dari karya Oppenheimmer, yakni mewawancarai para pelaku penjagalan terhadap anggota PKI atau mereka yang dianggap mendukung PKI sepanjang tahun 1965-1966 di Jawa dan Bali. Edisi khusus yang kemudian kami terbitkan juga sebagai buku ini menjadi salah satu terbitan kami yang masih laku keras hingga kini. Di tahun yang sama pula, secara kebetulan, novel Laksmi Pamuntjak dan novel saya yang sama-sama berlatarbelakang 1965 terbit.
 “…Indonesia di ambang tandatanya besar: siapakah Indonesia kini?”
Ketika tragedi September mencapai usianya yang ke 50 tahun 2015, secara kebetulan pula Indonesia terpilih sebagai Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair.

Pada tahun itulah berbagai peringatan dalam bentuk simposium, seminar, pertunjukan, diskusi buku, film, pameran yang berkaitan tentang 1965 sepanjang tahun yang diselenggarakan di Australia, Belanda, Jerman dan AS dan juga di Jerman pada saat berlangsungnya Frankfurt Book Fair.
Saya kira, pada tahun inilah pemerintah Indonesia, terutama pihak militer dan garis kanan konservatif merasa tak nyaman dengan nyaringnya suara yang dianggap sebagai sebuah sejarah alternatif.

Pada saat inilah, seingat saya, larangan atau paling tidak keributan mulai terjadi saat Ubud Writers and Readers Festival pada tahun yang sama bekerja sama dengan Herb Feith Foundation menyelenggarakan satu segmen tentang diskusi buku-buku baru bertema 1965.

Festival itu diganggu dan diintimidasi dan para penyelenggara akhirnya memutuskan untuk meniadakan segmen diskusi tema tersebut. Setelah itu, hampir setiap acara diskusi, pemutaran film, peluncuran buku yang bertema 1965 di berbagai kota di Indonesia akan diintimidasi, dipaksa untuk dibatalkan atau minimal didemonstrasi. Tak semua penyelenggara menyerah.
Ada yang yang tetap menyelenggarakan acara itu dengan berpindah ke lokasi yang lebih kecil. Ada yang tetap menyelenggarakan setelah meminta bantuan pejabat yang lebih tinggi untuk meyakinkan polisi.  Lebih dari 10 acara pada tahun 2015 yang mengalami intimidasi bertema 1965, dua di antaranya bertema LGBT.

Sikap defensif pemerintah Indonesia semakin meningkat ketika International People Tribunal 65 menggelar pengadilan rakyat pada bulan November 2015 di Den Haag, Belanda yang segera saja ditangkis oleh pemerintah Indonesia yang menganggap bahwa hasil dari pengadilan rakyat itu tak memiliki ikatan hukum.

Pada bulan April tahun ini, Indonesia kembali diajak untuk menjenguk tahun kelam 1965 melalui Simposium Nasional 1965 yang untuk kali pertama mempertemukan para korban 1965 dengan pemerintah dan militer. Inilah kali pertama public secara luas mendengar dan menyaksikan kesaksian para korban secara terbuka. Tapi jelas sekali terlihat sikap pemerintah yang masih gamang dan defensif.

Simposium ini bukan saja berekor dengan perdebatan panas, bahkan terjadi kegaduhan pihak militer veteran yang serta merta menyelenggarakan “simposium tandingan”.
Tak lama setelah riuh rendah itu, disusul pula dengan “sweeping” buku-buku bertema 1965 atau bertema Marxisme. Sweeping tersebut dilakukan oleh pihak militer yang mendatangi toko-toko buku dan mengambil buku-buku tersebut dengan alasan “akan mempelajari”. Bukan saja apa yang mereka lakukan melanggar undang-undang, tetapi tindakan ini sungguh aneh karena jika mereka memang “ingin mempelajari”, mereka bisa membelinya saja.

Ditambah dengan semakin suburnya sikap militan – anti minoritas seperti Syiakh dan Ahmadiyah, anti Tionghoa, anti LGBT—yang semakin lama mengaburkan citra Indonesia yang selama ini dianggap sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim yang “moderat”, lengkaplah sudah kini Indonesia di ambang tandatanya besar: siapakah Indonesia kini.

Bahwa Presiden Joko Widodo memilih Jendral Wiranto  sebagai Menko Polhukan dalam reshuffle  cabinet bulan Juli lalu, mempertebal kecemasan saya bahwa pemerintah ini sama sekali tidak menangani persoalan Hak Asasi Manusia dengan serius. Sudah jelas rekam jejak (track record ) Wiranto yang buruk saat jajak pendapat di Timor  Timur tahun 1999 tidak dijadikan pertimbangan.

Saya semakin cemas dan tak nyaman dengan perkembangan yang terjadi selama 20 tahun terakhir. Di satu pihak, upaya membangun dan memberdayakan pilar demokrasi masih terus menerus dijaga, di pihak lain, perlahan-lahan di dalam masyarakat dan negara terjadi semacam bangunan polisi moral yang mencemaskan dan mengancam kehidupan pluralism.

Saya cemas dengan semakin lemahnya daya tawar kelas menengah berpendidikan yang sekuler dan liberal karena merekalah yang selalu dituduh sebagai kaum neolib dan pro-Barat dan yang saat ini nampaknya menjadi musuh besar kaum konservatif.

Kelihatannya keinginan menggali identitas Indonesia setelah 1998 –rule of law, hak asasi manusia, kesetaraan gender, toleransi beragama – kembali goyah. Kata “komunisme” seolah akan kembali menentukan “si jahat” dan si baik”; ditambah lagi terminologi LGBT dan segala kepercayaan di luar Islam mulaidijadikan sasaran serangan politis.

Saya teringat kepada pelajaran sejarah tentang dibangunnya negeri ini pada tanggal 18 Agustus, bagaimana ketujuh kata itu dengan susah payah dieliminasi para Founding Fathers justru karena mereka menginginkan Indonesia yang plural, yang menerima semua perbedaan agama, kepercayaan dan suku bangsa. Dan itulah yang agaknya kita abaikan pada tahun 1998: membuat kesepakatan dan mendefinisikan Indonesia kembali.

Leila S. Chudori is a novelist and journalist at Tempo magazine. She is also the author of 9 dari Nadira, Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. In December 2013, Pulang (Home) received Indonesia’s preeminent prize for literature, the Khatulistiwa Literary Award for a work of outstanding literature. Home examines the tragedy of political exiles during Suharto’s regime (1965-1998) forced out of Indonesia after the 1965 massacres. It has been translated into English, French, German and Italian.

0 komentar:

Posting Komentar