Rabu, 02 Mei 2018

Pram dan Soemitro

Hendri F. Isnaeni | 2 Mei 2018 


Setelah tahu siapa Pramoedya Ananta Toer, sang jenderal mengizinkannya menulis lagi. Pram menyebutnya karena tekanan dunia internasional. Lahirlah tetralogi Pulau Buru.


Pangkopkamtib Jenderal TNI Soemitro dan wartawan Rosihan Anwar ketika mengunjungi Pulau Buru pada Oktober 1973. Foto: Repro "Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib."

DALAM perjalanan pulang dari Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok IV di Aljazair pada 1973, Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) Jenderal TNI Soemitro singgah di Paris dan Belanda. Dia bertemu dengan orang-orang asing dari Prancis, London, dan Belanda. Mereka menanyakan soal tahanan politik terutama Pramoedya Ananta Toer yang ditahan di Pulau Buru, Kepulauan Maluku.
Soemitro mengaku tak tahu siapa Pram, kecuali dia anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Setelah orang-orang asing menanyakannya, Soemitro pun baru menyadari kalau Pram adalah pengarang yang mendapat pengakuan di dunia internasional.
“Saya merasa bangga mendengarnya, walaupun saya tahu bahwa dia itu anggota Lekra, ada afiliasi dengan PKI,” kata Soemitro dalam memoarnya, Soemitro dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib karya Ramadhan KH.
Pada Oktober 1973, Soemitro membawa tim psikolog antara lain Fuad Hasan, Saparinah Sadli, dan Susmaliah Suwondo, untuk mempelajari psikologi para tahanan di Pulau Buru. Dia juga mengajak wartawan senior dari berbagai media massa, antara lain Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Jacob Oetama, dan Nardi D.M.
Setiba di Pulau Buru, yang pertama ingin ditemui Soemitro adalah Pram tapi tak bisa. 
“Katanya, dia sedang diisolasi karena malam sebelumnya dia berontak dan merebut senjata. Jadi, dia dimasukkan ke dalam sel, diisolir,” kata Soemitro.
Soemitro tak hadir dalam pertemuan para pemimpin redaksi dengan Pram pada malam hari.
Besoknya, Soemitro baru bertemu dengan Pram. Mereka berdialog di tepi teluk kecil di bawah pohon yang rindang. Tim psikolog duduk di belakang mereka. Dalam pembicaraan itu, Soemitro terkesan menasihati Pram.
Soemitro kemudian menanyakan alasan Pram masuk Lekra. Pram menjawab: “Saya ingin menyalurkan profesi saya. Hanya PKI yang punya program. Partai lain tidak.”
“Saya manggut-manggut. Jawabannya berkesan buat saya. Patut jadi perhatian. Patut diingat,” kata Soemitro.
Sebelum berpisah, Soemitro bertanya, “apa ada yang bisa saya bantu?”
“Bolehkah saya meminta mesin tik karbon, kertas ketik, dan notes? Kalau bisa juga saya minta kamus dan buku-buku Bahasa Prancis,” pinta Pram.
“Baik, akan saya carikan dan kirimkan,” kata Soemitro.
Selain mengirim semua permintaan Pram, Soemitro juga memerintahkan melepaskan Pram dari sel.
Lima tahun kemudian pada Desember 1978, Jaksa Agung Ali Said mengunjungi Pulau Buru bersama para wartawan, salah satunya Panda Nababan dari Sinar Harapan. Panda akan ikut asal diperbolehkan mewawancarai Pram. Saat ditemui di baraknya, Pram sedang mengetik dengan mesin ketik tua merk Royal 404 –mungkinkah mesin ketik dari Soemitro?
Pram menanyakan kabar Mochtar Lubis. “Tolong nanti sampaikan terima kasih saya kepada dia, ya,” pesan Pram. Dalam kunjungan pada 1973, Mochtar memberikan obat Supradin, rokok Bentoel satu pak, dan pasta gigi.
Bahkan, menurut Ramadhan KH, Mochtar Lubis-lah yang menyarankan kepada Jenderal Soemitro agar Pram diberi mesin ketik dan peralatan tulis-menulis lainnya supaya bisa menulis.
“Sarannya itu diterima baik oleh Jenderal Soemitro dan diputuskan begitu oleh Pangkopkamtib waktu itu,” kata Ramadhan dalam Mochtar Lubis, Wartawan Jihad. Namun, Mochtar kemudian menentang keras penghargaan Ramon Magsaysay buat Pram pada 1995. Sebagai bentuk protes, dia mengembalikan penghargaan serupa yang diterimanya pada 1958.
Kepada Panda, Pram menceritakan kehidupannya di Pulau Buru sejak mendekam pada akhir tahun 1969. 
“Empat tahun pertama di sini adalah tahun-tahun yang paling sulit dalam hidup saya. Saya harus berjuang untuk dapat terus hidup. Saya tinggal di dalam gubuk, membuka ladang dan jalan,” kata Pram.
Baru pada 1973, Pram mendapat perlakuan khusus dibanding ribuan tahanan politik lain. 
“Ini berkat kunjungan Jenderal Soemitro yang memberikan kesempatan kepada Pram untuk memusatkan perhatiannya dalam mengarang, Pram diberi kertas dan mesin ketik. Dia dibebaskan dari pekerjaan di sawah dan ladang serta pekerjaan yang mengganggu profesinya sebagai pengarang,” kata Panda dalam otobiografinya, Menembus Fakta.
Pekerjaan berat yang masih dia kerjakan hanya membelah kayu untuk memasak. “Ini sebagai sport bagiku,” kata Pram.
Pram mengakui bahwa Soemitro menemuinya atas perintah Presiden Soeharto. Soemitro mengatakan bahwa mulai saat itu dia boleh menulis kembali. “Saya diperbolehkan menulis kembali karena adanya tekanan dari dunia internasional,” kata Pram dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian, hasil perbincangan dengan Andre Vlthek dan Rossie Indira.
Pram tak menyebut diberi mesin ketik apalagi kertas. Dia harus mencari sendiri kertasnya dan mendapatkannya dari gereja Katolik. Meskipun diizinkan menulis lagi, Pram tetap waspada. Sebab dari pengalamannya sebagai tahanan politik, dia tahu persis bahwa pemerintah akan merampas tulisannya. Itulah sebabnya dia mengetik naskah dalam beberapa copy. Satu copy disebarkan di antara teman-teman tahanan sehingga mereka bisa membaca dan mengingatnya. Satu copy lagi diberikan ke gereja yang kemudian menyelundupkannya ke luar Buru dan kemudian mengirimkannya ke Eropa, Amerika Serikat, atau Australia.
“Pada akhirnya saya memang benar, mereka (pemerintah) merampas semua naskah saya pada waktu saya meninggalkan Buru, termasuk surat pribadi dari Presiden Harto pada saya,” kata Pramoedya.
Sejak diperbolehkan menulis lagi, lahirlah karya-karya Pram yang paling terkenal yaitu tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca(1988). Namun, semuanya dilarang Kejaksaan Agung.
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar