Senin, 21 Mei 2018

Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)

Petrus Hariyanto | 21 Mei 2018, 17:45


Ditahan dengan tuduhan sebagai dalang Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka meyakini gerakan mahasiswa dan rakyat hanya tiarap sesaat.


Deklarasi Partai Rakyat Demokratik di Jakarta, 22 Juli 1996. Foto: prd.or.id.

GEDUNG Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung) begitu "angker” bagi tokoh-tokoh oposisi, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Satu per satu mereka diperiksa sebagai saksi Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka antara lain Megawati Soekarnoputri, Ridwan Saidi, Aberson M. Sihaloho, Sophan Sophiaan, Sabam Sirait, Soetardjo Soerjogoeritno, Sukowalujo Mintorahardjo, Julius Usman, dan Permadi.
Saat itu, di salah satu ruangan berukuran 4x4 m2 yang dijadikan sel Rutan Salemba Cabang Kejagung, aku meringkuk sendirian. Sudah lebih sebulan aku ditahan di sana.
Sejak 17 Agustus 1996, aku ditahan di Gedung Pidana Umum Kejagung bersama Budiman Soejtamiko, ketua umum Partai Rakyat Demokratik (PRD); Garda Sembiring, ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Jabotabek; dan Mochtar Pakpahan, ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Kami ditangkap dengan tuduhan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996.
Kerusuhan 27 Juli sebenarnya merupakan imbas dari rezim Soeharto, dengan menunggangi PDI Suryadi, merebut kantor DPP PDI pimpinan Megawati di Jalan Diponegoro dengan cara kekerasan. Rakyat marah. Banyak gedung dibakar.
Sebelumnya, berhari-hari kantor di Jalan Diponegoro itu menjadi arena mimbar bebas, terkenal dengan “Mimbar Rakyat”. Arena mengecam pemerintah yang telah mengintervensi PDI pimpinan Megawati. Setiap hari dipenuhi massa rakyat. Takut menjadi bola salju dan kekuatan people power, Mimbar Rakyat dihentikan dengan cara kekerasan. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyebut lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang.
Kami menjadi tersangka. Pasal yang dipakai terdapat dalam UU Subversif. Hukuman tertingginya adalah hukuman mati.
Pemerintahan Soeharto juga mengumumkan bahwa PRD sebagai partai terlarang. Sejak itu, aparat militer mulai memburu anggota PRD di seluruh daerah. Yang tertangkap sebagian besar disiksa. Kawan-kawan di Surabaya, misalnya, ditangkap Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah (Bakortanasda) Jawa Timur dan disiksa berhari-hari, bahkan ada yang dipaksa makan katak.
Pagi hari di Gedung Bundar, sekitar Oktober 1996, aku mendapat surat dari kawan-kawan yang masih bebas di luar. Surat diantar atau tepatnya diselundupkan Esther Indah Yusuf, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan salah satu anggota Tim Pembela Hukum dan Keadilan Indonesia (TPHKI).
Surat itu ditulis Herman Hendrawan, salah satu korban penculikan aktivis ‘98 yang sampai saat ini belum kembali. Herman mengabarkan bahwa sebagian kader PRD sudah dapat dikonsolidasikan.
"Kawan-kawan yang di penjara, kalian tenang-tenang saja. Kami akan lanjutkan perjuangan yang sudah kita mulai bersama.”
Aku cukup terharu. Kawan-kawan sudah mengkonsolidasikan diri dan membentuk struktur kepemimpinan PRD bawah tanah. Mereka tetap melawan, walau aparat militer Orde Baru terus memburu mereka. Mereka gencar mengeluarkan pernyataan sikap atas nama Mirah Mahardika (Komite Pimpinan Pusat PRD).
Gerakan rakyat yang semakin luas menentang kediktaktoran Soeharto tak mungkin lagi bisa dihenti, walau rezim berusaha menumpasnya dengan cara kekerasan. Kotak Pandora sudah dibuka. Soeharto harus ditumbangkan.
PRD Didirikan
Soeharto merebut kekuasaan dengan menyingkirkan Sukarno dan menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk memperkuat kekuasaannya, partai politik dilemahkan melalui kebijakan fusi atau penyederhanaan partai politik menjadi hanya tiga. Gerakan mahasiswa, yang ikut andil dalam menumbangkan Sukarno, redup teratur. Beberapa aktivisnya meraih kedudukan di parlemen.
Setelah sekian lama bungkam, mahasiswa mulai mengkritik penguasa pada awal 1970-an. Dari soal pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) hingga penolakan modal asing Jepang yang berujung pada Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari). Aktivitas mahasiswa di dalam kampus mulai diperketat. Namun langkah itu tak menyurutkan langkah mahasiswa untuk turun ke jalan. Puncaknya, pada 1978, mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk ketiga kalinya.
Pukulan telak pun dilancarkan penguasa. Didahului pendudukan kampus-kampus oleh tentara, salah satunya Institut Teknologi Bandung (ITB), disusul sterilisasi kampus dari aktivitas politik melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), gerakan mahasiswa “dijinakkan” Rezim Soeharto.
Sejak itu kampus sepi dari aktivitas politik. Soeharto melenggang dan melanggengkan kekuasaannya tanpa ada oposisi dari mahasiswa.
Gerakan mahasiswa mulai muncul kembali sekitar 1988. Kasus tanah, seperti pembangunan Waduk Kedung Ombo, mendorong mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Pulau Jawa turun ke jalan. Mereka menolak tunduk pada kebijakan rezim yang melarang mahasiswa berpolitik.
Dari kemunculan gerakan mahasiswa saat itu, sebagian kelompok mahasiswa dan gerakan rakyat (buruh dan tani) mendirikan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD). Hal ini didasari perlunya organisasi payung untuk mewadahi perlawanan di sektor mahasiswa, buruh, dan tani. Tak boleh bersifat sektarian sektor dan kota. Tak boleh lagi organisasi perlawanan bersifat ad hoc, berganti-ganti nama sesuai aksi yang dilakukan. Harus sistematis dalam beroganisasi dan programatik.
Sayang, usaha pertama kami gagal. Pada saat bersamaan, terjadi peningkatan eskalasi perlawanan terhadap pemerintah. Pemicunya, pembredelan tiga media: majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik. Demonstrasi terjadi di berbagai kota. Tidak hanya mahasiswa, budayawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut bergerak melakukan aksi.
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang sebenarnya masih dalam konsolidasi tertutup, tiba-tiba dimunculkan. Sebagian besar anggota SMID adalah peserta kongres yang mendirikan PRD.
SMID mengambil-alih peran PRD sebagai organisasi terbuka yang melawan Soeharto. Antara lain ditunjukkan dengan menggelar mogok makan di depan Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Aksi itu berakhir dengan penangkapan hampir 30 peserta aksi.
Sebulan kemudian, tepatnya 1 sampai 3 Agustus 1994, SMID melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Mega Mendung. Kongres menyepakati program politik: Cabut 5 UU Politik 1985, Cabut Dwifungsi ABRI, dan Referendum di Timor-Timur.
Dua bulan berikutnya, kawan-kawan yang mengorganisir buruh mendirikan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dalam sebuah kongres di Bandungan, Ambarawa, yang dihadiri organiser buruh dari berbagai kota.
Sejak deklarasi kedua organisasi tersebut, aksi massa terjadi di berbagai kota.
Awalnya, "Cabut 5 UU Politik" dan “Cabut Dwifungsi ABRI" menjadi program politik kelompok Petisi 50, yang dikomandoi Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta. Berkat SMID dan PPBI, isu tersebut kian populer di kalangan masyarakat.
SMID menggelar aksi-aksi bersama buruh dan tani. Beberapa isu yang menjadi perhatian media antara lain; Peringatan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 1995 di Semarang, aksi dengan kaum tani yang tergabung Serikat Tani Nasional (STN) pada 10 November 1994 mengguncang Ngawi, kota kecil di Jatim.
Dalam aksi-aksinya, SMID juga mengangkat isu Timor-Timur. Puncaknya, SMID, Presidium Sementara PRD (PS-PRD), dan Gerakan Pemuda Timor Leste melakukan aksi lompat pagar Kedutaan Belanda dan Rusia. Aksi ini menjadi perhatian media asing. Isu referendum bagi rakyat Maubere pun naik ke permukaan.
Organisasi dengan skala nasional yang kami bentuk telah mewarnai politik saat itu. Bersama kelompok mahasiswa radikal lainnya, organisasi kami mampu mengispirasi mahasiswa untuk berpolitik lagi. Jumlah mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota yang melawan meningkat. Secara kualitatif, terjadi peningkatan sentimen anti-Soeharto. Kampanye tentang kebijakan Orde Baru yang menindas secara politik dan ekonomi meluas ke masyarakat.
Terbentuknya Sebuah Partai
Suhu politik biasanya meningkat menjelang pemilihan umum (pemilu). Sebuah momentum untuk meningkatkan perlawanan rakyat sekaligus menuntut perubahan organisasi dan strategi taktik. Harus ada organisasi yang mampu mengkonsolidasikan gerakan multisektor.
Menjelang pemilu 1997, kami menjawabnya dengan mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 15 April 1996. Aku terpilih sebagai sekjen. SMID, PPBI, STN, dan Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) menyatakan berafiliasi secara politik dan organisasi (underbouw) kepada PRD.
Dari strategi taktik, PRD harus mempelopori front persatuan dengan kekuatan elemen gerakan lain. Beberapa front berdiri seperti Oposisi Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan Majelis Rakyat Indonesia (Mari).
Ketika pemerintahan Soeharto mengintervensi PDI Megawati Soekarnoputri, dengan cara membuat kongres tandingan di Medan, PRD langsung menyatakan dukungannya kepada Megawati. Kepada pimpinan PDI di Jakarta dan berbagai daerah, PRD menawarkan jalan keluar perlawanan dengan aksi massa.
Di berbagai daerah PRD dan pemimpin PDI yang radikal menggelar aksi. Di Jakarta, PRD dan berbagai kelompok oposisi mendukung aksi massa yang dilancarkan PDI Megawati. Bahkan aksi besar terjadi di Jakarta pascakongres Medan 20 Juni 1996. Ketika itu aksi dipukul, terkenal dengan insiden “Gambir Berdarah”. Perlawanan tidak surut, dilanjutkan dengan mimbar bebas yang digelar di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Berhari-hari mimbar bebas berlangsung. Semua orasi mengecam penindasan yang dilakukan Soeharto. Hampir setiap hari massa mendatangi acara tersebut, dan jumlahnya semakin membesar. Situasi yang berbeda dari sebelumnya, aksi sudah mampu menggerakan rakyat. Mimbar Rakyat itu menjadi simbol perlawanan rakyat kepada Rezim Soeharto, dan dampaknya meluas ke mana-mana.
Sikap rezim Soeharto sudah dapat diduga. Mimbar bebas itu bisa menjadi embrio people power, dan harus dihentikan dengan cara kekerasan, walau itu akan memakan korban. Pagi hari, tanggal 27 Juli 1996, kantor tersebut diambilpaksa oleh PDI Soeryadi, dengan dibantu aparat militer.
Ketika kantor itu diambil alih secara paksa dan jatuh banyak korban, massa rakyat berkumpul di sekitar Jalan Diponegoro. Awalnya, kemarahan mereka ditumpahkan dalam mimbar bebas. Lama-kelamaan massa bentrok dengan aparat Brimob yang menjaga kantor itu. Menjelang sore, ketika massa dipukul dan digiring ke arah Salemba berubah menjadi kerusuhan. Sepanjang jalan Salemba ke Matraman dan juga ke arah Senen, gedung-gedung dibakar massa.
Dua hari setelahnya, 29 Juli 1996, Menko Polkam Soesilo Soedarman mengumumkan ke publik bahwa PRD Dalang Kerusuhan 27 Juli.
Para pemimpin PRD ditangkap. Semua elemen gerakan direpresif. Terjadilah situasi di mana gerakan tiarap.
Banyak yang mengatakan semua ini adalah kesalahan PRD karena terlalu maju melawan Soeharto. Tapi PRD menjawab gerakan hanya tiarap sementara, dan akan segera bangkit lagi dengan kekuatan berkali-kali lipat. Seperti kata Budiman Soejatmiko, “Peristiwa 27 Juli” hanya senam untuk melatih otot gerakan rakyat semakin kuat.
Penulis adalah mantan sekretaris jenderal Partai Rakyat Demokratik.
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar