Kamis, 03 Mei 2018

Politik Progresif Buruh Post May Day

Mei 3, 2018 | Sumber: IndonesiaBerita 

Oleh : TRISNO YULIANTO

SOLO – Perayaan Mayday tahun 2018 menjadi potret disorientasi gerakan buruh di Indonesia. Menjadi bukti bahwa kesadaran ideologis kaum buruh masih mengawang-awang. Yang terjadi justru pembelokan substansi Mayday menjadi momentum unjuk kegiatan dukung-mendukung terhadap eksistensi politik borjuis. Mayday 2018 memalukan hakikat gerakan buruh yang seharusnya menjadi partisan sosialisme dan terperosok menjadi “begundal” kepentingan politik pilpres.
Baik kelompok buruh yang termasuk kubu Said Iqbal yang menjadi kaki tangan Prabowo Subianto maupun kelompok buruh yang berafilisasi menjadi pendukung Jokowi adalah golongan opportunis yang mengadaikan jati diri buruh. Dukungan terhadap Prabowo Subianto sangat memalukan mengingat Prabowo pernah memiliki rekam jejak buruk dalam penculikan aktifis yang aktif dalam pengorganisasian kaum buruh dan miskin kota tahun 1998.
Prabowo sebagai pemilik perusahaan Kertas Nusantara juga pernah tidak membayar upah buruhnya selama beberapa bulan. Sedangkan bagi buruh yang mendukung Rejim Jokowi juga memprihatinkan karena pemerintahan Jokowi lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha, Investasi dan politik neoliberall. PP 78/2015 karya rejim Jokowi telah membatasi hak buruh untuk mendapatkan upah layak yang menyejahterakan.
Untung ada beberapa faksi gerakan buruh yang sadar politik untuk tidak mau menjadi tunggangan kepentingan politik. Kelompok serikat buruh seperti KASBI tetap menjaga independensi dengan bergerak mengangkat isu fundamental pada perubahan sistem dan emansipasi hak-hak kaum buruh.
Membaca aksi Mayday 2018 bisa kita petakan basis kekuatan dan arah orientasi gerakan buruh di Indonesia. Petanya adalah:
  1. Mayoritas buruh dalam kesadaran a politis dan masih berkutat pada kesadaran ekonomisme. Mereka bergerak terbatas pada isu dasar yang tidak memungkinkan adanya perubahan radikal pada nasib buruh. Isu seputar kenaikan upah tanpa dilandasai kesadaran merubah sistem ekonomi-politik.
  2. Buruh yang terjebak menjadi partisan politik borjuis. Buruh yang dikonsolidasikan untuk mendukung partai politik atau tokoh politik borjuis yang saling bertengkar berebut kursi kekuasaan. Buruh yang dipolitisasi oleh elite organisasi buruh untuk menjadi massa partisan yang tidak memahami esensi gerakan buruh.
  3. Buruh yang terromantisme dalam kegiatan ekstraparlemen dan serikatburuhisme. Buruh yang hanya sadar perjuangan sekadar bertumpu pada aksi-aksi massa diluar parlemen dan hanya paham serikat buruh sebagai alat perjuangan politik tertinggi.
  4. Buruh yang memiliki keyakinan ideologis tentang perubahan sistem ekonomi politik namun masih berkutat pada konsepsi dann belum mampu menggiatkan aksi politik membangun partai kelas buruh yang riil dan berbasis massa.
Orientasi gerakan buruh di Indonesia yang non ideologis cenderung eksistensialis. Menganggap kemampuan membangun serikat dan menggerakkan massa sebagai kepongahan subjektif. Mereka tidak pernah mau belajar tentang prinsip dasar perjuangan kelas buruh dan sekadar melaiukan kegiatan politik tanpa arah.
Dampaknya adalah gerakan buruh mudah terkooptasi kepentingan politik elite yang didominasi oleh para pemilik modal dan terpesona pada bujuk rayu keleompok-kelompok sindikalis dalam gerakan buruh. Gerakan buruh memang besar dalam jumlah massa dan banyak memiliki organisasi namun tidak memiliki posisi tawar politik di parlemen dan rejim yang berkuasa.
Tidak mengherankan apabila gerakan buruh mudah ditunggangi kepentingan politik. Ironisnya yang menunggangi adalah kekuatan politik rasis/fasis yang selama ini sering menggaungkan gagasan anti sosialisme dan mecurigai gerakan buruh.
Dalam Mayday 2018 beberapa aksi buruh menggaungkan isu anti rejim fasis padahal mereka mendukung kekuatan politik rasis/fasis. Buruh mudah terbujuk rayu oleh janji-janji politik yang tertuang dalam selembvar kontrak politik dengan elite politik yang jiwanya anti buruh.
Dibutuhkan gerakan progresif paska Mayday. Gerakan buruh progresif harus dituntut oleh haluan teori yang yang mampu menjelaskan substansi perjuangan kelas buruh dalam merubah nasib untuk mencapai kesejahteraan yang fundamental.
Gerakan progresif yang dibutuhkan kaum buruh adalah: pertama, Membangun kekuatan unifikasi gerakan buruh berbasis ideologi perjuangan kelas. Kekuatan unifikasi yang menjadi embrio partai kelas buruh. Partai kelas buruh berbeda dengan “partai buruh” yang sekadar berambisi meraih keterwakilan politik di Parlemen atau menjadi sarana elite buruh untuk meraih jabatan di kursi kekuasaan eksekutif-legislatif. Partai kelas buruh berjuang dalam dua jalur gerakan ekstra parlemen dan parlementer dengan berani bertarung dalam kancah elektoral (pemilu).
Kedua, gerakan buruh menegaskan independensi dari kepentingan politik borjuis. Tidak menjadi pendukung partai/tokoh politik diluar gerakan buruh. Indepenedensi tersebut ditindaklanjuti dengan membangun front gerakan buruh anti neoliberalisme dengan program-aksi-isu yang riil.
Ketiga, membangun koalisi gerakan dengan kelompok miskin dan tertindas (musthadafin) seperti gerakan petani, gerakan kaum miskin kota dalam kerangka advokasi hak-hak rakyat dan menyatukan enerji untuk menuntut perubahan sistem kekuasaan. Keempat, melakukan langkah militan dalam mengembangkan kesadaran ideologis terhadap massa buruh. Dengan memperkuat propaganda, pendidikan politik, dan juga menyiapkan kader kepemimpinan kaum buruh.
Gerakan buruh harus memiliki target taktis jangka pendek untuk memenangkan perhelatan pemilu 2024 dan menjadikan pemimpin buruh menjadi calon pemimpin nasional. Buruh harus sadar dengan memenangkan pemilu, parlemen, dan pemerintahan maka program minimum sosial untuk kesejahteraan buruh akan bisa diwujudkan.
Penulis adalah Simpatisan Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)

0 komentar:

Posting Komentar