Rabu, 23 Mei 2018

Sekilas tentang partai modern pertama yang menggunakan nama Indonesia

*Andreas JW, sebagaimana dikisahkan oleh Siswoyo


KAMPUNG Suburan, Kota Semarang (timur); di tempat itulah pada Mei 1920 berlangsung rapat akbar sejumlah kader ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) memutuskan berdirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Para peserta rapat, selain orang Indonesia, juga terdapat banyak orang Belanda. Mereka adalah penyebar teori Marxis di Indonesia, yang umumnya terdiri dari pegawai-pegawai (ambtenaar) pemerintah Hindia Belanda, terutama kaum guru.
ISDV adalah gabungan bermacam unsur politik, di antaranya dan terutama dari VSTV (Vereeniging van Spoorweg en Trem Personeel). Cikal bakalnya sudah lahir tahun 1905, bernama S.S. Bond (Staats Spoor Bond), kereta api negara, sebagai organisasi modern pertama dalam abad XX, jauh lebih tua dari Boedi Oetomo, yang baru lahir pada 1908. Tapi ada yang menolak fakta sejarah ini, dengan alasan pimpinan S.S. Bond kebanyakan terdiri dari orang Belanda. Lantaran hal itu, hari lahirnya Boedi Oetomo kemudian dipilih sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”.
Sekadar tambahan informasi, bahwa perusahaan kereta api swasta telah lahir jauh sebelum itu, ialah pada sekitar tahun 1870-an, dengan jalur pertama menghubungkan Kota Semarang, Solo, Jogjakarta. Perusahaan kereta api ini bernama NIS (Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappy).
Rapat akbar kader-kader ISDV tersebut memutuskan mengubah ISDV menjadi partai politik revolusioner bernama PKI. Sekaligus hal ini berarti PKI adalah partai politik pertama kali yang menggunakan nama Indonesia. Sejumlah tokoh Islam (SI Merah) terlibat dalam pendirian PKI. Rapat akbar juga berhasil memilih pimpinan sentral, yang terdiri dari:
1. Semaun (voorzitter/ketua)
2. Darsono (vice voorzitter/wakil ketua)
3. P. Bergsma (secretaries/sekretaris)
4. Dekker (penningmeester/bendahara)
5. J. Baars, JC stam, Kraan, Dengah, dan Sugondo (leden/anggota)
Tokoh utama Marxis Belanda, yang berjasa menyebarkan Marxisme di kalangan orang-orang revolusioner Indonesia adalah Sneevliet, yang oleh pemerintah Hindia Belanda sudah diusir (persona non-grata), dan kembali ke Belanda, sebelum rapat akbar ISDV tersebut. Tetapi setelah kembali ke tanah airnya, dia promosi menjadi penekun di markas besar Komintern di Moskow.
Sebagai fakta fisik yang mempunyai nilai sejarah, adalah sejumlah perabot yang dipakai dalam rapat tersebut, sampai tahun 1960-an masih disimpan rapi di Kampung Suburan; seperti meja panjang dengan sembilan kursi, podium, serta palu dan landasannya yang digunakan sebagai tanda resmi lahirnya PKI.
Pimpinan sentral Partai yang baru dibentuk mengetahui bahwa tahun 1919 telah terbentuk organisasi internasional partai-partai komunis bernama Komunis Internasional (Komintern). Disepakati bersama agar PKI mengambil sikap terhadap organisasi internasional tersebut. Untuk itulah, maka pada akhir 1920 diadakan Kongres Istimewa, atau Kongres II. Diputuskan dengan aklamasi serta dengan semangat tinggi untuk bergabung ke dalam Komintern. Kemudian mengutus dua orang untuk menemui pimpinan Komintern serta menyampaikan laporan tentang keputusan kongres tersebut. Kedua utusan itu adalah Semaun dan Darsono.
Kedatangan kedua utusan tersebut diterima dengan baik. Malahan Komintern meminta agar mereka tinggal lebih lama di Moskow, tidak buru-buru pulang. Hal ini untuk membantu mempropagandakan Komintern di negeri-negeri lain. PKI merupakan salah satu dari sedikit partai komunis yang pada waktu itu sudah bergabung dengan Komintern.
***
Tahun-tahun berikutnya kebangkitan massa semakin meluas serta makin keras. Begitu juga jaringan organisasi PKI dan massa, tidak hanya terjadi di Jawa, melainkan sudah meluas pula ke Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Ambon, Ternate Utara, bahkan sampai pula di Flores, meskipun masih imbrional. Tapi PKI dan gerakan massa revolusioner yang masih sangat muda ini sekaligus membawa kelemahan serta kekurangan, seperti rendahnya teori dan kurangnya pengalaman berorganisasi serta perjuangan. Pegangan pokok yang sudah dipelajari barulah Manifesto Partai Komunis karya Marx Engels, serta satu-dua lektur teori lainnya.
Kebangkitan keras dan meluas ini mencapai puncaknya pada 1923 dengan terjadinya pemogokan buruh kereta api, yang melibatkan sekitar 13.000 buruh. Tokoh utamanya bernama Winanta, seorang kondektur kereta api jalur Makassar – Pare-pare.
Aksi buruh di proyek amat vital yang dilakukan ribuan massa buruh itu sangat mengguncang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Segera mereka menindak dengan kekerasan serta menangkapi tokoh-tokoh PKI, seperti Haji Misbach kemudian dibuang ke Manokwari (Papua Barat). Pimpinan PKI menyadari kebangkitan massa yang semakin radikal harus dipimpin menuju pemberontakan nasional. Pada masa itu tokoh penting PKI lainnya, Ali Archam (senior) serta Winanta, juga ditangkap.
Sikap sangat penting yang diputuskan oleh Kongres III, ialah membentuk Committee Van Opstand (CVO) atau Komite Pemberontakan dipimpin oleh Sugondo, yang bermarkas di Bandung. Putusan lain adalah segera memobilisasi dan mempersenjatai massa, terutama kaum tani. Meskipun sudah sejauh itu pengertian pimpinan PKI, namun belum terlintas dalam pikiran untuk membentuk Tentara Pembebasan Rakyat, yang hakekatnya adalah tani bersenjata. Putusan penting dirinci lebih lanjut dalam Konferensi Nasional di Prambanan (Surakarta), dengan pimpinan Sarjono, pada akhir 1925.
***
Dengan semangat dan keyakinan yang tinggi, Konferensi Nasional secara bulat memutuskan untuk memulai pemberontakan pada pertengahan tahun 1926 (sekitar bulan Juni/Juli). Konfernas juga memutuskan untuk melaporkan ke Markas Besar Komintern, termasuk meminta bantuan senjata serta dana. Dua tokoh ditugaskan untuk kepentingan ini, ialah Muso dan Alimin. Mereka berdua pun akan berkonsultasi dengan tokoh PKI yang berada di luar negeri, di Manila (Filipina), yaitu Tan Malaka. Yang bersangkutan ternyata tidak mau melayani diskusi, dan menolak keputusan Konfernas Prambanan. Di kemudian hari diketahui Tan Malaka diam-diam mempersiapkan berdirinya “partai tandingan” bernama PARI pada 1925. Ini merupakan hasil perundingan serta peleburan diri Tan Malaka ke dalam jaringan trotskis internasional.
PARI, secara formal adalah singkatan dari Partai Republik Indonesia. Tapi sesungguhnya nama ini adalah singkatan dari Partai Asia Republik Internasional. Ini sesuai dan berdasarkan teori trotskis tentang “revolusi permanen”, yang menolak mungkinnya revolusi pecah di suatu negeri, melainkan revolusi harus serentak pecah di beberapa negeri bersama-sama. Adapun “ASLIA” adalah singkatan dari “Asia – Australia”, yang terdiri dari Birma (Myanmar), Siam (Thailand), Malaka, Filipina, dan Australia.
***
Akhirnya, karena Tan Malaka sudah meninggalkan PKI, Muso dan Alimin, dengan bantuan jaringan Komintern di Kanton, meneruskan perjalanan menuju Markas Besar Komintern di Moskow. Semaun dan Darsono yang sudah berada terlebih dahulu di situ ikut bergabung dengan delegasi.
Mereka diterima oleh pimpinan EKKI, termasuk A.B. Rjeznikow (sekretaris/notulis). Selanjutnya dialog menghasilkan kesimpulan, bahwa persiapan pemberontakan belum matang. Pun dikritik adanya semboyan pemberontakan: sovjet sekarang juga. Hal ini merupakan kelemahan ideologi “kekiri-kirian” (leftism, bukan oportunis kiri). Soal bantuan senjata dan dana bisa diatur lebih lanjut. Delegasi segera kembali ke tanah air Indonesia. Tapi baru sampai di Singapura, pemberontakan sudah meletus.
Apa sebab itu terjadi?
Ternyata pimpinan PKI sudah menunggu-nunggu kedatangan delegasi untuk mendapat laporan hasil pertemuan dengan EKKI dan segera memulai pemberontakan. Sementara itu semangat pemberontakan massa sudah sulit dikendalikan. Akhirnya pecah pemberontakan pada 12 November 1926, tanpa menerima laporan dari delegasi. Sementara Muso dan Alimin ditangkap polisi Singapura, kemudian dikembalikan ke Moskow.
Dengan keberanian yang tinggi serta semangat mendidih, juga dengan persenjataan apa saja, kaum pemberontak mengadakan perlawanan frontal. Ketika itu mereka belum tahu tentang “taktik perang gerilya”. Pemberontakan terjadi terutama di Banten dan di daerah Jawa Barat (Ciamis, Tasikmalaya, dan Sukabumi). Dari Banten, kaum pemberontak dengan “konvooi” gerobak, langsung menuju Batavia (ibukota Hindia Belanda). Bahkan sudah ada yang sampai di sekitar Pasar Baru. Tapi segera dapat dilumpuhkan oleh pasukan KNIL (Knongkelyke Nederlansch Indische Leger) yang jauh lebih kuat dan berpengalaman. Perlawanan revolusioner juga terjadi di berbagai tempat lain, misalnya di Surakarta. Seorang kawan pelaku pemberontakan menyatakan: kaum pemberontak sejumlah 200 orang sudah mendekati dan akan menyerang kota Solo. Mereka sudah tiba di Kecamatan Ngemplak (Sawahan), namun dapat dilumpuhkan oleh pasukan KNIL.
Yang paling gigih dalam perlawanan tersebut adalah apa yang terjadi di Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten.Untuk mengalah mereka, pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengerahkan angkatan udara. Sebagian dari mereka yang tak mau menyerah, berhasil menyelamatkan diri ke Lampung.
Pemberontakan di Jawa berlangsung relatif tidak lama, sekitar satu bulan, dapat dipadamkan pemerintah Hindia Belanda. Sementara di Silungkang (?), Sumatera Barat, pecah pemberontakan semacam itu baru terjadi pada 1927, dengan tokoh utamanya Datuk Sutan Batuah (anggota Polit Biro). Turut terlibat pula kader-kader lain, seperti Samsudin Musanif (intelektual/guru), Hasanudin, dan Mangkudung Sati (pendekar silat). Kegagalan pemberontakan ini sekaligus juga menunjukkan salah satu kelemahan “pemberontakan 1926”, yaitu lemahnya koordinasi dalam menentukan momentum aksi.
Satu hal yang juga menarik dan banyak orang tidak menduga adalah “pemberontakan 1926” melahirkan lagu-lagu perjuangan yang mampu menggerakan perlawanan, di antaranya ialah berjudul “Darah Rakyat” dan “Dua Belas November”.
Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemberontakan dapat dikalahkan dalam waktu relatif singkat, tetapi satu hal lain bahwa pemberontakan melawan penjajah adalah tidak salah. Lihat saja sajak Ali Archam (senior) yang ia tulis dalam kamp pembuangan di Digul. Tidak hanya itu, Komintern sendiri menilai pentingnya kasus itu. Di samping itu, karena sikap PKI yang belum berumur satu tahun sudah menyatukan diri dengan Komintern.
***
Ciri-ciri penting dari “pemberontakan 1926” adalah:
1. Dia adalah pemberontakan nasional bersenjata pertama bangsa Indonesia, dari berbagai suku dan daerah.
2. Tujuannya mendirikan republik. Lain halnya dengan “Perang Diponegoro”, meskipun merupakan pemberontakan terbesar dalam paruh pertama abad XIX, namun pemberontakan itu hanya terdiri dari suku Jawa serta tujuannya mendirikan negara feodal anti-penjajah. Cita-cita republik waktu itu belum ada.
3. Dia dipimpin oleh partai politik, oleh organisasi modern, bukan oleh raja, pangeran dsb.
4. Partai politik tersebut adalah partai klas buruh bernama PKI.
Salut untuk kawan-kawan “angkatan 1926”. Dan kita patut menundukkan kepala sebagai penghormatan atas keberanian mereka, disiplinnya yang tinggi, serta semangat kerakyatan yang sangat kuat. Suatu teladan bagi aktivis-aktivis generasi muda.
Meskipun pemberontakan 1926 kalah, namun peristiwa tersebut telah memberi inspirasi kepada kaum pergerakan untuk menghimpun kekuatan. Yang terkenal di antaranya lahirnya “Sumpah Pemuda” pada 1928 yang menyatakan: bertanah air satu, tanah air Indonesia; berbangsa satu, bangsa Indonesia; berbahasa satu, bahasa Indonesia. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman dikumandangkan, meski oleh pemerintah Hindia Belanda hanya diperbolehkan secara instrumentalis jika dalam acara terbuka. Begitu juga dengan berdirinya partai politik nasionalis pimpinan Bung Karno.
Ratusan, bahkan ribuan kader dan anggota PKI dibuang ke Digul. Tapi mereka yang dianggap moderat kemudian dipulangkan kembali. Sedang yang dianggap “kepala batu” dibuang ke tempat yang lebih terisolir, ke Boven Digul (?). Hanya sedikit yang berhasil lolos dari penangkapan, di antaranya adalah Mr. Datuk Pamuncak, yang selanjutnya aktif terlibat dalam pembentukan PNI.
***
Angin inspirasi melawan penjajah, berhembus juga di kalangan awak kapal perang Belanda. Maka terjadilah peristiwa penting pada Februari 1933, di mana meletus pemberontakan ABK (matrus-matrus) dari kapal perang “De Zeven Provincien”, dengan tuntutan sosial ekonomi serta ditujukan kepada Markas Angkatan Laut Hindia Belanda di Surabaya. Pemberontakan dilakukan oleh ABK pimpinan matrus Kawilarang. Aksi ini juga mengandung pendidikan internasionalisme proletar. Oleh karena itu, SBPP (SOBSI) yang menghimpun buruh pelabuhan dan pelayaran menaruh hormat dengan memberi nama “Kapal Tujuh” bagi majalah yang diterbitkannya. Setelah beberapa hari berlayar dari pangkalannya di Sabang (Aceh), akhirnya “De Zeven Provincien” tiba di Selat Sunda, dan sudah dihadang serta kemudian dilumpuhkan oleh armada laut dan angkatan udara Hindia Belanda.
Perlu sedikit disisipkan, bahwa di antara awak kapal perang tersebut terdapat seorang pemuda belia, yang membantu pamannya sebagai juru masak kapal. Usianya masih 15 tahun. Dia bebas dari tuntutan hukum pengadilan Hindia Belanda, sebab menurut hukum ini, mereka yang berusia kurang dari 16 tahun, tidak bisa diadili. Selanjutnya ia dipulangkan ke daerah asalnya, Sragen, Surakarta. Pada tahun 1950-an dia masuk menjadi anggota PKI. Yang bersangkutan inilah yang menceritakan pengalamannya, baik dalam kehidupan sehari-hari di dalam kapal, maupun ketika berlangsung penyergapan oleh armada angkatan laut Hindia Belanda di Selat Sunda.
***
Peristiwa penting lain terjadi pada 1935. Komintern dengan serius dan rasa prihatin terus memantau perkembangan di Indonesia, menyusul akibat kegagalan delegasi (Muso dan Alimin) kembali ke tanah air sebelum “pemberontakan 1926” pecah. Juga dihubungkan dengan persiapan Komintern untuk membentuk front anti-fasis sedunia menjelang Perang Dunia II. Untuk kepentingan itu Muso, kader PKI yang bertugas di Markas Besar Komintern, ditugaskan menyusup ke Indonesia. Ada dua misi Muso, yaitu membangun kembali PKI dan mempersiapkan berdirinya front anti-fasis di Indonesia menjelang Perang Dunia II. Adapun Alimin sudah lebih dahulu bersama kader pimpinan Partai Komunis Jepang dan lain-lain, mendampingi Partai Komunis Tiongkok pimpinan Mao Tse Tung yang bermarkas di Yenan, sebuah daerah terpencil di barat laut Tiongkok.
Dengan cara yang rumit, Muso yang berkamuflase sebagai turis asing, berhasil mendarat di Surabaya. Dengan hati-hati serta teliti, dia mempelajari situasi politik nasional dan lokal. Juga aktif mempelajari tulisan serta berita-berita di suratkabar. Setelah beberapa kali mempelajari tulisan seorang penulis, dia berkirim surat lewat sebuah iklan kepada si penulis tersebut untuk bisa bertemu dan bersilaturahmi di sebuah rumah makan. Penulis tersebut adalah Pamuji. Setelah berkali-kali berdiskusi, akhirnya terjadi saling percaya, dan Muso menyatakan dirinya sebagai utusan Komintern, dengan dua pokok misi, ialah membangun kembali PKI serta membangun front anti-fasis sebagai langkah penting menghadapi pecahnya Perang Dunia II. Diskusi tersebut juga diikuti oleh Joko Sujono. Selanjutnya disusun pimpinan sentral PKI, yang terdiri Ketua Joko Sujono, Wakil Pamuji, serta Akhmad Sumadi sebagai sekjen.
Kehadiran Muso di tanah air tidak bisa bertahan lama (sekitar satu setengah tahun), karena mulai tercium oleh jaringan intel Hindia Belanda, PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Muso segera bergegas kembali ke Moskow agar bisa secepatnya melaporkan kepada Komintern.
Sial bagi PKI yang baru kembali dibangun, karena tahun 1939 terpukul kembali; yaitu dengan tertangkapnya Joko Sujono dan Akhmad Sumadi. Mereka berdua segera dibuang ke Boven Digul. Sampai memasuki zaman penjajahan fasis Jepang mulai Maret 1942, pimpinan PKI selanjutnya diteruskan oleh Pamuji. Namun sebelum Jepang masuk, sudah terlebih dahulu terbentuk front anti-fasis. Tokoh utamanya antara lain dr. AK Gani (PNI).
***
Memasuki masa penjajahan fasis Jepang, meski hanya tiga setengah tahun, PKI pimpinan Pamuji menghadapi tugas sangat berat dan berbahaya. Kurangnya teori serta kurangnya pengalaman menambah berat tugas tersebut. Meski begitu partai dengan berani mengambil sikap dan tindakan konkrit, yaitu melakukan sabotase dalam segala bidang, serta pemberontakan tani di beberapa tempat.
Pada waktu itu belum terpikir ide pembentukan Tentara Rakyat. Partai hanya menugaskan para anggota dan simpatisannya menyusup ke kesatuan Keibondan (semacam Hansip) serta ke dalam Heiho (struktural merupakan bagian tentara reguler Jepang), meski hanya dengan jabatan prajurit atau bintara. Terjadilah peristiwa pada 1943, di mana atas usul Gathot Mangkupraja, seorang tokoh nasionalis, dan Ki Ageng Suryamataram (seorang patriot adik kandung Sultan HB VIII), pemerintah Jepang menyetujui dibentuknya tentara teritorial di seluruh Pulau Jawa dan Bali (?), bernama PETA (Pembela Tanah Air). Dengan sendirinya pembentukan PETA ini didahului adanya sekolah atau kursus perwira, yang bertempat di Kota Bogor, yang bertujuan mencetak Komandan Peleton (Shodanco) dan Komandan Kompi (Chudanco). Kesempatan bagus ini segera ditanggapi pimpinan partai. Dan dengan tepat dan cepat sejumlah kader masuk sekolah tersebut. Di antara mereka adalah Sutarto (Panglima Divisi IV Panembahan Senopati), Susalit (Panglima Divisi III Diponegoro. Ia adalah anak dari R.A. Kartini), Pranoto Rekso Samodro, Maniso, Sudigdo, Umar Bahsan dsb. Seluruhnya terdapat 50 Daidan (Batalyon), dengan Daidanco (Major) sebagai komandannya. Daidanco umumnya terdiri dari tokoh politik atau ulama. Di asrama sekolah perwira tersebut terjadi diskusi intensif serta penuh rahasia di antara para kader partai, dengan peran utamanya Sutarto. Tema pokoknya adalah mempersiapkan pemberontakan PETA di seluruh Jawa.
Di Bogor, selain terdapat sekolah/kursus perwira PETA, juga terdapat Chudan (kompi), bagian dari Daidan Jakarta. Chudanco-nya bernama Rachmad. Ternyata dia juga terlibat dalam persiapan pemberontakan tersebut.Dia dan kelompoknya berhasil menjalin kontak dengan gerakan illegal mahasiswa dari Sekolah Tinggi Pertanian Bogor (sekarang IPB). Kontak tersebut akhirnya menyetujui untuk adanya latihan kemiliteran mahasiswa oleh PETA. Sekitar 50 mahasiswa selama dua minggu masuk asrama Chudan. Mereka dibagi dalam tiga regu, masing-masing didampingi seorang Shodantyo. Selain itu terdapat pula seorang Letnan Jepang sebagai pengawas.
Pada malam hari, di mana keesokan harinya latihan akan berakhir, sejumlah tertentu mahasiswa dipanggil oleh Chudanco Rachmad. Ia secara resmi memberi tahu tentang tujuan latihan tersebut, yaitu agar para mahasiswa membantu rencana pemberontakan PETA.
Lain halnya dengan apa yang terjadi di Rengas Dengklok, Kabupaten Krawang. Di sini terdapat Chudan PETA, bagian dari Daidan Purwakarta. Sejumlah pemuda PETA, ditambah sejumlah pemuda-pemuda sipil, pada hari pertama bulan Agustus 1945 dengan serius dan merasa prihatin memperhatikan keadaan tanah air, sehubungan dengan kekalahan Jepang dari Sekutu. Wilayah Indonesia pasti akan dikembalikan kepada Hindia Belanda, karena Belanda anggota Sekutu. Ini berarti PETA akan menjadi salah satu inventaris untuk diserahkan kepada Hindia Belanda. Diskusi kelompok pemuda tersebut berpendapat, bahwa kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Untuk mewujudkan sikap itu harus ada gerakan riil fisik untuk menekan keadaan, berupa rapat umum pra-proklamasi kemerdekaan, pada 16 Agustus 1945 di Rengas Dengklok, dipimpin pemuda komunis Shodanco Umar Bahsan.
Tanggal 16 Agustus 1945, pukul 9 pagi, di lapangan Rengas Dengklok, dengan khitmad diadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih serta menyanyikan lagu Indonesia Raya, sekaligus menurunkan bendera Jepang. Semua orang Jepang yang ada di sana, ditahan. Pada hari itu juga di semua rumah dan pohon-pohon tinggi di sekitar Rengas Dengklok, berkibar bendera Merah Putih. Semua jalan-jalan penting memasuki Rengas Dengklok serta berbagai obyek vital, sudah dikuasai oleh prajurit PETA dengan persenjataan “siap tempur”.
Pada hari itu juga Umar Bahsan menghubungi temannya Chudanco Singgih dari Daidan Jakarta, untuk menyampaikan pendapatnya dan meminta agar Singgih mengajak Bung Karno ke Rengas Dengklok guna merundingkan “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia”. Singgih setuju, dan berhasil menemui Bung Karno, yang juga setuju, dengan syarat menyertakan Hatta, Ny. Fatmawati dan Guntur.
Perundingan singkat dilakukan, di mana Bung Karno sanggup mengucapkan Proklamasi tersebut. Sedang Hatta bersikap diam, karena bagi dia lebih baik menunggu rapat BPUKI, yang akan diadakan pada 18 Agustus 1945. Dengan begitu proklamasi bisa lancar dan aman. Pada waktu itu pemerintah dan pasukan Jepang masih riil menguasai Jakarta, dan sedang bersiap-siap untuk serah terima dengan Sekutu.
Umar Bahsan juga meminta agar Proklamasi harus terjadi paling lambat pada 17 Agustus 1945, siang hari. Jika tidak terjadi, maka Rengas Dengklok akan memproklamasikan kemerdekaan RI.
Malam itu juga rombongan Bung Karno dibawa pulang ke Jakarta, agar dalam waktu beberapa jam mempersiapkan segala sesuatu untuk Proklamasi Indonesia. Akhirnya peristiwa penting itu terjadi pada pukul 10 pagi, tanggal 17 Agustus 1945, di rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Timur (di tempat Tugu Proklamasi sekarang).
Sekali lagi, tanpa “pra-proklamasi Rengas Dengklok” tidak ada “Proklamasi” Kemerdekaan” 17 Agustus 1945. Kepada aktivis generasi muda khususnya, diharapkan untuk selalu ingat akan peristiwa heroik bersenjata ini.
Sementara itu, tokoh nasionalis yang terkenal sebagai Shodanco, yang memimpin pemberontakan PETA di Blitar, yaitu Supriadi, hilang atau gugur tak jelas rimbanya.
Dalam rangka melaksanakan garis Komintern, agar dibentuk front anti-fasis di mana-mana, anggota partai yang ada di PETA bersama kaum nasionalis, antara lain di Surakarta, membentuk front anti-fasis bernama IPTAS (Ikatan Putra Tanah Air Sejati).
Meskipun partai pada zaman penjajahan Jepang mempunyai kelemahan di bidang teori serta kurang pengalaman, tapi karena keteguhan dan keberaniannya, hal ini menjadi daya tarik bagi sejumlah intelektual, di antaranya yang terkenal adalah Mr. Amir Syarifuddin. Karena sikap serta tindakannya, dia ditangkap lalu diadili oleh Jepang, dan dijatuhi hukuman mati. Pimpinan partai dengan bantuan kaum nasionalis berusaha menghubungi Bung Karno, dengan harapan agar Bung Karno membujuk Gunseikan (Kepala Pemerintahan Jepang di Jawa) meringankan hukuman Amir menjadi hukuman seumur hidup. Usaha ini berhasil. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI, dibentuklah Kabinet RI yang pertama, di mana Amir Syarifuddin duduk sebagai Menteri Penerangan. Keluar dari dalam penjara, Amir langsung mengikuti Sidang Kabinet.


Sumber: 
Andreas JW 

0 komentar:

Posting Komentar