Rabu, 23 Mei 2018

Agama adalah Candunya Orang-orang

Francesco Hugo

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

PERNAH dengar kutipan di atas? Kutipan terkenal itu diambil dari pembukaan salah satu paragraf dalam artikel Karl Marx yang berjudul A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Rights (1843). Kalimat ini sering ditemui di beberapa literatur dari yang kekiri-an hingga yang kekanan-an. Seakan menjadi quotesidentik dan selalu tersemat apabila mengingat nama Marx. Namun apa betul beliau menyatakan demikian? Soal intensi atau perasaan pribadi beliau, saya cuma bisa bilang wallahu a’lam bish-shawab. Pada kenyataannya memang tertulis demikian. Lantas apa dengan begitu kita ikut mengiyakan bahwa agama adalah candu bagi orang-orang? Karena kontroversial bukan kepalang pernyataan tersebut, apalagi di sini, di Indonesia. Di sinilah letak persoalan obrolan kita, soal kutip mengutip. Sebelum kita menjawab pertanyaan tadi, mari ngobrol sedikit soal kutipan atau biasa disebut quotes.
Kutipan menurut KBBI ialah pengambilalihan suatu kalimat atau lebih dari karya tulisan lain untuk tujuan ilustrasi atau memperkokoh argument dalam tulisan sendiri. Kutipan atau quotes sering hadir di keseharian kita. Kutipan yang saya bahas kali bukanlah kutipan yang muncul di karya ilmiah, tapi yang sehari-hari muncul di halaman pertama buku, di status facebooktwitter, meja kantor rekan Anda hingga celetukan-celetukan teman di tempat nongkrong. Sumbernya beragam, ada yang dari peribahasa, pepatah, kitab suci, dari novel, dari lirik lagu hingga kata-kata bijak seseorang. Beberapa membuat hati kita menjadi bahagia, beberapa juga membikin gegana (gelisah, galau, merana), lho kenapa? Kok bisa ya?
Pertama, karena terkadang tidak semua kutipan relevan dengan realita dunia. Misalnya kalau Anda pernah mendengar quotes “Cintai apa yang kamu kerjakan dan kerjakan apa yang kamu cintai. Jangan dengarkan orang lain yang mengatakan kepadamu untuk tak melakukannya. Kau lakukan apa yang kau mau, yang kau suka. Imajinasi harus menjadi pusat dari hidupmu.” Kalimat ini digagas oleh seorang novelis Amerika Serikat bernama Ray Bradbury. Di satu sisi dan di dalam kondisi tertentu, kata-kata ini sungguh menyegarkan hati. Seakan kita mampu melakukan apa saja yang ingin kita lakukan. Nyatanya setiap pilihan keputusan dalam hidup kita tak terlepas dari pengaruh kebudayaan dan relasi-relasi sosial. Kita secara sadar tak sadar dikondisikan oleh kebiasaan hidup di dalam kebudayaan kita masing-masing. Dari cara berjabat tangan, cara makan, memilih jurusan kuliah, memilih pekerjaan hingga memilih pasangan hidup. Memang betul kita memiliki kebebasan, tapi tidak betul-betul bebas, kita pasti selalu terikat akan budaya atau relasi kita dengan orang lain. Coba pikirkan bagaimana Anda tidak mungkin minum es kelapa muda hanya dengan berimajinasi atau dengan mudahnya mengambil segelas dari pedagangnya tanpa membayar. Bayangkan kandasnya cinta hanya karena dia yang Anda kasihi mengucap syukur dan memohon kepada-Nya dengan cara yang berbeda. Mau tidak mau, suka tidak suka Anda yang lahir di bumi harus mengikuti cara hidup beserta aturan-aturan main di bumi. Jadi seperti itulah adanya, quotes bersifat relatif, relevan pada suatu kondisi tertentu dan belum tentu relevan di dalam kondisi yang lainnya.
Belum lagi kalimat “Cintai apa yang kamu kerjakan dan kerjakan apa yang kamu cintai.” Kalimat ini mungkin hanya relevan bagi mereka yang benar-benar mencintai apa yang mereka kerjakan. Lantas bagaimana dengan mereka yang berdiri delapan jam bermandikan keringat dan belum tentu bisa menabung? Masihkah mereka mampu mencintai selain karena tak lagi ada pilihan? Inilah bukti bahwa pernyataan tersebut belum tentu relevan di semua kondisi. Di sisi lain, ia menaburi kelas pekerja dengan pasir tidur agar kesadaran kelasnya tidak terbangun dari lelap. Meninabobokan para proletariat dengan mimpi menjadi Jack Ma atau Nadiem Makarim, alih-alih bangun untuk berorganisasi membela haknya sebagai kelas yang dieksploitasi. Boleh saja kita berimanjinasi, sayangnya dunia sering tak sejalan dengan imajinasi. Hasil penilitian Oxfam yang dibahas di Koran Kompas Rabu, 24 Januari 2018, menyatakan bahwa jajaran warga terkaya secara global yang jumlahnya diperkirakan hanya 1 persen dari total warga dunia menguasai sekitar 82 persen dari aset global hingga tahun 2017 kemarin. Jadi mimpi Anda menjadi Bill Gates peluangnya hanya sekian sekian banding sekian sekian, sekian pula nasib Anda. Menyebalkan? Ya memang, tapi seperti itulah realita.
Kedua, tidak semua kutipan dapat dijadikan pedoman hidup di dalam setiap keadaan. Misalnya ada lagi pepatah yang berbunyi “Ketidaktahuan adalah Kebahagiaan.” Kalimat lengkapnya berbunyi: “Ketidaktahuan adalah Kebahagiaan, bodoh untuk menjadi bijaksana.” Diungkapkan oleh seorang penyair Inggris bernama Thomas Gray di abad ke-18 dan masih terkenal hingga hari ini, khususnya baris pertamanya. Kutipan ini sering digunakan oleh mereka yang lebih memilih tidak mengetahui apa-apa tapi bahagia, ketimbang mengetahui namun tidak bahagia. Terkadang kalau dipikir-pikir, ada betulnya kalimat itu. Ketika Anda berlibur ke perdesaan di Jawa Tengah, menikmati suasana jauh dari kebisingan sambil memanjakan mata melihat hamparan indah sawah nan hijau. Sejenak Anda bersyukur dan berbahagia merasakan nikmatnya hidup di negara kepulauan dengan iklim tropis ini. Namun rasa bahagia itu seketika memudar ketika sambil berleha-leha di pematang sawah Anda membaca laporan riset kaum tani oleh D.N. Aidit yang berjudul “Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa.” Sehabis menutup buku, Anda akan tersadar bahwa di balik hijaunya permadani terdapat titik-titik keringat dan darah kaum tani yang menetes. Hidup ini indah rasanya bila kita tidak mengetahui kenyataan itu. Beberapa dari Anda mungkin memang tidak tahu, beberapa lagi memilih tidak tahu atau yang lainnya lagi bahkan pura-pura tidak tahu.
Di sudut lain, kutipan “Ketidaktahuan adalah Kebahagiaan” ini bukan lagi menjebak ke dalam ke-tidak tahu-an namun akhirnya mengarah kita kepada ke-tidak ingin tahu-an. Mengetahui suatu hal yang tidak benar sedang terjadi, namun kita berlaku layaknya semua sudah benar-benar saja. Padahal jika dipikir ulang, tidak tahu apa-apa belum tentu bahagia. Bagaikan bayi yang menarik-menarik ekor harimau sumatera, mereka yang tidak tahu atau tidak ingin tahu merasa tenang sampai ia sendiri diterkam. Gejala ini juga hadir di antara kelas pekerja yang baru menyadari bahwa mereka juga termasuk dalam kategori buruh ketika mereka mulai kehabisan uang, kesulitan menabung hingga di-PHK. Oleh karena selalu ada kemungkinan bahaya yang mengintai di sekitar kita, maka minimal kita harus mencoba mengetahui. Karena selalu ada kemungkinan penghisapan nilai-lebih, maka buruh harus mengetahui dan beserikat. Sebab mengetahui banyak hal pun juga belum tentu tidak bahagia.
Kembali lagi ke kutipan Marx di awal tulisan ini. Kalimat lengkapnya tertulis seperti ini: “Penderitaan keagamaan merupakan, pada suatu saat dan bersamaan, merupakan ekpresi dari penderitaan sesungguhnya dan protes terhadap penderitaan sesungguhnya. Agama adalah keluhan dari mahkluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, dan jiwa dari keadaan yang tak berjiwa. Ia merupakan candu dari orang-orang” Nah sekarang jadi jelas. Ternyata kalimatnya tidak sesingkat yang selama ini kita ketahui. Lebih lengkap lagi apabila Anda membaca kalimat-kalimat dari paragraf sebelum dan juga sesudahnya. Terdapat kalimat seperti berikut: ”Perjuangan terhadap agama, oleh karena itu, secara tidak langsung perjuangan melawan dunia yang mana aroma spiritualnya ialah agama.” Bahwa perjuangan melawan agama ialah perjuangan melawan dunia itu sendiri. Dunia dengan masyarakat dan negaranya yang memanfaatkan agama sebagai riasan serta gaun untuk menutupi kebobrokannya. Jadi ketika seorang penari cantik bergaun indah berdansa lalu terantuk kakinya dan terjatuh, bukan riasan atau gaunnya yang mesti dievaluasi, namun justru sang penarinya. Senada dengan itu, kalimat selanjutnya berbunyi demikian: “Kritisisme telah memetik bunga imajiner pada rantai bukan supaya manusia terus melanjutkan mengenakan rantai itu tanpa fantasi atau harapan, namun supaya ia bisa membuang rantai itu dan memetik bunga yang hidup.” Marx menegaskan bahwa kritisisme haruslah tepat sasaran kritiknya, dalam hal ini kritik terhadap ekonomi-politiklah yang harus kita lancarkan, bukan kritik atas agama. Sebab kepentingan ekonomi-politiklah yang seringkali meminjam agama sebagai alat kepentingannya
Di akhir pembahasan soal agama itu, Marx menulis: “Oleh karena itu tugas sejarah, ketika kebenaran dunia-lain telah menghilang, untuk menetapkan kenyataan dari dunia ini. Ini merupakan tugas yang segera dari filsafat, yang mana tugasnya dalam sejarah, untuk melepaskan topeng keterasingan diri di dalam wujud tak sucinya saat wujud suci dari keterasingan diri manusia telah dilepaskan. Oleh karena itu, kritisisme surga harus berubah ke kritisisme dunia, kritisisme dunia ke kritisisme hukum, dan kritisisme teologi ke kritisisme politik.” Inti dari penjelasan Marx yaitu supaya kritik mampu melampaui apa yang terlihat di permukaan, tidak menyasar bayang-bayang dan mampu menyampaikan pesan kebenaran yang ilmiah. Hal ini mengingatkan kita bahwa ada suatu mekanisme di balik gejala tampakan agama, yang mana berperan besar dalam semua gejala di masyarakat. Mekanisme tersebut tak lain ialah kenyataan soal relasi ekonomi-politik. Jadi sekarang kita sudah cukup paham bahwa Marx tidak bermaksud menyimpulkan bahwa agama ialah candu, namun ia mengajak kita membedah apa yang terjadi di dalam masyarakat kita dewasa ini. Suatu kondisi masyarakat yang memungkinkan agama selalu hadir menjadi penawar luka atau bahkan menjadi candu. Soal ini akan saya bahas lain kali.

Kiranya inilah keuntungan dari membaca yang tidak setengah-setengah dan mengutip tidak hanya sekedar mengutip. Sehingga kita tidak mudah terjebak dan terburu-buru mengambil kesimpulan. Sebab membaca itu bukan hanya soal membaca kalimatnya saja, namun memahami maknanya. Memang sih, terkadang kita lebih memilih membaca apa yang ingin kita baca, seperti hanya melihat apa yang ingin kita lihat dan mendengar apa yang kita ingin dengar. Sebetulnya sah-sah saja. Namun, lain cerita jika kita berpikir dengan cara berpikir materialisme dialektis historis. Martin Suryajaya lewat bukunya Materialisme Dialektis (2012) pernah menjelaskan menurut Lenin bahwa premis pertama materialis dialektis adalah realisme. Meski yang dimaksud Lenin bukan realisme biasa, namun kurang lebih realisme artinya memandang bahwa dunia materi di luar kesadaran ada sebagai sesuatu yang nyata. Jadi artinya dalam proses berpikir materialisme dialektis historis kita harus mampu menerima kenyataan material objektif dan kalau bisa mengesampingkan dahulu yang subjektif. Boleh saja Anda mengutip kalimat-kalimat untuk dijadikan quotes kesukaan Anda, namun sebaiknya jangan lupa menambahkan kata “terkadang”, “sebagian” atau “beberapa” di setiap awal atau akhir kalimat kutipan. Contohnya seperti “Terkadang, Ketidaktahuan adalah Kebahagiaan” atau bahkan “Cintai apa yang kamu kerjakan dan kerjakan apa yang kamu cintai, untuk sebagian hal dan beberapa hal” yang agaknya lebih pas untuk menjadi quotes Anda. Sebab sebagus-bagusnya quotes yaitu quotes yang bisa dipraktikkan dan tentunya sesuai situasi kondisi yang ada.
***

Sumber: IndoProgress 

0 komentar:

Posting Komentar