Selasa, 01 Mei 2018

Dari Tiongkok ke Deli

Martin Sitompul | 1 Mei 2018 

Dianggap pekerja keras, orang-orang Tionghoa lebih banyak direkrut oleh para tuan kebun di Sumatera Timur.


Pekerja Tionghoa dari Swatow, provinsi Guangdong menunggu persiapan kontrak sebagai buruh perkebunan tembakau Deli di inspektorat tenaga kerja, pelabuhan Belawan, Sumatra Utara, sekitar 1920-an. Sumber: Tropen Museum.

Kebijakan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi sorotan belakangan ini. Bagi pemerintah, perizinan TKA perlu dipermudah guna memperlancar dan meningkatkan investasi. Sebaliknya, kubu oposisi menganggap kebijakan ini kontraproduktif. Pemerintah dinilai terlalu longgar membuka ruang bagi pihak asing sehingga mempersempit daya saing tenaga kerja dalam negeri.
Tenaga kerja asing dari Tiongkok disebut-sebut sebagai ancaman terbesar. Sebabnya, mayoritas pekerja asing di Indonesia berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Namun jika menilik sejarah, ekspansi orang-orang Tionghoa ke Nusantara sudah berlangsung sedari lama. Setidaknya, kedatangan mereka untuk mencari kerja secara masif terjejaki pada zaman kolonial di Perkebunan Tembakau Deli, Sumatera Timur.     
“Pujian yang sering diberikan orang, terutama mengenai kerajinan kuli Tiongkok, sebetulnya berlaku untuk para penanam tembakau ini. Mereka bekerja dengan sistem kontrak (borongan),” ujar Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20.

Buruh Impor
Boleh jadi, tembakau Deli yang kesohor seantero Eropa itu menjadi komoditas utama berkat tangan-tangan pekerja Tionghoa. Adalah Jacobus Nienhuys, pengusaha Belanda yang menjadikan tanah Deli perkebunan tembakau. Semula Nienhuys mempekerjakan orang-orang lokal dari etnis Batak dan Melayu. Dalam praktiknya, orang Batak suka membangkang dan yang Melayu kurang terampil bercocok tanam.
Nienhuys kemudian pergi ke Singapura dan mengupah 120 buruh Tionghoa. Mereka sama sekali tak mengerti tentang penanaman tembakau tetapi mau bekerja. Pada akhir musim, Nienhuys dapat mengirim 189 bal tembakau sebagai hasil panen tahun 1865. “Tembakau itu bermutu tinggi dan memperlihatkan perawatan yang cermat dan penanganan yang ahli,” tulis Karl Pelzer dalam Toean Kebun Toean Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria.
Kesuksesan Nienhuys mendorong tuan-tuan kebun Belanda lainnya menggunakan jasa buruh Tionghoa. Para pekerja Tionghoa diimpor dari Penang dan Singapura melalui calo yang disebut kheh-tau. Rekrutmen bisa juga melalui laukeh yaitu buruh senior yang dikirim tuan kebun ke negeri asalnya mencari buruh baru. Keberangkatan para perantau Tionghoa ini dipermudah dengan penalangan ongkos keberangkatan terlebih dahulu oleh perantaranya maupun perusahaan tembakau. Maraknya tenaga kerja yang berdatangan ke Deli menciptakan lahan bisnis baru di semenanjung Malaya: perdagangan kuli.   
Keadaan yang terjadi di negeri Tiongkok mendorong rakyatnya merantau ke Deli. Pada waktu itu keadaan politik dan perekonomian di Tiongkok merosot akibat pemerintahan penguasa Dinasti Manchu. Perang-perang lokal dan wabah kelaparan mendorong ribuan petani untuk mengadu nasib di luar negeri. Tawaran bekerja di kebun tembakau Deli menjadi harapan hidup yang lebih baik bagi mereka yang memilih bermigrasi. Orang Tionghoa kebanyakan memandang Sumatera Timur yang mereka kenal sebagai Nan Yang atau Negeri Selatan adalah suatu daerah surga dan kaya.
“Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera Timur itu berkelompok dan dikepalai oleh seorang kepala suku melalui tokoh-tokoh Tionghoa yang berada di Penang,” tulis Yasmis dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli - Sumatera Timur 1880-1915”. 

Pekerja Andal
Dalam penelitiannya tentang buruh di perkebunan tembakau Deli, Jan Breman mengurai sebab maskapai perkebunan Deli memilih orang Tionghoa. Buruh kebun Tionghoa dikenal pekerja keras yang tekun. Sebelum matahari terbit mereka sudah berada di ladang untuk merawat tanaman tembakau yang masih muda, menyiram persemaian, mencari ulat daun tembakau, atau menyiapkan lahan untuk ditanami. Mereka terbiasa bekerja sampai matahari terbenam dan hanya beristirahat satu-dua jam di siang hari. Tak jarang pada malam terang bulan lama sesudah bekerja keras pada hari biasa, mereka masih sibuk dengan tembakaunya.
“Orang Tionghoa bisa saja merupakan pekerja yang tak simpatik karena kesukaannya berteriak dan ribut, tetapi setiap tuan kebun harus menghormati mereka karena ia memiliki tenaga dan prestasi kerja yang luar biasa,” tulis Breman mengutip kesaksian asisten perkebunan Belanda C.J. Dixon tahun 1913.
Para buruh Tionghoa ini juga punya karakteristik tertentu sesuai suku bangsanya. Orang Hailokhong suka bising dan pemarah. Orang Keh dan Macau lebih tenang dan sabar tapi cenderung pendendam. Dari semua suku, orang Hailokhong adalah petani terbaik, lebih kuat, dan lebih mampu melakukan kerja berat.
Pada 1883, sebanyak 21.000 buruh Tionghoa sudah bekerja di Sumatera Timur. Imigrasi pekerja Tionghoa mencapai puncaknya pada periode 1886-1889. Lebih dari 16.000 orang masuk setiap tahun. Angka-angka ini terus naik sampai 1890. Memasuki abad 20, tingginya permintaan terhadap buruh Tionghoa terkendala dengan kian diperketatnya regulasi. Pada 1930, perusahaan perkebunan Deli mengalami penyusutan signifikan terhadap buruh Tionghoa. Ketika itu terjadi depresi ekonomi yang mengakibatkan pengangguran besar-besaran.
Menurut sejarawan Anthony Reid, pejabat pemerintah Tionghoa yang progresif menentang emigrasi warganya ke Sumatera Timur. Hal ini berkaitan dengan merebaknya berita-berita eksploitasi yang dialami buruh Tionghoa di Deli. Imbasnya, premi dan ongkos pengangkutan buruh Tionghoa jadi semakin tinggi. Pilihan pun beralih kepada buruh Jawa yang bersedia dibayar lebih murah.
Meskipun jumlahnya di perkebunan berangsur-angsur menurun, jumlah orang Tionghoa di Sumatera Timur terus naik. Setelah menyelesaikan kontrak kerja, mereka lebih suka suka tinggal menetap ketimbang kembali ke negeri leluhur. Hingga 1930, orang Tionghoa menjadi pendatang asing terbanyak dengan menempati sepuluh persen dari komposisi penduduk Sumatera Timur.
“Sebuah komunitas yang lebih berimbang muncul, terdiri dari pedagang, pemilik warung, petani kecil, nelayan, dan penebang kayu,” tulis Reid dalam Menuju Sejarah Sumatera. “Namun kelompok-kelompok ini tetap merupakan minoritas kecil.”
Sumber: Historia.Id 

0 komentar:

Posting Komentar